Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

M DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN UTAMA KETIDAKSEIMBANGAN KADAR GLUKOSA
DARAH: HIPOGLIKEMI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI
RUANG IGD RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Disusun Guna Memenuhi Tugas Stase


Keperawatan Gadar Kritis

Disusun Oleh:

Ema Tri Indah Sari

2022030018

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
2022
HALAMAN PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.M DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN UTAMA KETIDAKSEIMBANGAN KADAR GLUKOSA
DARAH: HIPOGLIKEMI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI
RUANG IGD RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:


Ema Tri Indah Sari

Telah dikonsulkan kepada pembimbing akademik


Pada tanggal: Januari 2022

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(.......................................) (.......................................)

BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi
Hipoglikemia adalah gangguan kesehatan yang terjadi ketika kadar gula di
dalam darah berada di bawah kadar normal. Hipoglikemia adalah komplikasi yang
paling umum terjadi pada individu dengan diabetes melitus (Kemenkes RI, 2017).
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL
(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). Nilai peringatan hipoglikemia
pada pasien rawat inap didefinisikan sebagai glukosa darah <70 mg/dL (3,9
mmol/L), sedangkan hipoglikemia yang signifikan secara klinis didefinisikan
sebagai nilai glukosa <54 mg/dL (3,0 mmol/L) (American Diabetes Association,
2018).
Hipoglikemia adalah ciri umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai pada klien
dengan DM tipe 2 yang menjalani terapi obat insulin atau obat oral. Hipoglikemia
dapat disebabkan karena dosis insulin berlebihan, asupan makanan lebih sedikit
dari biasanya, aktivitas berlebihan, ketidakseimbangan nutrisi dan cairan serta
riwayat mengkonsumsi alcohol (Black dan Hawks, 2021). Hipoglikemia pada
pasien diabetes melitus disebut iatrogenic hypoglycemia, sedangkan hipoglikemia
pada pasien non-diabetes disebut hipoglikemia spontan. Hipoglikemia bersifat
emergensi dengan gejala dan keluhan yang tidak spesifik. Hipoglikemia dapat
berkembang menjadi koma bahkan kematian. Hipoglikemia berat yang
berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan otak permanen. (Mansyur, 2018)
PERKENI 2015 menjelaskan secara umum terdapat beberapa klasifikasi
hipoglikemia antara lain :
a. Hipoglikemia berat apabila kadar GDS sangat rendah dan pasien tidak sadar
serta membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat,
glukagon, atau tindakan resusitasi lainnya.
b. Hipoglikemia simtomatik apabila kadar GDS <70mg/dl dan disertai keluhan
serta gejala hipoglikemia. Pasien masih dapat menolong dirinya sendiri.
c. Hipoglikemia asimtomatik apabila kadar GDS <70mg/dl, namun tanpa disertai
gejala dan keluhan hipoglikemia
d. Hipoglikemia relative apabila kadar GDS masih >70 mg/dl, namun terdapat
gejala dan keluhan hipoglikemi
e. Probable hipoglikemia apabila gejala dan keluhan hipogllikemia, tanpa disertai
pemeriksaan GDS
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
hipoglikemia merupakan kondisi klinis yang ditandai oleh penurunan kadar
glukosa darah melewati ambang batas yang bisa ditoleransi oleh tubuh. Secara
klinis hipoglikemia didefinisikan sebagai nilai glukosa <54 mg/dL (3,0 mmol/L).
Hipoglikemia dapat bersifat emergensi dan memerlukan penanganan yang cepat.
Jika tidak ditangani dengan baik hipoglikemia akan menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan seperti: penurunan kualitas hidup, gangguan fungsi kognitif,
penurunan kesadaran, bahakan dapat menjadi pemicu penyakit kardiovaskuler
yang dapat menjadi penyebab kematian.
B. Tanda dan Gejala
PERKENI 2015 menjelaskan pasien dengan diabetes melitus yang mengalami
komplikasi akut hipoglikemia akan menunjukkan tanda dan gejala yang dapat
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Tanda dan gejala autonomic
1) Tanda : rasa lapar, banyak berkeringat, tampak gelisah, paresthesia,
palpitasi, tremulousness
2) Gejala : pucat, takikardia, widened pulse pressure (tekanan nadi melebar)
b. Tanda dan gejala neuroglikopenik
1) Tanda : lemah, lesu, dizziness (pusing), confusion (bingung), perubahan
sikap, gangguan kognitif, diplopia (pengelihatan ganda), pandangan kabur.
2) Gelaja : cortical blindness (kebutaan kortikal), hipotermia, kejang dan
koma. Gejala autonomik akan terjadi bila konsentrasi / kadar glukosa darah
mencapai sekitar 60 mg/dl. Sedangkan gejala neuroglikopenik akan dialami
bila kadar glukosa darah mencapai sekitar 50 mg/dl atau lebih rendah dan
terjadi akibat berkurangnya suplai glukosa ke otak (American Diabetes
Association, 2018).
Gejala autonomik dikelompokkan menjadi dua yaitu gejala adrenergik dan
kolinergik (Mansyur, 2018) :
a. Gejala adrenergik berupa palpitasi, tahikardia, gelisah, kecemasan dan
tremor.
b. Gejala kolinergik berupa keringat yang berlebihan, pucat, teraba hangat,
parastesi, mual perasaan lapar yang berlebihan.
Sedangkan gejala neuroglikopenik bervariasi mulai dari perasaan lemas,
pusing, sakit kepala, perubahan perilaku, kebingungan, penurunan fungsi
kognitif, kejang-kejang sampai penurunan kesadaran dan koma. Hipoglikemia
berat yang berlangsung berkepanjangan dapat menyebabkan kematian dan
kerusakan otak permanen (Mansyur, 2018).
Apabila glukosa darah turun hingga <70 mg/dL, maka tubuh akan
merespon dengan mengeluarkan hormone cathecolamin, glucagon, cortisol dan
growth hormone. Hal tersebut menyebabkan pasien dengan hipoglikemia akan
menunjukkan beberapa gejala antara lain : (Setiati, Alwi dan Sudoyo, 2015)
a. Tanda : pallor, diaphoresis
b. Gejala neuroglikopeni : gangguan kognitif, perubahan perilaku, gangguan
psikomotor, kejang dan koma.
c. Gejala otonomik adrenergik : palpitasi, gemetar dan cemas
d. Gejala Kolinergik : berkeringat dingin, lapar dan parastesia.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien diabetes melitus
yang mengalami hipoglikemia antara lain (Black dan Hawks, 2021) :
a. Gula darah puasa
Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa
75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl. Biasanya pada
penderita hipoglikemia akan terjadi penurunan kadar glukosa darah
<60mg/dL,
b. Pemeriksaan AGD
Bisanya masih dalam batas normal namun dapat terjadi asidosis respiratorik
sedang.
c. HBA1c
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula
darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes
dalam waktu 2- 3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin
terglikosilasi yang pada orang normal antara 4 - 6%. Semakin tinggi maka
akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko
terjadinya komplikasi.
d. Pemeriksaan Elektrolit
Biasanya tejadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu
e. Pemeriksaan darah lengkap
Leukosit, terjadi peningkatan jika terdapat infeksi pada pasien
D. Penatalaksanaan
Strategi penanganan pasien diabetes melitus dengan komplikasi akut
hipoglikemia terdiri atas 3 kelompok utama yaitu pencegahan hipoglikemia,
pengunaan obat-obatan dengan dosis rendah sampai optimal atau gunakan
golongan obat yang mempunyai risiko hipoglikemia rendah dan terapi
hipoglikemia (Mansyur, 2018).
a. Pencegahan hipoglikemi
Edukasi untuk mencegahan atau menurunkan risiko terjadinya hipoglikemia
maka sangat penting dilakukan. Edukasi kepada pasien dan keluarganya dan
juga pemantauan glukosa darah secara mandiri (self monitoring blood glucose/
SMBG) merupakan strategi utama dalam upaya pencegahan terhadap tejadinya
hipoglikemia. Pemantauan glukosa darah secara mandiri secara reguler
merupakan cara yang paling efektif untuk mengetahui kecenderungan kadar
glukosa darah dan mengidentifikasi terjadinya hipoglikemia asimptomatik.
Pemantauan dapat dilakukan secara periodik dengan pemeriksaan kadar glukosa
darah kapiler maupun melalui monitoring glukosa darah secara kontinyu
(continous glucose monitoring/CGM) (American Diabetes Association, 2018).
b. Penggunaan obat-obatan dengan dosis sampai optimal atau gunakan golongan
obat yang mempunyai resiko hipoglikemi rendah
Terapi farmakologis pada penderita diabetes melitus ditujukan untuk
mempertahankan kontrol glikemik selama mungkin tanpa risiko hipoglikemia,
oleh karena itu pemberian obat-obatan sebaiknya dimulai dengan dosis rendah
dan kemudian dilakukan titrasi secara bertahap hingga mencapai dosis optimal.
Sesuai dengan mekanisme kerjanya maka golongan obat-obatan anti diabetes
dikelompokkan dalam dua kategori utama yaitu kelompok risiko rendah dan
kelompok risiko tinggi sebagai penyebab hipoglikemia. Kelompok risiko tinggi
akan meningkatkan kadar insulin tanpa dipengaruhi kadar glukosa dalam darah.
Sedangkan golongan obat dengan risiko hipoglikemia rendah berkerja
bedasarkan kadar glukosa dalam darah (Mansyur, 2018).
c. Terapi hipoglikemia
Penanganan utama pasien hipoglikemia pada pasien diabetes adalah deteksi
dini dan atasi kadar glukosa darah yang rendah dengan mengembalikan kadar
glukosa darah secepat mungkin ke kadar yang normal sehingga gejala dan
keluhan hipoglikemia juga akan segera menghilang. Rekomendasi terapi
hipoglikemia (Setiati, Alwi dan Sudoyo, 2015):
1) Hipoglikemia ringan dan sedang
Berikan 15-20 gram glukosa tablet atau yang telah dilarutkan dalam air
minum (2-3 sendok makan). Cek ulang kadar glukosa darah 15 menit
kemudian, bila kadar glukosa darah masih kurang dari 70 mg/dl maka
pemberian 15 gram glukosa dapat diulangi, demikian pula untuk 15 menit
berikutnya.

2) Hipoglikemia berat dan pasien masih sadar


Berikan 20 gram glukosa secara oral. Cek ulang 15 menit kemudian, bila
kadar glukosa darah tetap < 70 mg/dl maka ulangi pemberian 20 gram
glukosa, demikian pula untuk 15 menit berikutnya.
3) Hipoglikemia berat dan pasien tidak sadar
4) Jika terdapat gejala neuroglikopeni, maka pasien harus diberikan terapi
parenteral yaitu Dextrose 40% 25 ml, diikuti dengan infus D50% atau
D10%, dengan rumus 3-2-1-1. Lakukan pemantauan gula darah setiap 1-2
jam. Apabila terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dextrose 40% dapat
diulang kembali.
Adapun tatalaksana hipoglikemia pada pasien tidak sadar yang menunjukkan
gejala neuroglikopenia menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PAPDI) tahun 2015 adalah sebagai berikut (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2015):
a. Pemberian larutan Dekstrosa 40% sebanyak 50 ml dengan bolus intravena
(IV)
b. Pemberian cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf (500 cc).
c. Periksa GDS, bila:
1) GDS < 50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
2) GDS <100 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
d. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40%, bila :
1) GDS <50 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV
2) GDS <100 mg/dl, berikan bolus Dekstrosa 40% 25 ml IV
3) GDS 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dekstrosa 40%
4) GDS >200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa
10%
e. Bila hipoglikemia belum teratasi, pertimbangka pemberian antagonis insulin,
seperti: Deksametason 10 mg IV bolus, dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
Manitol 1,5-2 g/KgBB IV setiap 6-8 jam.
E. Patofisiologi
Menurut (Kedia,2011) pada Diabetes Mellitus type 2, Hipoglikemi terjadi
akibat adanya kelebihan insulin dan juga terjadinya gangguan pertahanan
fisiologis yaitu terdapat penurunan pada plasma glukosa. Glukosa sendiri
merupakan bagian terpenting di dalam tubuh sebagai bahan bakar metabolisme
yang harus ada untuk otak. Terjadinya penurunan kadar gula dalam darah akan
berkaitan pada system saraf pusat, sistem pencernaan dan sistem peredaran darah.
Menurut (Setyohadi, 2012) konsentrasi glukosa yang dimiliki dalam darah
yang normal berjumlah 70-110 mg/dl. Penurunan jumlah kadar glukosa dalam
darah akan memicu respon pada tubuh, dimana ketika tubuh mengalami penurunan
kadar gula dalam darah akan memicu terjadinya penurunan konsentrasi insulin
secara fisiologis, serta akan membuat tubuh kehilangan kesadaran. Oleh karena
itu, jika jumlah kadar gula yang di suplai oleh darah mengalami penurunan ,
tentunya akan mempengaruhi fungsi kerja otak. Saat tubuh ingin melakukan
aktivitas yang banyak, otak akan sangat bergantung pada suplai glukosa yang akan
di berikan secara terus-menerus dari dalam jaringan system saraf pusat. Di saat
otak ke hilangan suplai glukosa yang di butuhkan, tubuh akan merespon dan
secara berlanjut akan terjadi penurunan kesadaran sehingga mengakibatkan
terjadinya pola nafas tidak efektif. Ketergantungan yang dimiliki otak pada setiap
menit suplai glukosa yang dimiliki melalui sirkulasi di akibatkan karena ke tidak
mampuan otak dalam pemenuhan kadar cadangan glukosa sebagai glikogen di
dalam otak. Selain itu juga otak tidak dapat mencampurkan glukosa dan hanya
dapat menyimpan cadangan glukosa dalam bentuk glikogen namun dalam jumlah
yang kecil. Oleh karena itu, fungsi kerja otak yang normal akan sangat bergantung
pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi.
F. Pathway
G. Fokus Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Dimana semua
data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan pasien saat
ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek
biologis, psikologis, social, maupun spiritual pasien (Asmadi, 2008). Pengkajian
pada masalah keperawatan defisit nutrisi menurut Hidayat (2009) sebagai berikut:
a. Riwayat makanan
Riwayat makanan meliputi informasi atau keterangan tentang pola makanan, tipe
makanan yang dihindari ataupun diabaikan, makanan yang lebih disukai yang
dapat digunakan untuk membantu merencanakan jenis makanan untuk sekarang,
rencana makanan atau masa selanjutnya.
b. Kemampuan makan
Dalam kemampuan makan ada beberapa hal yang perlu dikaji antara lain
kemampuan mengunyah, menelan, makan sendiri tanpa bantuan orang lain.
c. Pengetahuan tentang nutrisi
Aspek lain yang sangat penting dalam pengkajian nutrisi adalah penentuan tingkat
pengetahuan pasien mengenai kebutuhan nutrisi
d. Nafsu makan, jumlah asupan
e. Tingkat aktivitas
f. Pengonsumsian obat
g. Penampilan fisik
Penampilan fisik dapat dilihat dari hasil pemeriksaan fisik terhadap aspek-aspek
berikut: rambut yang sehat berciri mengkilat, kuat, tidak kering, dan tidak
mengalami kebotakan bukan karena faktor usia; daerah diatas kedua pipi dan
bawah kedua mata tidak berwarna gelap; mata cerah dan tidak ada rasa sakit atau
penonjolan pembuluh darah; daerah bibir kering, pecah-pecah, ataupun mengalami
pembengkakan; lidah berwarna merah gelap, tidak berwarna merah terang, dan
tidak ada luka pada permukaannya; gusi tidak bengkak, tidak mudah berdarah, dan
gusi yang mengelilingi gigi harus rapat serta erat tidak tertarik ke bawah sampai di
bawah permukaan gigi; gigi tidak berlubang dan tidak berwarna; kulit tubuh halus,
tidak bersisik, tidak timbul bercak kemerahan, atau tidak terjadi pendarahan
yangberlebihan; kuku jari kuat dan berwarna merah muda.
h. Pengukuran antropomteri
Pengukuran ini meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan dan
lipatan kulit pada otot trisep.
H. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2016). Diagnosa keperawatan
berfokus pada respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah
kesehatan (Siregar dkk., 2021). Diagnosa keperawatan dapat dijadikan sebagai
dasar dalam pemilihan intervensi yang menjadi tanggung gugat perawat (Hidayat,
2021). Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pasien diabetes melitus tipe
2 adalah ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan hipoglikemia,
ditandai dengan pasien mengantuk, pusing, mengalami gangguan koordinasi,
kadar glukosa dalam darah rendah, palpitasi, gemetar, kesadaran menurun, sulit
berbicara, dan berkeringat (PPNI, 2016).
I. Intervensi Keperawatan

No Dx. Kep Indikator Rencana Tindakan


1 Ketidakseimban Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipoglikemi
gan glukosa keperawatan selama 1 x 6 (I.03115)
darah: jam masalah keperawatan 1. Identifikasi tanda dan gejala
hipoglikemi (D. ketidakseimbangan kadar hipoglikemi
0027) glukosa darah: hipoglikemi 2. Pertahankan kepatenan
teratasi dengan kriteria jalan napas
hasil: 3. Anjurkan monitor kadar
Kestabilan kadar glukosa glukosa dalam darah
darah (L.03022) 4. Ajarkan pengelolaan
Indikator A T hipoglikemi (mis, tanda dan
Mengantuk 4 2 gejala, faktor risiko, dan
Lesu 4 2 pengobatan hipoglikemi)
Pusing 4 2 5. Kolaborasi pemberian
Berkeringat 4 2 dextrose, jika perlu
Ket:
1: meningkat
2: cukup meningkat
3: sedang
4: cukup menurun
5: menurun

Indikator A T
Kadar 2 4
glukosa
dalam darah
Ket:
1: memburuk
2: cukup memburuk
3: sedang
4: cukup membaik
5: membaik

BAB 11
BAB III
PEMBAHASAN

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi glukosa serum


dengan atau tanpa adanya gejala sistem autonom dan neuroglikopenia. Hipoglikemia
ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl (<4,0 mmol/L) dengan
atau adanya whipple’s triad, yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia, seperti kadar
glukosa darah yang rendah, gejala berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemia
sering dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang diterapi
dengan insulin dan sulfonylurea (Rusdi, 2020).
Hipoglikemia merupakan efek samping yang paling umum dari penggunaan
insulin dan sulfonilurea pada terapi DM, terkait mekanisme aksi dari obat tersebut,
yaitu mencegah kenaikan glukosa darah daripada menurunkan konsentrasi glukosa.
Metformin, pioglitazone, inhibitor DPP- 4, acarbose, inhibitor SLGT-2 and analog
GLP-1 yang diresepkan tanpa insulin atau insulin sekretagog (sulfonylurea/ glinide)
jarang menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia ditemukan sebagai hambatan utama
dalam mencapai kepuasan jangka panjang kontrol glikemik dan menjadi komplikasi
yang ditakuti dari terapi DM.
Kurangnya asupan makanan diketahui merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia diperkirakan menjadi penyebab kematian pada
2–4% pasien DM tipe 1. Walaupun kontribusi hipoglikemia sebagai penyebab
kematian pada DM tipe 2 masih belum jelas, tidak jarang dugaan hipoglikemia
menjadi penyebab kematian. Angka kejadian hipoglikemia pada pasien DM tipe 2
beberapa kali lipat lebih rendah dibandingkan DM tipe. Risiko hipoglikemia yang
berat dikaitkan dengan penggunaan insulin atau sulfonilurea dan glinid, perubahan
dosis obat, dan perubahan gaya/aktivitas hidup yang terlalu drastis.
Penatalaksanaan DM bergantung pada tingkat keparahan dari pasien yang
mengalami hipoglikemi. Terapi tersebut diantaranya
6. Terapi pada pasien dengan hipoglikemi rindang sapai sedang
a. Pemberian makanan tinggi glukosa (karbohidrat)
b. Ketika terapi hipoglikemia, pilihan karbohidrat menjadi penting.
c. Karbohidrat kompleks atau makanan yang mengandung lemak bersamaan
dengan karbohidrat (seperti coklat) dapat memperlambat absorbsi glukosa dan
tidak boleh digunakan pada kasus hipoglikemia yang darurat[13].
d. Glukosa 15 g (2 – 3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi
pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.
1) 15 g glukosa (monosakarida) diperlukan dalam peningkatan glukosa darah
sekitar 2,1 mmol/L dalam 20 menit dan dapat meredakan gejala bagi
kebanyakan pasien [14]
2) 20 g glukosa diperlukan dalam peningkatan glukosa darah sekitar 3,6
mmol/L dalam 45 menit [15]
3) Susu dan jus jeruk lambat dalam menaikkan glukosa darah, namun dapat
menghilangkan gejala
e. Pasien dengan kontrol glikemik yang buruk dapat merasakan gejala
hipoglikemia walaupun dengan kadar glukosa lebih 4,0 mmol/L. Tidak ada
bukti yang menyatakan terjadi disfungsi kognitif. Maka dari itu, terapi
hipoglikemia yang direkomendasikan adalah untuk meredakan gejala. Jadi,
pasien yang mengalami hipoglikemia dengan kadar glukosa darah 4,0 mmol/ L
dapat diterapi dengan snack karbohidrat, misalnya 1 buah pisang, atau 1 potong
roti
f. Anak - anak seringkali membutuhkan lebih sedikit 15 g karbohidrat untuk
mengkoreksi kadar glukosa darah; bayi: 6 membutuhkan g; balita
membutuhkan 8 g; dan anak kecil kemungkinan membutuhkan 10 g
g. Pemeriksaan glukosa darah harus dilakukan setelah 15 menit setelah pemberian
terapi. Ulangi langkah terapi hingga glukosa darah mencapai setidaknya 70
mg/dl
h. Setelah kadar glukosa darah kembali normal, pasien diminta untuk makan atau
mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia
2. terapi hipogikemi berat
a. Glukagon merupakan hormon yang disekresi pankreas untuk menstimulasi
hepar agar mengeluarkan glukosa yang tersimpan ke aliran darah. Injeksi
glukagon dapat diberikan pada pasien DM dengan kadar glukosa darah yang
terlalu rendah untuk diterapi dengan intake glukosa [13]
b. Jika didapat gejala neuroglikopenia, berikan dekstrosa 20% sebanyak 50 cc (jika
kadar glukosa belum naik signifikan, diberikan dekstrosa 40% sebanyak 25 cc),
diikuti dengan infus D5% atau 10% [5]
c. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian parenteral. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang dekstrosa 20%
[5]
d. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1 – 2 jam kalau masih
terjadi hipoglikemia berulang. Pemberian dekstrosa 20% dapat diulang. [5]
DAFTAR PUSTAKA

PERKENI (Persatuan Endokrinologi Indonesia)b. 2015. Panduan Penatalaksanaan


DM Tipe 2 pada Individu Dewasa di Bulan Ramadan. Jakarta: PB. Perkeni

PERKENI (Persatuan Endokrinologi Indonesia)a. 2015. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB.
Perkeni

Rusdi, M. S. (2020). Hipoglikemia Pada Pasien Diabetes Mellitus. Journal Syifa


Sciences and Clinical Research.

SDKI. (2016) . Standar diagnosis keperawatan Indonesia definisi dan dan tindakan
keperawatan. Edisi I cetakan II. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Indonesia

SIKI. (2016) . Standar Intervensi Keperawatan Indonesia definisi dan intervensi


keperawatan. Edisi I cetakan II. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Indonesia

SLKI. (2016) . Standar Luaran keperawatan Indonesia definisi dan kriteria


keperawatan. Edisi I cetakan II. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat

Indonesia

Anda mungkin juga menyukai