Disusun Oleh :
1. Elsa ayu wulandari (19340004)
2. Komang aprilia tiara (19340006)
3. Maulidiene chairunnissa (19340008)
4. Rika aristia (19340014)
5. Yuliati (19340019)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "
KEBUTUHAN KHUSUS PADA PERMASALAHAN GEOGRAFIS PADA
KELOMPOK TENAGA KESEHATAN”
Makalah ini pemahaman mengenai kebutuhan apa saja yang dibutuhkan dalam
mengatasi permasalahan geografis. Bagi tenaga kesehatan diperlukan untuk bisa
mengatasinya dengan optimal.
Penulis menyadari ada kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, saran dan
kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya penulis. Penulis juga berharap
semoga karya ilmiah ini mampu memberikan pengetahuan tentang pola makan dan
berat badan yang sehat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan
Penulisan................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Geografis Kesehatan............................................................................4
2.2 Pemeriksaan Kesehatan Berkala........................................................................6
2.3 Konseling Kemungkinan Terkena Paparan Saat Pemeriksaan........................12
2.4 Penggunaan APD yang Baik Dan Tepat.........................................................14
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Perkembangan tehnologi moderen dan canggih di bidang kedokteran
dan kesehatan, tidak serta merta mencakup pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Kuantitas tenaga kesehatan terus
membaik, namun kwalitas dan penyebaran tenaga kesehatan belum mampu
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Regulasi yang mendukung untuk
upaya pengembangan tenaga kesehatan masih terbatas (Widjajarta, 2011).
Geografi kesehatan atau sering kali disebut medical geography
(geografi medis), adalah bidang penelitian yang menggabungkan teknik
geografis ke dalam analisis kesehatan dan juga penyebaran penyakit. Selain
itu, geografi kesehatan juga mempelajari dampak iklim dan lokasi pada
kesehatan masyarakat serta distribusi pelayanan kesehatan. Geografi
kesehatan adalah bidang penting karena bertujuan untuk memberikan
pemahaman tentang masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan
masyarakat yang didasarkan pada berbagai faktor geografis
mempengaruhinya.
Geografi kesehatan merupakan bagian dari ilmu geografi yang khusus
mempelajari topik-topik yang berhubungan dengan masalah
kesehatan.Geografi kesehatan menggunakan konsep dan teknik dari disiplin
ilmu geografi dalam menjelaskan suatu fenomena di bidang kesehatan.Salah
satu konsep yang dominan dalam geografi kesehatan yaitu mempelajari
hubungan antara manusia dan lingkungannya secara holistik dan melihat
interaksi antara manusia dengan beragam budayanya masing-masing dalam
biosfer yang berbeda.
Penggunaan metode geografi dalam geografi kesehatan lebih kepada
analisis spasial. Dimana kejadian penyakit terjadi, apa penyebabnya,
bagaimana penularannya, cara penanggulangannya, merupakan beberapa
pertanyaan yang harus dijawab secara komprehensif melalui analisis spasial.
Peta sebagai alat peraga, dapat memperlihatkan sebaran kejadian penyakit
yang ada sehingga bisa menunjukkan distributional pattern dari fenomena
kejadian penyakit dan hubungannya dengan fenomena fisik permukaan bumi
2
ataupun aktivitas manusia sehingga dalam mencari pemecahannya dapat
dijawab dengan holistik.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
penularannya, cara penanggulangannya, merupakan beberapa pertanyaan yang
harus dijawab secara komprehensif melalui analisis spasial. Peta sebagai alat
peraga, dapat memperlihatkan sebaran kejadian penyakit yang ada sehingga bisa
menunjukkan distributional pattern dari fenomena kejadian penyakit dan
hubungannya dengan fenomena fisik permukaan bumi ataupun aktivitas manusia
sehingga dalam mencari pemecahannya dapat dijawab dengan holistik.
Interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan kontak antara
kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di tubuh inang (host)
kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak mampu menjaga
kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan berbagi
penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi seperti sapi, babi, dan
anjing. Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya
perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan
sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah
terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan
yang menjadi inang alami (natural host) kuman (Danoedoro, 2003).
Selanjutnya disebutkan bahwa faktor ekologis juga ditemukan oleh
peneliti di India (Srivastava dkk, 2003) yang mengkaji hubungan kualitas
permukiman urban dan peri-urban dengan insidensi Malaria. Di Afrika Selatan
juga ditemukan banyak kasus malaria di wilayah-wilayah yang kurang
berkembang sektor pertanian, wisata, dan industrinya (Martin dkk, 2002). Di
kedua negara itu, pengendalian malaria dilaksanakan secara terpadu dalam
kerangka nasional sistem informasi malaria berbasis SIG. Penyakit yang terkait
dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang
spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami,
wilayah gunung api biasanya miskin yodium. Daerah berbatuan kapur juga
menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi.
Di pedalaman Kalimantan Timur, dijumpai air permukaan dengan kandungan
logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan
industri di sekitarnya (Danoedoro, 2003).
5
Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu
dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan
di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa
sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air
tanah, dan konsentrasi polutan industry sangat berpengaruh terhadap kesehatan
penduduk di sekitar lokasi industry (Danoedoro, 2003).
6
seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dsb terhadap
sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam
agama Islam). seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan
dimana seseorang menjalankan ibadah dan semu aturan-aturan agama yang
dianutnya.
Menurut Feldstein (1983) dalam Suriati (2009), bahwa pada bidang
kesehatan analisis tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan berguna untuk
mengetahui pola pemanfaatan (penggunaan) pelayanan kesehatan oleh
masyarakat. Informasi ini berguna sebagai masukan bagi pengambil keputusan
untuk merencanakan dan mengelola pelayanan kesehatan agar lebih efektif dan
efisien. Teori model kepercayaan (health belief model) oleh Lewin dalam
Notoatmodjo (2010) menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup
kehidupan sosial (masyarakat). Di dalam kehidupan ini individu akan bernilai,
baik positif maupun negatif, di suatu daerah tertentu. Apabila seseorang
keadaannya atau berada pada daerah positif, maka berarti ia ditolak dari daerah
negatif. Implikasinya di dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit adalah suatu
daerah negatif sedangkan sehat adalah wilayah positif.
Menurut Supriyanto (2010), apabila individu bertindak untuk melawan
atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam
tindakan tersebut yaitu :
Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)
Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia
harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut.
Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan
timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan
terhadap penyakit tersebut.
Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan
didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau
masyarakat.
7
Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and
barriers).
Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang
dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan
ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan
yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat
tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin
ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.
Isyarat atau tanda-tanda (Clues).
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan,
kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang
berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya pesan-pesan
pada media massa, nasehat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga
lain dari si sakit, dan sebagainya.
Menurut Notoatmodjo (2007), masyarakat atau anggota masyarakat yang
mendapat penyakit, dan yang tidak merasakan sakit (disease but no illness) sudah
barang tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi
bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul
berbagai macam perilaku dan usaha. Respons seseorang apabila sakit adalah
sebagai berikut:
Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no
action). Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan
mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka
beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya
akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan
tugas-tugas lainnya yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya.
Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di
dalam hidup dan kehidupannya.
Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang
diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes,
8
tidak responsif, dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke
rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya. Kedua, tindakan mengobati sendiri (self
treatment), dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan tambahan
dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya
kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu
usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini
mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional
(traditional remedy). Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan
tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-
pengobatan yang lain. Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat
ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-
tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat
yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. Namun demikian,
sampai sejauh ini pemakaian obatobat bebas oleh masyarakat belum
mengakibatkan masalah yang serius. Khusus mengenai jamu sebagai sesuatu
untuk pengobatan (bukan hanya untuk pencegahan saja) makin tampak
peranannya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu tindakan penelitian
yang lebih mendalam. Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga
kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan
rumah sakit. Keenam, adalah mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern
yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine).
Anderson (1974) menggambarkan model sistem kesehatan (health system
model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Di dalam model Anderson ini
terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni: karakteristik
predisposisi, karakteristik pendukung, karakteristik kebutuhan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan dengan teori model Anderson (1974) dalam
Notoatmodjo (2007), menurut model ini keputusan untuk menggunakan
pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh :
9
Karakteristik Predisposisi (predisposing characteristics). Seseorang untuk
menggunakan pelayanan kesehatan. Komponen ini disebut predisposing
karena faktor-faktor pada komponen ini menggambarkan karakteristik
perorangan yang sudah ada sebelum seseorang ini memanfaatkan pelayanan
kesehatan. Komponen ini menjadi dasar atau motivasi seseorang untuk
berperilaku dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Anderson membagi
karakteristik predisposing ini berdasarkan karakteristik pasien ke dalam tiga
bagian meliputi ciri demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan
kesehatan (Health beliefs).
Karakteristik Pendukung (enabling characteristics) atau kemampuan
seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor biaya dan jarak
pelayanan kesehatan dengan rumah berpengaruh terhadap perilaku
penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut Anderson, et
all. 1974 dalam Greenley (1980) yang menyatakan bahwa jarak merupakan
komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan
pelayanan pengobatan.
Karakteristik Kebutuhan (need characteristics) atau kebutuhan seseorang
akan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi dan faktor yang
memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan
apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan
merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan
kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan
(need) di sini dibagi menjadi 2 kategori, dirasakan atau perceived (subject
assessment) dan evaluated (clinical diagnosis). Kebutuhan akan kualitas
pelayanan yang baik dan memadai akan mempengaruhi individu untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Semakin baik kualitas
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, maka akan semakin kuat individu
dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada.
Menurut Azwar (2006), dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan individu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
10
Tersedia dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan harus tersedia di
masyarakat serta berkesinambungan, artinya semua jenis pelayanan kesehatan
yang di butuhkan serta tidak sulit ditemukan serta keberadaannya dalam
masyarakat ada pada saat yang dibutuhkan, seperti adanya pelayanan dokter
spesialis.
Dapat diterima dengan wajar. Pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat dengan wajar, artinya tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat;
Terjangkau. Biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat sehingga tidak memberatkan pasien;
Kelengkapan obat. Pelayanan kesehatan harus mempunyai persediaan obat
yang lengkap sehingga pasien tidak perlu mencari obat di tempat lain.
Bermutu. Pelayanan kesehatan harus dapat memuaskan pemakai jasa
pelayanan kesehatan tersebut.
Di dalam pelayanan kesehatan, tidak selalu kebutuhan yang dirasakan
berubah menjadi demand, walaupun terdapat kemampuan untuk membeli, oleh
karena itu adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi di dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Faktor yang ada di rumah sakit dan faktor yang ada pada
konsumen merupakan kunci yang utama terkait dengan pencapaian mutu
pelayanan. Kedua faktor ini harus bertemu di satu titik, artinya kebutuhan dan
harapan harus sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Menurut Supriyanto (2010), dalam pemasaran industri jasa kesehatan, ada
beberapa prinsip pemilihan tempat, yaitu:
1. Availability, ketersediaan jenis atau variasi jasa secara lengkap.
2. Accessibility (keterjangkauan), yang meliputi:
Aspek fisik (geografis, ekonomis, lokasi strategis, kebersihan)
Aspek sosio-emosional (memenuhi selera)
3. Equity, keadilan dan pemerataan bagi yang benar-benar membutuhkan.
4. Acceptance, respon penerimaan masyarakat terkait dengan tempat parkir,
keamanan, kenyamanan, prosedur kontak atau transaksi, proses penyampaian.
11
5. Pengembangan Sistem Rujukan, misalnya: satelit layanan, kemitraan, dan
kelas jauh.
6. Services Consistency, kesesuaian dengan promosi yang dijanjikan.
7. Legalitas, sah tidaknya suatu tempat pelayanan kesehatan. Misalnya: perizinan
tempat atau perizinan usaha.
8. Comport and Convenience, tempat nyaman dan menyenangkan.
12
Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan tingkah laku sacara
sukarela pada diri klien (klien ingin mengubah tingkah lakunya dan meminta
bantuan kepada konselor).
Maksud dan tujuan konseling adalah menyediakan kondisi-kondisi yang
memudahkan terjadinya perubahan secara sukarela (kondisi untuk meberi hak
individu untuk membuat perilaku untuk tidak tergantung pada pembimbing)
Usaha-usaha untuk memudahkan terjadinya perubahan tingkah laku dilakukan
melalui wawancara (walaupun konseling selalu dilakukan dalam wawancara
tetapi tidak semua wawancara dapat diartikan sebagai konseling).
Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam konseling tetapi tidak
semua konseling adalah mendengarkan.
Konseling dilaksanakan dalam hubungan pribadi antara konselor dan klien.
Hasil pembicaraan itu bersifat rahasia.
Berdasarkan definisi dan pengertian konseling yang telah dikemukakan
sebelumnya dapat dirumuskan dengan singkat bahwa konseling adalah proses
pemberian bantuan yang dilakukan dalam hubungan tatap muka antara seorang
ahli (yaitu orng yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus dan terlatih
secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling disebut konselor) dan seorang
individu yang mengalami suatu permasalahan (disebut klien) yang bermuara pada
teratasinya maslaah yang dialami oleh klien.
Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling, maka
tujuan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampa yang
lebih komperhensif. Tujuan konseling dapat terentang dari sekadar klien
mengikuti kemauankemauan konselor sampai pada masalah pengambilan
keputusan, pengembengan masalah, pengembangan pribadi, penyembuhan dan
penerimaan diri sendiri. (Thompson Rudolf dalam Priyatno dan amti, 1994 : 114).
13
2.4. Penggunaan APD yang baik dan tepat
14
Tingkat ketiga bagi tenaga kesehatan yang bekerja kontak langsung dengan
pasien yang dicurigai atau sudah konfirmasi Covid-19 dan melakukan tindakan
bedah yang menimbulkan aerosol, maka APD yang dipakai harus lebih lengkap
yaitu penutup kepala, pengaman muka, pengaman mata atau google, masker N95,
cover all, sarung tangan bedah dan sepatu boots anti air.
Sedangkan untuk penanganan Covid-19 terhadap tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan bedah, nebulisasi, atau dokter gigi yang memungkinkan
memicu keluarnya aerosol, drg. Arianti menekankan harus memakai masker N95.
Masker N95 terdiri dari 4 lapisan dan mempunyai kemampuan lebih kuat
dibandingkan masker bedah sehingga selain mampu menahan cairan darah dan
droplet juga mampu menahan aerosol. Bagian lain yang sangat penting dari APD
adalah cover all. Ada berbagai macam cover all yang sekarang beredar di
masyarakat. Spesifikasinya terdiri dari pelindung kepala sampai kaki. Penggunaan
cover all ini sangat penting disesuaikan dengan tingkat risiko penularan. Jika
tenaga kesehatan bekerja di area dengan tingkat infeksi yang tinggi maka
diharuskan menggunakan cover all yang mampu menahan cairan daran, droplet,
dan aerosol.
15
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
16
4. Acceptance, respon penerimaan masyarakat terkait dengan tempat parkir,
keamanan, kenyamanan, prosedur kontak atau transaksi, proses
penyampaian.
5. Pengembangan Sistem Rujukan, misalnya: satelit layanan, kemitraan, dan
kelas jauh.
6. Services Consistency, kesesuaian dengan promosi yang dijanjikan.
7. Legalitas, sah tidaknya suatu tempat pelayanan kesehatan. Misalnya:
perizinan tempat atau perizinan usaha.
8. Comport and Convenience, tempat nyaman dan menyenangkan.
3.2. Saran
Menurut kesimpulan serta keterbatasan yang disajikan sebelumnya,
berikut beberapa saran yang dapat diberikan:
1. Bagi penelitian berikutnya, demi menghasilkan penelitian yang lebih
akurat, proses penelitian dapat dilakukan tidak hanya pada tempat
kesehatan
2. Bagi tenaga kesehatan, menurut hasil penelitian yang diperoleh, harus
lebih memperketat APD yang digunakkan dan harus tetap jaga kesehatan
17
18
DAFTAR PUSTAKA
https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/kondisi-geografis-menjadi-faktor-minimnya-
akses-kesehatan-masyarakat-daerah-terpencil/
http://repo.unand.ac.id/22762/1/edit-kebidanan%20komunitas%20lusiana%20edit.pdf
https://akademiklama.umsida.ac.id/wp-content/uploads/2019/12/24.-DOKUMEN-
KURIKULUM-FINAL_FIKES_PROFESI-BIDAN.pdf
http://repository.litbang.kemkes.go.id/1359/1/892-1870-1-PB.pdf
http://repository.unissula.ac.id/15663/5/babI.pdf