Anda di halaman 1dari 14

CARA PANDANG BARU TERHADAP THE HYGIENE HYPOTHESIS

Caesar Lagaliggo Givani


Gatot Soegiarto

PENDAHULUAN

Hygiene hypothesis merupakan sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh Dr.
David Strachan pada tahun 1989, berdasarkan pengamatan epidemiologis terhadap kejadian alergi
yang meningkat tajam di beberapa negara maju. Strachan, dalam penelitiannya, beranggapan
bahwa peningkatan insiden penyakit alergi yang terjadi pada waktu itu mungkin disebabkan oleh
menurunnya paparan infeksi pada awal masa kehidupan seorang anak. Walaupun Strachan sendiri
awalnya tidak pernah menyebutnya sebagai hipotesis (Strachan, 1989), kalangan akademisi
kemudian menyebutnya dengan nama hygiene hypothesis—istilah yang melekat sampai saat ini.

Konsep tersebut telah menarik banyak perhatian dan menimbulkan pro-kontra. Beberapa
peneliti berikutnya yang mendukung hygiene hypothesis, antara lain adalah von Mutius (von
Mutius et al., 1994), Bordner (Bodner et al., 1998), Krämer (Krämer et al., 1999), Ownby (Ownby
et al., 2002), dan Genuneit (Genuneit et al., 2013), yang mengemukakan bahwa infeksi pada awal
masa kehidupan anak dapat menurunkan resiko kejadian alergi. Sayangnya, tidak sedikit pula
yang beranggapan bahwa konsep hygiene hypothesis tidak konsisten karena tidak semua infeksi
menurunkan insiden alergi (Lambrecht and Hammad, 2017). Rook (2003) mengkritik hygiene
hypothesis dengan mengatakan bahwa disregulasi imun yang terjadi pada pasien dengan penyakit
atopik tidak ada kaitannya dengan hygiene dan sanitasi; melainkan karena berkurangnya paparan
terhadap mikroba baik—yang kemudian disebut Rook dengan istilah old friend (Rook et al.,
2003). Parker (2014) menyatakan dengan tegas bahwa istilah hygiene hypothesis merupakan
istilah yang cenderung menyesatkan, sehingga seharusnya diganti dengan istilah biome depletion
(Parker, 2014).

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan metode untuk mendeteksi keberadaan
mikrobiota, saat ini diketahui bahwa hampir tidak ada bagian tubuh kita yang steril atau bebas
dari mikrobiota. Justru komposisi dan keseimbangan mikrobiota itulah yang ikut mempengaruhi
sistem imun seseorang, yang pada akhirnya dapat mengarah pada penyakit, termasuk penyakit
alergi atopik. Perkembangan teknologi sequencing telah mengubah cara pandang kita terhadap
hygiene hypothesis. Makalah ini akan membahas secara ringkas tentang: sejarah hygiene
hypothesis, pro-kontra terhadap teori tersebut, perkembangan baru deteksi mikrobiota dan
implikasinya pada cara pandang baru terhadap hygiene hypothesis, serta dysbiosis dan peranannya
pada patogenesis alergi.

Tinjauan Pustaka Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair -


RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2 Januari 2019 1
SEJARAH THE HYGIENE HYPOTHESIS

Konsep yang serupa dengan hygiene hypothesis sebenarnya sudah pernah diutarakan oleh
Gerrard pada tahun 1977 (Gerrard et al., 1977). Kala itu, Gerrard yang sedang meneliti komposisi
imunoglobulin pada kaum kulit putih dan kaum pribumi di Kanada secara tidak sengaja
menemukan bahwa angka kejadian alergi pada kaum pribumi (yang masih kurang tingkat
higienitasnya dibandingkan dengan kaum kulit putih saat itu) lebih rendah dibanding kaum kulit
putih. Gerrard menduga bahwa fenomena tersebut berkaitan dengan menurunnya prevalensi
penyakit akibat infeksi virus, bakteri, dan cacing pada kaum kulit putih.

Baru pada tahun 1988 istilah hygiene hypothesis diperkenalkan oleh David Barker pada
penelitiannya yang mengkaitkan insiden apendisitis dengan tingkat kebersihan seorang anak
(Barker and Morris, 1988; Barker et al., 1988). Istilah hygiene kemudian dipakai oleh Dr. David
Strachan pada tahun 1989 untuk menjelaskan fenomena peningkatan prevalensi penyakit alergi,
yaitu bahwa: paparan infeksi pada awal masa kanak-kanak dapat mencegah munculnya penyakit
alergi (Strachan, 1989).

Dalam tulisannya, Strachan mengamati bahwa angka kejadian asma dan penyakit atopi
meningkat dalam 30 tahun terakhir — suatu epidemi yang terjadi bertepatan dengan era pasca
revolusi industri. Strachan mengamati lebih dari 17.000 bayi sebagai subyek penelitianyang
diikuti sampai usia 23 tahun, untuk melihat hubungan antara kejadian rhinitis alergi dengan 16
faktor sosial dan lingkungan. Ia mendapatkan bahwa kejadian alergi berhubungan terbalik dengan
jumlah saudara dalam suatu keluarga. Strachan menduga bahwa kejadian infeksi pada awal masa
kanak-kanak, yang ditularkan dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga lainnya dapat
mencegah munculnya penyakit alergi. Pada anak-anak dari keluarga yang lebih berada, dimana
jumlah anggota keluarga lebih sedikit, fasilitas kesehatan lebih tersedia, dan perilaku kebersihan
lebih baik, kemungkinan terjadinya infeksi menurun; yang berdampak pada meningkatnya
kejadian penyakit alergi (Strachan, 1989).

Hipotesis Strachan dibangun dengan longgar tanpa uraian atau batasan yang terperinci, dan
hanya didasarkan pada asumsi logis bahwa anak dengan jumlah saudara yang lebih banyak
memiliki kemungkinan terkena penyakit infeksi lebih sering daripada anak dengan jumlah saudara
yang sedikit.

PRO DAN KONTRA TENTANG THE HYGIENE HYPOTHESIS

Teori hygiene hypothesis kemudian diekstrapolasi dengan menggunakan parameter lain


sebagai indikator infeksi. Strachan sendiri—setelah mencetuskan hygiene hypothesis—dan dua
studi yang lain menggunakan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah sebagai indikator
terjadinya infeksi (von Mutius et al., 1994; Strachan et al., 1996; Bodner et al., 1998). Peneliti-
peneliti tersebut menemukan bahwa jumlah anggota keluarga dalam satu rumah berhubungan
terbalik dengan resiko terjadinya rhinitis alergi. Meski demikian, dalam tulisan yang sama,

2
Strachan dan Bodner juga menemukan bahwa kejadian infeksi pada 1 bulan pertama kehidupan
bukan merupakan faktor protektif terhadap rhinitis alergi (Strachan et al., 1996; Bodner et al.,
1998). Sehingga, jika jumlah anggota keluarga yang sedikit dalam satu rumah memang
meningkatkan resiko alergi, kemungkinan hal tersebut bukan terjadi karena penurunan frekuensi
infeksi.

Studi lain oleh Krämer (1999) beranggapan bahwa bila memang hygiene hypothesis itu
benar adanya, maka seorang anak yang lebih cepat terpapar dengan dunia luar akan lebih jarang
terkena alergi. Krämer mewawancarai 2.400 subyek pada studi cross-sectional dan
menyimpulkan bahwa seorang anak yang lebih awal dititipkan di tempat penitipan anak akan lebih
jarang terkena alergi (Krämer et al., 1999). Penemuan Krämer memang mendukung hygiene
hypothesis, meski dalam penelitiannya tidak diamati dengan pasti apakah terjadi peningkatan
frekuensi penyakit infeksi pada anak-anak yang lebih awal dititipkan di tempat penitipan anak.

Parameter lainnya yang juga mulai diteliti adalah paparan lingkungan. Ownby (2002),
misalnya, berusaha melihat hubungan antara kontak dengan hewan peliharaan dan kejadian alergi
(Ownby et al., 2002). Pada masa yang lain, Genuneit (2013) meneliti kejadian alergi pada anak
yang tinggal di lingkungan peternakan (Genuneit et al., 2013). Baik Ownby maupun Genuneit
menemukan bahwa kurangnya paparan lingkungan meningkatkan resiko kejadian alergi—sesuai
dengan teori hygiene hypothesis.

Untuk bisa lebih memperkuat bukti empiris bagi hygiene hypothesis, beberapa studi
langsung mengkaitkan kejadian alergi dengan insiden penyakit infeksi. Studi oleh Ball dan Illi
melaporkan bahwa kejadian infeksi saluran pernafasan pada tahun pertama kehidupan
menurunkan prevalensi asma hingga usia 7 tahun (Ball et al., 2000, 2002; Illi et al., 2001). Studi
oleh Matricardi, dengan menggunakan data dari Third National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES III), bahkan menunjukkan bahwa responden dengan riwayat infeksi
gastrointestinal, seperti infeksi virus Hepatitis A, Toxoplasma gondii, dan infeksi virus herpes
simpleks 1, akan memiliki peluang lebih kecil terkena rhinitis alergi dan asma (Matricardi et al.,
2002).

Tak hanya itu, beberapa peneliti kemudian juga berusaha mencari patofisiologi hygiene
hypothesis melalui teori imunologi. Mengacu pada penemuan Mosmann (1986) akan adanya 2
subtipe sel T-helper limfosit, yaitu T-helper 1 (TH1) dan T-helper 2 (TH2) (Mosmann et al., 1986),
pada proses alergi, sel TH2 berperan lebih utama dengan mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-6,
merangsang produksi antibodi, degranulasi sel mast, dan menimbulkan reaksi alergi (Abbas et al.,
2016). Pada anak dengan riwayat infeksi, prekursor T-helper akan terpicu untuk berpolarisasi ke
arah TH1, menghasilkan IL-2, TNFα, dan IFNγ, yang pada waktu bersamaan akan menekan
proliferasi ke arah TH2 (Oriss et al., 1997).

Sayangnya, meski tampak meyakinkan, hygiene hypothesis dianggap inkonsisten karena


ternyata tidak semua kejadian infeksi menurunkan risiko alergi (Lambrecht and Hammad, 2017).

3
Studi oleh Jarvis (1997), contohnya, mendapatkan hubungan negatif antara jumlah anggota
keluarga dengan kejadian alergi (Jarvis et al., 1997). Studi lain oleh Benn (2004) dan Ramette
(2018) bahkan menemukan bahwa infeksi yang simptomatis ternyata tidak memberikan proteksi
terhadap risiko alergi (Benn et al., 2004; Ramette et al., 2018). Upaya mencegah kejadian infeksi
simptomatis pada anak justru dapat mengurangi risiko terjadinya asma sampai usia 27 tahun
(Rantala et al., 2015).

Landasan imunologi hygiene hypothesis juga dipertanyakan ketika peneliti menyadari


bahwa infeksi parasit, yang juga diperantarai oleh T H2, ternyata juga menurunkan prevalensi
alergi dan asma (Maizels et al., 2014). Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pasien-pasien
dengan infestasi Schistosoma (van den Biggelaar et al., 2000) dan Ascaris (Scrivener et al., 2001)
lebih jarang mengalami alergi. Konsep keseimbangan T H1 dan TH2 dianggap gagal menjelaskan
fakta bahwa ketika seseorang telah mengalami asma atau alergi, korelasi antara kejadian infeksi
dan alergi menjadi terbalik—paparan mikroba malah memperburuk manifestasi alergi (Liu and
Murphy, 2003).

Pada tahun 2003, Rook pertama kali melayangkan kritik terhadap hygiene hypothesis. Rook
menyatakan bahwa pasien dengan penyakit atopik memang mengalami disregulasi imun, namun
hal tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan hygiene dan sanitasi. Menurut Rook, manusia
telah lama hidup berdampingan dengan berbagai mikroba baik—yang disebut Rook dengan istilah
old friend—yang sudah ada bahkan sejak jaman manusia primitif. Sayangnya, kebiasaan manusia
modern, seperti perubahan pola makan, urbanisasi, dan penggunaan antibiotik, telah mengganggu
hubungan komensal antara manusia dengan mikroba baik tersebut. Padahal, mikroba tersebut
menjalankan berbagai fungsi metabolisme; dan manusia sangat tergantung pada hasil metabolit
tersebut (Rook et al., 2003).

Dalam penelitiannya, Rook juga memperkenalkan adanya peranan Treg, yang berfungsi
meregulasi sistem imun dalam proses terjadinya alergi. Rook menggambarkan sistem imun
manusia seperti sebuah komputer, yang memang canggih, namun memerlukan input data dalam
memorinya agar bisa digunakan dengan baik. Kurangnya paparan dengan mikroba komensal
membuat Treg kurang mahir membedakan mana stimuli yang perlu diserang dan mana stimuli yang
harus ditoleransi. Jadi, bukan penyakit infeksi yang mencegah terjadinya penyakit atopik,
melainkan paparan dengan mikroba baik tersebut. Sesuai dengan istilah yang digunakan Rook,
teori ini akhirnya dikenal dengan sebutan old friend hypothesis (Rook et al., 2003).

Sepuluh tahun kemudian, William Parker (2014) dengan tegas menyatakan bahwa teori
hygiene hypothesis merupakan istilah yang salah. Strachan memang sudah mengidentifikasi
bahwa ada keanekaragaman mikroba yang hilang—yang menyebabkan munculnya alergi—
namun salah mengambil kesimpulan dengan membuat premis awal bahwa infeksi pada awal masa
kehidupan seorang anak dapat menurunkan risiko terjadinya alergi. Menurut Parker, mikroba yang
hilang tersebut bukan merupakan mikroba patogenik, melainkan mikroba komensal. Sehingga,

4
penggunaan istilah hygiene pada hygiene hypothesis adalah istilah yang kurang tepat, bahkan
terkesan dapat menyesatkan masyarakat, karena pandangan masyarakat selama ini mengkaitkan
hygiene dengan budaya cuci tangan, air bersih untuk minum, dan sanitasi toilet yang baik. Istilah
yang lebih tepat digunakan adalah biome depletion (Parker, 2014).

Pro dan kontra tentang the hygiene hypothesis akan terus terjadi jika masing-masing
kelompok ingin memaksakan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Dengan berlalunya
waktu, penemuan-penemuan baru di bidang imunologi dan deteksi mikrobiota telah membuka
wawasan baru dan pemahaman yang semakin baik mengenai respons imun dan regulasinya.
Sebagian besar ilmuwan yang berpandangan netral masih tetap menggunakan istilah hygiene
hypothesis dengan makna yang baru dan penjelasan teoritis yang baru untuk menjembatani
kesenjangan-kesenjangan atau inkonsistensi pada the hygiene hypothesis yang awal.

PERKEMBANGAN BARU DALAM DETEKSI MIKROBIOTA

Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, banyak studi mulai dikembangkan


untuk menjawab perselisihan pro-kontra mengenai hygiene hypothesis: antara lain dengan
berusaha mengetahui dengan pasti komposisi mikrobiota dalam tubuh manusia, peranannya, dan
interaksi antara manusia dengan mikrobiota dan mikrobiota dengan mikrobiota. Kemajuan ilmu
menunjukkan bahwa manusia bersimbiosis dengan lebih dari 10 14 mikroorganisme (Savage,
1977), dan bahwa sebagian besar dari mikroorganisme tersebut tidak bisa dideteksi dengan
metode kultur klasik yang selama ini kita kenal (Eckburg et al., 2005). Akibatnya banyak
penelitian gagal mempelajari dinamika mikroba dalam tubuh manusia karena mikroba yang tidak
bisa dikultur selalu dianggap tidak ada. Padahal, mikroba yang tidak dikenal tersebut mungkin
justru memainkan peran lebih penting daripada mikroba yang selama ini kita kenal (Arnold et al.,
2016).

Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan sangat banyak metode penelitian modern
tentang mikrobioma. Agar lebih mudah dimengerti, metode-metode tersebut dikelompokkan
menjadi 2 bagian: (1) metode yang mempelajari struktur anatomi mikrobioma, dan (2) metode
yang mempelajari fungsi mikrobioma (Young, 2017).

Metode untuk mempelajari anatomi mikrobioma yang sekarang populer adalah penelitian
berbasis DNA. Sebagai acuan, digunakan gen DNA sequence dari 16S rRNA mikroba. Cara ini
cukup mudah karena kita dapat langsung mengekstraksi DNA dari sampel, tanpa harus melakukan
kultivasi. Lebih jauh, dengan munculnya teknologi PCR, saat ini kita dengan mudah dapat meng-
amplifikasi gen mikroba walaupun jumlahnya sedikit. Susunan DNA ini kemudian dibaca
menggunakan high throughput DNA sequence analysis (Young, 2017). Terdapat 2 cara untuk
menganalisis DNA sequence tersebut. Cara yang pertama bisa menggunakan metode Operational
Taxonomy Unit (OTU)—yang mengacu pada gagasan Robert R. Sokal (Sokal, 1963). OTU
merupakan sistem pengelompokkan, dimana semua bakteri yang sudah diketahui disusun

5
berdasarkan kemiripan sequence DNAnya. Cara yang kedua menggunakan sistem database
berdasarkan DNA sequencing yang sudah pernah diteliti sebelumnya. Sistem ini sudah tersedia
dan dipopulerkan dalam bentuk software siap pakai, seperti Mothur (Schloss et al., 2009) dan
Quantitative Insights into Microbial Ecology (QIIME) (Caporaso et al., 2010) yang dapat diakses
bebas oleh peneliti dari belahan dunia manapun. Peneliti dapat dengan mudah memasukkan DNA
sequence yang sudah dianalisis ke dalam database untuk kemudian mencari apakah sudah pernah
ada DNA sequence yang mirip (Arnold et al., 2016).

Meski tampak menarik, metode penelitian struktural tidak dapat mengevaluasi kinerja
suatu mikrobiota. Contohnya, metode tersebut tidak dapat membedakan E.coli yang baik atau
E.coli yang patogenik. Sehingga, dikembangkan metode metagenomic sequence analysis agar
dapat mengetahui komposisi seluruh genome yang terdapat dalam sampel yang dikehendaki.
Teknik ini diawali dengan ekstraksi DNA, namun tidak perlu menggunakan PCR untuk
mengamplifikasi bagian gen tertentu, melainkan langsung dilakukan high throughput sequencing
(Morgan and Huttenhower, 2014). Metode ini dibantu dengan teknologi iChip, misalnya, yang
merupakan plate dengan multi-chamber yang dapat digunakan untuk mengisolasi dan
mengkultivasi jutaan mikroba sekaligus, termasuk jenis-jenis mikroba yang tidak dapat dikultur
secara klasik (Nichols et al., 2010). Tidak hanya itu, fungsi mikrobiota juga dapat diteliti dengan
proteomic and metabolomic analysis, menggunakan advanced mass spectroscopy untuk menilai
seluruh komposisi protein dan metabolit dalam sebuah mikrobioma tertentu (Young, 2017).
Penelitian dengan hewan coba saat ini sudah dapat dilakukan pada hewan coba gnotobiotik, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan germ-free mice, yang memungkinkan peneliti mengkultur
mikroba spesifik dan mempelajari interaksi mereka (Faith et al., 2010).

Pada akhirnya, semua penemuan ini membuat kita sekarang menyadari bahwa dalam tubuh
manusia terdapat mikrobioma, yaitu mikroorganisme beserta materi genetiknya yang secara
keseluruhan membentuk ekosistem tersendiri dalam tubuh manusia (Marchesi and Ravel, 2015).
Ekosistem di satu ceruk tertentu disebut mikrobiota (Young, 2017). Patut dipahami bahwa
mikrobioma yang dimaksud tidak hanya mengacu pada bakteri tertentu, melainkan juga termasuk
segala jenis archaea, jamur, virus, dan protozoa yang mengkolonisasi area tertentu dalam tubuh
manusia—dan habitatnya secara keseluruhan dalam satu kesatuan. Sehingga, ketika menyebut gut
microbiome, yang dimaksud bukan hanya mikroorganisme yang ada di saluran gastrointestinal
(GI), melainkan juga termasuk epitel GI, komponen sistem imun, dan semua metabolit yang
dihasilkan dari simbiosis host-agent-environment (Young, 2017). Seseorang disebut memiliki
mikrobiota yang sehat tergantung pada: (1) diversity, yaitu komposisi keanekaragaman
mikrobiomanya, (2) stability, yaitu kemampuan seseorang mempertahankan mikrobiomanya pada
kondisi dan fungsi yang normal, (3) resistance, yaitu ketahanannya menghadapi paparan tertentu,
dan (4) resilience, yaitu seberapa besar stress yang masih bisa ditoleransi oleh individu tersebut
agar mikrobiomanya tetap dalam kondisi normal (Lozupone et al., 2012).

6
Jadi, kembali pada hygiene hypothesis, hasil-hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa
bukan infeksi simptomatis yang dapat mencegah alergi, melainkan ketidakseimbangan komposisi
mikrobioma—atau yang disebut dysbiosis—yang menyebabkan pergeseran sistem imun menjadi
lebih sensitif (Arnold et al., 2016).

DYSBIOSIS DAN ALERGI

Dysbiosis dideskripsikan sebagai perubahan komposisi dan fungsi dari mikrobiota, yang
disebabkan oleh faktor host dan environment yang mengganggu mikrobioma sampai pada titik
yang melebihi kemampuan ekosistem tersebut untuk mempertahankan komposisi dan fungsinya
pada kondisi normal (Levy et al., 2017)—atau secara sederhana dipahami sebagai
ketidakseimbangan mikrobiota (Huang et al., 2017). Sayangnya definisi ini masih sering
diperdebatkan karena sampai hari ini belum ada standar tertentu mengenai mikrobiota normal
yang bisa dijadikan acuan ketika menyatakan seseorang memiliki mikrobiota yang tidak
seimbang. Perlu disadari pula bahwa setiap individu, dengan perbedaan usia, jenis kelamin, ras,
dan pola lingkungan, tentu akan memiliki komposisi dan fungsi mikrobiotanya masing-masing—
dan semuanya jelas bermanfaat bagi individu tersebut secara spesifik untuk mempertahankan
kehidupannya. Kedua, dengan definisi “tidak seimbang”, dysbiosis sering disalahartikan sebagai
sesuatu yang negatif dan berbahaya. Padahal, dysbiosis sebenarnya termasuk usaha manusia dan
ekosistem mikrobiotanya untuk mempertahankan kehidupannya. Sehingga, seorang manusia yang
bermigrasi ke tempat lain, misalnya, mungkin mengalami dysbiosis agar dapat lebih
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, dalam hal ini jelas merupakan dysbiosis yang
bermanfaat (Levy et al., 2017).

Dysbiosis sendiri bisa terjadi karena beberapa faktor. Faktor yang sering disinggung
adalah paparan mikroba pada awal masa kehidupan, baik selama masa kehamilan, proses
persalinan, dan selama masa bayi. Studi oleh Aagaard, misalnya, menunjukkan bahwa sejak dalam
kandungan, plasenta sudah memperantarai transfer mikrobioma dari ibu ke janin (Aagaard et al.,
2014). Studi lain oleh Dominguez membandingkan komposisi mikrobiota pada bayi yang lahir
pervaginam dan melalui operasi Caesar; dan didapatkan bahwa pada bayi yang lahir pervaginam
komposisi mikrobiotanya didominasi oleh spesies Lactobacillus, Prevotella, Atopobium, dan
Sneathia, yang sesuai dengan komposisi mikrobiota vagina ibu. Sedangkan pada bayi yang lahir
per-abdominam, komposisi mikrobiotanya didominasi oleh spesies Staphylococcus, yang mirip
komposisi mikrobiota kulit ibu (Dominguez-Bello et al., 2010). Hal ini juga didukung oleh studi
epidemiologis yang menemukan bahwa bayi lahir per-abdominam akan lebih berisiko terkena
asma (Thavagnanam et al., 2008). Olszak dalam penelitiannya mencoba menjelaskan fenomena
tersebut dengan menggunakan germ-free mice. Olszak menemukan bahwa germ-free mice
memiliki jumlah invariant natural killer T-cells (iNKT) yang jauh lebih tinggi daripada tikus

7
biasa. Padahal sel iNKT ini menghasilkan IFN-γ dan IL-4 yang berperan penting untuk toleransi
imun (Olszak et al., 2012).

Faktor lain yang juga tak kalah sering kita dengar adalah faktor gaya hidup, seperti
perubahan pola makan dan konsumsi obat-obatan, serta makanan tambahan. Studi dengan mencit
menunjukkan bahwa mencit yang diberi makan low-fiber diet memiliki keanekaragaman
mikrobiota yang lebih sedikit (Sonnenburg et al., 2016), begitu pula pada mencit yang diberi
makan high-fat diet (Denou et al., 2016). Hal ini berusaha dijelaskan dengan keberadaan short
chain fatty acid (SCFA). Tidak semua makanan yang kita makan akan habis diserap di usus halus,
terutama karbohidrat kompleks, seperti serat. Sisa-sisa penyerapan ini akan masuk ke kolon dan
difermentasi oleh mikroba kolon, menghasilkan SCFA, seperti asetat, propionat, dan butyrat (Qin
et al., 2010). Trompette melakukan penelitian pada mencit yang diberi serat dalam jumlah
bervariasi dan menemukan bahwa mencit yang diberi makan tinggi serat memiliki SCFA lebih
banyak. SCFA seperti propionat dapat menstimulasi sel Foxp3 +CD25+CD4+ Treg dan
mempengaruhi proses maturasi sel dendritik sehingga tidak berpolarisasi ke arah T H2. Sebaliknya,
pada mencit yang diberi makan rendah serat, didapatkan lebih banyak IL-4, IL-5, IL-13, dan IL-
17A, IgE, dan peningkatan produksi mukus di paru yang berujung pada asma. Dari komposisi
mikrobiotanya, Trompette menemukan bahwa mencit yang diberi makan rendah serat didominasi
oleh Firmicutes, sedangkan mencit yang diberi makan tinggi serat didominasi oleh
Bacteroidaceae dan Bifidobacteriaceae (Trompette et al., 2014). Fenomena ini juga dibuktikan
pada penelitian yang melibatkan bayi-bayi usia 3 bulan, dimana pada bayi atopik ditemukan
jumlah asetat yang lebih rendah (Arrieta et al., 2015). Dengan demikian, tak ayal lagi bahwa
semakin maraknya penggunaan antibiotik irasional dapat mengubah komposisi mikrobiota
tersebut (Metsälä et al., 2015). Tidak hanya itu, studi terbaru juga menunjukkan bahwa pemanis
buatan (Suez et al., 2014) dan emulsifier (Chassaing et al., 2015) ternyata dapat mengganggu
komposisi mikrobiota, meski belum diketahui mekanismenya.

Penyebab dysbiosis yang lain adalah infeksi dan inflamasi. Studi pada mencit menemukan
bahwa infeksi Citrobacter rodentium (Lupp et al., 2007) dan Salmonella enterica (Stecher et al.,
2007) akan menyebabkan kompetisi dengan mikroba komensal, sehingga mengganggu komposisi
dan fungsi mikrobiota normal.

Bagaimana dysbiosis bisa menyebabkan alergi? Sebagian besar mikroba ini berada dalam
usus (de Vos and de Vos, 2012), karena usus yang kaya nutrisi merupakan ekosistem terbaik yang
dapat menyediakan energi bagi mikrobiota. Sebagai lapisan pertama yang kontak langsung
dengan mikrobiota, sel epitel usus akan mensekresi thymic stromal lymphopoeitin (TSLP) dan
TGF-β, yang akan menginduksi sekresi sitokin tolerogenik oleh sel dendritik (Hill and Artis,
2010). Sitokin ini akan memfasilitasi perkembangan Treg dan diferensiasi sel plasma menjadi IgA
agar sistem imun menjadi lebih toleran terhadap mikroba (Rescigno and Di Sabatino, 2009). Treg
merupakan sel T yang secara spesifik dilatih di timus untuk menekan kinerja subset sel T lainnya,

8
untuk mencegah terjadinya reaksi imun yang berlebihan. Akan tetapi studi menunjukkan adanya
‘pelatihan lain’ yang terjadi di perifer setelah sel Treg dilepaskan dari timus—yaitu melalui
interaksi dengan bakteri komensal di usus (Brown et al., 2013). Hal ini dibuktikan dengan
keberadaan reseptor sel T rantai α yang lebih heterogenik pada Foxp3 + Treg di lamina propria
kolon dibandingkan sel Treg di kelenjar limfe (Kuhn and Stappenbeck, 2013). Tanpa adanya
‘pelatihan’ dari bakteri komensal, sel Treg menjadi kurang kompeten untuk membedakan antigen
patogenik atau non-patogenik (Brown et al., 2013). Studi lain menyatakan bahwa diperlukan
peranan bakteri komensal untuk mengaktivasi sel Treg RORγt + di kolon, yang berperan penting
untuk menekan kerja TH2 (Ohnmacht et al., 2015).

Sebagai salah satu jaringan mukosa, sistem imun yang terbentuk di usus juga akan
terbentuk di jaringan mukosa lainnya, seperti di paru dan kulit (Gill et al., 2010). Hal ini
dibuktikan oleh sebuah studi yang menggunakan mencit germ-free, yang melaporkan bahwa
mencit tanpa paparan mikrobiota memiliki Peyer patch yang lebih sedikit, germinal center yang
lebih kecil, dan jumlah sel plasma yang lebih sedikit (Round and Mazmanian, 2009). Keberadaan
mikrobiota jelas dapat menstimulasi sel Paneth (Cash et al., 2006), proliferasi sel T CD4+
(Cording et al., 2013), diferensiasi sel TH17 (Shaw et al., 2012), dan akumulasi sel Treg (Atarashi
et al., 2011).

Studi lain tentang komposisi mikrobiota menunjukkan bahwa mikrobiota intestinal


manusia didominasi oleh Bacteroidetes dan Firmicutes (Zoetendal et al., 2008). Dengan
menggunakan analisis metagenomik, didapatkan bahwa 40% gen mikroba manusia ditemukan
juga pada populasi umum — menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat susunan mikroba dasar
yang seharusnya dimiliki seorang individu (Qin et al., 2010). Bila terjadi dysbiosis, maka
komposisi dan fungsi mikrobiota tersebut akan bergeser. Studi menunjukkan bahwa anak-anak
atopik biasanya memiliki jumlah Bacteroides, Clostridium, dan Escherichia yang meningkat serta
penurunan jumlah Lactobacillus dan Enterococcus (Sepp et al., 1997; Björkstén et al., 1999;
Kalliomäki et al., 2001; Hua et al., 2016). Padahal, studi DIABIMMUNE menujukkan bahwa
LPS E.coli cenderung mengaktifkan sistem imun, sedangkan LPS Bacteroides cenderung
menetralkan sistem imun. Akibatnya, anak-anak dengan E.coli yang berlebih akan cenderung
terkena alergi (Round and Mazmanian, 2009). Dalam penelitian lain, didapatkan bahwa
Clostridium jenis tertentu (Atarashi et al., 2011) dan Bacteroides fragilis (Telesford et al., 2015)
diketahui dapat meningkatkan perkembangan Treg, sedangkan segmented filamentous bacteria
(SFB) dapat meningkatkan perkembangan TH17 (Ivanov et al., 2009).

9
RINGKASAN

The hygiene hypothesis pertama kali diungkapkan oleh David Strachan untuk menjelaskan
peningkatan prevalensi penyakit alergi di era pasca industrialisasi. Hingga 30 tahun setelah the
hygiene hypothesis dicetuskan masih tetap terjadi pro dan kontra apakah teori itu dapat diterima
atau apakah istilah itu merupakan istilah yang tepat. Masing-masing pihak telah mengemukakan
argumentasinya. Penemuan-penemuan baru di bidang imunologi dan identifikasi mikrobiota telah
membuka wawasan baru yang memungkinkan kita memaknai the hygiene hypothesis dengan
pengertian baru dan menjelaskan mekanismenya melalui paradigma baru.

Saat ini dipahami bahwa paparan mikroba dan faktor-faktor lain dari lingkungan dapat
mempengaruhi keseimbangan komposisi mikrobiota dalam tubuh. Ketidakseimbangan komposisi
mikrobiota – disebut sebagai dysbiosis – diyakini dapat mempengaruhi regulasi respons imun
yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit alergi dan inflamasi.
Pemahaman baru tersebut telah membuka wacana baru untuk menggunakan mikroba atau produk-
produknya sebagai sarana terapi pada penyakit-penyakit alergi maupun penyakit-penyakit
inflamasi. Pengembangan konsep tersebut masih belum selesai dan di masa mendatang
diharapkan muncul temuan-temuan baru yang akan semakin meningkatkan pemahaman kita
terhadap regulasi respons imun serta interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan
(termasuk mikrobiota) yang mempengaruhinya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aagaard K, Ma J, Antony KM, Ganu R, Petrosino J & Versalovic J, 2014. The placenta harbors a
unique microbiome. Science Translational Medicine, 6(237): 237ra65. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24848255. [Accessed on: 24 October 2018]
Abbas AK, Lichtman AH & Pillai S, 2016. Basic Immunology: Functions and Disorders of the
Immune System, 5th edn, Elsevier, Missouri.
Arnold JW, Roach J & Azcarate-Peril MA, 2016. Emerging Technologies for Gut Microbiome
Research. Trends in Microbiology, 24(11): 887–901.
Arrieta MC, Stiemsma LT, Dimitriu PA, Thorson L, Russell S, Yurist-Doutsch S, Kuzeljevic B,
Gold MJ, Britton HM, Lefebvre DL, Subbarao P, Mandhane P, Becker A, McNagny KM,
Sears MR, Kollmann T, Mohn WW, Turvey SE & Finlay BB, 2015. Early infancy microbial
and metabolic alterations affect risk of childhood asthma. Science Translational Medicine,
7(307): 307ra152. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26424567.
[Accessed on: 24 October 2018]
Atarashi K, Tanoue T, Shima T, Imaoka A, Kuwahara T, Momose Y, Cheng G, Yamasaki S, Saito
T, Ohba Y, Taniguchi T, Takeda K, Hori S, Ivanov II, Umesaki Y, Itoh K & Honda K, 2011.
Induction of colonic regulatory T cells by indigenous Clostridium species. Science,
331(6015): 337–341.
Ball TM, Castro-Rodriguez JA, Griffith KA, Holberg CJ, Martinez FD & Wright AL, 2000.
Siblings, day-care attendance, and the risk of asthma and wheezing during childhood. The
New England Journal of Medicine, 343(8): 538–543.
Ball TM, Holberg CJ, Aldous MB, Martinez FD & Wright AL, 2002. Influence of attendance at
day care on the common cold from birth through 13 years of age. Archives of Pediatrics &
Adolescent Medicine, 156(2): 121–126.
Barker DJ, Osmond C, Golding J & Wadsworth ME, 1988. Acute appendicitis and bathrooms in
three samples of British children. British Medical Journal (Clinical research ed.),
296(6627): 956–958.
Barker DJ & Morris J, 1988. Acute appendicitis, bathrooms, and diet in Britain and Ireland. British
Medical Journal (Clinical research ed.), 296(6627): 953–955.
Benn CS, Melbye M, Wohlfahrt J, Björkstén B & Aaby P, 2004. Cohort study of sibling effect,
infectious diseases, and risk of atopic dermatitis during first 18 months of life. BMJ,
328(7450): 1223–1220.
van den Biggelaar AH, van Ree R, Rodrigues LC, Lell B, Deelder AM, Kremsner PG &
Yazdanbakhsh M, 2000. Decreased atopy in children infected with Schistosoma
haematobium: a role for parasite-induced interleukin-10. Lancet, 356(9243): 1723–1727.
Björkstén B, Naaber P, Sepp E & Mikelsaar M, 1999. The intestinal microflora in allergic
Estonian and Swedish 2-year-old children. Clinical and Experimental Allergy: Journal of
the British Society for Allergy and Clinical Immunology, 29(3): 342–346.
Bodner C, Godden D & Seaton A, 1998. Family size, childhood infections and atopic diseases.
The Aberdeen WHEASE Group. Thorax, 53(1): 28–32.
Brown EM, Arrieta MC & Finlay BB, 2013. A fresh look at the hygiene hypothesis: How
intestinal microbial exposure drives immune effector responses in atopic disease. Seminars
in Immunology, 25(5): 378–387.
Caporaso JG, Kuczynski J, Stombaugh J, Bittinger K, Bushman FD, Costello EK, Fierer N, Peña
AG, Goodrich JK, Gordon JI, Huttley GA, Kelley ST, Knights D, Koenig JE, Ley RE,
Lozupone CA, McDonald D, Muegge BD, Pirrung M, Reeder J, Sevinsky JR, Turnbaugh
PJ, Walters WA, Widmann J, Yatsunenko T, Zaneveld J & Knight R, 2010. QIIME allows
analysis of high-throughput community sequencing data. Nature Methods, 7(5): 335–336.
Cash HL, Whitham CV, Behrendt CL & Hooper LV, 2006. Symbiotic bacteria direct expression
of an intestinal bactericidal lectin. Science, 313(5790): 1126–1130.
Chassaing B, Koren O, Goodrich JK, Poole AC, Srinivasan S, Ley RE & Gewirtz AT, 2015.
Dietary emulsifiers impact the mouse gut microbiota promoting colitis and metabolic
syndrome. Nature, 519(7541): 92–96.
Cording S, Fleissner D, Heimesaat MM, Bereswill S, Loddenkemper C, Uematsu S, Akira S,
Hamann A & Huehn J, 2013. Commensal microbiota drive proliferation of conventional
and Foxp3(+) regulatory CD4(+) T cells in mesenteric lymph nodes and Peyer’s patches.

11
European Journal of Microbiology & Immunology, 3(1): 1–10.
Denou E, Marcinko K, Surette MG, Steinberg GR & Schertzer JD, 2016. High-intensity exercise
training increases the diversity and metabolic capacity of the mouse distal gut microbiota
during diet-induced obesity. American Journal of Physiology-Endocrinology and
Metabolism, 310(11): E982–E993.
Dominguez-Bello MG, Costello EK, Contreras M, Magris M, Hidalgo G, Fierer N & Knight R,
2010. Delivery mode shapes the acquisition and structure of the initial microbiota across
multiple body habitats in newborns. Proceedings of the National Academy of Sciences of
the United States of America, 107(26), 11971–11975.
Eckburg PB, Bik EM, Bernstein CN, Purdom E, Dethlefsen L, Sargent M, Gill SR, Nelson KE &
Relman DA, 2005. Diversity of the human intestinal microbial flora. Science, 308(5728):
1635–1638.
Faith, J. J. et al. (2010) ‘Creating and characterizing communities of human gut microbes in
gnotobiotic mice’, Isme J, 4(9), pp. 1094–1098. doi: 10.1038/ismej.2010.110.Creating.
Genuneit, J. et al. (2013) ‘The combined effects of family size and farm exposure on childhood
hay fever and atopy’, Pediatric Allergy and Immunology, 24(3), pp. 293–298. doi:
10.1111/pai.12053.
Gerrard JW, Ko CG, Dalgleish R & Tan LK, 1977. Immunoglobulin levels in white and metis
communities in Saskatchewan. Clinical and Experimental Immunology, 29(3): 447–456.
Gill N, Wlodarska M & Finlay BB, 2010. The future of mucosal immunology: studying an
integrated system-wide organ. Nature Immunology, 11(7): 558–560.
Hill DA & Artis D, 2010. Intestinal bacteria and the regulation of immune cell homeostasis.
Annual Review of Immunology, 28: 623–667.
Hua X, Goedert JJ, Pu A, Yu G & Shi J, 2016. Allergy associations with the adult fecal microbiota:
Analysis of the American Gut Project. EBioMedicine, 3: 172–179.
Huang YJ, Marsland BJ, Bunyavanich S, O'Mahony L, Leung DYM, Muraro A & Fleisher TA,
2017. The microbiome in allergic disease: Current understanding and future opportunities—
2017 PRACTALL document of the American Academy of Allergy, Asthma & Immunology
and the European Academy of Allergy and Clinical Immunology. Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 139(4): 1099–1110.
Illi S, von Mutius E, Lau S, Bergmann R, Niggemann B, Sommerfeld C & Wahn U, 2001. Early
childhood infectious diseases and the development of asthma up to school age: a birth cohort
study. BMJ (Clinical research ed.), 322(7283): 390–395.
Ivanov II, Atarashi K, Manel N, Brodie EL, Shima T, Karaoz U, Wei D, Goldfarb KC, Santee
CA, Lynch SV, Tanoue T, Imaoka A, Itoh K, Takeda K, Umesaki Y, Honda K & Littman
DR, 2009. Induction of intestinal Th17 cells by segmented filamentous bacteria. Cell,
139(3): 485–498.
Jarvis D, Chinn S, Luczynska C & Burney P, 1997. The association of family size with atopy and
atopic disease. Clinical and Experimental Allergy : Journal of the British Society for Allergy
and Clinical Immunology, 27(3): 240–245.
Kalliomäki M, Kirjavainen P, Eerola E, Kero P, Salminen S & Isolauri E, 2001. Distinct patterns
of neonatal gut microflora in infants in whom atopy was and was not developing. The
Journal of Allergy and Clinical Immunology, 107(1): 129–134.
Krämer U, Heinrich J, Wjst M & Wichmann HE, 1999. Age of entry to day nursery and allergy
in later childhood. Lancet, 353(9151): 450–454.
Kuhn KA & Stappenbeck TS, 2013. Peripheral education of the immune system by the colonic
microbiota. Seminars in immunology, 25(5): 364–369.
Lambrecht BN & Hammad H, 2017. The immunology of the allergy epidemic and the hygiene
hypothesis. Nature Immunology, 18(10): 1076–1083.
Levy M, Kolodziejczyk AA, Thaiss CA & Elinav E, 2017. Dysbiosis and the immune system.
Nature Reviews Immunology, 17(4): 219–232.
Liu AH & Murphy JR, 2003. Hygiene hypothesis: Fact or fiction?. Journal of Allergy and Clinical
Immunology, 111(3): 471–478.
Lozupone CA, Stombaugh JI, Gordon JI, Jansson JK & Knight R, 2012. Diversity, stability and
resilience of the human gut microbiota. Nature, 489(7415): 220–230.
Lupp C, Robertson ML, Wickham ME, Sekirov I, Champion OL, Gaynor EC & Finlay BB, 2007.
Host-mediated inflammation disrupts the intestinal microbiota and promotes the overgrowth

12
of Enterobacteriaceae. Cell Host & Microbe, 2(2): 119–129.
Maizels RM, McSorley HJ & Smyth DJ, 2014. Helminths in the hygiene hypothesis: sooner or
later?. Clinical and Experimental Immunology, 177(1): 38–46.
Marchesi JR & Ravel J, 2015. The vocabulary of microbiome research: a proposal. Microbiome,
3(1): 31.
Matricardi PM, Rosmini F, Panetta V, Ferrigno L & Bonini S, 2002. Hay fever and asthma in
relation to markers of infection in the United States. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology, 110(3): 381–387.
Metsälä J, Lundqvist A, Virta LJ, Kaila M, Gissler M & Virtanen SM, 2015. Prenatal and post-
natal exposure to antibiotics and risk of asthma in childhood. Clinical & Experimental
Allergy, 45(1): 137–145.
Morgan XC & Huttenhower C, 2014. Meta’omic analytic techniques for studying the intestinal
microbiome. Gastroenterology, 146(6): 1437–1448.
Mosmann TR, Cherwinski H, Bond MW, Giedlin MA & Coffman RL, 1986. Two types of murine
helper T cell clone. I. Definition according to profiles of lymphokine activities and secreted
proteins. Journal of Immunology, 136(7): 2348–2357.
von Mutius E, Martinez FD, Fritzsch C, Nicolai T, Reitmeir P & Thiemann HH, 1994. Skin test
reactivity and number of siblings. BMJ (Clinical research ed.), 308(6930): 692–695.
Nichols D, Cahoon N, Trakhtenberg EM, Pham L, Mehta A, Belanger A, Kanigan T, Lewis K &
Epstein SS, 2010. Use of ichip for high-throughput in situ cultivation of “uncultivable”
microbial species. Applied and environmental microbiology, 76(8): 2445–2450.
Ohnmacht C, Park JH, Cording S, Wing JB, Atarashi K, Obata Y, Gaboriau-Routhiau V, Marques
R, Dulauroy S, Fedoseeva M, Busslinger M, Cerf-Bensussan N, Boneca IG, Voehringer D,
Hase K, Honda K, Sakaguchi S & Eberl G, 2015. MUCOSAL IMMUNOLOGY. The
microbiota regulates type 2 immunity through RORγt + T cells.’, Science, 349(6251): 989–
993.
Olszak T, An D, Zeissig S, Vera MP, Richter J, Franke A, Glickman JN, Siebert R, Baron RM,
Kasper DL & Blumberg RS, 2012. Microbial Exposure During Early Life Has Persistent
Effects on Natural Killer T Cell Function. Science, 336(6080): 489–493.
Oriss TB, McCarthy SA, Morel BF, Campana MA & Morel PA, 1997. Crossregulation between
T helper cell (Th)1 and Th2: inhibition of Th2 proliferation by IFN-gamma involves
interference with IL-1. Journal of Immunology, 158(8): 3666–3672.
Ownby DR, Johnson CC & Peterson EL, 2002. Exposure to Dogs and Cats in the First Year of
Life and Risk of Allergic Sensitization at 6 to 7 Years of Age. JAMA, 288(8): 963.
Parker W, 2014. The “hygiene hypothesis” for allergic disease is a misnomer. BMJ (Online),
349(August): 10–11.
Qin J, Li R, Raes J, Arumugam M, Burgdorf KS, Manichanh C, Nielsen T, Pons N, Levenez F,
Yamada T, Mende DR, Li J, Xu J, Li S, Li D, Cao J, Wang B, Liang H, Zheng H, Xie Y,
Tap J, Lepage P, Bertalan M, Batto JM, Hansen T, Le Paslier D, Linneberg A, Nielsen HB,
Pelletier E, Renault P, Sicheritz-Ponten T, Turner K, Zhu H, Yu C, Li S, Jian M, Zhou Y,
Li Y, Zhang X, Li S, Qin N, Yang H, Wang J, Brunak S, Doré J, Guarner F, Kristiansen K,
Pedersen O, Parkhill J, Weissenbach J, Bork P, Ehrlich SD & Wang J, 2010. A human gut
microbial gene catalogue established by metagenomic sequencing. Nature, 464(7285): 59–
65.
Ramette A, Spycher BD, Wang J, Goutaki M, Beardsmore CS & Kuehni CE, 2018. Longitudinal
Associations between Respiratory Infections and Asthma in Young Children.’, American
Journal of Epidemiology. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29546394. [Accessed on: 24 October 2018]
Rantala AK, Jaakkola MS, Mäkikyrö EMS, Hugg TT & Jaakkola JJK, 2015. Early Respiratory
Infections and the Development of Asthma in the First 27 Years of Life. American Journal
of Epidemiology, 182(7): 615–623.
Rescigno M & Di Sabatino A, 2009. Dendritic cells in intestinal homeostasis and disease. The
Journal of Clinical Investigation, 119(9): 2441–2450.
Rook GAW, Martinelli R & Brunet LR, 2003. Innate immune responses to mycobacteria and the
downregulation of atopic responses. Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology,
3(5): 337–342.
Round JL & Mazmanian SK, 2009. The gut microbiota shapes intestinal immune responses during

13
health and disease. Nature reviews. Immunology, 9(5): 313–323.
Savage DC, 1977. Microbial Ecology of the Gastrointestinal Tract. Annual Review of
Microbiology, 31(1): 107–133.
Schloss PD, Westcott SL, Ryabin T, Hall JR, Hartmann M, Hollister EB, Lesniewski RA, Oakley
BB, Parks DH, Robinson CJ, Sahl JW, Stres B, Thallinger GG, Van Horn DJ & Weber CF,
2009. Introducing mothur: open-source, platform-independent, community-supported
software for describing and comparing microbial communities. Applied and Environmental
Microbiology, 75(23): 7537–7541.
Scrivener S, Yemaneberhan H, Zebenigus M, Tilahun D, Girma S, Ali S, McElroy P, Custovic A,
Woodcock A, Pritchard D, Venn A & Britton J, 2001. Independent effects of intestinal
parasite infection and domestic allergen exposure on risk of wheeze in Ethiopia: a nested
case-control study. Lancet, 358(9292): 1493–1499.
Sepp E, Julge K, Vasar M, Naaber P, Björksten B & Mikelsaar M, 1997. Intestinal microflora of
Estonian and Swedish infants. Acta Paediatrica, 86(9): 956–961.
Shaw MH, Kamada N, Kim YG & Núñez G, 2012. Microbiota-induced IL-1β, but not IL-6, is
critical for the development of steady-state TH17 cells in the intestine. The Journal of
Experimental Medicine, 209(2): 251–258.
Sokal RR, 1963. The Principles and Practice of Numerical Taxonomy. Taxon, 12(5): 190.
Sonnenburg ED, Smits SA, Tikhonov M, Higginbottom SK, Wingreen NS & Sonnenburg, Justin
L, 2016. Diet-induced extinctions in the gut microbiota compound over generations. Nature,
529(7585): 212–215.
Stecher B, Robbiani R, Walker AW, Westendorf AM, Barthel M, Kremer M, Chaffron S,
Macpherson AJ, Buer J, Parkhill J, Dougan G, von Mering C & Hardt WD, 2007.
Salmonella enterica serovar typhimurium exploits inflammation to compete with the
intestinal microbiota. PLoS Biology, 5(10): 2177–2189.
Strachan DP, 1989. Hay fever, hygiene, and household size. 299(November): 1259–1260.
Strachan DP, Taylor EM & Carpenter RG, 1996. Family structure, neonatal infection, and hay
fever in adolescence. Archives of Disease in Childhood, 74(5): 422–426.
Suez J, Korem T, Zeevi D, Zilberman-Schapira G, Thaiss CA, Maza O, Israeli D, Zmora N, Gilad
S, Weinberger A, Kuperman Y, Harmelin A, Kolodkin-Gal I, Shapiro H, Halpern Z, Segal
E & Elinav E, 2014. Artificial sweeteners induce glucose intolerance by altering the gut
microbiota. Nature, 514(7521): 181–186.
Telesford KM, Yan W, Ochoa-Reparaz J, Pant A, Kircher C, Christy MA, Begum-Haque S,
Kasper DL & Kasper LH, 2015. A commensal symbiotic factor derived from Bacteroides
fragilis promotes human CD39(+)Foxp3(+) T cells and Treg function. Gut Microbes, 6(4):
234–242.
Thavagnanam S, Fleming J, Bromley A, Shields MD & Cardwell CR, 2008. A meta-analysis of
the association between Caesarean section and childhood asthma. Clinical and
Experimental Allergy : Journal of the British Society for Allergy and Clinical Immunology,
38(4): 629–633.
Trompette A, Gollwitzer ES, Yadava K, Sichelstiel AK, Sprenger N, Ngom-Bru C, Blanchard C,
Junt T, Nicod LP, Harris NL & Marsland BJ, 2014. Gut microbiota metabolism of dietary
fiber influences allergic airway disease and hematopoiesis. Nature Medicine, 20(2): 159–
166.
de Vos WM & de Vos EAJ, 2012. Role of the intestinal microbiome in health and disease: from
correlation to causation. Nutrition Reviews, 70(Suppl 1): S45-56.
Young VB, 2017. The role of the microbiome in human health and disease: An introduction for
clinicians. BMJ (Online), 356. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28298355. [Accessed on 24 October 2018].
Zoetendal EG, Rajilic-Stojanovic M & de Vos WM, 2008. High-throughput diversity and
functionality analysis of the gastrointestinal tract microbiota. Gut, 57(11): 1605–1615.

14

Anda mungkin juga menyukai