Anda di halaman 1dari 51

Pengaruh Risk Perception dan Safety Knowledge Terhadap Safety

Performance Dengan Dimediasi Oleh Safety Climate

Proposal

Diajukan oleh :

Rizqi Yoga Ananta (041211231045)

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat Rahmat dan Karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana pada Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.
Judul yang penulis ajukan adalah "Pengaruh Risk Perception dan Safety Knowledge
Terhadap Safety Performance Dengan Dimediasi Oleh Safety Climate"
Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya proposal ini. Penulis menyadari bahwa proposal ini tidak serta merta hadir
tanpa bantuan dan dukungandari semua pihak. Mudah-mudahan segala sesuatu yang telah
diberikan menjadi bermanfaat dan bernilai ibadah di hadapan Allah SWT.
Mengingat penulis menyadari bahwa proposal skirpsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan
demi penyempurnaan selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan segala urusan dan semoga proposal
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya.

Surabaya, 1 Desember 2015

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….… 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………… 3
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………………… 4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………………………….. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………...……………………………………………… 6
2.1 Landasan Teori…………………………………………………………………………… 6
2.1.1. Risk Perception………………………………………………………………... 6
2.1.1.1 Karakteristik Resiko yang dirasakan……………………………….. 7
2.1.2 Safety Knowledge……………………………………………………………. 7
2.1.3 Safety Climate………………………………………………………………… 8
2.1.3.1 Faktor-faktor Iklim Keselamatan Kerja…….………………………. 10
2.1.4 Safety Performance………………………………………………………….. 11
2.1.5 Hubungan Antar Variabel…………………………………………………… 12
2.1.5.1 Hubungan Antara Risk Perception dengan Safety Climate…………. 12
2.1.5.2 Peran Satefy Climate sebagai mediator………………………….… 12
2.1.5.3 Hubungan Antara Safety Knowledge dengan Safety Climate dan
Safety Performance………………………………………………... 13
2.1.5.4. Hubungan antara Safety Climate dengan Safety Performance….. 14
2.1.6. Penelitian Terdahulu……………………………………………………….. 14
2.1.7. Kerangka Berpikir……………………………………………………………. 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………………… 17
3.1. Pendekatan Penelitian…………………………………………………………………. 17
3.2. Identifikasi Variabel………………………………………………………………….. 17
3.3. Definisi Operasional Variabel………………………………………………………….. 17
3.4 Sumber Data…………………………………………………………………………….. 22
3.5. Prosedur Pengumpulan Data…………………………………………………………… 22
3.5.1. Populasi…………………………………………………………………….. 22
3.5.2. Sample………………………………………………………………………. 22
3.5.3. Sampling Techniques………………………………………………………… 22

ii
3.6.1. Teknik Analisis Data………………………………………………………………… 23
3.6.1.1. Regresi Linear Berganda…..……………………………………………….. 23
3.6.1.2. Langkah-langkah Regresi Linear Berganda……………………………… 24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keselamatan kerja merupakan hal yang paling penting dan diperhatikan

oleh setiap perusahaan. Permasalahan keselamatan kerja di Indonesia masih

membutuhkan perhatian yang serius dimana penerapan keselamatan dan

kesehatan kerja di Indonesia nyatanya masih sering diabaikan baik oleh

pengusaha, pemerintah, bahkan pekerja itu sendiri (BBC, 2013). Berdasarkan

informasi yang dihimpun oleh Republika (2011), angka kecelakaan di Indonesia

terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dibuktikan berdasarkan data

kecelakaan kerja Jamsostek dimana pada tahun 2008 hingga 2010 jumlah

kecelakaan kerja yang terjadi meningkat sebanyak 14%, sementara pada tahun

2011 hingga 2012 angka kecelakaan kerja meningkat sebanyak 3,4% (Antara

News, 2013). Dunia internasional pun memberikan perhatian khusus bagi

kecelakaan kerja di Indonesia. International Labour Organization (ILO) pada

tahun 2012 memberikan angka 29 kecelakaan kerja yang mengakibatkan kematian

(kecelakaan fatal) dalam 100.000 pekerja Indonesia. ILO juga mencatat bahwa

setiap tahunnya Indonesia mendapatkan 99.000 kecelakaan dengan 70% di

antaranya menyebabkan kematian dan cacat seumur hidup. Kecelakaan kerja

Indonesia telah membuat Negara Indonesia merugi hingga Rp. 280 Triliun.

International Labour Organization (ILO) tahun 2013, satu pekerja di dunia

meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami

1
sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO mencatatat angka kematian

dikarenakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK) sebanyak dua juta kasus

setiap tahun (Depkes, 2014). Dengan semakin meningkatnya angka kecelakaan

kerja di Indonesia, kita cukup perihatin karena hal ini menunjukkan gambaran

umum tentang ketidakpedulian karyawan maupun jajaran manajer terhadap

pentingnya akan standar keselamatan kerja, sehingga kecelakaan terus menerus

terjadi di lingkungan kerja Indonesia.

Dalam penerapannya, Keselamatan Kerja telah lama diatur oleh undang-

undang yaitu pada UU no 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja dimana dalam

UU tersebut mengatur tentang kewajiban pengurus dalam hal ini merupakan

pimpinan perusahaan atau pimpinan proyek, kemudian tentang kewajiban dan hak

pekerja, Kewenangan Menteri Tenaga Kerja untuk membentuk Panitia Pembina

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) guna mengembangkan kerja sama,

saling pengertian dan partisipasi aktif dari pengusaha atau pengurus dan pekerja di

tempat-tempat kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi dan

meningkatkan produktivitas kerja, serta ancaman hukuman pidana berupa

kurungan dan denda dalam bentuk uang. Hukum yang melindungi para tenaga

kerja tidak terlepas pada UU no 1 Tahun 1970, tetapi juga masih banyak landasan

hukum yang melindungi keselamatan dan kesehatan kerja para pekerja. Pada

Undang-undang RI No. 25 Tahun 1991 Tentang Ketenagakerjaan diatur bahwa

setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan kerja, moral dan

kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta

2
nilai-nilai agama. Dalam UU nomor 23 pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja

dijelaskan sebagai berikut :

1. Kesehatan Kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja

secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat

sekelilingnya hingga diperoleh produktifitas kerja yang optimal sejalan

dengan program perlindungan pekerja.

2. Kesehatan Kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan

penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.

3. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.

4. Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada poin

(1), (2) dan (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

5. Tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan kesehatan kerja dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau pidana denda paling

banyak Rp. 15.000.000.(lima belas juta rupiah)

Dalam Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga diatur

tentang hal-hal yang berkaitan tentang hak dan kewajiban pekerja, diantaranya :

 Perenacanaan tenaga kerja

 Pelatihan kerja

 Kompetensi kerja

 Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

3
 Waktu kerja

 Keselamatan dan kesehatan Kerja

Indonesia sendiri memang sudah sejak lama memperhatikan keselamatan dan

kesehatan pekerja, namun demikian masih saja terjadi kecelakaan kerja yang

dialami oleh para pekerja. Hal ini disebabkan karena memang beberapa

perusahaan yang mengabaikan standar operasional untuk K3 sehingga tidak

memberikan perlindungan terhadap para pekerjanya, atau memang karena dari

individu pekerjanyan yang kurang bahkan tidak peduli dengan keselamatan dan

kesehatan kerja. Sering kali para pekerja memiliki persepsi bahwa pekerjaan yang

memang setiap hari mereka kerjakan adalah pekerjaan yang biasa dan jauh dari

kata bahaya meskipun pada kenyataannya mereka bekerja dilokasi yang

berbahaya seperti di proyek konstruksi atau bahkan pertambangan yang suatu saat

akan mengancam keselamatan dan kesehatan para pekerja.

Keselamatan pekerja di lingkungan kerja merupakan salah satu bagian

penting dalam keselamatan di tempat kerja (Hayes, dkk., 1998). Banyak faktor

yang dapat mempengaruhi keselamatan karyawan di lingkungan kerja antara lain;

tugas spesifik individu, faktor teknologi peralatan dan mesin, lingkungan kerja,

pengawasan dan organisasi, dan faktor manusia (McDermott, 2013). Namun

demikian, faktor manusia dinilai sebagai salah satu pendekatan penting dalam

menilai interaksi antara pekerja, tempat kerja, dan sistem manajemen yang

membentuk sistem keselamatan kerja (Work Safety, 2008). Dalam beberapa

dekade terakhir, banyak peneliti yang telah mengembangkan teori dan metode

4
spesifik untuk menyelidiki aspek psikososial performa keselamatan dalam

organisasi dan dilakukan berbagai penelitian terhadap keselamatan kerja, salah

satunya pada tingkatan individual yakni sikap terhadap keselamatan kerja (Burke,

Sharon & Cooper, 2011). Iklim keselamatan kerja tentunya sangat identik dengan

perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, hal ini disebabkan karena

mayoritas pekerjanya berhubungan langsung dengan dengan mesin khususnya

untuk bagian produksi. Kesadaran akan pentingnya sebuah keselamatan kerja juga

menjadi faktor penentu bagaimana para karyawan mematuhi hal-hal yang

berhubungan dengan keselamatan kerja, selain itu pendidikan mengenai

keselamatan juga harus dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari upaya

untuk mengurangi kecelakaan kerja. Dengan banyaknya terjadi kecelakaan dalam

lingkungan kerja, hal ini menjadi perhatian besar bagi para perusahaan.

Kecelakaan kerja juga sering terjadi akibat dari perbedaan persepsi perihal resiko

pekerja yang dilakukan oleh karyawan, supervisor dan manajer dalam sebuah

perusahaan. Kecelakaan dalam lingkungan kerja juga dapat berakibat menurunnya

output yang dihasilkan perusahaan, selain itu juga dapat mempengaruhi kondisi

psikologis para pekerja. Kondisi psikologis yang mengalami tekanan ataupun

mengalami tidak percaya diri karena kondisi fisik yang tidak sehat, dapat

mengakibatkan karyawan mengalami depresi dan hal ini sangat berbahaya untuk

keberlangsungan aktivitas perusahaan.

PT Shanty Wiraperkasa menjadi objek dari penelitian ini dikarenakan

perusahaan ini bergerak di bidang konstruksi baja dan bangunan, dimana telah

melaksanakan proyek-proyek pembangunan sejak awal perusahaan ini berdiri

5
yaitu sekitar tahun 1972. PT Shanty Wiraperkasa merupakan perusahaan jasa

skala besar yang bergerak di bidang pelaksanaan konstruksi bangunan dengan

spesifikasi bidang Arsitektur yang terdiri dari Perumahan dan Pemukiman,

Gedung dan Pabrik, bidang Sipil terdiri dari Drainase dan Jaringan Pengairan,

Jalan, Jembatan, Runway dan Bendungan serta bidang Tata Lingkungan yang

terdiri dari Bangunan Pengolahan Air bersih dan instalasi pengolahan Air Limbah.

Perusahaan konstruksi sangat memperhatikan perihal keselamatan kerja, karena

menyangkut dengan kinerja para pekerja dan hasil dari apa yang dikerjakan oleh

perusahaan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh persepsi pekerja

mengenai resiko pekerja dan pendidikan tentang keselamatan terhadap perilaku

keselamatan kerja dalam perusahaan manufaktur, karena keselamatan kerja

merupakan hal yang vital bagi perusahaan manufaktur. Pengetahuan keselamatan

sangat penting dalam memahami perilaku keselamatan kerja, karena pengetahuan

yang di peroleh dalam pengetahuan keselamatan dapat di terapkan di dalam

lingkungan kerja. Pengetahuan keselamatan dipengaruhi oleh pengetahuan

karyawan terhadap prosedur keselamatan kerja yang diberikan atau diterapkan di

dalam perusahaan. Dengan adanya pengetahuan keselamatan karyawan lebih

waspada terhadap kecelakaan kerja. Persepsi iklim keselamatan dapat

mempengaruhi sikap karyawan terhadap keselamatan, cara karyawan

melaksanakan pekerjaan dan cara karyawan berinteraksi sesama karyawan yang

mempunyai dampak langsung pada hasil keselamatan seperti kecelakaan kerja

pada perusahaan (Griffin dan Neal, 2003:15). Konsep iklim keselamatan adalah

kepentingan tertentu untuk manajer, insinyur dan psikolog karena memiliki

6
sejumlah implikasi bagi hubungan antara persepsi individu dan kelompok

manajemen keselamatan, dan perilaku di tempat kerja yang dapat berdampak pada

kinerja keselamatan. Persepsi tenaga kerja Sejumlah penelitian telah menemukan

iklim keselamatan secara langsung dan tidak langsung terkait dengan hasil

keselamatan (Donald dan Canter, 1994; Hofmann dan Stetzer, 1996; Lee, 1998;

Mearns et al., 2001; Niskanen, 1994; Tomas et al., 1999; Zohar, 2000). Di

antaranya adalah penelitian yang menggunakan Structural Equation Modelling

(SEM), metode analisis multivariat yang saling keterkaitan antara konsep yang

dibuat bersama dimensi teoritis dapat diuji secara statistik (Byrne, 1994). Hal ini

berlaku umum bahwa iklim keselamatan adalah 'snapshot' dari persepsi tenaga

kerja tentang keselamatan (Mearns et al., 1997). Namun, para peneliti sepakat

kurang mengenai faktor-faktor iklim keselamatan atau dimensi yang paling

penting dalam mempengaruhi perilaku di tempat kerja. Faktor-faktor yang

mempengaruhi iklim keselamatan di pusat-pusat kerja telah diidentifikasi, dan

yang paling penting meliputi: karakteristik organisasi, perilaku individu dan

persepsi pekerja (Flin, R., Mearns, K., O’Connor, P. and Bryden, R. 2000 ).

Lingkungan kerja juga menjadi salah satu faktor bagaimana iklim keselamatan

kerja dan perilaku keselamatan kerja dapat dilakukan. Linkungan kerja yang

kondusif akan mendorong efektivitas perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya,

serta akan menimbulkan semangat dan gairah kerja karyawan. Hal ini sangat

bermanfaat bagi kelangsungan hidup perusahaan dan akan meningkatkan

produktivitas sehingga tercapainya tujuan perusahaan. Karena apabila suatu

lingkungan yang kurang baik seperti suara bising, suhu udara panas, kebersihan

7
tidak terjaga dan sebagainya, dapat menurunkan kondisi fisik dan kondisi mental

karyawan. Indikasi penurunan kondisi fisik dapat berupa kelelahan, kelesuan

kerja, gangguan kesehatan atau sakit, akibat kerja bahkan kecelakaan kerja

(Robin, 2008 : 181).

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka didapat rumusan masalah pada penelitian

ini sebagai berikut :

1. Apakah Risk Perception berpengaruh terhadap Safety Climate pada PT

Shanty Wiraperkasa?

2 Apakah Risk Perception berpengaruh terhadap Safety Performance dengan

mediasi Safety Climate pada PT Shanty Wiraperkasa?

3 Apakah Risk Perception berpengaruh terhadap Safety Performance pada

PT Shanty Wiraperkasa?

4 Apakah Safety Knowledge berpengaruh terhadap Safety Climate pada PT

Shanty Wiraperkasa?

5 Apakah Safety Knowledge berpengaruh terhadap Safety Performance

dengan mediasi Safety Climate pada PT Shanty Wiraperkasa?

6 Apakah Safety Knowledge berpengaruh terhadap Safety Performance pada

PT Shanty Wiraperkasa?

7 Apakah Safety Climate berpengaruh terhadap Safety Performance pada PT

Shanty Wiraperkasa?

1.3 Tujuan Penelitian

8
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh Risk Perception terhadap Safety Climate.

2. Untuk mengetahui seberapa besar peran Safety Climate dalam memediasi

hubungan antara Risk Perception dan Safety Performance.

3. Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan oleh Risk Perception terhadap

Safety Performance.

4. Untuk mengetahui pengaruh antara Safety Knowledge terhadap Safety

Climate.

5. Untuk mengetahui peran Safety Climate dalam memediasi hubungan

antara Safety Knowledge dengan Safety Performance.

6. Untuk mengetahui pengaruh Safety Knowledge terhadap Safety

Performance.

7. Untuk mengetahui pengaruh Safety Climate terhadap Safety Performance.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dengan diadakannya peneilitian ni sebagai berikut :

1. Penelitian diharapkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi

perusahaan yang dijadikan objek penelitian sebagai bahan pertimbangan

pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen perihal

pentingnya keselamatan kerja dalam sebuah perusahaan dengan tujuan

agar produktivitas karyawan meningkat, karena karyawan telah memiliki

9
rasa aman dalam pekerjaannya dan dapat melakukan tindakan-tindakan

yang mencerminkan tentang keselamatan kerja.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ataupun awal dari

penelitian-penelitian berikutnya dan menjadi pelengkap penelitian-

penelitian terdahulu serta dapat menambah koleksi penelitian yang

terdapat di jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Risk Perception

Dalam penelitian ini persepsi diartikan sebagai pengetahuan untuk

melihat, memahami dan penafsiran oleh karyawan di bagian manufaktur

mengenai resiko kerja yang dihadapi dalam sehari-hari. Persepsi itu terjadi

dengan adanya interaksi sosial, sikap–sikap, dan perasaan-perasaan suatu

kelompok manusia atau orang-perseorangan dapat diketahui oleh

kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Salah satu

konsekuensi dari kekhawatiran tentang bahaya telah ditekankan pada

promotor dan regulator perusahaan berbahaya untuk menginformasikan

warga, pasien, dan pekerja tentang risiko yang mereka hadapi dari

kegiatan mereka sehari-hari, perawatan medis, dan pekerjaan mereka.

Upaya untuk melaksanakan program informasi tergantung pada berbagai

kekuatan politik, ekonomi dan hukum (Gibson 1984; Soles 1982).

Keberhasilan upaya tersebut tergantung, sebagian, pada seberapa jelas

informasi dapat disajikan (Fischhoff 1984a .; Slovic et al. 1980a, 1981a).

Jika seorang individu telah membentuk kesan awal yang kuat tentang

bahaya, hasil dari psikologi sosial kognitif menunjukkan bahwa keyakinan

dapat menyusun cara bahwa bukti berikutnya ditafsirkan. Bukti baru akan

muncul handal dan informatif jika konsisten dengan keyakinan awal

11
seseorang; bukti sebaliknya dapat diberhentikan sebagai tidak bisa

diandalkan, salah, atau tidak representatif. Akibatnya, pandangan yang

dipegang teguh akan sangat sulit untuk mengubah dengan presentasi

informasi (Nisbett dan Ross 1980).

Hal yang menjadi dasar adanya perbedaan persepsi tentang resiko

antar pekerja meskipun berada dalam satu lingkungan kerja yang sama

adalah perbedaan tingkat pengetahuan karyawan mengenai keselamatan

kerja. Dalam interaksi sosial kemungkinan sekali terjadi berbagai macam

penafsiran terhadap tingkah laku orang lain ataupun terhadap sesuatu

apapun yang pada hakikatnya menghasilkan persepsi pada individu atau

masyarakat. Hal itu bisa terjadi pada pandangan seseorang terhadap

sesuatu yang berhubungan dengan dirinya dan lingkungannya yang

mengakibatkan timbulnya rangsangan baik secara fisik ataupun non fisik

yang terjadi akibat perilaku dari tindakan seseorang. Kita tahu bahwa

persepsi risiko dapat bervariasi secara luas antara individu. Akibatnya,

paparan peristiwa yang sama mungkin karena itu memiliki signifikan

konsekuensi yang berbeda dalam kelompok kerja dalam hal hasil

keselamatan. Meskipun persepsi risiko yang akurat dan dapat diandalkan

mungkin adaptif dalam memotivasi pekerja untuk mematuhi peraturan

keselamatan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang

menantang, kekhawatiran dan ruminasi tentang potensi risiko dan

tantangan juga mungkin memiliki konsekuensi negatif. Misalnya, sebuah

badan mengumpulkan penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi

12
berkelanjutan Risiko memiliki hasil kesehatan negatif yang signifikan bagi

karyawan (misalnya Grau et al., 1992; McLain, 1995; Morrow dan Crum,

1998), selain itu penelitian lain juga menunjukkan bahwa persepsi risiko

secara langsung berkaitan dengan ketidakpuasan kerja antara karyawan

(Nielsen et al., 2011). Persepsi iklim keselamatan dapat mempengaruhi

sikap karyawan terhadap keselamatan, cara karyawan melaksanakan

pekerjaan dan cara karyawan berinteraksi sesama karyawan yang

mempunyai dampak langsung pada hasil keselamatan seperti kecelakaan

kerja pada perusahaan (Griffin dan Neal, 2003:15). Persepsi karyawan

pada tingkat praktek manajemen keselamatan yang diterapkan dalam

organisasi dianggap sebagai faktor yang dapat memengaruhi kinerja

keselamatan mereka. (Vinodkumar ,2010). Jika seorang individu telah

membentuk kesan awal yang kuat tentang bahaya, hasil dari psikologi

sosial kognitif menunjukkan bahwa keyakinan dapat menyusun cara

bahwa bukti berikutnya ditafsirkan (Slovic, 1984). Bukti baru akan

muncul handal dan informatif jika konsisten dengan keyakinan awal

seseorang; bukti sebaliknya dapat diberhentikan sebagai tidak bisa

diandalkan, salah, atau tidak representatif. Akibatnya, pandangan yang

dipegang teguh akan sangat sulit untuk mengubah dengan presentasi

informasi (Nisbett dan Ross 1980). Ketika orang tidak memiliki pendapat

kuat tentang bahaya, situasi sebaliknya mereka pada belas kasihan dari

cara bahwa informasi yang disajikan. Perubahan halus dalam cara bahwa

13
risiko dinyatakan dapat memiliki dampak besar pada persepsi dan

keputusan. (Slovic, 1984).

2.1.1.1. Karakteristik resiko yang dirasakan

Di antara generalisasi yang telah diambil dari hasil studi awal yang

dilakukan oleh Slovic (1984) terdapat 3 karakter dari resiko yang

dirasakan oleh seseorang yaitu sebagai berikut:

(1) Anggapan risiko terukur dan dapat diprediksi. Teknik psikometri

tampaknya cocok untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara

kelompok-kelompok yang berkaitan dengan risiko persepsi dan sikap.

(2) "Risiko" berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Ketika

ahli menilai risiko, tanggapan mereka berkorelasi sangat dengan perkiraan

teknis kematian tahunan. Orang awam bisa menilai kematian tahunan jika

mereka diminta untuk (dan menghasilkan perkiraan agak seperti perkiraan

teknis). Namun, penilaian mereka dari risiko sensitif terhadap faktor-faktor

lain juga (misalnya, potensi bencana, ancaman bagi generasi mendatang)

dan, sebagai hasilnya, mungkin berbeda dari perkiraan kematian tahunan

mereka sendiri.

(3) Bahkan ketika kelompok tidak setuju tentang keberisikoan keseluruhan

bahaya tertentu, mereka menunjukkan kesepakatan yang luar biasa ketika

rating mereka bahaya pada karakteristik risiko seperti pengetahuan,

pengendalian, ketakutan, potensi bencana, dll.

14
2.1.2. Safety Knowledge

Keselamatan kerja adalah bentuk khusus dari 'kompetensi

organisasi'. Dalam hal itu adalah bentuk kompetensi muncul berkelanjutan

dalam organisasi oleh interaksi antara berbagai aktor kolektif dalam

organisasi (Gherardi and Nicolini, 2000). Apa yang kita sebut

'keselamatan' adalah hasil dari serangkaian praktik dibentuk oleh sistem

simbol dan makna yang berorientasi tindakan tapi yang terdiri dari sesuatu

yang lebih. Keselamatan dapat dilihat sebagai praktik terletak, hasil dari

sistem sociotechnical, hasil akhir dari proses konstruksi kolektif, yang

melibatkan orang, teknologi dan tekstual dan bentuk simbolik dirakit

dalam sistem hubungan material. Sistem hubungan terdiri dari komponen

yang heterogen, dan tidak menampilkan perbedaan tradisional antara

unsur-unsur manusia dan non-manusia, aspek budaya atau alam, tindakan

dan kendala. Sebaliknya, semua elemen yang terlibat dalam proses konstan

generasi berakar dalam praktek organisasi dan disebut 'rekayasa

heterogenitas' (Law, 1992). Sebuah lingkungan kerja yang aman

merupakan hasil dari kumpulan beberapa elemen kompetensi yang

bersinergi yaitu material, hubungan, komunikasi, dan manusia yang semua

ada dalam sebuah lingkungan kerja.

Unsur heterogen melibatkan upaya untuk mengintegrasikan mode

tindakan yang tepat untuk beberapa praktek kerja dalam organisasi dan

15
ditopang oleh anggota yang terlibat dalam praktek-praktek yang berbeda

dan dalam komunitas yang berbeda dari praktek, menangani keamanan

dalam cara yang berbeda. 'Pengetahuan Keselamatan' karena itu

mengambil bentuk kompetensi 'budaya' mampu mempengaruhi gaya dan

cara di mana berarti dan nilai yang dikaitkan dengan peristiwa, dan untuk

menentukan penggunaan yang sumber daya, teknologi, artefak, dan

pengetahuan kelompok atau organisasi. Keselamatan didefinisikan sebagai

kapasitas kolektif atau kompetensi adalah sebuah wilayah yang menarik

penyelidikan relatif terhadap peredaran pengetahuan dalam praktek.

Untuk menganalisis sirkulasi pengetahuan keselamatan, kita akan

menggunakan sejumlah konsep yang berasal dari 'aktor teori jaringan'

(ANT), kosakata konseptual yang merupakan bentuk 'materialisme

relasional' berkomitmen untuk proyek memahami kontingen, material dan

prosesual karakter jaringan sosial (Law, 1994). Model terjemahan sirkulasi

pengetahuan dan penciptaan menantang menerima 'difusi Model' asal

epidemiologi biasanya digunakan untuk menafsirkan kedua proses inovasi

dan pelaksanaannya. Membandingkan dua pendekatan, Latour (1986)

menunjukkan bahwa dalam model difusi beberapa 'objek', apakah

teknologi atau perintah atau ide, ditularkan berdasarkan dorongan awal

yang diberikan oleh sumber otoritatif.

Pusat dari pendekatan jaringan aktor adalah gagasan dari

'perantara' yang beredar di antara berbagai pelaku. Perantara ini termasuk

benda-benda alam atau artefak, individu dan kelompok dengan kompetensi

16
mereka, teks dan prasasti. Perantara baik mewujudkan dan melakukan

pengaturan pemesanan. Mereka berdua hasil 'terlihat' dari perakitan

elemen heterogen dengan jaringan lain dalam ruang dan waktu, dan upaya

aktif dari jaringan yang menghasilkan beberapa efek yang jauh. Perantara

yang 'mewakili' jaringan, baik dalam arti membuat terlihat dan berdiri

untuk itu, dan menerjemahkannya dalam ruang dan waktu. Menurut Callan

(1992) ada empat jenis dari perantara pada umumnya :

 Manusia, dengan keterampilan dan pengetahuan yang mereka hasilkan

dan bereproduksi;

 Artefak, yang mencakup semua entitas non-manusia yang

memfasilitasi kinerja tugas;

 Teks dan prasasti, yang meliputi segala sesuatu yang ditulis atau

direkam, serta saluran melalui mana mereka beredar;

 Uang dalam bentuk manifold.

Sikap menekankan pada evaluasi individu terhadap obyek sikap,

seperti ditunjukkan oleh definisi yang dikemukakan Eagly dan Chaiken

(1993) bahwa sikap merupakan tendensi psikologi yang ditunjukkan

dengan penilaian senang/tidak senang terhadap suatu obyek. Sedangkan

pengetahuan keselamatan kerja merupakan ilmu pengetahuan dan

penerapannya guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan atau

penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Dengan

demikian, definisi sikap terhadap pengetahuan keselamatan kerja lebih

17
menekankan adanya evaluasi untuk setuju/tidak setuju terhadap

pengetahuan.

Pengetahuan keselamatan sangat penting dalam memahami

perilaku keselamatan kerja, karena pengetahuan yang di peroleh dalam

pengetahuan keselamatan dapat di terapkan di dalam lingkungan kerja.

Pengetahuan keselamatan dipengaruhi oleh pengetahuan karyawan

terhadap prosedur keselamatan kerja yang diberikan atau diterapkan di

dalam perusahaan. Dengan adanya pengetahuan keselamatan karyawan

lebih waspada terhadap kecelakaan kerja. Berdasarkan teori diatas

pengetahuan akan suatu hal cenderung disertai dengan penerapan sikap.

Tentunya hal ini berperan penting dalam mengurangi tingkat kecelakaan

kerja.

Pengetahuan tentang pentingnya sebuah keselamatan dalam

lingkungan kerja merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh

manajer suatu perusahaan, namun pengetahuan tentang keselamatan kerja

diiringi dengan adanya persepsi dari karyawan. Di tempat kerja, persepsi

karyawan mungkin dipengaruhi tidak hanya oleh praktek-praktek

manajerial dan kebijakan dan prosedur formal, tetapi juga oleh rekan-

rekan dalam karya-unit yang sama (Clarke dan Ward, 2006; DeJoy et al,

2004.).

18
2.1.2.1 Jenis Jenis Pengetahuan Organisasi

Pengetahuan adalah aset yang sangat berharga bagi perusahaan.

Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh Stakeholder dari sebuah

perusahaan, akan membuat perusahaan tersebut menjadi semakin

maju. Knowledge Management dapat membantu perusahaan untuk

melakukan sharing pengetahuan seputar proses bisnis, masalah-masalah

yang terjadi pada setiap unit kerja, hingga berbagi pengalaman tentang hal-

hal di luar pekerjaan yang bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan

dari karyawan perusahaan. Jika dilihat dari definisinya, Knowledge

Management adalah sebuah proses yang membantu organisasi dalam

mengidentifikasi, memilih, mengorganisasikan, menyebarkan, dan

memindahkan informasi penting dan pengalaman yang merupakan bagian

dari organisasi  (Viju Mattew, 2011). Dalam organisasi, terdapat 2 jenis 

pengetahuan, yaitu :

1. Tacit, adalah pengetahuan yang terdapat dalam diri kita yang belum

didokumentasikan. Dalam hal ini Tacit Knowledge dapat menjadi aset

yang berharga bagi perusahaan karena Tacit Knowledge berisi

pengetahuan dari pengalaman sehari-hari, yang jika dibagikan akan

sangat membantu seluruh stakeholder dalam perusahaan untuk

mengatasi masalah atau menambah pengetahuan. Contoh dari Tacit

Knowledge adalah pengetahuan yang diperoleh karyawan dari hasil

sharing karyawan lain pada saat rapat atau pelatihan.

19
2. Explicit, Adalah pengetahuan yang bersifat tersirat atau sudah

didokumentasikan, sehingga memudahkan karyawan untuk

mempelajarinya. Contoh pengetahuan secara explicit adalah modul di

perusahaan untuk karyawan baru yang berisi deskripsi pekerjaan atau

dokumentasi alur proses bisnis perusahaan.

2.1.3. Safety Climate

Iklim keselamatan adalah salah satu jenis iklim yang dapat dialami

oleh individu dalam organisasi. Tipe iklim lain yang telah diidentifikasi

termasuk iklim untuk layanan pelanggan (Burke, Borucki, & Hur ley,

1992; Schneider, Wheeler, & Cox, 1992) dan iklim untuk inovasi (NR

Anderson & Barat, 1998; Klein & Sporra, 1996). Semua jenis iklim

didasarkan pada persepsi individu dari praktek, prosedur, dan imbalan

dalam organisasi (Schneider, 1990).Iklim keselamatan mengacu pada

aspek tertentu dari iklim di organisasi yang berfokus pada orang-orang

persepsi bersama tentang kebijakan organisasi, prosedur dan praktik yang

berfungsi sebagai indikator pentingnya keselamatan karyawan dan

kesehatan (Zohar, 2000). Iklim keamanan organisasi telah terbukti

memengaruhi keselamatan-ulang perilaku lated dan hasil di berbagai

industri. Dalam lingkungan minyak lepas pantai skor iklim keamanan yang

tidak menguntungkan telah terbukti berhubungan dengan peningkatan

kecelakaan porting ulang (Mearns et al., 2003). Demikian juga kinerja

20
keselamatan di perusahaan pengolahan kayu di Finlandia telah

menunjukkan korelasi dengan tingkat kecelakaan dengan iklim

keselamatan positif terkait dengan tingkat kecelakaan yang lebih rendah

(Varonen dan Mattila, 2000). Iklim keselamatan organisasi di bidang

manufaktur sebuah pengaturan berkorelasi dengan program keselamatan

sektor efektivitas organisasi sebagaimana dinilai oleh inspektur

keselamatan peringkat (Zohar, 1980). Di Australia, dalam pengaturan baik

manufaktur dan pertambangan, iklim keselamatan ditampilkan hubungan

positif dengan perilaku yang terkait dengan keselamatan (Griffin dan Neal,

2000). Dalam iklim keamanan pengaturan kesehatan ditunjukkan untuk

pos- itively dikaitkan dengan kesediaan karyawan untuk berpartisipasi

dalam kegiatan safety meningkatkan (Neal dan Griffin, 2006). Dalam

konstruksi iklim keselamatan positif negatif terkait dengan cedera dan

positif dengan produktivitas (Gillen et al., 2002). Menurut Hofmann dan

Stetzer (1996) bahwa konstruk iklim adalah “individu melampirkan makna

dan menafsirkan lingkungan dimana mereka bekerja. Makna ini untuk dan

persepsi kemudian mempengaruhi cara di mana individu berperilaku

dalam organisasi melalui sikap, norma, dan persepsi perilaku”.

Asumsi yang mendasari hubungan antara iklim keselamatan

organisasi dan tingkat kecelakaan adalah bahwa iklim memberikan

pedoman perilaku organisasi yang sesuai, sehingga iklim yang lebih positif

mendorong perilaku yang aman melalui imbalan organisasi (misalnya,

pengakuan dan umpan balik untuk membuat saran keselamatan),

21
sementara lebih negatif iklim keselamatan memperkuat perilaku yang

tidak aman dengan menghapus insentif untuk meningkatkan keselamatan

(misalnya, mengutamakan produksi lebih aman), yang, pada gilirannya,

berhubungan dengan terjadinya kecelakaan kerja. Dukungan untuk

penafsiran ini ditemukan dalam model sebab-akibat kecelakaan, yang

menunjukkan jalur yang signifikan antara iklim keselamatan dan

kecelakaan dimediasi oleh perilaku yang tidak aman pekerja (Oliver,

Cheyne, Tomas, & Cox, 2002; Tomas, Melia, & Oliver, 1999). Selain itu,

ada bukti bahwa iklim keselamatan positif mempertahankan perilaku yang

terkait dengan keselamatan, termasuk keterlibatan dalam kegiatan safety

(Cheyne, Cox, Oliver, & Tomas, 1998) dan partisipasi keselamatan (Neal,

Griffin, & Hart, 2000). Berbagai tingkat iklim keselamatan, termasuk

iklim keselamatan di tingkat kelompok kerja dikembangkan dan diuji oleh

Zohar (2000). Menurut Zohar iklim keselamatan (2000) kelompok

didasarkan pada nilai relatif atau kepentingan supervisor menempatkan

pada keselamatan seperti yang dirasakan oleh para pekerja dalam

kelompok itu. Melalui pengamatan sehari-hari dan interaksi dengan

kelompok kerja pengawas anggota datang untuk memahami harapan

pengawas untuk keselamatan. Ketika menentukan bagaimana melakukan

anggota kelompok kerja mereka melihat ke pemahaman ini untuk

bimbingan. Dengan cara ini pemimpin menetapkan iklim keselamatan

kelompok, yang berfungsi sebagai kerangka acuan untuk membimbing

perilaku yang terkait dengan keselamatan yang tepat dan adaptif dari

22
anggota kelompok. Ketika supervisor menampilkan pola yang konsisten

dari tindakan keselamatan mendukung, mempromosikan persepsi bersama

di antara anggota kelompok akan pentingnya keselamatan, dan perilaku

keselamatan meningkatkan meningkat. Dalam kondisi di mana

keselamatan diabaikan oleh para pekerja pengawas akan menyimpulkan

bahwa keselamatan memegang nilai kecil untuk supervisor, iklim

keselamatan kelompok dinilai lebih rendah akan menghasilkan, dan

perilaku yang tidak aman akan meningkat (Zohar, 2000). Zohar (2000,

2002a, 2004) memiliki diidentifikasi asosiasi tween iklim keselamatan

dinilai lebih tinggi di tingkat kelompok kerja dan penurunan tingkat cedera

di kedua manufaktur dan pengaturan militer ketika mengendalikan risiko

cedera relatif. Griffin dan Neal (2000) menemukan bahwa motivasi

partisipasi dan, pada tingkat lebih rendah, pengetahuan keselamatan adalah

prediktor signifikan dari partisipasi keselamatan. Selanjutnya, dalam studi

longitudinal, efek tertinggal signifikan yang ditemukan antara partisipasi

keselamatan dan motivasi keselamatan, seperti yang terlibat dalam

kegiatan safety menyebabkan kenaikan lebih lanjut dalam motivasi

keselamatan (Neal & Griffin, 2006).

2.1.3.1. Faktor-faktor Iklim keselamatan Kerja

Griffin and Neal mengukur keselamatan yang terdiri dari lima

sistem meliputi:

23
1) Management Value (Nilai Manajemen), Nilai manajemen menunjukkan

seberapa besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat

kerja, bagaimana sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi

bahwa keselamatan penting.

2) Safety Communication (Komunikasi Keselamatan), Komunikasi

keselamatan diukur dengan menanyakan dimana isu-isu keselamatan

dikomunikasikan.

3) Safety Practices (Praktek Keselamatan), Yaitu sejauh mana pihak

manajemen menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan

cepat terhadap bahaya-bahaya yang timbul.

4) Safety Training (Pelatihan Keselamatan) ,Pelatihan adalah aspek yang

sangat krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering

digunakan untuk menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi

karena pelatihan sangat penting bagi pekerja produksi.

5) Safety Equipment (Peralatan Keselamatan) ,Peralatan keselamatan

mengukur tentang kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat

perlengkapan yang tepat disediakan dengan mudah.

2.1.4 Safety Performance

24
Persepsi iklim keselamatan harus dibedakan dari persepsi

pengetahuan individu, motivasi, dan perilaku yang mempengaruhi

keselamatan di tempat kerja. Perilaku kerja yang relevan dengan

keselamatan dapat dikonseptualisasikan dalam cara yang sama seperti

perilaku pekerjaan lain yang merupakan prestasi kerja. Dalam cara ini,

model kinerja dapat diterapkan untuk kinerja keselamatan di tempat kerja.

Model kinerja yang digunakan dalam penelitian ini membuat perbedaan

antara komponen kinerja, faktor-faktor penentu kinerja, dan anteseden

kinerja (Campbell, Gasser, & Oswald, 1996). Komponen kinerja

menggambarkan perilaku aktual yang individu melakukan di tempat kerja.

Borman dan Motowidlo (1993) mengusulkan dua komponen utama dari

kinerja: kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Kedua komponen dari

kinerja dapat digunakan untuk membedakan perilaku keselamatan di

tempat kerja. Borman dan Motowidlo (1993) membedakan perilaku

keselamatan di tingkat individu ke dalam dua kategori, yaitu kepatuhan

keselamatan (safety compliance) dan partisipasi keselamatan (safety

participation).Kepatuhan keselamatan didefinisikan sebagai aktivitas

utama yang harus dilakukan individu untuk mempertahankan keselamatan

di tempat kerja, termasuk didalamnya kepatuhan akan prosedur kerja dan

menggunakan peralatan pelindung diri (personal protective equipment-

PPE). Di sisi lain partisipasi keselamatan didefinisikan sebagai perilaku

yang tidak secara langsung berkontribusi terhadap aktivitas keselamatan,

tetapi akan membantu lingkungan kerja untuk tetap selamat. Beberapa

25
contoh partisipasi keselamatan adalah mengikuti rapat- rapat keselamatan,

dan membantu rekan kerja untuk mengatasi masalah yang berhubungan

dengan keselamatan kerja. Perilaku ini mungkin tidak langsung

berkontribusi terhadap keselamatan kerja, tetapi mereka membantu untuk

mengembangkan lingkungan yang mendukung keselamatan (Griffin,

2000).

Faktor-faktor penentu kinerja mewakili penyebab proksimal

variabilitas dalam kinerja. Ini adalah faktor yang secara langsung

bertanggung jawab untuk perbedaan individu dalam tugas dan kinerja

kontekstual (Griffin, 200). Campbell et al. (1993) (dalam Griffin ,2000)

berpendapat bahwa hanya ada tiga faktor penentu kinerja individu:

pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Kinerja keselamatan harus

ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh

seorang individu dan dengan menggunakan motivasi untuk berperilaku

(Griffin, 2000). Pada tingkat individu, penelitian menunjukkan bahwa

faktor-faktor seperti kemampuan dan pengalaman merupakan anteseden

penting dari kinerja tugas, sedangkan konstruksi kepribadian, seperti

kesadaran, adalah anteseden penting dari kinerja kontekstual (McHenry,

Hough, Toquarn, Hanson, & Ashworth, 1990; Motowidlo & Van Scatter,

1994; Wise, McHenry, & Campbell, 1990).

2.1.5. Hubungan Antar Variabel

2.1.5.1. Hubungan antara Risk Perception dengan Safety Climate

26
Kita tahu bahwa persepsi risiko dapat bervariasi secara luas antara

individu. Akibatnya, paparan peristiwa yang sama mungkin karena itu

memiliki signifikan konsekuensi yang berbeda dalam kelompok kerja

dalam hal hasil keselamatan. Meskipun persepsi risiko yang akurat dan

dapat diandalkan mungkin adaptif dalam memotivasi pekerja untuk

mematuhi peraturan keselamatan dan menyesuaikan diri dengan

lingkungan kerja yang menantang, kekhawatiran dan ruminasi tentang

potensi risiko dan tantangan juga mungkin memiliki konsekuensi negatif.

Misalnya, sebuah badan mengumpulkan penelitian telah menunjukkan

bahwa persepsi berkelanjutan Risiko memiliki hasil kesehatan negatif

yang signifikan bagi karyawan (Grau et al., 1992; McLain, 1995; Morrow

dan Crum, 1998), selain itu penelitian lain juga menunjukkan bahwa

persepsi risiko secara langsung berkaitan dengan ketidakpuasan kerja

antara karyawan (Nielsen et al., 2011). Persepsi iklim keselamatan dapat

mempengaruhi sikap karyawan terhadap keselamatan, cara karyawan

melaksanakan pekerjaan dan cara karyawan berinteraksi sesama karyawan

yang mempunyai dampak langsung pada hasil keselamatan seperti

kecelakaan kerja pada perusahaan (Griffin dan Neal, 2003:15). Dengan

uraian diatas maka dapat didapat dua hipotesis sebagai berikut :

 H1 : Risk perception memiliki pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap Safety climate.

 H2 : Risk perception berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Safety performance.

27
2.1.5.2. Peran Safety Climate sebagai mediator.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Griffin dan Neal (2000) yang

mengacu pada beberapa teori mengenai perilaku, suatu model yang

menggambarkan antara iklim keselamatan kerjadengan perilaku

keselamatan (safety performance). Walaupun terdapat banyak faktor, baik

dari individu maupun lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi perilaku

kerja seperti keahlian dan kepribadian individu, serta iklim organisasi

(Neal & Griffin, 1999), tetapi pada model ini iklim keselamatan kerja

menjadi antiseden utama yang data berpengaruh secara positif terhadap

perilaku keselamatan. Mediasi iklim keselamatan kerjadan sikap

pengetahuan keselamatan didalam kerangka kerjamemberikan suatu proses

individual yang menghubungkan iklim keselamatan kerja dengan hasil

kerja spesifik. Dengan berdasarkan uraian diatas maka dapat kami

mendapatkan dua hipotesis sekaligus dimana Safety Climate berperan

sebagai variabel yang memediasi antara variabel X1 dan X2 terhadap

variabel Y sebagai berikut :

 H3 : Safety climate memediasi hubungan antara Risk

perception dengan Safety performance.

 H4 : Safety climate memediasi hubungan antara Safety

knowledge dan Safety performance.

28
2.1.5.3. Hubungan antara Safety Knowledge dengan Safety Climate

dan Safety Performance

Penelitian yang dilakukan untuk membahas tentang safety

knowledge atau dapat diartikan sebagai sikap pengetahuan seseorang

terhadap keselamatan kerja tidak begitu banyak, dalam penelitian yang

dilakukan oleh Eagly dan Chaiken (1993) mendefinisikan bahwa sikap

menekankan pada evaluasi individu terhadap obyek dan sikap merupakan

tendensi psikologi yang ditunjukkan dengan penilaian senang/tidak senang

terhadap suatu obyek. Sedangkan pengetahuan keselamatan kerja

merupakan ilmu pengetahuan dan penerapannya guna mencegah

kemungkinan terjadinya kecelakaan atau penyakit yang disebabkan oleh

pekerjaan dan lingkungan kerja. Pengertian keselamatan kerja menurut

beberapa ahli (Gloss, 1984) adalah derajad kebebasan dari resiko dan

bahaya dalam lingkungan apapun. Digambarkan sebagai pengetahuan atau

keterampilan dalam metode untuk menghindari kecelakaan kerja

(Covan,1995). Berdasarkan uraian diatas maka dapat didapat dua hipotesis

sebagai berikut :

 H5 : Safety knowledge memiliki hubungan yang positif dan

signifikan terhadap Safety climate.

 H6 : Safety knowledge berhubungan positif dan signifikan

dengan Safety performance.

2.1.5.4. Hubungan antara Safety Climate dengan Safety Performance.

29
Dari hasil penelitian yang dilakukan Griffin dan Neal (2000) yang

mengacu pada beberapa teori mengenai perilaku, suatu model yang

menggambarkan antara iklim keselamatan kerjadengan perilaku

keselamatan (safety performance). Walaupun terdapat banyak faktor, baik

dari individu maupun lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi perilaku

kerja seperti keahlian dan kepribadian individu, serta iklim organisasi

(Neal & Griffin, 1999), tetapi pada model ini iklim keselamatan kerja

menjadi antiseden utama yang data berpengaruh secara positif terhadap

perilaku keselamatan. Mediasi iklim keselamatan kerjadan sikap

pengetahuan keselamatan didalam kerangka kerjamemberikan suatu proses

individual yang menghubungkan iklim keselamatan kerjadengan hasil

kerja spesifik. Hasil-hasil tersebut mendukung usulan bahwa sikap

pengetahuan keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerjaterhadap

perilaku keselamatan sangatlah penting. Pembedaan ini penting karena

mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme dimana iklim keselamatan

kerja cenderung mempengaruhi perilaku keselamatan (Campbell et al.,

1993). Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diperoleh hipotesis

sebagai berikut :

 H7 : Safety climate memiliki pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap Safety performance.

2.1.6. Penelitian Terdahulu

30
Penelitian yang dilakukan oleh Yule,Steven et al (2014)

menyebutkan bahwa Safety climate merupakan indikator utama dalam

memberikan wawasan terhadap safety performance sebelum terjadinya

kecelakaan kerja. Mereka menguraikan pengembangan model safety

climate yang ditetapkan komitmen manajemen dan keterlibatan sebagai

variabel masukan, dan perilaku pengambilan risiko sebagai hasil. Dalam

prakteknya, model menetapkan bahwa manajer senior dapat mengurangi

perilaku pengambilan risiko di tempat kerja dalam dua cara. Pertama,

mereka dapat berinvestasi dalam pengetahuan dan pelatihan tenaga kerja

mereka sehingga tenaga kerja dapat memahami risiko yang melekat dalam

pekerjaan bahaya tinggi. Pekerja lebih mungkin untuk mengikuti prosedur

ketika dihadapkan dengan pilihan untuk mengambil risiko jika mereka

memahami mengapa prosedur tersebut berada di tempat dan memiliki

gambaran yang lebih lengkap dari risiko yang mereka akan terkena jika

mereka tidak mengikuti prosedur. Kedua, manajer senior dapat mendorong

supervisor untuk lebih terlibat dalam kegiatan keselamatan. Perilaku

disarankan untuk pengawas termasuk menjadi reseptif tentang ide-ide

tenaga kerja tentang cara-cara untuk meningkatkan kesehatan dan

keselamatan, menerapkan saran dari angkatan kerja, menunjukkan tugas

perawatan dan memberikan bantuan jika pekerja meminta bantuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Griffin dan Neal (2000)

menyebutkan bahwa hasil penelitian ini memberikan kerangka sistematis

untuk penyelidikan lebih lanjut dari dampak persepsi karyawan, perilaku

31
karyawan, dan hasil keamanan organisasi. Kerangka kerja ini akan

memberikan dasar artikulasi yang sedang berlangsung dari dimensi inti

dari iklim keamanan dan peran mediasi pengetahuan karyawan,

keterampilan, dan motivasi. Kerangka kerja ini juga akan membantu

desain dan evaluasi intervensi organisasi yang dirancang untuk

meningkatkan hasil keselamatan.

Penelitian yang menunjukkan tentang persepsi karyawan terhadap

resiko beserta bagaimana wawasan dan pendidikan tentang keselamatan

mempengaruhi pengetahuan keselamatan dilakukan oleh Solis-Carcano et

al (2014) dimana mereka berpendapat bahwa persepsi resiko seorang

karyawan dan pengetahuan keselamatan kerja dapat diukur dari 7 hal

yaitu, profil karyawan, pendidikan formal, motivasi bekerja, kepedulian

tentang pentingnya keselamatan, faktor internal dalam kondisi keluarga,

lingkungan kerja, dan tingkat angka kecelakaan kerja. Hal ini

menunjukkan bahwa Solis (2014) mengambil kesimpulan bahwa ketujuh

faktor itu yang mendasari seorang karyawan dalam memberikan persepsi

terhadap resiko yang ada dalam lingkungan kerja.

2.1.7. Kerangka Berpikir

Risk
Perception

Safety
Safety Climate
Performance

Safety
Knowledge 32
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif, dimana

lebih menitikberatkan pada pengujian hipotesis yang ada dalam peneilitian ,selain

itu data yang digunakan dalam penelitian ini harus terukur sehingga pada hasil

akhir didapatkan hasil yang jelas dan dapat digeneralisasikan. Pendekatan

kuantitatif dimulai dengan merumuskan permasalahan yang ada dalam penelitian,

kemudian melakukan tinjauan pustaka dengan memberikan dasar-dasar teori yang

menjelaskan variabel dan mencantumkan penelitian tedahulu sebagai dasar

pengambilan hipotesis, identifikasi variabel juga diperlukan untuk mengetahui

variabel apa saja yang terdapat dalam penelitian beserta definisi operasional

variabel untuk mengetahui bagaimana peran variabel dalam penelitian ini,

pengumpulan data dilakukan berdasarkan populasi dan sampel serta analisis data

pada bab selanjutnya.

3.2. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini terdapat 4 (empat) variabel yang digunakan , keempat

variabel yang akan diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

33
1. Variabel bebas1 (X1) : Risk perception.

2. Variabel bebas2 (X2) : Safety knowledge

3. Variabel mediasi (Z) : Safety climate

4. Variabel terikat (Y) : Safety performance

Jadi, dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel bebas, 1 variabel mediasi, dan

1 variabel terikat.

3.3. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut :

1. Variabel bebas 1 (X1) : Risk Perception.

Risk perception dapat diartikan sebagai persepsi karyawan terhadap suatu

resiko dalam pekerjaan, dalam penelitian ini risk perception merupakan bagian

dasar dari pemikiran seorang karyawan tentang penting atau tidaknya akan

keselamatan kerja mengingat bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko yang

berbeda dan setiap karyawan memiliki anggapan yang berbeda tentang resiko

tersebut dan pentingnya keselamatan kerja.

Persepsi pekerja dapat dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang membentuk

risk perception seorang pekerja, menurut Romel G. dan Ricardo J. (2014) faktor-

faktor tersebut adalah :

1. Profil karyawan, latar belakang karyawan menjadi faktor pertama dalam

membentuk persepsi tentang resiko dalam pekerjaan. Latar belakang

34
tersebut terdiri dari usia, tempat pekerjaan, pengalaman bekerja, dan

jabatan dalam tempat bekerja.

2. Pelatihan dan pendidikan, latar belakang pendidikan dan pelatihan juga

merupakan aspek yang penting untuk mengetahui seberapa besar persepsi

yang dihasilkan oleh karyawan perihal resiko dan keselamatan kerja.

3. Motivasi kerja, tidak semua karyawan memiliki motivasi kerja yang sama

antara satu karyawan dengan yang lain, jika seorang karyawan

menganggap bahwa pekerjaan merupakan satu-satunya sarana agar ia dan

keluarganya tetap hidup, maka bisa dikatakan bahwa karyawan tersebut

memiliki persepsi yang peka terhadap pentingnya keselamatan kerja.

4. Lingkungan kerja, salah satu faktor yang termasuk dapat mempengaruhi

atau mengukur seberapa besar persepsi karyawan terhadap suatu resiko

pekerjaan tentunya lingkungan kerja, dimana setiap hari karyawan

melakukan interaksi secara intens baik dengan sesama karyawan, atasan,

bahkan alat-alat yang terdapat dalam pabrik.

5. Kepedulian terhadap rasa aman, yang terakhir adalah bagaimana karyawan

merasakan adanya rasa kepedulian akan keamanan dalam bekerja.

Dari semua indikator tersebut variabel terkait diukur dengan menggunakan

Skala Likert yang bernilai 1 sampai 5. Kriteria nilai skalanya antara lain :

a. Jawaban dari nilai “ 1 “ untuk kategori “ Sangat Tidak Setuju “

b. Jawaban dari nilai “ 2 “ untuk kategori “ Tidak Setuju “

c. Jawaban dari nilai “ 3 “ untuk kategori “ Netral “

d. Jawaban dari nilai “ 4 “ untuk kategori “Setuju“

35
e. Jawaban dari nilai “ 5 “ untuk kategori “ Sangat Setuju“

2. Variabel bebas 2 (X2) : Safety Knowldege

Safety knowledge dalam penelitian ini diartikan sebagai bagaimana seorang

karyawan memiliki pengetahuan akan suatu kejadian berupa kecelakaan kerja,

sehingga seorang karyawan memiliki kemampuan ataupun gagasan-gagasan

dalam upaya melakukan pencegahan terhadap terjadinya suatu kecelakaan kerja,

dan bagaimana seorang karyawan memiliki kemampuan untuk menerapkan

pengetahuan yang ia miliki dalam upaya meminimalisir terjadinya kecelakaan

kerja.

Adapun pokok-pokok peningkatan kesadaran keselamatan dan kesehatan kerja

di kalangan karyawan yaitu :

1. Pengertian:

Memberikan pengertian yang sebaik-baiknnya kepada karyawan mengenai

cara bagaimana mereka harus bekerja secara benar, tepat, cepat, dan selamat.

2. Dasar keselamatan kerja:

Meyakinkan mereka, bahwa keselamatan kerja dan kesehatan kerja

mempunyai dasar-dasar yang sama pentingnya dengan kualitas/ mutu dan target.

3. Pelaksanaan kerja:

36
Memberikan pengertian yang mendalam kepada mereka, bahwa cara-cara

pelaksanaan pengamanan kerja yang dipaksakan tanpa disertai kesadaran mungkin

akan berakibat lebih buruk bila dibandingkan dengan pelanggaran suatu peraturan.

4. Tanggung jawab

Berusaha dengan bersungguh-sungguh agar seluruh isi program K3 menjadi

tanggung jawab setiap karyawan demi kepentingan bersama.

5. Pengamatan lingkungan

Melakukan pengamatan dan pengawasan secara terus-menerus terhadap

pelaksanaan kerja dan lingkungan dengan baik, sehingga dapat dipastikan bahwa

setiap karyawan telah dapat membiasakan diri bekerja dengan perilak sebaik-

baiknya dan selamat.

Dari semua indikator tersebut variabel terkait diukur dengan menggunakan

Skala Likert yang bernilai 1 sampai 5. Kriteria nilai skalanya antara lain :

f. Jawaban dari nilai “ 1 “ untuk kategori “ Sangat Tidak Setuju “

g. Jawaban dari nilai “ 2 “ untuk kategori “ Tidak Setuju “

h. Jawaban dari nilai “ 3 “ untuk kategori “ Netral “

i. Jawaban dari nilai “ 4 “ untuk kategori “Setuju“

j. Jawaban dari nilai “ 5 “ untuk kategori “ Sangat Setuju“

3. Variabel Mediasi (Z) : Safety Climate

Iklim keselamatan atau safety climate merupakan suatu kondisi yang

diciptakan oleh perusahaan guna membangun kondisi atau situasi yang aman bagi

37
pekerja agar terhindar dari adanya kecelakaan kerja. Situasi yang aman tersebut

dirasakan oleh para karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga para

karyawan dapat bekerja dengan maksimal dan dapat memenuhi tingkat

produktivitas yang ditargetkan oleh perusahaan.

Griffin and Neal mengukur keselamatan yang terdiri dari lima sistem meliputi:

1) Management Value (Nilai Manajemen), Nilai manajemen menunjukkan

seberapa besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat

kerja, bagaimana sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi

bahwa keselamatan penting.

2) Safety Communication (Komunikasi Keselamatan), Komunikasi

keselamatan diukur dengan menanyakan dimana isu-isu keselamatan

dikomunikasikan.

3) Safety Practices (Praktek Keselamatan), Yaitu sejauh mana pihak

manajemen menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan

cepat terhadap bahaya-bahaya yang timbul.

4) Safety Training (Pelatihan Keselamatan) ,Pelatihan adalah aspek yang

sangat krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering

digunakan untuk menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi

karena pelatihan sangat penting bagi pekerja produksi.

38
5) Safety Equipment (Peralatan Keselamatan) ,Peralatan keselamatan

mengukur tentang kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat

perlengkapan yang tepat disediakan dengan mudah.

Dari semua indikator tersebut diukur dengan menggunakan Skala Likert

yang bernilai 1 sampai 5. Kriteria nilai skalanya antara lain :

k. Jawaban dari nilai “ 1 “ untuk kategori “ Sangat tidak Puas “

l. Jawaban dari nilai “ 2 “ untuk kategori “ Tidak Puas “

m. Jawaban dari nilai “ 3 “ untuk kategori “ Netral “

n. Jawaban dari nilai “ 4 “ untuk kategori “ Puas “

o. Jawaban dari nilai “ 5 “ untuk kategori “ Sangat Puas “

4. Variabel terikat (Y) : Safety Performance

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan safety performance adalah

perilaku karyawan yang menunjukkan bagaimana karyawan tersebut melakukan

pekerjaan dengan sesuai standar keselamatan yang telah ditetapkan oleh

perusahaan, sehingga karyawan dapat berperilaku untuk mengamankan diri

sendiri agar terhindar dari resiko kecelakaan kerja yang selalu ada dalam setiap

pekerjaan.

Adapun indikator dari perilaku keselamatan kerja menurut Campbell et all (1993)

(Dalam Neal, 2000) beranggapan bahwa perilaku ditentukan oleh :

39
1. Kemampuan, yang dimaksud dalam kemampuan adalah bagaimana

seorang karyawan mampu melakukan hal-hal yang sesuai standar dari

keselamatan kerja dalam sebuah perusahaan.

2. Motivasi, dalam hal ini yang dimaksud motivasi adalah hal apa yang

menjadi dasar seorang karyawan mau melakukan perilaku

keselamatan.

3. Pengetahuan, yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini adalah

wawasan apa yang dimiliki oleh karyawan perihal keselamatan kerja

sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang telah diintruksikan

mengenai keselamatan kerja.

Dari semua indikator tersebut variabel terkait diukur dengan menggunakan Skala

Likert yang bernilai 1 sampai 5. Kriteria nilai skalanya antara lain :

p. Jawaban dari nilai “ 1 “ untuk kategori “ Sangat Tidak Setuju “

q. Jawaban dari nilai “ 2 “ untuk kategori “ Tidak Setuju “

r. Jawaban dari nilai “ 3 “ untuk kategori “ Netral “

s. Jawaban dari nilai “ 4 “ untuk kategori “Setuju“

t. Jawaban dari nilai “ 5 “ untuk kategori “ Sangat Setuju

3.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, data yang digunakan ada dua jenis, yaitu :

40
1. Data primer, data ini merupakan data yang diperoleh secara langsung dari

para karyawan perusahaan dengan menggunakan kuesioner untuk

memperoleh atau menghimpun data primer disertai pilihan jawaban

alternatif dan jawaban dari tiap responden bersifat rahasia dalam artian

tidak boleh dipublikasikan secara umum jawaban kuesioner dari salah satu

responden (misal : nama, jenis kelamin,dll).

2. Data sekunder, data ini dapat diperoleh dari data-data yang dimiliki

perusahaan dimana penelitian ini juga memerlukan data sekunder tentang

perusahaan tempat penelitian ini dilakukan.

3.5. Prosedur Pengumpulan Data

3.5.1. Populasi

Dalam penelitian ini akan digunakan populasi dari seluruh

karyawan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Hal ini

dikarenakan perusahaan konstruksi yang sesuai dengan tujuan dari

penelitian ini.

3.5.2. Sample

Sample penelitian dari penelitian ini adalah karyawan yang

bergerak di bagian operasional perusahaan, karena kedua bagian itulah

dimana sering terjadi kecelakaan kerja, sehingga diharapkan data yang

diperoleh akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian dilakukan.

3.5.3. Sampling Techniques

41
Teknik sampling yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan teknik sampling nonprobabilitas dengan Purposive

sampling atau judgmental sampling yaitu penarikan sampel secara

purposif merupakan cara penarikan sample yang dilakukan memilih subjek

berdasarkan kriteria spesifik yang dietapkan peneliti. Dasar pemilihan

teknik sampling ini adalah dikarenakan tidak semua karyawan dalam

perusahaan dapat dijadikan sample. Hal ini dikarenakan objek penelitian

ini hanya ditujukan kepada karyawan yang berada pada bagian yang

menyangkut keselamatan kerja khusunya di bagian lapangan yang selalu

berinteraksi dengan alat berat sehingga rentan untuk terjadi kecelakaan

kerja. Jumlah sample dalam penelitian adalah 40 orang karena jumlah

tersebut merupakan jumlah yang sudah cukup mewakili dari perusahaan

manufaktur tersebut. Jumlah ini ditetapkan karena tidak mungkin peneliti

melakukan pengambilan kepada seluruh populasi mengingat sumber daya

manusia peneliti yang terbatas (hanya 1 orang) tentunya akan memakan

waktu yang sangat lama proses pengambilan data ini, selain itu mengingat

bahwa peneliti menggunakan regresi linear berganda dimana jumlah

responden yang dicari adalah 10 kali dari jumlah variabel maka responden

yang dibutuhkan dengan menggunakan 4 variabel adalah sekitar 40 orang.

3.6.1. Teknik Analisis Data

3.6.1.1. Regresi Linear Berganda

42
Alat analisis yang digunakan untuk penelitian ini

menggunakan analisis regresi linier berganda. Analisis regresi linier

berganda adalah hubungan secara linear antara dua atau lebih variabel

independen (X1, X2,….Xn) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini

untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen apakah masing-masing variabel independen

berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel

dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau

penurunan. Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio.

Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:

Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn

Keterangan:

Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)

X1 dan X2 = Variabel independen

a = Konstanta (nilai Y’ apabila X1, X2…..Xn = 0)

b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun

penurunan)

3.6.1.2. Langkah-langkah Regresi Linear Berganda

Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam analisis regresi

linear berganda adalah 1) koefisien determinasi; 2) Uji F dan 3 ) uji t.

43
Persamaan regresi sebaiknya dilakukan di akhir analisis karena interpretasi

terhadap persamaan regresi akan lebih akurat jika telah diketahui

signifikansinya. Koefisien determinasi sebaiknya menggunakan Adjusted

R Square dan jika bernilai negatif maka uji F dan uji t tidak dapat

dilakukan. Berikut penjelasan mengenai Koefisien determinasi, Uji F dan

Uji T :

1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi mengukur seberapa besar pengaruh

keanggotaan variabel bebas memprediksi variabel terikat. Contoh:

adjusted R square sebesar 0,624 menyatakan pengaruh X1 dan X2

terhadap Y sebesar 62,4%, sisanya sebesar 37,6% dipengaruhi

variabel lain di luar X1 dan X2.

2. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)

Uji F menunjukkan apakah semua variabel bebas yaitu X1 dan X2

secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel

tergantung yaitu Y. Kesimpulan Uji F adalah menolak atau

menerima H0.

3. Uji Signifikansi Individual (Uji t)

Uji t menunjukkan apakah tiap-tiap variabel bebas secara parsial

mempunyai pengaruh terhadap variabel tergantung yaitu pengaruh

44
X1 terhadap Y dan pengaruh X2 terhadap Y. Kesimpulan Uji t

adalah menolak atau menerima H0.

DAFTAR PUSTAKA

Borman, W.C., Motowidlo, S.J., 1993. “Expanding the criterion domain to


include elements of contextual performance”. In: Schmitt, N., Borman,
W.C. and Associates, Personnel Selection in Organizations, Jossey-Bass,
San Francisco, pp. 71-98.
Campbell, J. P., McCloy, R. A., Oppler, S. H., & Sager, C. E. (1993). “ A
theory of perfonnance. In N. Schmitt, W. C. Borman, & Associates (Eds.)”,
Personnel selection in organizations (pp. 35-70). San Francisco: Jossey-Bass.
Clarke, S., 2006. “The relationship between safety climate and safety
performance: a meta-analytic review”. Journal of Occupational Health
Psychology 11, 315–327.
DeJoy, D. M. (1994). Managing safety in the workplace: “An attribution theory
analysis and model”. Journal of Safety Research, 25, 3-17.
Eagly, A. H., &Chaiken, S. (1993). The psychology of attitudes. Fort Worth, TX:
Harcourt Brace Jovanovich.

45
Griffin Mark A. , Neal Andrew. 2000. “Perception of Safety at work : A
Framework For Linking Safety Climate to Safety Performance, Knowledge and
motivasion”. Journal Of Occopational Health Psychology. Vol.5 no. 3, 347-
358.
Griffin Mark A. , Neal Andrew. 2003. “Safety Climate and Safety at work. Hand
book
: The Psychology of work Place”. PP 15-34. American Psychological
Assocation.
Hayes, B. E., Perander, J., Smecko, T., & Trask, J. (1998). “Measuring
perceptions of workplace safety: Develop ment and validation of the work
safety scale”. Journal of Safety Research, 29, 145-161.
Hofmann, D. A., Jacobs, R. R., & Landy, F. J. (1995). “High reliability process
industries: Individual, micro, and macro organizational influences on safety
perfonnance”. Journal of Safety Research, 26, 131-149.
Hofmann, D. A., & Stetzer, A. (1996). “A cross-level investigation of factors
influencing unsafe behaviors and accidents”. Personnel P.ryclwlogy, 49, 307-
339.
Hofmann, D. A., & Stetzer, A. (1999). “The role of safetyclimate and
communication in accident interpretation: Implications for learning from
negative events”. Academy of Management Journal, 41, 644-657.
Jiang, Li et al (2010). “Perceived colleagues’ safety knowledge/behavior and
safety performance: Safety climate as a moderator in a multilevel study”,
Accident Analysis and Prevention 42 (2010) 1468–1476.
Kapp, E.A. (2012). “The influence of supervisor leadership practices and
perceived group safety climate on employee safety performance”, Safety
Science 50 (2012) 1119-1124.
Neil,A et al (2000). “The impact of organizational climate on safety climate and
individual behavior”, Safety Science 34 (2000) 99-109.
Slovic, Paul et al (1984). “Behavioral decision theory perspectives on risk and
safety”, Acta Psychologica 56 (1984) 183-203 North-Holland.

46
Solis-Carcano, Romel G et al (2014). “Construction Workers’ Perceptions of
Safety Practices: A Case Study in Mexico”, Journal of Building Construction
and Planning Research (2014) 2, 1-11.
Yule, Steven et al (2007). “The role of management and safety climate in
preventing risk-taking at work”, Int. J. Risk Assessment and Management, Vol.
7, No. 2, 2007.
www.antaranews.com
www.depkes.go.id
www.bbc.co.uk
www.spssindonesia.com

47

Anda mungkin juga menyukai