Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

Gangguan Identitas Gender dan Parafilia

DISUSUN OLEH :
Kelompok 6
Balqhist Dwi Chindra Amellia 2020305011
Alifia Chairunisiyah 2010305004

DOSEN PENGAMPU :
Umi Nur Holifah, M.Psi

MATA KULIAH :
Psikologi Patologi

PRODI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Gangguan Identitas Gender dan Parafilia” ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas
dalam mata kuliah Pengantar Psikologi Patologi. Selain itu, pembuatan makalah ini juga
bertujuan agar menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Palembang, 10 Maret 2022

Alifia Chairunisiyah
Balqhist Dwi Chindra. A

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
I.I Latar Belakang..........................................................................................................1
I.II Rumusan Masalah....................................................................................................2
I.III Tujuan Pembelajaran..............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4
II.I Gangguan Identitas Gender.....................................................................................4
II.I.I Definisi Gangguan Intitas Gander.....................................................................4
II.I.II Karakteristik Gangguan Identitas Gender........................................................9
II.I.III Teori Berdasarkan Perspektif Psikologi........................................................11
II.I.IV Ciri-ciri Klinis Gangguan Identitas Gender..................................................12
II.I.V Faktor-faktor dalam Pembentukan Identitas Gender......................................14
II.I.VI Pemilihan Objek Seksual..............................................................................18
II.I.VII Terapi Gangguan Identitas Gender..............................................................19
II.I.VIII Jenis-jenis Gangguan Identifikasi Gender..................................................22
II.I.IX Contoh Kasus Gangguan Identitas Gender...................................................25
II.II Parafilia.................................................................................................................28
II.II.I Definisi Parafilia.............................................................................................28
II.II.II Teori Mengenai Parafilia...............................................................................29
II.II.III Faktor-faktor dalam Kasus Parafilia............................................................31
II.II.IV Jenis-jenis Parafilia......................................................................................33
II.II.V Terapi Parafilia.............................................................................................39
II.II.VI Contoh Kasus Parafilia................................................................................42

ii
BAB III PENUTUP.........................................................................................................43
KESIMPULAN...............................................................................................................43
SARAN............................................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................45

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Hidup merupakan sebuah anugerah dari Tuhan yang patut disyukuri. Tuhan
menciptakan beragam makhluk hidup maupun benda mati dengan wujud yang
bervariasi. Tuhan menciptakan berpasang-pasangan, ada siang dan malam, langit dan
bumi, ada panas dan dingin, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Semua itu
merupakan kehendak dari-Nya yang memiliki tujuan dan manfaat.
Secara biologis manusia dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana
jika ada seseorang yang secara bioogis adalah perempuan dengan organ seksual primer
dan sekunder yang normal namun merasa terperangkap dalam tubuh yang salah, dan
pada kenyataannya mengharapkan untuk diakui sebagai anggota dari lawan jenisnya.
Apakah orang seperti ini dapat disebut wanita sedangkan ia mempersepsepsikan dirinya
sebagai seorang laki-laki ?
Dalam ilmu psikologi, masalah seperti ini disebut sebagai gangguan identitas
gender atau mungkin lebih dikenal sebagai transeksual. Dulu dalam DSM-III-TR
(Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder) orang seperti itu
diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam DSM-IV-TR istilah tersebut tidak
digunakan dan mereka hanya dikategorikan sebagai gangguan identitas gender. Tetapi
banyak klinisi merasa bahwa istilah “transeksual” berguna dan mungkin akan terus
digunakan (Kaplan & Sadock, 2010 ; 187).
Transeksualisme juga merujuk pada fenomena ketika seseorang memiliki
perasaan bahwa ia sebenarnya memiliki jenis kelamin yang berlawanan dengan apa
yang saat ini dimilikinya. Beberapa orang yang mengalami gangguan identitas gender
berharap dapat hidup sebagai seseorang dari jenis kelamin yang berlawanan dan mereka
pun bertingkah laku serta memakai pakaian sesuai dengan jenis kelamin yang menjadi
harapannya tersebut (Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 308). Seseorang yang termasuk

1
dalam kategori gangguan identitas gender sering kali dianggap sebagai gender ketiga
(Gilbert Hert dalam Alimi, 2004 ; xv).
Masalah gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan orientasi seksual.
Dimana sebagian besar seorang dengan gangguan identitas gender memiliki orientasi
seksual sejenis, namun ada pula yang heteroseksual. Maka dari itu, penelitian ini ingin
mengetahui pengalaman hidup seseorang dengan kecenderungan gangguan identitas
gender tentang perkembangan identitas gender dan orientasi seksualnya.
Seseorang dapat dikatakan laki-laki atau perempuan sesuai dengan jenis
kelamin, ini disebut identitas seksual. Sedangkan identitas gender sendiri adalah
perasaan dasar seseorang tentang apakah ia laki-laki atau perempuan. Hal ini tidak
berhubungan apakah orang tersebut mengikuti peraturan sosial dan budaya tentang
menjadi laki-laki atau perempuan (Wade & Tavris, 2007 ;258). Jadi identitas gender
adalah persepsi seseorang tentang apakah dirinya laki-laki atau perempuan.
Orientasi seksual adalah rasa ketertarikan seseorang terhadap jenis kelamin
tertentu. Orientasi seksual sendiri dibagi menjadi tiga yaitu, heteroseksual, biseksual,
dan homoseksual. Pada bab II akan dibahas lebih lanjut mengenai ruang lingkup
identitas gender dan orientasi seksual. Seseorang dengan gangguan identitas gender
cenderung memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis (homoseksual). Ini
dikarenakan ia merasa bahwa dirinya adalah anggota dari lawan jenis, jadi menurutnya
sah-sah saja jika tertarik dengan sesama jenis kelaminnya.

I.II Rumusan Masalah

1. Apa itu gangguan identitas gender ?


2. Apa itu parafilia ?
3. Apa teori yang menyebutkan tentang gangguan identitas gender dan parafilia ?
4. Terapi apa yang dapat digunakan ?
5. Apa saja contoh nyata dari gangguan identitas gender dan parafilia ?
6. Metode apa saja yang dapat digunakan untuk penyembuhan ?

2
I.III Tujuan Pembelajaran

Selain untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu,
disususnnya dan dipelajarinya materi ini dikarenakan minimnya pengetahuan kami
sendiri dan teman-teman mengenai pembahasan itu sendiri. Selain itu, dengan
disusunnya materi ini diharapkan dapat membuka pemahaman para pembaca terhadap
materi yang telah disusun.

3
BAB II
PEMBAHASAN

II.I Gangguan Identitas Gender

II.I.I Definisi Gangguan Identitas Gander

Halgin & Whitbourne dalam buku psikologi abnormal mengatakan bahwa,


istilah identitas gender (gender identity) merujuk kepada persepsi diri inidividu
sebagai seorang pria atau wanita 1. Fausiah mengatakan bahwa identitas gender
adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan dalam diri seseorang yang
berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan. Gender sendiri
memiliki arti yang berbeda dengan jenis kelamin (sex).
Semiun dalam buku kesehatan mental mengatakan bahwa, identitas seksual
lebih mengarah sebagai identifikasi yang berkaitan dengan pengetahuan objektif
tentang apakah individu sorang pria atau seorang wanita didasarkan pada tipe-tipe
alat kelamin yang dimilikinya2. Jenis kelamin adalah atribut-atribut fisiologis dan
anatomis yang membedakan laki-laki dengan perempuan. Laki-laki memiliki penis
dan sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina dan ovum untuk bereproduksi
melahirkan anak. Gender merupakan intepretasi sosio-kultural, seperangkat peran
yang telah di konstruksi oleh masyarakat bagaimana menjadi laki-laki atau
perempuan.
Perangkat perilaku ini mencakup penampilan, perilaku, pakaian, sikap,
kepribadian, seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan sebagainya. Sikap dan
perilaku individu dipengaruhi oleh karakteristik peran gender, peran gender individu
sepanjang masa perkembangannya akan mempengaruhi bagaimana ia memandang
dirinya, caranya berinteraksi dengan orang lain, termasuk dalam perilaku prososial,
tingkat kreativitas, dan kemandiriannya. Seperangkat peran gender adalah tentang
seperti apa yang seharusnya dan bagaimana perilaku, perasaan, dan pikiran individu

1
Halgin & Whitbourne, Psikologi Abnormal, (2010), h. 308
2
Semiun, Kesehatan Mental, (2009), h. 3

4
sebagai seorang maskulin atau feminin.
John W. Santrock dalam buku Adolescence mengakatan bahwa, berbicara
mengenai maskulin dan feminin, kita perlu mengetahui arti dan aspek-aspek apa saja
yang terkandung dalam dua sifat tersebut. Menurut Janet S. Hyde maskulin adalah
menjelaskan tentang perbedaan arketip maskulin dan feminin dalam tabel berikut3:

Tabel 2.1 Arketip Maskulin dan Feminin


No. Maskulin Feminin

1. Percaya pada kemampuan sendiri Mudah menyerah (yielding)


(Self relient)
2. Mempertahankan pendapat sendiri Riang gembira (cheerfull)
(Defens own Belief)
3. Mandiri (Independent) Malu (shy)
4. Atletis (atletic) Penuh kasih sayang (affectionate)
5. Asertif (assertive) Suka dipuji (flattereble)
6. Berkepribadian kuat (stronge Setia (loyal)
personality)
7. Berkuasa (force full) Bersifat feminin (femminine)

8. Analitis (analitical) Simpatik (symphatetic)

3
John W. Santrock, Adolescence, (2003), h. 328

5
9. Memiliki kemampuan memimpin Sensitif terhadap kebutuhan orang
(has leadership abilities) lain (sensitive to the needs
of others)
10. Mampu menghadapi resiko (willing Pengertian (understanding)
to take risk)
11. Mudah mengambil keputusan Mudah merasa iba
(makes is decision easly) (compassionate)
12. Memenuhi kebutuhan sendiri Mampu meredakan perasaan yang
(self sufficient) terluka (eager to soothe
hurt feeling)
13. Dominan (dominant) Halus tutur kata (soft spoken)
14. Bersifat maskulin (masculin) Hangat (warm)
15. Bersedia memegang teguh suatu Lembut (tender)
sikap (willing to take a stand)
16. Agresif (aggressive) Mudah tertipu (gullible)
17. Bertindak sebagai pemimpin Kekanak-kanakan (childlike)
(actions a leader)
18. Suka berkompetisi (competitive) Tidak menggunkan bahasa yang
kasar (does not use harsh
language)
19. Ambisius (ambitious) Mencintai anak-anak (loves
childreen)
20. Lemah lembut (gentle)

6
Nevid, Rathus & Greene dalam buku Psikologi Abnormal mengakatakan
bahwa, sementara gangguan identitas gender atau yang lebih dikenal dengan
transeksual adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau
wanita dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas
gendernya4.
Kaplan dan Sadock dalam buku Psikatri Klinis mengatakan bahwa, dalam
DSM-III-TR orang seperti itu diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam
DSM-IV-TR istilah tersebut tidak digunakan dan mereka hanya dikategorikan
sebagai orang memiliki gangguan identitas gender 5.
Seseorang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa ia terperangkap
dalam tubuh yang salah, ia merasa tidak sesuai dengan jenis kelamin yang
dimilikinya. Sehingga ada keinginan agar tubuhnya seperti lawan jenisnya dengan
melakukan operasi kelamin dan mengkonsumsi hormon. Chiland dalam buku
Transsexualisim: Illusion and Reality mendefinisikan gangguan identitas gender
sebagai berikut :

“True transexual feel that they belong to the other sex, they want to be and
function of as members of the opposite sex, not only to appear as such. For them,
their organs, the primary (testes) as will as the secondary (penis and other) as
disgusting deformities that must be changed by the surgeon’s knife… only because of
the recent great advences in endocrinology and surgical techniques has the picture
changed."6

Kemudian penulis mengartikan kalimat tersebut secara bebas, bahwa yang


dimaksud Harry adalah seseorang yang mengalami transeksual merasa bahwa dirinya
adalah jenis kelamin dari lawan jenisnya yang lain, maka dari itu ia ingin menjadi
anggota dari lawan jenis kelaminnya. Bahkan ia merasa jijik dengan kelaminnya

4
Nevid, Rathus & Greene, Psikologi Abnormal, (2007), h. 74
5
Kaplan & Sadock,Psikiatri Klinis, (2010), h. 187
6
Chiland, Transsexualisim: Illusion and Reality, (2004), h. 12

7
sendiri dan ingin melakukan operasi kelamin agar menjadi seperti lawan jenisnya.
Seorang transeksual merasa bahwa jauh didalam dirinya, biasanya sejak awal masa
kanak-kanak, mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya
saat ini. Mereka tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan jenis
kelamin mereka (Davison, 2006 ; 612).

Beberapa orang yang mengalami gangguan identitas gender berharap dapat


hidup sebagai anggota dari lawan jenisnya. Mereka pun bertingkah laku serta
memakai pakaian sesuai dengan jenis kelamin yang menjadi harapannya tersebut
(Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 308). Seorang transeksual merasa bahwa mereka
adalah laki-laki dalam tubuh perempuan serta sebaliknya. Mereka sering mengadakan
perubahan secara menyeluruh menjadi jenis kelamin sebaliknya melalui operasi atau
suntikan hormon, atau hanya dengan berpenampilan atau mengambil atribut jenis
kelamin yang mereka inginkan (Wade & Tavris, 2007 ; 259).
Para peneliti dalam topik gangguan identitas gender telah melakukan usaha
yang besar untuk menemukan usia perkembangan ketika kondisi ini pertama kali
terdeteksi. Penetapan ketidakpuasan terhadap gender sulit ditentukan karena adanya
fakta bahwa banyak anak muda yang berperilaku dan berbicara dengan cara yang
seolah-olah menunjukkan bahwa mereka lebih memilih menjadi individu dengan
jenis kelamin yang lain (Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 309).
Bahkan, ketika para individu dengan dysphoria gender tumbuh dewasa,
individu wanita dilaporkan mengalami masalah yang lebih sedikit, mungkin karena
wanita yang berperilaku dan berpakaian dengan model maskulin lebih dapat diterima
bila dibandingkan pria yang berperilaku dan berpakaian feminin. Sebagai
konsekuensinya, tidak mengejutkan apabila pria lebih banyak mencari bantuan
psikolog profesional dibandingkan wanita (American Psychiatric Assosiation dalam
Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 310).
Bukti-bukti anatomi mereka, yakni alat kelamin normal dan karakteristik jenis
kelamin sekunder yang umum, seperti tumbuhnya jambang pada laki-laki dan

8
membesarnya payudara pada perempuan, tidak membuat mereka merasa bahwa
mereka adalah orang dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka. Umumnya
bila seorang perempuan transeksual merasa tertarik secara seksual pada perempuan
lain, ia menganggap ketertarikan tersebut pada dasarnya heteroseksual dan juga
menginginkan perempuan tersebut tertarik padanya sebagai laki-laki. Situasi tersebut
sama pada sebagian besar laki-laki yang yakin bahwa dirinya pada dasarnya adalah
perempuan (Davison, 2006 ; 613).
Berpakaian seperti lawan jenis tidak akan menjadi masalah bagi perempuan
dengan gangguan identitas gender kerena model busana kontemporer saat ini
memungkinkan bagi perempuan untuk mengenakan pakaian yang mirip dengan
pakaian laki-laki. Berbeda dengan laki-laki, jika ia memakai pakaian wanita
tradisional, maka akan terlihat aneh dan dinilai negatif. Ketika mereka diminta untuk
memakai baju yang sesuai dengan jenis kelaminnya, mereka akan menolak dan kesal.
Jika hal ini terjadi pada seorang perempuan transeksual maka ia akan berusaha untuk
menghindari situasi sosial yang mengharuskannya memakai pakaian wanita.

II.I.II Karakteristik Gangguan Identitas Gender

Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender (GIG), yang kadang


disebut transeksualisme, merasa bahwajauh di dalam dirinya, biasana sejak awal
masa kanak-kanak mereka adalah orang yang berjenis kelamin berbeda dengan
dirinya saat ini. Mereka tidak menyukai pakaian dan aktivitas yang sesuai dengan
jenis kelamin mereka. Bukti-bukti anatomi mereka alat kelamin normal dan
karakteristik jenis kelamin sekunder yang umum, seperti tumbuhnya cambang pada
laki-laki dan membesarnya payudara pada perempuan tidak membuat mereka merasa
bahwa mereka adalah orang dengan gender yang dilihat orang lain pada mereka.
Seorang laki-laki dapat menatap dirinya dicermin, melihat tubuh biologis seorang
laki-laki, namun secara pribadi merasa bahwa tubuh tersebut dimiliki oleh seorang
perempuan. Ia bisa mencoba berpindah ke kelompok gender yang berbeda dan
bahkan dapat menginginkan operasi untuk mengubah tubuhnya agar sesuai

9
dengan .identitas gendernya.
Identitas gendernya. Umumnya bila seorang perempuan transeksual merasa
tertarik sccara seksual pada perempuan lain, ia menganggap ketertarikan tersebut
pada dasarnya heteroseksual dan juga menginginkan perempuan tersebut tertarik
padanya sebagai laki-laki. Situasi tersebut sama pada sebagian besar laki-laki yang
yakin bahwa dirinya pada dasarnya adalah seorang perempuan (Carroll, 2000).
Ketika gangguan identitas gender bermula di masa kanak-kanak, hal itu
dihubungkan dengan banyaknya perilaku lintas-gender, seperti berpakaian seperli lawan
jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, dan melakukan
permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan lawan jenisnya.
Gangguan identitas gender pada anak-anak biasanya teramati oleh orangtua
ketika si anak bersia antara 2 dan 4 tahun (Green & Blanchard, 1995). Berdasarkan
tingkat rujukan ke klinik, gangguan ini tampaknya sekitar enam kali lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Zucker, Bredley, & Sanikhani,
1997). Meskipun demikian, sebagian besar anak yang mengalamigangguan identitas
gender tidak tumbuh dewasa sebagai orang yang terganggu, sekalipun tanpa intervensi
profesional (Zucker dkk., 1984), meskipun banyak yang menunjukkan orientasi
homoseksual (Coates & Person, 1985; Green, 1985).
Tidak termasuk dalam GIG adalah para penderita skizofrenia yang terkadang,
bahkan sangat jarang, mengklaim bahwa mereka adalah orang dengan jenis gender
berbeda (Manderson & Kumar, 2001), serta hermafrodit, yang disebut individu antara
jenis kelamin, yang memiliki organ reproduksi laki-laki dan perempuan sekaligus.
GIG juga dibedakan dari fetishisme transvestik, yang merupakan salah satu
jenisparafilia yang akan dibahas. Meskipun mereka sering kali memakai pakaian
yang umum dipakai lawan jenis, para transvestit tidak mengidentifikasi diri mereka
sebagai lawan jenis.
Dapat diduga bahwa mereka yang mengalami GIG seringkali memunculkan
rasa tidak suka dari orang lain dan bahkan sering kali mengalami diskriminasi dalam
pekerjaan ketika memutuskan untuk memakai pakaian lawan jenis. Sikap tidak suka
di masyarakat Barat berawal sejak ratusan silam. Contohnya, Malleus Maleficarum

10
(palu tukang sihir) adalah DSM di abad ke-15 dan 16, di antara berbagai hal lain,
memohon kepada Tuhan dalam menganggap orang-orang memiliki karakter seperti
lawan jenis sebagai tukang sihir (CARROLL, 2000). Tentu saja, “penanganan” yang
diberikan adalah, dibakar dengan diikat pada tiang. Namun, dalam beberapa
masyarakat sejak lama transeksual telah mendapatkan status tinggi. Contohnya, pada
beberapa masyarakat Amerika Asli (Indian) berdache dianggap sebagai gender
ketiga, bukan laki-laki dan juga bukan perempuan, dan sama sekali tidak dipandang
secara negatif.
Berpakaian seperti lawan jenis tidak menjadi masalah bagi perempuan yang
mengalami GIG karena gaya busana kontemporer selama bertahun-tahun telah
memungkinkan perempuan memakai pakaian yang sangat mirip dengan yang dipakai
laki-laki. Orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender secara umum
mengalami kecemasan dan depresi. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat
dilema psikologis yang mereka hadapi dan sikap melecehkan sebagian besar orang
terhadap mereka. Prevalansi GIG tidak banyak, satu dari sekitar 30.000 laki-laki dan
satu dari sekitar 100.000 hingga 150.000 perempuan (American Psychiatric
Association, 1994). Gangguan ini jauh lebih banyak terjadi pada anak-anak dibanding
pada orang dewasa (Zucker & Bradley, 1995).

II.I.III Teori Mengenai Gangguan Identitas Gender

Berdasarkan perspektif teori psikologi, terdapat dua teori yang akan memberitahukan
penyebab dari gangguan ini :

1) Psikodinamika
Pendekatan psikodinamika menyatakan bahwa gangguan ini terjadi karena
faktor kedekatan hubungan ibu dengan anak laki-laki yang sangat ekstrim; hubungan
yang renggang antara ibu dan ayah; ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya.

2) Behavioral

11
Pendekatan ini menekankan bahwa ketidakhadiran ayah yang menjadi tokoh
panutan menyebabkan anak laki-laki tidak belajar menjadi sosok laki-laki. Orangtua
yang mengharapkan anaknya adalah sosok dari gender yang berbeda, lalu mendorong
anaknya dengan cara berpakaian atau pola bermain dari gender yang berlawanan,
juga dapat menyebabkan seorang anak mengalami gangguan ini.

II.I.IV Ciri-ciri Gangguan Identitas Gender

Menurut DSM-IV, ciri penting dalam gangguan identitas gender adalah


penderitaan yang persisiten dan kuat tentang jenis kelamin seseorang yang telah
ditentukan dan keinginan untuk menjadi jenis kelamin lain atau desakan bahwa ia
adalah jenis kelamin lain (Kaplan & Sadock, 2010 ; 185).
Identifikasi yang kuat dan persisten terhadap gender lainnya adalah ekspresi
yang berulang dari hasrat untuk menjadi anggota dari gender lain, preferensi untuk
menggunakan pakaian gender lain, adanya fantasi yang terus menerus untuk menjadi
lawan jenis, bermain dengan lawan jenis.
Sebagian besar penelitian retrospektif tentang transeksual melaporkan adanya
masalah identitas gender pada anak-anak. Tetapi penelitian prospektif pada anak-
anak dengan gangguan identitas gender menyatakan bahwa sedikit yang menjadi
transeksual, yaitu ingin mengganti jenis kelaminnya (Kaplan & Sadock, 2010 ; 187).
Jadi, tidak semua orang transeksual memilih untuk melakukan operasi
kelamin. Melakukan operasi kelamin merupakan sebuah keputusan yang sangat
dramatis, penuh resiko, dan menghabiskan biaya mahal. Selain itu tidak mudah untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan setelah operasi. Latar belakang budaya dan
agama dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan sebuah tindakan yang tidak
biasa ini. Dibutuhkan pertimbangan yang benar-benar matang sebelum mengambil
keputusan tersebut.

12
Kriteria gangguan identitas gender dalam DSM –IV-TR :

1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis


2. Pada anak-anak terdapat empat atau lebih dari ciri yaitu :

a) Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksaan


bahwa ia adalah lawan jenis
b) Lebih suka memakai pakaian lawan jenis
c) Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus
menerus berfantasi menjadi lawan jenis
d) Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan
jenis
e) Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis

3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk


menjadi lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan
sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis.

13
II.I.V Faktor-faktor dalam Pembentukan Identitas Gender

Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam


perkembangan peran gender (Shepherd-Look, dalam Desmita, 2008 ; 146). Pada
tahap pertama, seorang anak mengembangkan kepercayaan tentang sebagai seorang
laki-laki atau perempuan. Tahap kedua, seorang anak mengembangkan keistimewaan
gender, tentang bagaimana seorang anak laki-laki atau perempuan bersikap.
Kemudian pada tahap ketiga adalah tahap dimana ia memperoleh ketetapan gender.
Pada umumnya anak usia 2 tahun sudah dapat menerapkan label laki- laki
atau perempuan secara tepat atas dirinya sendiri dan orang lain. Konsepnya tentang
gender lebih didasarkan pada ciri-ciri fisik, seperti pakaian, model rambut, atau jenis
permainan. Pada umumnya anak baru mencapai ketetapan gender pada usia 7 hingga
9 tahun (Seifet& Huffnung, dalam Desmita, 2008 ; 147).
Tidak seorang pun mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender
(Money, 1994). Teoretikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu
terhadap anak laki-laki yang sangat ekstrem, hubungan antara ibu dan ayah, dan ayah
yang tidak ada atau jauh dari anaknya (Stoller, 1969). Seperti halnya yang dikatakan
pada kalimat pertama bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor penyebab
gangguan identitas gender. Maka dari itu, para peneliti mencoba untuk memahami
perkembangan gender dalam psikologi perkembangan dari segi biologis, kognisi,
dan proses dalam identitas gender dan gender typing.
Oleh karena itu, peneliti akan menelaah satu persatu aspek agar untuk
mengetahui pengaruh dari masing-masing aspek terhadap perkembangan identitas
gender.

14
1. Faktor Biologis

Sebenarnya belum ada temuan yang spesifik mengenai penyebab gangguan


identitas gender. Meskipun tampaknya ada kemungkinan bahwa faktor biologis dapat
menjadi penyebab gangguan tersebut. Peneliti bidang biologi percaya bahwa pilihan
permainan dan mainan memiliki dasar dari hormon yang muncul pada saat masa
pranatal, tepatnya ada atau tidak adanya hormon androgen saat anak didalam
kandungan (hormon pembentuk maskulinitas). Beberapa tahun yang lalu penelitian
menunjukkan bahwa identitas gender telah terberi didalam otak (Wade & Tavris,
2007 ; 260).
Salah satu kasus yang membuktikan teori biologi adalah kasus seorang anak
berusia 7 bulan yang secara genetis dan hormonal merupakan anak laki- laki. Suatu
ketika ia kehilangan penisnya saat menjalani operasi bedah rutin. Saat ia hampir
berumur 2 tahun, orangtua anak tersebut merasa putus asa, dan atas saran dari para
peneliti yang merupakan ahli di bidang identitas gender setuju untuk membesarkan
anak mereka sebagai anak perempuan, mengganti namanya menjadi Brenda. Namun
Brenda lebih memilih bermain dan mainan anak laki-laki dan pada usia 14 tahun
menolak untuk tetap hidup sebagai seorang perempuan. Kemudian ayahnya
memberitahu hal yang sebenarnya, dan dengan lega Brenda mengganti identitasnya
menjadi laki-laki bernama David (Diamond & Sigmundson dalam Wade & Tavris,
2007 ; 260).
Penelitian awal menunjukkan bahwa seperti halnya orientasi seksual, tingkat
hormon testosteron atau estrogen yang agak lebih tinggi pada periode kritis tertentu
dalam perkembangan dapat memaskulinkan janin perempuan atau memfemininkan
janin laki-laki. Variasi dalam tingkat hormonal dapat terjadi secara alamiah atau
disebabkan oleh obat yang diminum perempuan hamil. Tetapi para ilmuan belum
menetapkan antara pengaruh hormonal prenatal dengan identitas gender dimasa yang
akan datang (Durand & Barlow, 2006 ; 71).

15
Contohnya, anak perempuan yang terpapar hormon androgen didalam
kandungan lebih mungkin untuk menyukai mainan laki-laki seperti mobil- mobilan
daripada anak perempuan yang tidak terpapar androgen. Mereka juga lebih agresif
secara fisik dibandingkan dengan anak perempuan pada umumnya (Berenbaum &
Baily dalam Wade & Tavris, 2007 ; 260). Namun kebanyakan anak perempuan yang
androgen memiliki identitas feminin dan tidak melihat diri mereka sebagai laki-laki
dalam aspek apapun (Wade & Tavris, 2007 ; 260).
Kadar hormon seks juga diteliti pada orang dewasa yang mengalami
gangguan identitas gender. Dalam suatu kajian terhadap beberapa penelitian
semacam itu, Gladue (1985) hanya menemukan sedikit, jika pun ada, perbedaan
hormon pada laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender, laki-laki
heteroseksual dan laki-laki homoseksual, studi yang lebih mutakhir menunjukkan
hasil yang membingungkan bahwa beberapa perempuan yang mengalami gangguan
identitas gender memiliki hormon laki-laki yang lebih tinggi, namun yang lain tidak
(Bosinski dkk dalam Davison, 2006 ; 616).
Namun jika memang benar kadar hormon berlebih yang tidak seharusnya
pada seseorang bisa menyebabkan gangguan identitas gender, lalu mengapa seorang
transeksual malah menggunakan hormon seks sebagai salah satu upaya untuk
membentuk tubuhnya agar sesuai dengan lawan jenis yang menjadi harapannya.
Salah satu alternatif yang digunakan untuk menangani kasus seorang transeskual
adalah dengan terapi hormon, yakni mengharuskan seseorang untuk mengkonsumsi
hormon tertentu.
Dengan demikian, data yang ada tidak secara pasti mendukung penjelasan
tentang transeksualisme pada orang dewasa bahwa hal itu semata- mata terkait
dengan masalah hormon (Caroll dalam Davison, 2006 ; 616). Bahkan penelitian yang
telah dilakukan tentang pengaruh abnormalitas kromosom dan perbedaan struktur
otak terhadap seorang transeksual juga tidak dapat memberikan penjelasan yang
konklusif. Harus disadari bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari proses nature
(biologis) dan nurture (lingkungan) yang saling berinteraksi.

16
2. Faktor Sosial dan Psikologis

Peran lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan identitas


gender. Misalnya ibu yang suka mendandani anak laki-lakinya seperti anak
perempuan, contohnya memakaikan pakaian perempuan. Wawancara dengan
orangtua yang anak-anaknya menunjukkan tanda-tanda gangguan identitas gender
berulangkali mereka mengungkap bahwa mereka tidak mencegah, dan dalam banyak
kasus jelas mendorong perilaku memakai pakaian lawan jenis (Davison, 2006 ; 616).
Dengan reaksi yang demikian, justru dapat memberikan konstribusi besar dalam
konflik antara jenis kelamin dan identitas gendernya.
Seorang anak laki-laki yang pada waktu kecil menunjukkan perilaku feminin
akan mendapatkan perhatian lebih daripada anak perempuan berperilaku maskulin.
Contohnya, seorang anak laki-laki memakai pakaian perempuan, perhiasan, dan
sepatu hak tinggi akan menjadi pusat perhatian dan dianggap lucu. Namun, berbeda
dengan anak perempuan yang berperilaku maskulin cenderung diabaiakan, karena
anak perempuan yang memakai pakaian yang maskulin, seperti celana jeans, kemeja,
dan sepatu kets dianggap biasa, tidak begitu mencolok.
Untuk membandingkan antara teori biologi dan teori sosial-psikologis
kembali lagi pada cerita Brenda, bahwasannya secara genetis dan hormonal ia anak
laki-laki. Suatu ketika ia mengalami kecelakaan dan kehilangan penisnya dan
kemudian kedua orangtuanya sepakat melakukan operasi kelamin menjadi
perempuan dan membesarkannya sebagai perempuan tapi pada akhirnya Brenda
kembali pada kodrat semula menjadi laki-laki.
Kasus serupa memiliki akhir yang sama sekali berbeda. Seorang bayi yang
juga kehilangan penisnya dibesarkan sebagai anak perempuan dari usia 7 bulan
dan akhirnya memiliki identitas gender perempuan (Bradly dkk, Zucker dalam
Wade & Tavris, 2007 ; 260). Itu berarti pola asuh dapat mempengaruhi pembentukan
identitas gender.

17
Suatu hipotesis awal yang menyatakan bahwa perilaku feminin yang menetap
pada anak laki-laki didorong oleh si ibu sebelum anak lahir. Ibunya sangat
menginginkan anak perempuan (Davison, 2006 ; 617). Perilaku tersebut (transeksual)
dibentuk oleh gabungan dari faktor hormon, gen, skema kognitif, pendidikan dari
orangtua dan lingkungan sosial, tradisi agama, dan budaya serta pengalaman (Wade
& Tavris, 2007 ; 259).
Zucker pernah mengadakan penelitian yang melibatkan ratusan anak yang
dibesarkan sebagai jenis kelamin yang berbeda. ada penelitian longitudinal lanjutan
ada 16 bayi laki-laki yang dilahirkan tanpa penis. Empatbelas dibesarkan sebagai
anak perempuan, dan yang dua dibesarkan sebagai laki-laki. Dua bayi yang
dibesarkan sebagai laki-laki dapat membentuk identitas gender laki-laki. Ternyata
dari empatbelas bayi yang dibesarkan sebagai perempuan, ada delapan orang
menyatakan mereka laki- laki, lima hidup sebagai perempuan, dan yang satu
memiliki identitas gender yang tidak jelas (Reiner & Gearheart dalam Wade &
Tavris, 2007 ; 260-261).

II.I.VI Pemilihan Objek Seksual

Hal yang memperumit usaha untuk memahami gangguan identitas gender adalah
variabel orientasi seksualnya. Terdapat hubungan kuat antara perilaku lintas gender
pada masa kanak-kanak dengan orientasi homoseksual pada pria dan wanita (Bailey &
Zucker dalam Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 310).
Seseorang dengan gangguan identitas gender memiliki kemungkinan orientasi
seksual sebagai berikut (Kaplan & Sadock, 2010 ; 188) :
1. Tertarik secara seksual pada laki-laki
2. Tertarik secara seksual pada wanita
3. Tidak tertarik secara seksual pada laki-laki maupun perempuan
Pada sebagian kasus, orang tersebut (transeksual) tidak menganggap dirinya
sendiri sebagai homoseksual (Kaplan & Sadock, 2010 ; 188). Baginya tertarik secara
seksual terhadap sesama jenis merupakan hal yang wajar karena ia merasa identitas

18
gendernya tidak sesuai dengan identitas seksualnya. Demikian halnya dengan
seorang perempuan transeksual merasa bahwa ia memiliki identitas gender yang
berlawanan (gender laki-laki) dengan anatomi biologisnya, jadi ia menganggap
ketertarikan dengan sesama jenis kelamin dianggap sah-sah saja.
Dalam penelitian berkelanjutan selama 15 tahun mengenai anak perempuan
dengan gangguan identitas gender, sepertiga diantaranya ditemukan memiliki
orientasi homoseksual/biseksual dalam fantasi dan hampir seperempat yang lain
memiliki orientasi homoseksual/biseksual dalam perilaku (Diammond, Breadly,
Peterson-Badali & Zucker dalam Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 310).
Akan tetapi tidak semua orang yang homoseksual memiliki sejarah lintas
gender. Ada sebuah kisah tentang seorang transeksual yang mimiliki orientasi
heteroseksual, dia adalah Kate Bornestein yang sekarang berprofesi sebagai aktris
dan penulis. Dahulunya ia adalah seorang laki-laki yang heteroseksual namun
kemudian ia melakukan operasi kelamin menjadi wanita, dan sekarang ia menjadi
seorang wanita lesbian.

II.I.VII Terapi Gangguan Identitas Gender

Salah satu terapi yang digunakan yaitu pendekatan yang bertujuan untuk
mengubah efek gairah dari berbagai citra dan fantasi yang ia miliki untuk
mengurangi atau menurunkan daya tarik kepada sesama jenis. Dalam teknik aversi,
salah satu teknik atau cara yang digunakan adalah memasangkan tampilan gambar-
gambar perempuan dengan gambar-gambar laki-laki. Dasar pemikirannya adalah
gairah seksual yang ditimbulkan oleh gambar laki-laki dapat ditransfer, atau
dikondisikan secara klasik ke gambar-gambar perempuan.
Tujuan pemberian gambar ini adalah untuk menguatkan identitas dirinya
sesuai dengan gendernya. Pendekatan positif untuk Model treatment ini didasarkan
pada prinsip pendekatan behaviorisme, yaitu menekankan pada aspek conditioning.
Setelah dilakukan model treatment seperti ini dilakukan secara intensif, hasilnya
subyek (klien) akan menghayati dirinya sesuai dengan gendernya, artinya laki-laki

19
akan menghayati dirinya sebagai laki-laki, bukan sebagai perempuan dan merasa
tertarik secara seksual pada perempuan. Sebaliknya, perempuan akan menghayati
dirinya sebagai perempuan dan akan tertarik secara seksual terhadap laki-laki.
Dengan demikian, pelatihan ulang perilaku dapat memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap keberhasilan dalam mengubah hidup identitas gender
mereka. Terapi yang akan dilaksanakan pada penelitian ini bertujuan untuk
membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi subyek (klien), merupakan suatu
proses yang memerlukan kurun waktu dan mekanisme tertentu. Penelitian ini
berorientasi pada hasil.
Dengan kata lain, penelitian ini ingin menjawab permasalahan apakah
intervensi yang dilakukan terapis menimbulkan perubahan-perubahan pada subyek
(klien). Jika ternyata menimbulkan perubahan berarti terapi atau konseling itu
efektif, tetapi jika tidak menimbulkan perubahan berarti konseling itu tidak efektif.
Pelaksanaan terapi yang dilakukan berfokus pada isu yang melatarbelakangi
kunjungan subyek (klien) ke ruang konsultasi, serta tentang dirinya masih mengalami
konflik terutama bila ia berada di situasi sosial. Selain itu keingintahuan dirinya
tentang apa yang terjadi dengan dirinya.
Terapi gangguan identitas gender rumit dan jarang berhasil jika tujuannya
adalah untuk menyembuhkan gangguan. Sebagian besar orang dengan gangguan
identitas gender memiliki gagasan dan nilai yang terfiksasi dan tidak ingin berubah.
Jika dan ketika mereka mengikuti psikoterapi, paling sering adalah karena depresi
atau ansietas yang menyertai keadaan mereka.
a) Pembedahan ganti Kelamin
Terapi pembedahan bersifat definitif, dan karena bersifat ireversibel, standar
yang diteliti sebelum pembedahan telah dikembangkan. Di antara standar ini adalah
sebagai berikut: Pasien harus menjalani percobaan kehidupan gender berlawan
selama sedikitnya 3 bulan dan kadang-kadang hingga 1 tahun.
Pasien harus menerima terapi hormon, dengan estradiol dan progesteron pada
perubahan laki-laki menjadi perempuan dan testosteron pada perubahan perempuan
menjadi laki-laki.

20
Pembedahan ganti kelamin merupakan cara yang sangat kontroversial yang
sedang banyak diteliti.
b) Terapi Hormon
Kedua jenis kelamin dapat diterapi dengan hormon selain pembedahan. Mereka
yang secara biologis adalah laki-laki dapat menggunakan estrogen, dan mereka yang
secara biologis perempuan menggunakan testosteron
c) Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang
agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations,
seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga
12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin
International Gender Dysphoria Association, 1998).
Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk
membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian
transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.
Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama
bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada
keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut.
Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak
menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan
seksual yan lebih tinggi. Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang
harus diperhatikan individu.
Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin
dilakukan. Tahap – tahap tersebut adalah memastikan kemantapan dalam mengambil
keputusan. Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin,
maka ahli bedah harus menolak permintaanya. Orang yang ingin merubah dari pria
menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat
kelamin sekunder wanita.

21
Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon androgennya
ditingkatkan untuk mengembangkan karakteristik alat kelamin sekunder pria.
Sebelum operasi orang itu diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari
gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang
yang mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang.
Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari
wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan
payudaranya dengan membuang jaringan lemak.

II.I.VIII Jenis-jenis Gangguan Identifikasi Gender

a. Transeksualisme
Suatu hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau tidak sesuai dengan anatomi
seksualnya dan menginginkan untuk memperoleh terapi hormonal dan pembedahan
untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan
(PPDGJ III). Transseksualisme (bagi awam disebut sebagai waria) adalah suatu
kondisi disaat seseorang yang merasa dirinya tak sesuai seperti jenis kelamin fisiknya
dan ia berusaha untuk mengoreksinya lewat operasi ganti kelamin atau terapi
hormon. Penderita gangguan transeksual sebagian besar adalah laki-laki yang
mengenali dirinya sebagai wanita, yang biasanya timbul pada awal masa kanak-
kanak dan melihat alat kelamin dan penampakan kejantanannya dengan perasaan
jijik. Transeksual jarang ditemukan pada wanita. Penyebab terjadinya transeksual
karena adanya perasaan tidak nyaman akan kondisi fisik tubuhnya yang kemudian
menyebabkan individu terkait melakukan penggantian alat vitalnya. Dalam Diagnosis
Gangguan Jiwa (Maslim, 2003), diagnosa transeksualisme yaitu:
a. Untuk menegakkan diagnosis, identitas transeksual harus sudah menetap
selama minimal 2 tahun, dan harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain
seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.

22
b. Gambaran Identitas, sbb:
1. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok
lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian,
dengan anatomi seksualnya; dan
2. Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan
untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang
diinginkan.

2. Transvestisme Peran Ganda


Pedoman Diagnostik(PPDGJ III), yaitu:
a. Mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi
dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya;
b. Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelamin secara lebih permanen atau
berkaitan dengan tindakan bedah;
c. Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan
jenis tersebut, yang membedakan gangguan ini dengan transvetisme fetishistik.
(PPDGJ)
Anak dengan transvestisme peran ganda mengenakan pakaian lawan jenisnya
sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk menikmati sejenak pengalaman sebagai
anggota lawan jenisnya. Namun ia tidak memiliki hasrat untuk mengubah
genitalianya secara permanen dengan tindakan bedah (seperti pada transexualisme).

3. Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak


Pedoman Diagnostik(PPDGJ III), yaitu:
1. anak yang “mendalam” (pervasive) dan “menetap” (persistent) untuk menjadi
(atau keteguhan bahwa dirinya adalah) jenis kelamin lawan jenis-nya. Disertai
penolakan terhadap perilaku, atribut dan/ atau pakaian yang sesuai untuk jenis
kelaminnya; Tidak ada rangsangan seksual dari pakaian.
2. Yang khas adalah bahwa manifestasi pertama timbul pada usia pra-sekolah.

23
Gangguan ini harus tampak sebelum pubertas;
3. Pada kedua jenis kelamin, kemungkinan ada penyangkalan terhadap struktur
anatomi jenis kelaminnya sendiri, tetapi hal ini jarang terjadi.
4. Ciri khas lain, anak dengan gangguan identitas jenis kelamin, menyangkal
bahwa dirinya terganggu meskipun mereka mungkin tertekan oleh konflik
dengan keinginan orang tua atau kawan sebayanya dan oleh ejekan dan/atau
penolakan oleh orang-orang yang berhubungan dengan dirinya.

Tidak ada garis tegas yang dapat ditarik mengenai kelanjutan gangguan identitas
gender antara anak yang seharusnya tidak diberikan diagnosis tersebut. Anak
perempuan dengan gangguan ini biasanya memiliki banyak teman laki-laki dan minat
yang kuat pada olah raga dan permainan yang kasar serta bergulingan; mereka tidak
tertarik bermain boneka dan rumahrumahan (kecuali mereka berperan sebagai ayah
atau peran laki-laki lainnya). Mereka mungkin menolak buang air kecil dengan posisi
duduk, menyatakan bahwa mereka memiliki akan tumbuh penis, tidak ingin tumbuh
payudaranya atau mengalami menstruasi, dan menyatakan dengan tegas bahwa
mereka akan tumbuh menjadi seorang laki-laki (bukan hanya memainkan peran laki-
laki).
Manifestasi pertama timbul pada usia prasekolah, gangguan sudah harus tampak
sebelum pubertas. Ada keinginan yang mendalam dan persisten untuk menjadi jenis
kelamin lawan jenisnya atau yakin bahwa ia adalah jenis kelamin lawan jenisya.
Namun ia menolak atribut, pakaian dan perilaku yang sesuai dengan lawan jenisnya.
Ia tidak mengalami rangsangan sexual dengan menggunakan pakaian lawan jenisnya.

24
II.I.IX Contoh Kasus Gangguan Identitas Gender

Contoh 1

Joan-John : bawaan atau lingkungan ?

Pada tahun 1965, Linda Thiessen melahirkan bayi kembar laki-laki. Tujuh
bulan kemudian, ia menemukan kulit diujung penis kedua bayinya menutup sehingga
mereka sulit buang air kecil. Dokter anak yangmerewat si kembar 
merekomendasikan agar keduanya disunat untuk memperbaiki kondisi tersebut.
Meskipun demikian, entah karena masalah peralatan atau kesalahan dari sang dokter
bedah, penis john salah satu dari kembar tersebut menjadi rusak. Walaupun keluarga
Thiessen berkonsultasi dengan beberapa dokter, tidak satu pun yang memberikan
harapan untuk memulihkan penis john melalui operasi.
Pada bulan Desember 1966, keluarga Thiessen menemui dokter John Money
dari John Hopkins University yang ahli dalam operasi perubahan kelamin bagi para
transeksual. Money memberikan saran untuk mengubah  jenis kelamin john menjadi
joan adalah jalan yang paling terbaik, kemudian disetujuilah oleh keluarga Thiessen.
Beberapa tahun kemudian, Money mulai membahas kasus tersebut dengan
para professional kesehatan dengan menggambarkannya sebagai keberhasilan total
dan menggunakannya sebagai keberhasilan total bahwa identitas gender ditentukan
oleh lingkungan.
Namun, fakta-fakta mengungkapkan  hal yang sebaliknya.  Dua peneliti yang
berhasil menemukan joan beberapa tahun kemudian mewawancarainya beserta  orang
tuanya, dan menemukan gambaran yang sangat berbeda dari yang dilukiskan Money,
gambaran tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh biologis yang kuat terhadap
identitas gender.
Meskipun joan diinstruksikan berperilaku feminim, orang tua joan
menuturkan bahwa joan berperilaku sangat kelaki-lakian. Selama usia prasekolah

25
sampai masa sekolah , aktivitas permainannya sangat maskulin. Pada usia 11 tahun,
tiba saatnya untuk memulai perawatan dengan hormon perempuan untuk mendorong
pertumbuhan payudara dan karakteristik feminism lain.
Namun joan enggan menolak mengkonsumsi hormon estrogen dan menolak
untuk menjalani operasi vaginanya agar lebih feminim. Pada umur 14 tahun, joan
memutuskan untuk berhenti menjalani hidup sebagai perempuan. Ia memakai
pakaian laki-laki dan masuk ke sekolah menengah teknik. Karena melihat penolakan
joan untuk menjalani operasi dan hidupnya yang penuh distress berat, para dokter
yang menangani joan akhirnya merekomendasikan untuk menceritakan hal yang
sebenarnya kepada joan. Setelah joan mengetahui kejadian yang sebenarnya, ia
langsung memutuskan untuk melakukan apa pun yang mungkin dilakukan  untuk
memutar balik efek penanganan terdahulu dan mengubah namanya kembali menjadi
John. Ia mengonsumsi hormon laki-laki, menjalani operasi untuk membuang
payudaranya, dan menjalani operasi pemasangan penis buatan. Pada usia 21 tahun,
John menjalani operasi berikutnya untuk memperbaiki penis buatan tersebut, dan
pada usia 25 tahun ia menikahi seorang perempuan.
Saat ini masih belum ada yang dapat menyimpulkan mengenai penyebab
munculnya gangguan identitas gender: bawaan atau lingkungan? Walaupun terdapat
beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu
hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya gangguan
identitas gender hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti
kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang
konklusif.

26
Contoh 2
Fakta tentang Lucinta Luna telah mengganti kelaminnya dari laki-laki ke
perempuan terungkap setelah terseret kasus narkoba. Lucinta Luna pun telah
mengajukan surat permohonan ganti kelamin ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan alasan mengalami gangguan identitas gender.
Surat keterangan Lucinta Luna yang mengalami dysphoria gender ini
diungkap oleh mantan kuasa hukumnya yang tidak ingin disebutkan namanya.
Dia menyatakan salah satu bukti yang dilampirkan oleh kliennya saat
mengajukan surat permohonan adalah Surat Keterangan Dokter atau  Certificated
by Attending Doctor dari Rumah Sakit Rajyindee Thailand. Muhammad Fatah
alias Lucinta Luna melakukan operasi ganti kelamin di rumah sakit itu pada April
2004.

27
II.II Parafilia

II.II.I Definisi Parafilia

Kata parafilia (praphilia) diambil dari akar bahasa Yunani para, yang artinya
“pada sisi lain”, dan philos artinya “mencintai”. Pada parafilia (paraphilias), orang
menunjukan keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respons terhadap stimulus
yang tidak biasa (“pada sisi lain” dari stimulus normal) (Nevid, Rathus dan Greene,
2003). Parafilia adalah gangguan dan penyimpangan seksual di mana rangsangan
seksual muncul nyaris secara eksklusif dalam konteks objek-objek atau individuindividu
yang tidak semestinya (Durand dan Barlow, 2006). Jenis-jenis parafilia: Fetishism,
Insest, Voyeurism, Eksibisionisme, Frotteurism, Sadisme seksual, Masokisme seksual.
Parafilia merupakan gangguan emosional yang ditandai dengan fantasi,
dorongan, atau perilaku yang bisa membangkitkan gairah seksual. Hal ini bisa terjadi
secara intens selama 6 bulan dan bisa menyebabkan penderitanya mengalami gangguan
baik biologis maupun kehidupan sosial.
Menurut DSM IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup
ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak
pada umumnya. Terdapat deviasi (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Fantasi,
dorongan, atau perilaku harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan
distress. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang dimiliki
oleh seorang parafilia, namun yang bersangkutan tidak dapat didiagnosis menderita
parafilia jika fantasi atau perilaku yang muncul tidak berulang atau bila tidak
mengalami distress karenanya.
Menurut definisinya, parafilia adalah kondisi yang terjadi pada laki-laki. Lebih
dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia
umunya memiliki 3 sampai 5 parafilia baik yang bersamaan atau pada saat terpisah.
Kejadian perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun, dan
selanjutnya menurun. Parafilia jarang terjadi pada pria umur 50 tahun, kecuali mereka
tinggal dalam isolasi atau teman yang senasib.

28
Dari berbagai jenis kelainan mungkin nama transvestic fetishism cukup jarang
diketahui masyarakat Indonesia, kelainan ini pun memiliki berbagai macam definisi.
Salah satu definisi dari transvetic Fetishisme merupakan salah satu gangguan atau
kelainan seksual dimana individu terangsang secara seksual ataupun menyukai tindakan
cross-dressing sebagai lawan jenis, dan menemukan perilaku yang menghasilkan gairah
tersebut menimbulkan tekanan pada dirinya (The American Psychiatric Assocation,
2013). Gangguan ini diawali dengan obsesi praktik seksual yang tidak biasa. Perilaku
inipun terjadi secara episodic atau dalam kurun waktu tertentu. Menurut Zucker dan
Blanchard (1997). Transvestic fetishism dapat berfungsi untuk membuat hubungan
dengan perempuan bahkan koneksi tersebut bisa melibatkan ekspresi kemarahan atau
permusuhan. Walau angka keseluruhan gangguan ini tidak di ketahui, gangguan ini
diyakini muncul sekitar lima kali lebih banyak pada pria daripada wanita (Zucker &
Green,1992).
Orang dengan transvetic tidak boleh langsung dianggap homoseksual, karena
pada dasarnya orientasi seksual mereka adalah heteroseksual. Walaupun didapati dalam
beberapa kasus melakukan hubungan seksual dengan pria lain sesekali.

II.II.II Teori Mengenai Parafilia

Menurut Sigmund Freud, kebutuhan seksual adalah kebutuhan vital pada


manusia. Jika tidak terpenuhi kebutuhan ini akan mendatangkan gangguan kejiwaan
dalam bentuk tindakan abnormal.
Beberapa teori lain juga menyebutkan bahwa penderita parafilia berkaitan dengan
tahap pertumbuhan masa kanak-kanak. Hal ini bisa berupa temepramen, trauma,
perkembangan seksualitas yang terganggu, kurangnya kesadaran diri yang stabil, serta
kesulitan mengelola emosi dalam mencari bantuan dan kenyamanan dari orang lain.
a. Teori psikoanalisa
Menekankan, bahwa kondisi penentu pada tingkah laku seksual yang menyimpang
itu sudah diletakkan pada pengalaman-pengalaman masa kanak – kanak yang sangat
muda ; misalnya kompleks Oedipal, kompleks Astral, latar belakang familial dengan

29
penyimpangan-penyimpangan seksual, homoseksualitas dikalangan keluarga dll. Maka
gangguan dalam relasi anak-anak orang tua, yang sifatnya tidak harmonis, kontroversal,
kejam, penuh kemunafikan semuanya menjadi fasilitas atau predis-posisi untuk
perkembangan penyimpangan-penyimpangan seksual.
b. Teori Behavioural
Berdasarkan teori ini, parafilia disebabkan oleh proses conditioning. Jika objek
nonseksual dipakai sering dan diulang-ulang untuk aktivitas seksual maka akan
mengakibatkan objek tersebut menjadi sexually arousing. Tidak harus dengan adanya
dorongan positif tapi bisa disebabkan oleh dorongan negatif. Misalnya jika anak laki-
laki suka membanggakan penisnya ketika ereksi maka ibunya akan memarahinya,
akibat dari itu, anak merasa bersalah dan malu dengan kelakuan seksual normal.
Pedofilia, ekshibisionisme dan vouyerisme merupakan akibat dari perilaku yang
beresiko dilakukan secara berulang-ulang. Conditioning bukan satu-satunya hal yang
berperan pada perkembangan parafilia. Hal yang juga berpengaruh adalah kepercayaan
diri yang rendah. Ini sering dijumpai pada pasien parafilia.
c. Teori Dawkin (Teori Transmisi Gen)
Parafilia dipengaruhi oleh lingkungan dan genetik. Contohnya kebanyakan
orang akan mendapatkan orgasme yang pertama pada prepubertas tetapi ada beberapa
orang dapat terjadi sebelum periode prepubertas. Ada sedikit orang yang tanpa adanya
stimulus eksternal bisa mengalami orgasme, orang ini biasanya memiliki dorongan
seksual yang tinggi saat bayi (sonogram menunjukkan bayi memegang penisnya dalam
uterus). Anak yang aktif secara seksual pada usia muda akan cenderung aktif secara
seksual pada remaja. Hal ini dipengaruhi oleh DNA dan akan diturunkan kepada anak-
anaknya.
d. Teori Darwin
Faktor operatif dari teori Darwin ada 2, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas jika
dari keturunan yang dihasilkan yang besar dibandingkan dengan yang survive. Kualitas
yaitu yang dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Pria yang secara fisik dapat
menghasilkan banyak keturunan (kuantitas), dan wanita yang bertanggung jawab untuk
kualitas. Wanita akan lebih berhati hati dalam memilih pasangannya sedangkan pria

30
cenderung hanya untuk melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita (tidak
memilih-milih). Hal tersebut menjelaskan mengapa parafilia sering terjadi pada pria.
Study dari Sharnor (1978) menyatakan bahwa pria usia 12-19 tahun memikirkan seks
20 kali dalam 1 jam atau sekali dalam 3 menit Pria usia 30-39 tahun, memikirkan seks 4
kali per jam. Hal ini dapat menjelaskan alasan, mengapa parafilia biasanya terjadi pada
usia 15-25 tahun.

II.II.III Faktor-faktor dalam Kasus Parafilia

a. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seseorang dengan parafilia adalah orang yang
gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal kearah penyesuaian
heteroseksual, tetapi model tersebut telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik.
Kegagalan menyelesaikan krisis oedipus dengan mengidentifikasi aggressor ayah (untuk
laki-laki)atau aggressor ibu (untuk perempuan) menimbulkan baik identifikasi yang
tidak sesuai dengan orang tua dengan jenis kelamin berlawanan atau pilihan objek yang
tidak tepat untuk penyaluran libido. Eksibisionisme dapat merupakan suatu upaya
menenangkan kecemasan mereka akan kastrasi. Kecemasan kastrasi membuat
eksibisionis meyakinkan diri sendiri tentang maskulinitasnya dengan menunjukkan
kelaki-lakiannya kepada orang lain.
Apa yang membedakan satu parafilia dengan parafilia lainnya adalah metode yang
dipilih oleh seseorang (biasanya laki-laki) untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan
oleh:
a. Kastrasi oleh ayah
b. perpisahan dengan ibu.
Bagaimanapun kacaunya manifestasi, perilaku yang dihasilkan memberikan jalan
keluar untuk dorongan seksual dan agresif yang seharusnya telah disalurkan kedalam
perilaku seksual yang tepat. Berdasarkan teori ini terdapat beberapa penyebab parafilia.
Freud dan koleganya mengajukan bahwa beberapa parafilia dapat disebabkan oleh

31
penyimpangan dari fase courtship. Normalnya, fase ini akan berujung pada proses
mating pada pria dan wanita(Sadock BJ et al, 2010).
Fase ini dimulai dari masa remaja dan dengan/ tanpa adanya sexual intercourse pada
tahap awal perkembangan seksual.
Fase Definitif Courtship
1. Locating partner potensial à fase inisial dari courtship.
2. Pretactile interactionà berbicara, main mata dst.
3. Tactile interaction à memegang, memeluk, dst. (foreplay).
4. Effecting genital unionà sexual intercourse .
Teori lain mengaitkan timbulnya parafilia dengan pengalaman diri yang
mengondisikan atau mensosialisasikan anak melakukan tindakan parafilia. Awitan
tindakan parafilia dapat terjadi akibat orang meniru perilaku mereka berdasarkan
perilaku orang lain yang melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang
digambarkan media, atau mengingat kembali peristiwa yang memberatkan secara
emosional di masa lalu. Teori pembelajaran menunjukkan bahwa karena
mengkhayalkan minat parafilia dimulai pada usia dini dan karena khayalan serta pikiran
pribadi tidak diceritakan kepada orang lain, penggunaan dan penyalahgunaan khayalan
dan dorongan parafilia terus berlangsung tanpa hambatan sampai usia tua.
b. Faktor Biologis
Beberapa studi mengidentifikasi temuan organik abnormal pada orang dengan
parafilia. Di antara pasien yang dirujuk ke pusat medis besar, yang memiliki temuan
organik positif mencakup 74 % pasien dengan kadar hormone abnormal, 27 % dengan
tanda neurologi yang ringan atau berat, 24 % dengan kelainan kromosom, 9 % dengan
kejang, 9 % dengan disleksia, 4 % dengan EEG abnormal, 4 % dengan gangguan jiwa
berat, 4 % dengan cacat mental. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk
mengukur ukuran volumemetrik penis sebagai repon stimulasi parafilia dan
nonparafilia. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan, tetapi
memiliki keabsahan diagnostik yang diragukan karena beberapa laki-laki dapat
menekan respon erektilnya.Karena sebagian besar orang yang mengidap parafilia adalah
laki-laki, terdapat spekulasi bahwa androgen berperan dalam gangguan ini. Berkaitan

32
dengan perbedaan dalam otak, suatu disfungsi pada lobus temporalis dapat memiliki
relevansi dengan sejumlah kecil kasus eksibisionisme
II.II.IV Jenis-jenis Parafilia

b. Exshibitionism
Exshibitionism adalah gejala seseorang mendapatkan kepuasan seksual dengan
memperlihatkan alat kelaminnya di depan umum (misalnya: jalan raya, bus) biasanya
ekshibisionis ini banyak terjadi dikalangan kaum pria. Awal mula ekshibitionis ini
karena adanya perasaan tidak aman dan rasa rendah diri sehigga dia memiliki keinginan
untuk diakui kejantanannya. Biasanya yang menderita ekshibisionis ini orangnya
pemalu, pasif, pendiam serta umumnya memiliki ibu yang dominan. Cara
penyembuhannya dengan psikoterapi yang intensif dan cukup lama.
c. Fetishism
Fetishism adalah kondisi patologis dalam kegairahan seksual dan pemuasannya
dilakukan dengan memegang atau meraba-raba obyek-obyek atau bagian-bagian tubuh
yang non-seksual dari lawan jenisnya. (J.P. Chaplin 198, dalam Kartini Kartono 233).
Seorang fetishisme memiliki benda yang dipujanya sebagai simbol seksnya. Biasanya
benda tersebut berasal dari kekasihnya. Simbol-simbol tersebut dapat berupa pakaian
dalam, kaos kaki, bra, rambut, saputangan, sepatu, topi, dll.
Biasanya orang yang mengalami fetishisme akan membelai-belai benda tersebut,
melihat-lihat, menciuminya, bahkan digunakan sebagai alat melakukan masturbasi.
Untuk mencapai kepuasannya mereka dapat melakukan pencurian terhadap bendabenda
yang dianggapnya sebagai pemuasan seksualnya. Mereka melakukan fetishisme karena
hal tersebut merupakan bentuk regresi seksual, karena benda yang disenanginya tersebut
ada kaitannya dengan benda-benda yang disayanginya pada masa kanak-kanak.
Sehingga dengan memanipulasi bendabenda tersebut maka ia mendapat kepuasan seks.
Orang-orang yang melakukan fetishisme ini biasanya bersifat infantil, sekaligus
memiliki rasa agresif (sebagai kompensasi akan infantilismenya). Selain itu, mereka
juga bersifat asosial, dan selalu dibayang-bayangi oeh kecemasan akan impoten.
Fetishisme biasanya dialami oleh kaum laki-laki.

33
d. Frottage
Frottage adalah kepuasan seseorang dalam mencapai orgasme dengan
menggosogosokan alat kelaminnya pada pakaian lawan jenis di tengah-tengah
kerumunan orang. (J.P. Chaplin, 1981, dalam Kartono Kartini). Frottage biasanya
dilakukan seseorang yang memiliki sifat yang sangat pemalu dan tidak mempunyai
keberanian sama sekali untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya.
Mereka selalu diselimuti oleh perasaan rendah diri, malu, dan tidak berdaya. Para
pengidap frottage dapat dibimbing secara intensif dengan meggunakan psikoterapi,
dengan menghilangkan perasaan-perasaan tidak mapan pada dirinya.
e. Pedophilia
Pedophilia berasal dari kata pais, paidos anak; phileo, philos mencinta. Pedofiia
adalah rasa tertarik dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual pada orang
dewasa dengan melakukan persetubuhan dengan anak-anak kecil.
Praktek pedofilia ini dapat berupa:
1) Perbuatan ekshibisionis, dengan memperlihatkan alat kelamin sendiri pada
anakanak.
2) Memanipulasikan tubuh anak-anak (membelai-belai, menciumi, mengeloni,
menimang, dan lainnya).
3) Melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
Pedofil ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa yang memiliki kelainan mental,
bersifat psikotis, psikopat, dan alkoholik. Rata-rata umur mereka kurang lebih 35-45
tahun. Pedofilia dapat ditangani dengan melakukan psikoterapi atau pengobatan secara
psikis terhadap penderitanya.
f. Masochism dan Sadomasochism
1) Masokhisme adalah gangguan seksual di mana individu memperoleh kepuasan
seksual melalui kesakitan dalam dirinya baik siksaan secara mental dan fisik pada diri
sendiri. Kesakitan yang dirasakan merupakan pelengkap untuk mendapatkan orgasme.
(J.P. Chaplin, 1981, dalam Kartono Kartini).

34
Masokhisme merupakan lawan dari sadism. Masokhisme banyak dialami seorang
wanita karena diibaratkan sebagai “kepasifan wanita”. Terdapat beberapa jenis
masokhisme :
a) Masokhisme moril merupakan masokhisme karena adanya unsur-unsur rasa
bersalah dalam diri dan rasa berdosa, terutama kepada istri atau suami atau pasangan
kekasihnya.
b) Masokhisme erotik merupakan masokhisme yang berupa kesediaan untuk
tunduk secara erotis (benar-benar tunduk, patuh) pada pasangan seksnya.
2) Sadomasokhisme adalah peranan yang berganti sebagai laki-laki dan
perempuan ketika melakukan hubungan seks. Biasanya hal ini dilakukan oleh kaum
homoseksual dan lesbian.
Mereka akan bergantian untuk memainkan peran lakilaki yang bersikap aktif dan
sadistis, juga seorang perempuan yang bersikap pasif masokhitis. Sadomasokhisme
biasanya terjadi karena :
a) Ketidakpuasan dalam relasi heteroseksual mereka.
b) Adanya pengidentifikasian akan orangtua yang sangat dominan, yang sangat
dibencinya namun juga sangat dicintainya. Atau akan kekasihnya yang agresif namun
juga dicintainya dengan sangat mendalam.
c) Mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya pada daerah
erogennya, namun ketika melakukan kekerasan tersebut ia justru mendapatkan kepuasan
seks yang sangat mendalam pada saat pemukulan tersebut. Masokhitis dan sadistis yang
ringan dapat disembuhkan dengan psikoterapi. Tetapi apabila sudah berat,
penyembuhan hampir tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesadaran diri dan
pengorbanan yang berat dari individu tersebut.
g. Sadism
Sadism adalah kelainan seksual di mana kepuasan seksual diasosiasikan dengan
penderitaan, kesakitan, dan hukuman. Mereka yang melakukan hubungan seksual
dengan sadism biasanya mereka akan mendapatkan kepuasan seks dengan menyiksa
partnernya secara fisik dan psikologis dengan melakukan tindak kekejaman. Sebab-
sebab dari sadism antara lain:

35
1) Memperoleh pendidikan yang salah tentang seks, yang mengatakan bahwa
seks itu adalah kotor, sehingga perlu ditindak dengan kekejaman dan kekerasan dengan
melakukan tindakan sadistis.
2) Didorong oleh nafsu berkuasa yang ekstrim, sehingga seseorang perlu
menampilkan perbuatan kejam dan penyiksaan pasangan seksnya.
3) Memiliki pengalaman traumatis dengan ibu atau seorang wanita, sehingga
oleh rasa dendam yang ia miliki, seorang pria mengembangkan pola sadistis dalam
melakukan hubungan seksnya, baik secara sadar maupun tidak sadar.
4) Pola kepribadian yang psikopatis. Seperti di dalam melakukan hubungan seks
biasanya partnernya akan ditampar, digigit, dicekik, melukai anggota tubuh dari
partnernya dengan benda tajam, mengancam partnernya, dsb.
Puncak dari sadisme ketika pasangannya disiksa dan akhirnya dibunuh untuk
mendapatkan kepuasan seks, di mana tubuh korban dirusak dan dibunuh dengan kejam.
Biasanya yang sampai melakukan hal tersebut memiliki kondisi kejiwaan yang psikotis,
sehingga seperti ada obsesi karena adanya penolakan dari seorang wanita terhadapnya.
Biasanya orang yang sadism memiliki sifat agresif, dendam, dan benci yang hebat, yang
diungkapkan dalam perilaku sadism seksual.
h. Transvestitism
Adalah gejala kepuasan seks dengan menggunakan pakaian dari lawan jenis.
Gangguan ini dapat muncul karena adanya kebiasaan dari masa kanak-kanaknya karena
orangtuanya merasa tidak puas terhadap jenis kelamin anaknya sehingga anak
menginternalisasikan kebiasaan psikis yang menjadii self-definition. Hal ini berarti
orang tersebut akan merasa pribadinya merupakan jenis kelamin lain.
i. Voyeurism
Voyeurism adalah gangguan pada kepuasan seksual yang dirasakan dengan
diamdiam melihat orang lain bertelanjang atau melihat orang melakukan hubungan
seksual, dengan cara melubangi lubang kunci, lubang angin, dsb. Voyeurism biasanya
dialami oleh kaum laki-laki dikarenakan kaum wanita tidak senang untuk melihat
gambar-gambar atau film-film yang tidak bermoril. Voyeurism terjadi menurut

36
psikoanalisa terjadi karena fiksasi terhadap pengalaman di masa anak-anak melihat
orangtuanya melakukan hubungan seksual.
j. Bestiality
Bestiality (bestialitas) adalah relasi seksual dan kepuasan seksual dengan cara
melakukan “persetubuhan” dengan binatang. Gangguan ini biasanya dilakukan oleh
kaum laki-laki yang bertempat tinggal di daerah peternakan. Bahkan dalam beberapa
budaya tertentu bestialitas merupakan hal yang biasa dilakukan, sehingga tidaklah
dianggap aneh dalam budaya tersebut. Kaum lelaki yang melakukan bestialitas karena
mereka takut mengalami kegagalan dan kekecewaan dalam melakukan hubungan
seksual dengan wanita.
k. Zoophilia
Zoophilia berasal dari kata zoooon = binatang; phileoo = mencintai. Sehingga
zoofiia adalah bentuk cinta yang sangat mendalam dan abnormal terhadap binatang.
Biasanya orang yang mengalami zoofilia akan melakukan bestialitas dengan binatang
mereka. Awalnya mereka hanya tidur dengan binatang kesayangannya, membelai-belai
binatangnya, kemudian memanipulasi tubuh binatang sebagai simbol akan seksualitas,
hingga melakukan bestialitas.
l. Necrophilia
Necrophilia adalah relasi seksual dan kepuasan seksual dengan mayat. Atau
dapat dikatakan memiliki rasa tertarik dengan mayat. Penyebab dari nekrofilia biasanya
dikarenakan oleh: pelakunya memiliki rasa inferior yang begitu hebat karena mengalami
trauma yang serius, sehingga dia tidak berani mengadakan relasi seks dengan seorang
wanita yang masih hidup. Biasanya dia dihinggapi pula rasa-rasa kecemasan atau
ketakutan dan dendam yang cukup kronis dan dalam.
Terkadang para nekrofilia ini tidak hanya melakukan hubungan seksualnya
dengan mayat, tetapi juga melakukan mutilasi terhadap mayat tersebut. Sehingga gejala
nekrofilia ini dapat mengarah kepada sifat psikotis, karena oleh nafsu seksnya yang
abnormal. Para nekrofilia bisa membunuh seseorang untuk dijadikannya sebagai mayat
untuk memenuhi hasrat seksnya. Bahkan terkadang beberapa bagian dari tubuh mayat
tersebut dimakan olehnya, sehingga mengarah kepada kanibalisme.

37
l. Geronto-Seksuality
Geronto-seksuality adalah gejala orang muda lebih senang melakukan hubungan
seks dengan orang yang sudah lanjut usia. Biasanya para pengidap geronto-seksualitas
melakukannya karena faktor ekonomi. Sehingga mereka akan bersedia menikah dengan
orang yang jauh lebih tua dengan dirinya. Biasanya mereka melakukan hal itu karena
adanya dorongan akan keinginan seks sebagai bentuk cinta-kasih terhadap orangtuanya.
m. Incest
Incest adalah hubungan seks yang dilakukan antara pria dan wanita di dalam
atau di luar pernikahan, di mana mereka terkait dengan hubungan kekerabatan atau
keturunan yang dekat sekali secara biologis. Incest banyak terjadi di kalangan
masyarakat dari tingkat sosial-ekonomi yang sangat rendah dan pada orang-orang
keturunan darah campuran. Juga pada kalangan kaum bangsawan untuk menjamin
keturunan “darah biru” dan menjamin terpusatkannya harta kekayaan yang mereka
miliki. Kebanyakan dari mereka tidak keberatan dan bukan karena paksaan untuk
melakukan hal ini. Akan tetapi, anak-anak yang mereka lahirkan justru akan cacat baik
secara jasmani maupun secara psikologi.
n. Saliromania
Saliromania adalah periaku seorang pria yang mendapatkan kepuasan seks
dengan cara menodai badan dan pakaian wanitanya. Orang yang mengalami saliromania
biasanya adalah orang yang diselimuti oleh rasa kebencian, dendam, dan kompulsi-
kompulsi tertentu yang mereka lampiaskan dengan cara menodai atau mengotori tubuh
wanita atau patung wanita dengan telur busuk, tinta, cat, zat asam, bahkan feses.
o. Misophiilia, Koprophilia, dan Urophilia
Miseo = kotoran; kopron = benda najis; Ouron = air kencing, air seni. Sehingga
Misofilia, Koprofilia, dan Urofilia adalah kelainan dalam memenuhi keinginan seks
mereka bersama dengan kotoran-kotoran (hal-hal yang najis). Kelainan tersebut
disebabkan karena sejak kecil sudah mengembangkan asosiasi yang salah diantara
seksualitas dan dengan kekotoran. Sehingga pola akan keinginan melakukan seks dan
hal-hal yang najis tersebut menjadi tingkah laku yang menetap. Kropofilia sering terjadi
pada kaum laki-laki dan Urofilia terjadi pada kaum wanita.

38
p. Skoptophilia
Skoptophilia adalah gejala kepuasan seks dan orgasme dengan cara melihat proses
persetubuhan orang lain serta melihat alat kelamin orang lain.
q. Troilism
Troilism adalah gangguan seksual dimana seseorang tersebut menginginkan
adanya kehadiran orang ketiga untuk melihatnya melakukan hubungan seksual dengan
pasangannya. Hal ini karena adanya perasaan sombong diri yang ingin mengeksposkan
kejantanannya pada orang lain termasuk pasangannya. Gangguan ini kebanyakan terjadi
pada kaum pria.

II.II.V Terapi Parafilia

Treatment secara umum : Tingkat dan jenis treatmen yang diberikan kepada
orang yang mengalami haraphilia tergantung dari :
1. Seberapa jauh klien menyadari akan manfaat kesembuhan dirinya dan
memberi dampak positif untuk mengubah tingkah lakunya.
2. Seberapa jauh proses ego-dystonic (tidak senada bertentangan dengan ego)
ataukah ego-syntonic (serasi dengan egonya yang berlangsung kepada dirinya). Sebab
semakin kuat ego sintonik semakin terperangkap erat struktur kepribadian dan
perkembangan seksual seseorang dalam kebiasaan seksual yang menyimpang maka
semakin kecil kemungkinan kesembuhannya.
3. Bergantung pada sub kultur yang menyimpang, semakin kecil perubahan
tingkah laku seksualnya.
4. Bergantung pada struktur kepribadian seseorang. Apakah orang itu memiliki
temperamen tertentu, kemampuan menjalin relasi interpersonal, dsb.
5. Usia yang masih muda; sebab jika sudah berusia lebih dari 35 tahun, maka
kemungkinan untuk dapat disembuhkan tidaklah mudah.

39
Pengobatan pada penderita paraphilia dapat dilakukan melalui:
a. Intervensi Biologis
Intervensi biologis yang banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah
melakukan kastrasi atau pengangkatan testis untuk mengurangi tindakan seksualnya.
Fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk
mengobati obsesi dan kompulsi.
Intervensi Biologi lain yaitu dengan cara:
1. Pengebiran untuk menghentikan produksi androgen, digunakan untuk
mengurangi perilaku seksual yang tidak tepat.
2. Pada psikoterapi dapat diberikan obat antiandrogen untuk menekan produksi
testoteron sehingga orang yang mengalami gangguan paraphilia dapat
menurunkan perilaku mereka.
3. The Selective Serotonin Reuptake Inhibitor ( SSRIs) dapat digunakan untuk
mengurangi dorongan seksual pada orang yang mengalami gangguan paraphilia.
4. Terapi Modifikasi Perilaku (secara umum dapat digunakan dan sukses ketika
orang dengan gangguan paraphilia memiliki keinginan untuk merubah perilaku
mereka.)
5. Aversion Therapy digunakan untuk memadamkan respon seksual pada objek
atau situasi yang dapat membangkitkan perilaku.
6. Prosedur Desensitisasi dapat digunakan untuk mengelola kecemasan seseorang
yang terlibat dalam aktivitas seksual orang dewasa.
b. Intervensi Tingkah Laku
Intervensi tingkah laku digunakan untuk mengkondisikan gairah pada objek
penderita paraphilia. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik
ketika seoseorang berperilaku yang berkaitan dengan paraphilia. Metode lainnya
adalah satiation yaitu seseorang dengan gangguan paraphilia diminta untuk
bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi
tersebut, jika digabungkan dengan terapi lain seperti pelatihan kemampuan sosial,
dapat bermanfaat terhadap pedophilia, transvestisme, dan eksibisionisme. Cara lain

40
yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien
belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional.
c. Terapi Psikoanalisis
Pandangan yang paling sering muncul adalah gangguan ini timbul karena adanya
gangguan karakter, yang dahulu disebut gangguan kepribadian, sehingga sulit
ditangani dengan keberhasilan yang memadai. Meskipun pandangan psikoanalisis
berdampak terhadap pendangan mengenai penyebab, hanya sedikit kontribusi
terhadap terapi yang efektif bagi gangguan ini.
d. Terapi Kognitif
Terapi ini digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran pada individu. Contohnya
seorang eksibisionis mengklaim anak perempuan yang jadi sasarannya terlalu muda
untuk merasa terluka karena apa yang dilakukannya. Maka terapis akan meluruskan
distorsi itu dengan mengatakan bahwa semakin muda usia korban, maka efeknya
semakin negatif. Pelatihan lain adalah pelatihan empati dengan mengajak subjek
untuk memikirkan efek negatif dari yang dilakukannya bagi orang lain agar mereka
tidak melakukannya lagi.
e. Hukum Megan
Adalah hukum dimana para pelaku dipaksa untuk mendaftarkan diri sehingga
polisi bisa mengetahui dimana mereka tinggal. Polisis juga diperbolehkan untuk
mempublikasikan keberadaan para pelaku pada masyarakat. Masyarakat juga boleh
menggunakan komputer kepolisian untuk melihat apakah pelaku tinggal di daerah
sekitar mereka atau tidak.

41
II.II.VI Contoh Kasus Parafilia

Contoh 1
Perilaku pedofilia
Seorang pria berinisial FM (29) melakukan tindak pedofilia terhadap 14 anak di
wilayah Lenteng Agung Jagakarsa, Jakarta Selatan. Aksinya tersebut terbongkar warga
setelah melakukan tindak asusila terhadap anak di bawah umur dalam kurun waktu satu
tahun terakhir. Ketua RW setempat Raden Taufik mengungkap awal mula terungkapnya
tindak pelecehan seksual terhadap anak tersebut

Contoh 2
Perilaku Trans – sexualisme
Dorce Gamala yang memiliki nama lahir Dedi Yuliardi Ashadi merupakan
seorang presenter dan entertainer profesional yang multitalenta. Mengawali karirnya
sebagai seorang komedian, artis kelahiran Solok, Sumatera Barat, 21 Juli 1963 ini
pertama kali mendapatkan nama Dorce sebab perilaku dan dandanannya yang lebih
menyerupai perempuan.
Sebagaimana sudah diketahui para penggemar di tanah air, Dorce Gamalama adalah
seorang transgender yang memiliki segudang prestasi, kiprah dan karya. Tak hanya itu,
Dorce juga terkenal dengan amal baik serta kepedulian sosialnya yang tinggi terutama
pada kaum dhuafa, yatim piatu, juga kepada kelompok transgender yang kurang
beruntung.

Contoh 3
Perilaku Homosexual (Lesbian)
Sudahlah lesbian, Eka Yulianda (21) suka gigit bayi AT (18) anak pacar sesama
jenisnya. Hubungan sesama jenis lagi-lagi makan korban. Seorang bayi tewas
sebelumnya sempat digigiti pacar sesama jenis. Kali ini hubungan sesama jenis terjadi
di Bangka Belitung. Seorang wanita lesbian bernama Eka Yulianda pacaran dengan AT.

42
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Jadi seseorang dengan gangguan identitas gender merasa bahwa ia terperangkap


dalam tubuh yang salah, ia merasa tidak sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya.
Penetapan ketidakpuasan terhadap gender sulit ditentukan karena adanya fakta bahwa
banyak anak muda yang berperilaku dan berbicara dengan cara yang seolah-olah
menunjukkan bahwa mereka lebih memilih menjadi individu dengan jenis kelamin yang
lain (Hulgin & Whitbourne, 2010 ; 309).
Bahkan, ketika para individu dengan dysphoria gender tumbuh dewasa, individu
wanita dilaporkan mengalami masalah yang lebih sedikit, mungkin karena wanita yang
berperilaku dan berpakaian dengan model maskulin lebih dapat diterima bila
dibandingkan pria yang berperilaku dan berpakaian feminin. Bukti-bukti anatomi
mereka, yakni alat kelamin normal dan karakteristik jenis kelamin sekunder yang
umum, seperti tumbuhnya jambang pada laki-laki dan membesarnya payudara pada
perempuan, tidak membuat mereka merasa bahwa mereka adalah orang dengan gender
yang dilihat orang lain pada mereka.
Sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh karakteristik peran gender, peran
gender individu sepanjang masa perkembangannya akan mempengaruhi bagaimana ia
memandang dirinya, caranya berinteraksi dengan orang lain, termasuk dalam perilaku
prososial, tingkat kreativitas, dan kemandiriannya. Seperangkat peran gender adalah
tentang seperti apa yang seharusnya dan bagaimana perilaku, perasaan, dan pikiran
individu sebagai seorang maskulin atau feminin. Parafilia adalah gangguan dan
penyimpangan seksual di mana rangsangan seksual muncul nyaris secara eksklusif
dalam konteks objek-objek atau individuindividu yang tidak semestinya (Durand dan
Barlow, 2006).

43
Menurut DSM IV-TR, parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup
ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak
pada umumnya. Seseorang dapat memiliki perilaku, fantasi, dan dorongan seperti yang
dimiliki oleh seorang parafilia, namun yang bersangkutan tidak dapat didiagnosis
menderita parafilia jika fantasi atau perilaku yang muncul tidak berulang atau bila tidak
mengalami distress karenanya.

SARAN

Setelah terselesaikannya makalah ini demi menjalankan tugas tentang psikologi


patologi dan juga tidak lupa untuk menambahkan pengetahuan serta memperluas
wawasan tentang materi ini.
Kita sebagai mahasiswa hendaknyalah mengungkap isi dari apa-apa yang telah di
lampirkan pada makalah ini. Dan bukan hanya itu, alangkah mulianya jika materi yang
menurut para pembaca bermanfaat dan dapat diambil sebagai pelajaran untuk
ditrapkan  dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin itu penutup dari makalah yang telah saya buat. Jika ada kesalahan itulah
kekurangan yang kita miliki. Dan tak lupa saya sampaikan terimakasih. Sekian.

44
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, psikologi sosial, Edisi Revisi (Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta, 1999),
hlm. 225
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, (Fourth Edition), Text Revision. Washington: American Psychiatric
Publishing.
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 5th ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013
Dr. Kartono Kartini. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:
Penerbit Mandar Maju
Kartono, Kartini. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Bandung :
Mandar Maju
Kring, Ann M; Johnson, Sheri L; Davison, Gerald C; Neale, John M. (2012). Abnormal
Psychology 12th. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Maramis WF, Maramis AA. 2009. Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press
McManus MA, Hargreaves P, Rainbow L et al. Paraphilias: definition, diagnosis and
treatment.F1000Prime Rep. Sep 2 2013;5:36. Available
Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus., Beverly Green. (2005) Psikologi Abnormal
(Abnormal Psychology in a Changing World 5th), terj. Tim Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Tanpa Tempat Terbit: Erlangga.
Nolen-Hoeksema, S. (2011). Abnormal Psychology (5thed.). Boston: McGraw-Hill.
Ronawulan, Endah. Bahan ajar mata kuliah kedokteran Jiwa gangguan
psikoseksual.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. 2006.
Rusadi M. 2013. Buku saku diagnosis jiwa Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
SadockBJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke- 2.
EGC : Jakarta.
Universitas K, Petra. Accessed March 12, 2022.

45
Yatimin, (2003). Etika Seksual dan Penyimpangannya Dalam Islam

46

Anda mungkin juga menyukai