Anda di halaman 1dari 33

EVALUASI KARAKTER ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

(ABK) DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI SEKOLAH IBK


CEMARA BOGOR

PROPOSAL PENELITIAN

Disampaikan Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Octa Novita Sari

(191102031324)
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis sampaikan dan haturkan atassegala Limpah Rahmat
dan Karunia Allah SWT sehingga Tesis dengan judul : “EVALUASI
KARAKTER ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DALAM BIDANG
PENDIDIKAN DI SEKOLAH IBK CEMARA BOGOR ” dapat tersusun dengan
baik.

Penyusunan proposal ini Penulis sangat sadar telah mendapatkan banyak


bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini Penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. Umi Fatonah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Evaluasi Program
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan tugas akhir mata kuliah berupa
pembuatan proposal yang sangat bermanfaat untuk melatih dalam penyusunan
Proposal Skirpsi.

2. AL Juska Sasni Akbar, M.Pd. selaku Dosen Pengampu pada mata kuliah
Evaluasi Program yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan,
ilmu, bimbingan, serta dorongan yang sangat membantu dalam proses
penyempurnaan penyusunan tugas akhir mata kuliah Evaluasi Program.

Penulis berharap adanya pesan dan kritik yang bersifat membangun


menuju peningkatan kualitas tesis yang akan datang, semoga penelitian evaluasi
program ini bermanfaat bagi penulis, mahasiwa dan masyarakat.

Bogor, 15 Juni 2022

Octa Novita Sari

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Fokus Penelitian.....................................................................................................10
1.3 Rumusan Masalah..................................................................................................11
1.4 Kegunaan Penelitian...............................................................................................12
BAB II................................................................................................................................13
KAJIAN TEORITIK..............................................................................................................13
2.1 Konsep evaluasi program.......................................................................................13
2.2 Konsep karakter anak berkebutuhan khusus (ABK)................................................17
BAB III...............................................................................................................................20
METODE PENELITIAN.......................................................................................................20
3.1 Tujuan penelitian...................................................................................................20
3.2 Tempat dan Waktu Evaluasi...................................................................................20
3.3 Metode Penelitian..................................................................................................21
3.4 Instrumen penelitian..............................................................................................23
3.5 Standar Evaluasi.....................................................................................................25
3.6 Analisis data penelitian..........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................29

ii
DAFTAR TABEL

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah amanah serta anugerah terindah yang Tuhan titipkan kepada
orang tua yang untuk kemudian menjadi generasi penerus dalam sebuah keluarga
maupun penerus bangsa. Dalam UU No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 tentang
Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak diartikan sebagai keturunan. Selain
itu, pada dasarnya seorang anak berada pada satu masa perkembangan tertentu
dan mempunyai potensi menjadi dewasa. Dari sudut pandang sosiologis, anak
merupakan individu yang menjadi bagian dalam struktur sosial masyarakat. Ia
memiliki hak yang dilindungi oleh undang-undang untuk dapat hidup bersama
keluarga, berinteraksi dengan lingkungan sosial, mendapatkan pendidikan di
sekolah bahkan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas, potensi
yang dimilikinya (Mahrani, Siti Meutia Sari, 2022).

Anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi sorotan masyarakat maupun


pemerintah selama hampir satu dekade terakhir. Baik dari segi layanan
pendidikan, layanan terapi, aksesibilitas umum, dan berbagai hal terkait dengan
pemenuhan hak bagi ABK. Terbaru, berbagai layanan dan pemenuhan hak untuk
ABK saat ini pun telah tertuang dalam UU No.8 Tahun 2016. Bahkan, pemerintah
saat ini sedang gencar menggalakkan pendidikan dan lingkungan yang ramah bagi
ABK. Hal tersebut diwujudkan oleh pemerintah dalam bentuk pendidikan inklusif
serta mulai diperketatnya bangunan-bangunan dan fasilitas umum yang harus
memenuhi standar aksesibilitas bagi ABK. Anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka
berbeda dengan anak pada umumnya. Pada mulanya, pengertian anak
berkebutuhan khusus adalah anak cacat (difabel), baik cacat fisik maupun cacat
mental. Pengertian anak berkebutuhan khusus demikian berkembang menjadi

1
anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak
yang normal. Anak berkebutuhan khusus sering dikucilkan atau termaginalkan
dari lingkungan sekitar. Anak-anak berkebutuhan khusus sering menerima
perlakuan yang diskriminatif dari orang lain. Bahkan untuk menerima pendidikan
saja mereka sulit. Beberapa sekolah regular tidak mau menerima mereka sebagai
siswa. Alasannya guru di sekolah tersebut tidak memiliki kualifikasi yang
memadai untuk membimbing anak berkebutuhan khusus. Terkadang sekolah
khusus letaknya jauh dari rumah mereka, sehingga banyak anak berkebutuhan
khusus yang tidak mengenyam Pendidikan (Widiastuti, 2019).

Secara sederhana, anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak


yang memerlukan layanan khusus untuk dapat menjalani aktivitas sehari-hari
dengan baik (Khairun Nisa et al., 2018). Hal tersebut mencakup anak-anak yang
mengalami permasalahan maupun yang memiliki kelebihan terkait tumbuh
kembang yang kaitannya dengan intelegensi, inderawi, dan anggota gerak. Anak
berkebutuhan khusus merupakan suatu kondisi yang berbeda dari rata-rata anak
pada umumnya. Perbedaan dapat berupa kelebihan maupun kekurangan. Dari
adanya perbedaan ini, akan menimbulkan berbagai akibat bagi penyandangnya.
Heward menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Konsep anak
berkebutuhan khusus mempunyai makna yang lebih luas dibandingkan dengan
pengertian anak luar biasa. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang
dalam pendidikan membutuhkan pelayanan yang spesifik, lain hal dengan anak
pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini mengalami hambatan dalam
belajar dan perkembangan. Oleh karena itu, mereka memerlukan layanan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan belajar masing-masing anak.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diberikan diatas, anak berkebutuhan
khusus dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki karakteristik fisik,
intelektual, maupun emosional, di atas atau di bawah rata-rata individu pada
umumnya. (Antonius, 2013).

Data dari Bank Dunia menunjukkan populasi anak berkebutuhan khusus


diseluruh dunia mencapai 10 persen. Diperkirakan 85 persen anak berkebutuhan

2
khusus di seluruh dunia yang berusia di bawah 15 tahun terdapat di negara
berkembang. Lebih dari dua pertiga populasi tersebut terdapat di Asia. Terkait
dengan kondisi yang kronis tersebut, anak juga membutuhkan perawatan
kesehatan serta pelayanan lainnya termasuk layanan pendidikan yang lebih dari
anak lain pada umumnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan
yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik,
seperti fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan
tumbuh- kembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya
ekstra. Perbedaan karakteristik dan kebutuhan mereka dibanding anak-anak pada
umumnya membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai
dengan kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan
untuk menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan
kesadaran untuk menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan
layanan seideal yang seharusnya mereka terima (Chamidah, 2013).

Layanan untuk anak berkebutuhan khusus berusaha menjembatani


hambatan yang dialami anak dan memanfaatkan potensi anak untuk dapat
mengakses kesempatan hidup sebesar-besarnya. Layanan diberikan dengan
berorientasi pada prinsip mempertimbangkan kesamaan masing-masing tipe anak
berkebutuhan khusus dan juga perbedaan individual dari masing-masing tipe
tersebut, menjaga sikap optimis untuk dapat memberi layanan baik pendidikan,
medis, psikologis, maupun upayaupaya pencegahan, mengedepankan potensi anak
daripada fokus pada hambatan mereka, dan memandang bahwa kebutuhan khusus
bukanlah hambatan melainkan kurangnya kesempatan anak untuk melakukan
sesuatu yang orang lain pada umumnya mampu lakukan, baik dalam hal tingkat
kematangan (emosi, mental, dan atau fisik), kesempatan yang diberikan
masyarakat kepada mereka untuk hidup ‘normal’, dan pengajaran atau pendidikan
sesuai hak yang seharusnya mereka dapatkan. Menurut (Chamidah, 2013) ada
bermacam-macam jenis anak dengan kebutuhan khusus. Secara singkat masing-
masing jenis kelainan dijelaskan sebagai berikut:

• Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan

3
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya
penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan
walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih
tetap memerlukan pelayanan khusus.

• Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran

Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya


pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi
secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat
bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan khusus.

• Tunadaksa/mengalami kelainan angota tubuh/gerakan

Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang


menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga
memerlukan pelayanan khusus.

• Berbakat/memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa

Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan


(inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab terhadap tugas (task
commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga
untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata memerlukan
pelayanan khusus.

• Tunagrahita

Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata


mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh
di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan
dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.

• Lamban belajar (slow learner)

Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi


intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita.
Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir,

4
merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik
dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan
yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulangulang
untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non
akademik.

• Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik

Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus , terutama
dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau
matematika. Permasalahan tersebut diduga disebabkan karena faktor
disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensi
(inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal). Anak
berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca
(disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar
berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak
mengalami kesulitan yang berarti.

• Anak yang mengalami gangguan komunikasi

Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang


mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran
bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi
bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Anak yang mengalami gangguan komunikasi ini
tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.

• Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.

Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian


diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada
umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain.

• ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas)

5
ADHD/GPPH adalah sebuah gangguan yang muncul pada anak dan
dapat berlanjut hingga dewasa dengan gejala meliputi gangguan
pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan mengontrol
perilaku, dan hiperaktif (overaktif). Gejala tersebut harus tampak
sebelum usia 7 tahun dan bertahan minimal selama 6 bulan.

• Autisme

Autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi


gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang
mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang
termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir.

Memperoleh pendidikan adalah hak setiap anak, baik anak itu normal
maupun anak berkebutuhan khusus (ABK). Pelayanan terhadap anak
berkebutuhan khusus di Indonesia berada di sekolah luar biasa/sekolah khusus dan
sekolah inklusi. Pada sekolah khusus, peserta didiknya adalah ABK sementara
pada sekolah inklusi terdapat penggabungan antara anak normal dan ABK. Oleh
karena itu berbagai pihak termasuk orang tua, sekolah, lembaga dan Negara
memiliki peranan penting dalam melangsungkan hak anak. Meski demikian, telah
banyak peraturan yang mengatur dan mengawasi anak dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi, namun masih saja ditemukan
permasalahan anak yang justru terlihat semakin kompleks. Di bidang pendidikan,
masih terdapat sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus dan
belum dapat mengakses kesejahteraan, aksesibilitas anak difabel dalam
memperoleh Pendidikan (Mahrani, Siti Meutia Sari, 2022).

Sekolah merupakan tempat untuk mengenyam pendidikan formal bagi


semua orang. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak semua orang dapat
mengenyam pendidikan formal seperti apa yang diharapkan. Hal itu terjadi karena
ada perbedaan perlakuan bagi beberapa orang, dalam hal ini adalah para anak
difabel atau anak-anak dengan kebutuhan khusus. Anak-anak dengan kebutuhan
khusus seringkali ditolak untuk masuk ke sekolah biasa di mana anak-anak
normal bersekolah. Penolakan oleh sekolah-sekolah ini dapat terjadi karena
beberapa faktor, di antaranya adalah: a) Letak sekolah khusus yang biasa disebut

6
Sekolah Luar Biasa (SLB) yang jauh dari tempat tinggal siswa dengan kebutuhan
khusus tersebut jarak yang jauh dan sulitnya sarana transportasi menuju ke SLB.
b) Ketidakmampuan sekolah umum untuk mendidik anak berkebutuhan khusus
(ABK) karena pola berpikir mereka bahwa anak dengan kebutuhan khusus
harusnya disekolahkan di SLB. c) Tidak ada guru khusus yang menangani ABK,
karena semua guru di sekolah umum bukan lulusan dari jurusan sekolah luar
biasa. Dikarenakan jurusan yang banyak ditempuh oleh para pendidik di sekolah
dasar pada umumnya adalah pendidikan umum atau mata es menangani anak
berkebutuhan khusus hanya ada di sekolah luar biasa. d) Tidak ada sarana dan
prasarana yang dapat mendukung kelangsungan belajar siswa ABK di sekolah
biasa misalnya ruangan inklusif yang digunakan untuk melayani ABK baik di kala
jam pelajaran normal atau sepulang sekolah. e) Paradigma orang tua ABK yang
menganggap bahwa jika anak mereka disekolahkan di SLB adalah anak cacat
(Fauzan et al., 2021).

Berbagai tindakan yang tidak menceriminkan nilai-nilai luhur bangsa


Indonesia menjadi perhatian baik bagi kalangan masyarakat, elit politik,
pemerintah, tokoh agama dan juga praktisisi pendidikan atau akademisi. Upaya
yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
lunturnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia adalah pendikan karakter. Oleh
karena itu, pendidikan karakter harus dimulai dengan proses penanaman
pengetahuan tentang hal- hal yang baik kemudian diaplikasikan dalam bentuk
sikap (Desti, 2017). Pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu pendekatan
pendidikan karakter yaitu melalui pembelajaran. Pembelajaran karakter terse- but
dapat dilakukan baik di kelas, di satuan pendidikan dan nonformal, ataupun di luar
satuan pendidikan. Dengan demikian, pembelajaran karakter di kelas dapat
dilaksanakan melalui proses belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Pendidikan karakater dengan pendekatan pembelajaran di kelas melalui
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus diberikan kepada semua warga

7
negara Indonesia tanpa kecuali untuk anak berkebutuhan khusus. sesuai dengan
amanat Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga negara
berhak untuk mendapatkan pendidikan. Anak berkebutuhan khusus merupakan
warganegara Indonesia, sehingga mereka memiliki hak yang sama dengan warga
negara lainnya untuk mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini, Pemerintah harus
memberikan pendi- dikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus baik dalam pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun
pada pendidikan tinggi (Desti, 2017). Karakteristik yang dimiliki oleh anak
berkebutuhan khusus bukan alasan untuk tidak menanamkan karakter kebangsaan.
Sebagai warganegara, anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan anak pada umumnya untuk mengenali bangsanya
melalui pendidikan karakter kebangsaan yang diintegrasikan melalui Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan.

Selain pentingnya Pendidikan karakter pada Anak Berkebutuhan Khusus


(ABK), Pendidikan inklusif tidak kalah pentingnya. Pendidikan inklusif saat ini
telah menjadi isu yang sangat menarik dan menjadi focus perkembangan dalam
system pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan, pendidikan inklusif memberikan
layanan dan perhatian khusus bagi para siswa yang memiliki kebutuhan khusus
untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler.
Pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
yang diintegrasikan masuk ke dalam kelas reguler untuk belajar bersama anak-
anak normal lainnya di sekolah umum. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut
sebagai anak luar biasa) di definisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan
dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara
sempurna. Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan keberadaan anak
berkebutuhan khusus di sekolah- sekolah umum, termasuk di Sekolah Dasar (SD)
yang perlu mendapatkan perhatian dan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kondisi dan kebutuhannya. Masing-masing anak memiliki karakteristik dan
keunikan tersendiri, khususnya mengenai kebutuhan dan kemampuannya dalam
belajar di sekolah. Anak-anak tersebut, tentu saja tidak dapat dengan serta merta
dilayani kebutuhan belajarnya sebagaimana anak-anak normal pada umumnya.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus siap memberikan layanan yang

8
terbaik sehingga mampu mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus
yang berada dalam lingkungan pendidikan yang ada. Persiapan yang bisa
dilakukan meliputi memberikan bekal kemampuan kepada guru-guru agar
memiliki kemampuan mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. Kemampuan
identifikasi ini menjadi penting, sebab selengkap apapun fasilitas dan dana atau
dukungan sekolah namun bila gurunya kemampuan belum memiliki
membedakan, mengenali anak berkebutuhan khusus bisa berakibat terhadap
pelayanan dan penanganan selanjutnya (Agustin, 2019).

Pelaksanaan pembelajaran bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus


sangat membutuhkan strategi. Terdapat teknik tersendiri yang akan disesuaikan
dengan kebutuhan masing-masing anak. Pembelajaran bagi anak yang memiliki
kebutuhan khusus perlu dipersiapkan oleh pengajar di sekolah dengan melihat
kondisinya sehingga mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Pembelajaran tersebut disusun berdasarkan penggalian kemampuan diri anak yang
memiliki kebutuhan khusus yang didasarkan pada kurikulum berbasis kompetensi.
Peran seorang pendidik atau pengajar dalam pendidikan inklusif ini adalah untuk
mengarahkan peserta didik sesuai dengan potensi serta bakat yang dimiliki oleh
setiap siswa. Seorang guru atau pengajar merupakan orang yang terdekat bagi
siswa. Selain itu, guru juga dapat menjadi kedua orang tua peserta didik selama di
sekolah. Seorang pengajar dalam pelaksanaan pembelajaran inklusi lebih
menekankan pada kemampuannya dalam mengelola kelas saat proses
pembelajaran berlangsung. Maka dari itu, guru atau pengajar harus memiliki
kompetensi dalam mengelola pembelajaran, pemahaman terhadap siswa yang
memiliki beragam perbedaan, dan pelaksanaan proses pembelajaran yang bersifat
mendidik (Bahri, 2021).

Guru Pembimbing Khusus dan Guru SD/MI juga harus memiliki


pengetahuan tentang kebutuhan dan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus
yang terdiri dari pengetahuan karakteristik umum dan khusus. Pengetahuan
karakteristik umum berupa pengetahuan tentang sejumlah kelebihan yang dimiliki
oleh anak berkebutuhan khusus. Pengetahuan karakteristik khusus ialah data yang
dimiliki setiap anak di kelas. Data tersebut dapat diperoleh guru baik dari hasil
identifikasinya maupun diterima dari identifikator profesional yang lain.

9
Pengetahuan khusus ini sama pentingnya dengan pengetahuan umum karena
seorang anak yang dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus biasanya hanya
memiliki sebagian dari karakteristik umum sehingga dengan demikian data ini
merupakan basis untuk menyusun rencana dan penerapan pembelajaran (Agustin,
2019).

1.2 Fokus Penelitian


Fokus evaluasi dalam penelitian ini adalah “Evaluasi karakter anak berkebutuhan
khusus (ABK) dalam bidang pendidikan. dengan menggunakan pendekatan
model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product,) yang dikembangkan oleh
Stufflebeam dkk (1967).Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menggunakan
model evaluasi CIPP (context, input, process, product) yang dikembangkan oleh
Stufflebeam dkk (1967). Maka, berdasarkan latar belakang masalah dan aspek-
aspek dalam evaluasi model CIPP dapat didefinisikan gambaran masalah sebagai
berikut :

a. Context : komponen context mengidentifikasi antara kesesuaian visi, misi dan


tujuan yang dimiliki oleh Lembaga pendidikan yang di peruntukan untuk anak
berkebutuhan khusus dengan kebutuhan stakeholder, dalam penerapan program
peningkatan evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam bidang
pendidikan.

b. Input : komponen input mengidentifikasi hal-hal yang akan di evaluasi pada


karakter anak berkebutuhan khusus ( ABK) dalam bidang pendidikan (1). (2).
Rencana pelaksanaan program penerapan pendidikan pada anak berkebutuhan
khusus , (3). Kriteria dan peran guru pembimbing, (4). Mekanisme pelayanan
pendidikan anak berkebutuhan khusus, (5). Sarana dan Prasarana, (6). Sumber
daya manusia, (7). Anggaran

c. Process : komponen process mencakup bagaimana peningkatan


suatu evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam bidang
pendidikan, serta mengetahui Kendala-kendala yang dialami dalam proses peng-
evaluasian tersebut.

10
d. Product : Aspek product atau hasil dalam program pada evaluasi karakter anak
berkebutuhan khusus ini mencakup bagaimana efektivitas dari program yang
telah dijalankan yaitu Evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam
bidang pendidikan..

1.3 Rumusan Masalah


Konteks : 1.Apa yang menjadi latar belakang dari Pengevaluasian karakter anak
berkebutuhan khusus ini?

2. Bagaimana cara memberikan bimbingan terhadap anak yang berkebutuhan


khusus?

3. Apakah tujuan diadakannya Evaluasi terhadap suatu karakter anak yang


berkebutuhan khusus ini?

Input : 1. Apakah dalam mengevaluasi karakter terhadap anak berkebutuhan


khusus pernah di lakukan sebelum nya ?

2. Apakah ada kendala saat menangani anak berkebutuhan khusus ini ?

3. Apakah di setiap karakter yang dimiliki anak-anak ini terdapat salah satu anak
yang tidak bisa di atasi ?

4. Bagaimana cara kita menghadapi karakter anak berkebutuhan khusus ini


dengan baik dan benar ?

Proses : 1. Bagaimana cara mengajarkan atau mendidik anak berkebutuhan khusus


ini dalam dunia pendidikan ?

2. Apakah menurut bapak/ibu dalam melatih anak berkebutuhan khusus ini sangat
lah sulit ?

3. Adakah karakter yang unik di setiap anak berkebutuhan khusus ini?

Product : 1. Sejauh mana bapak/ibu dalam memberikan perhatian terhadap anak


berkebutuhan khusus ini ?

2. Apakah dalam mengevaluasi karakter anak berkebutuhan khusus ini


menanamkan nilai positif bagi bapak/ibu ?

11
1.4 Kegunaan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
dari anak berkebutuhan khusus yang memerlukan layanan pendidikan dan model
layanan pendidikan yang nantinya digunakan untuk membantu anak berkebutuhan
khusus dalam belajar dan mengembangkan kreativitasnya. Selain mengenai
Pendidikan penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan wawasan kepada
pembaca tentang karakteristik setiap jenis ABK dan bagaimana pemenuhan
kebutuhan layanan yang disesuaikan dengan setiap karakteristik mereka.

1. Secara Teoritis
Hasil evaluasi ini diharapkan dapat menambah keilmuan dan pengetahuan
dalam evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Ibk
Cemara Bogor, khususnya dalam evaluasi program karakter anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam bidang pendidikan. Selain itu, hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dan membantu
perkembangan anak yang berkebutuhan khusus menjadi lebih baik.
2. Secara Praktis

Hasil evaluasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu landasan untuk
mengetahui suatu evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah
Ibk Cemara Bogor, serta dapat meningkatan penilaian untuk kedepannya agar
lebih efektif dan efisien.

12
BAB II

KAJIAN TEORITIK

2.1 Konsep evaluasi program


A. Progam Karakter anak berkebutuhan khusus (ABK)

a. Pengertian karakter anak berkebutuhan khusus

Istilah “karakter” yang sering disamakan dengan istilah “temperamen” ,”tabiat”,


“watak” atau “akhlak”. Secara etimologi karakter memiliki berbagai arti seperti :
“kharacter” (latin) berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis) berarti to
engrove (mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak” (Indonesia)
berarti “sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku, budi pekerti, tabiat,
dan perangai”.

Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to
mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Dalam Kamus
Poerwadarminta (Kemendiknas, 2010: 44), karakter diartikan sebagai tabiat;
watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun
karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa
sedemikian rupa, sehingga `berbentuk’ unik, menarik, dan berbeda atau dapat
dibedakan dengan orang lain.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) menjadi sorotan masyarakat maupun


pemerintah selama hampir satu dekade terakhir. Baik dari segi layanan
pendidikan, layanan terapi, aksesibilitas umum, dan berbagai hal terkait dengan
pemenuhan hak bagi ABK. Terbaru, berbagai layanan danpemenuhan hak untuk
ABK saat ini pun telah tertuang dalam UU No.8 Tahun 2016. Bahkan, pemerintah
saat ini sedang gencar menggalakkan pendidikan dan lingkungan yang ramah bagi
ABK. Hal tersebut diwujudkan oleh pemerintah dalam bentuk pendidikan inklusif
serta mulai diperketatnya bangunan-bangunan dan fasilitas umum yang harus
memenuhi standar aksesibilitas bagi ABK.

13
B. Sejarah

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk pola sifat atau karakter
mulai dari usia dini, agar karakter baik tersebut tertanam dan mengakar pada jiwa
anak. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada
aspek kognitif saja, akan tetapi lebih berorientasi pada proses pembinaan potensi
yang ada dalam diri anak, dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yaitu
berupa pengajaran nilai-nilai karakter yang baik. Dalam konteks pendidikan di
Indonesia, substansi pendidikan karakter telah diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal 1 UU tersebut dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.Pembangunan karakter anak bangsa merupakan upaya perwujudan amanat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan
kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya
nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam
mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya
bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa
(Sumber: Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-
2025).

Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang


diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang
dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

14
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab” (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional --UUSPN). Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN
merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional
pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian
Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional
Pendidikan Karakter (Amka, 2016:70).

C. Konsep pendidikan

Dalam konsep pendidikan inklusi setiap peserta didik berhak mengikuti


pendidikan secara pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya. Peserta didik yang memiliki kelainan terdiri atas: tunanetra,
tunarung, tunawicara, tunagrahit, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar,
lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban
penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya, memiliki
kelainan lainnya, dan tunaganda.Konsep pendidikan inklusi adalah menjadikan
seluruh manusia adalah pembelajar. Meski dengan modalitas berbeda semua
peserta didik memiliki hak dan kesempatan untuk mendapatkan layanan
pendidikan. Mengubah cara pandang pendidikan inklusi juga menjadi poin
penting yang perlu dikuatkan di masyarakat, terutama pengelola lembaga
pendidikan. Konsep education for all memberikan pencerahan awal bagi
penyelenggara pendidikan inklusi. Inilah nilai dasar dalam pendidikan yang perlu
ditanamkan di masyarakat.

D. Peran utama pembelajaran karakter

Dalam proses pembelajaran anak berkebutuhan khusus dengan berbagai


spesifikasinya, memiliki modalitas tersendiri, bahkan berbeda-beda antara satu
dengan lainnya. Yang perlu ditegaskan, meski berbeda-beda anak berkebutuhan
khusus tetap memiliki modalitas belajar. Layanan pembelajaran yang diberikan
oleh manajemen sekolah dan guru seharusnya mengakomodir ragam modalitas

15
yang dimiliki semua peserta didik. Anak berkebutuhan khusus tidak hanya dilihat
dari kekurangan, namun meraka juga memiliki kelebihan, karakteristik, serta
bakat tersendiri pada bidang-bidang tertentu. Bahkan sejarah telah mencatat, tak
sedikit tokoh-tokoh besar yang justru terlahir dari anak-anak berkebutuhan
khusus. Agatha Christie misalnya, meskipun sejak kecil dirinya menderita
kesulitan belajar bahasa (disleksia), tapi namanya dikenal banyak orang sebagai
penulis kenamaan. Juga Albert Einstein yang dikenal sebagai ahli dibidang fisika,
dirinya pernah divonis menyandang Autisme.

Oleh karena itulah, tidak para pendidik tidak perlu merasa takut untuk
mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab setiap guru sebagaimana
tertuang dalam peraturan Mendiknas No.16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru secara pedagogik haruslah dapat
menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural,
emosional, dan intelektual peserta didiknya.Sebagaimana diungkapkan oleh Agus
Wibowo (2012: 83) yang menjelaskan bahwapendidikan karakter dapat dilakukan
dengan cara integrasi dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya
sekolah. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sri Narwanti (2011: 53) menjelaskan
bahwa penerapan pembelajaran karakter di sekolah dasar dilakukan pada proses
pembelajaran, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar, kegiatan
ko-kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, serta koordinasi dengan keluarga untuk
memantau kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat.

Pembentukan karakter akan lebih terbentuk ketika dalam proses belajar anak -
anak juga belajar bagaimana membangun kerjasama satu sama lain (Doni
Koesoema, 2012: 119). Lebih lanjut, Muchlas Samani dan Hariyanto (2013: 162-
163) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif telah mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran siswa dalam hal:

1. Memberikan kesempatan kepada sesama siswa untuk saling berbagi informasi


kognitif.

2. Memberi motivasi kepada siswa untuk mempelajari bahan pembelajaran


dengan lebih baik.

16
3. Meyakinkan siswa untuk mampu membangun pengetahuannya sendiri.

4. Memberikan masukan informative

5. Mengembangkan keterampilan sosial kelompok yang diperlukan untuk berhasil


di luar ruangan bahkan di luar sekolah

6. Meningkatkan interaksi positif antar anggota yang berasal dari berbagai kultur
yang berbeda serta kelompok sosial ekonomi yang berlainan.

7. Meningkatkan daya ingat siswa karena dalam pembelajaran kooperatif siswa


secara

langsung dapat menerapkan kegiatan mengajar siswa yang lain.

8. Mengembangkan karakter positif para siswa, misalnya kemandirian, berani

mengemukakan pendapat, tanggung jawab, mengambil risiko, terbuka, toleran,

menghargai orang lain, dinamis, kritis, kreatif, logis, dan sebagainya.

2.2 Konsep karakter anak berkebutuhan khusus (ABK)


Banyak para ahli yang mengemukakan tentang definisi dari konsep diri.
Diantaranya adalah Seifert dan Hoffnung (1994) yang mengidentifikasi bahwa
konsep diri adalah pemahaman diri (sense of self), yakni suatu pemahaman
mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock (1996) menggunakan istilah
konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu
Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambar diri
yang meliputi persepsi seseorang tentang dirinya, perasaan, keyakinan, dan nilai-
nilai yang berhubungan dengan dirinya (Desmita, 2009: 180).

Pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh bagaimana kondisi


individu secara keseluruhan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ada tiga
faktor pembentuk konsep diri yang meliputi pengalaman, kompetensi dalam area
yang dihargai oleh individu dan orang lain serta aktualisasi diri, atau implementasi
dan realisasi dari potensi pribadi yang sebenarnya.Dalam realita yang ada banyak
penolakan dan persepsi yang buruk yang diberikan oleh lingkungan dimana anak

17
berkebutuhan khusus berada seperti orang tua, guru, keluarga, teman dan
masyarakat secara luas. Disadari atau tidak, kondisi fisik maupun mental yang
berbeda yang melekat pada diri anak berkebutuhan khusus kerap menjadi stimulus
yang memancing respons yang kurang bersahabat bagi proses perkembangan diri
anak berkebutuhan khusus. Sikap resistensi orang tua, guru maupun teman serta
keluarga yang di persepsi oleh ABK kerap berdampak pada perkembangan yang
buruk dalam aspek kepribadian ABK.

Pengalaman anak berkebutuhan khusus terkait sikap resistensi lingkungan


terhadap mereka seperti hinaan, marjinalisasi,serta penolakan-penolakan yang
disadari atau tidak bagi pelakunya akan berdampak pada ketidakmampuan ABK
untuk menerima dirinya. Demikian juga dalam aktualisasi diri mereka yang sangat
penuh keterbatasan.

2.3 Model Evaluasi

Model Evaluasi CIPP

Model evaluasi CIIP adalah suatu model evaluasi yang dikembangkan


oleh Stufflebeam yang bertujuan untuk membantu dalam perbaikan kurikulum,
tetapi juga untuk mengambil keputusan apakah program itu dihentikan saja.
Model ini mengandung empat komponen, yakni konteks, input, proses dan
produk, dan masing-masing perlu penilaian sendiri. Evaluasi konteks meliputi
penelitian mengenai lingkungan sekolah, pengaruh diluar sekolah. Bila evaluasi
konteks memadai, maka evaluasi input, yakni strategi implementasi kurikulum
ditinjau dari segi efektivitas dan ekonomi. Kemudian diadakan evaluasi proses
dan produk, misalnya kongruensi antara rencana kegiatan dan kegiatan yang
nyata.

Model ini mengutamakan evaluasi formatif yang kontinu sebagai cara


untuk meningkatkan hasil belajar. Namun fokus penelitian bukan hanya hasil
belajar melainkan keseluruhan kurikulum serta lingkungan. Penilaian dilakukan
dengan membandingkan performance yang nyata dengan standar yang telah
disepakati. Menentukan standar harus mempertimbangkan banyak faktor antara

18
lain performance siswa dalam bidang kognitif, afektif,dan psikomotor,
kemampuan guru mengajar, administrasi sekolah, fasilitas, alat dan sumber
mengajar, kurikulum, pedoman instruksional, determinan kurikulum, falsafah dan
misi lembaga. data yang dikumpulkan dibandingkan dan dinilai berdasarkan
standar itu.

Model evaluasi CIPP merupakan model yang paling banyak dikena dan
diterapkan oleh para evaluator. Oleh karena itu, uraian yang diberikan relatif
panjang dibanding dengan model lainnya. Model CIPP ini dikembangkan oleh
Stufflebeam di Ohion State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan
dari huruf awal empat buah kata, yaitu: Context evaluation : evaluasti terhadap
konteks, Input evaluation : evaluasi terhadap masukan, Process evaluation :
evaluasi terhadap proses, Product evaluation : evaluasi terhadap hasil.

d. Kajian relevan

Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang relevan dan berkaitan dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti :

Berdasarkan simpulan tersebut dapat dikemukakan saran model layanan


penidikan yang dirancang harus mampu memfasilitasi berbgai kebutuhan yang
melekat pada anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut hanya akan bisa tercapai
jika mampu mensinergikan berbagai komponen dalam pendidikan seperti guru,
fasilitas penunjang kreativitas anak, kurikulum, lingkungan belajar yang mampu
memotivasi peserta didik untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar.

19
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Tujuan penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi terkait
evaluasi program karakteristik anak berkebutuhan khusus dalam bidang
pendidikan di Sekolah Rumah IBK Cemara Bogor dengan menggunakan model
CIPP ( context,input,process, Product). Yang dikembangkan Sttuflebeam,dkk
(1967). Dengan demikian,tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Menilai komponen context mengidentifikasi antara kesesuaian visi,misi dan


tujuan yang dimiliki oleh Lembaga pendidikan yaitu Sekolah Ibk Cemara dengan
kebutuhan stakeholder,dalam penerapan program Evaluasi karakter anak
berkebutuhan khusus dalam bidang pendidikan

2. menilai komponen input yang mengidentifikasi hal-hal yang mengantur dan


memberi kontribusi terhadap peningkatan pelayanan pembelajaran pada anak
berkebutuhan khusus yaitu: (1)proses peningkatan pelayanan pembelajaran (2)
rencana pelaksanaan program (3) kriteria dan peran guru pembimbing (4)
mekanisme pelayanan pembelajaran(5) sarana dan prasarana (6) sumber daya
manusia (7) anggaran

3.2 Tempat dan Waktu Evaluasi


1. Tempat penelitian

Evaluasi program tersebut dilakukan di Sekolah Rumah Ibk Cemara Komp.


LIPI,Jl. Bojong Baru Jl. Pasir Kuda No.138A, RT.04/RW.02, Kec. Bogor Bar.,
Kota Bogor, Jawa Barat 16119

2. Waktu penelitian

Evaluasi program dilakukan pada tahun akademik 2022 selama 3 bulan, yaitu antara
maret 2022 sampai dengan bulan mei 2022

Tabel 3.1

20
No Jenis kegiatan Bulan

Maret April Mei Juni

1. Pengajuan judul

2. Pernyusunan proposal

3 Seminar proposal

3.3 Metode Penelitian


1. metode evaluasi

Penelitian ini menggunakan menggunakan pendekatan kualitatif.Penelitian


kualitatif adalah “Suatu pendekatan penelitian yang mengungkapkan stuasi sosial
tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata
berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisis data yang relevan yang
diperoleh dari situasi yang alamiah” (Djam’an dan Komariah, 2010: 25).Dalam
suatu penelitian pasti memerlukan metode dalam pelaksanan nya, pelaksanaan
tersebut dijadikan dasar sebagai pedoman agar penelitian yang dilakukan dapat
berjalan sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan. Metode penelitian pada
dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu. Maksud dari cara ilmiah adalah bahwa kegiatan penelitian
bersandar pada ciri-ciri keilmuan, yakni rasional, sistematis dan empiris.
Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data
berupa studi literatur dari berbagai referensi yang relevan dengan gejala yang
diamati yaitu pada subjek anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosional
dan perilaku. Datayang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga
dapat dilihat variasi karakteristik dan model layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus dengan gangguan emosional dan perilaku. Sehingga dengan
mengetahui karakteristik dan variasinya maka dapat dilakukan pelayanan
pendidikan yang tepat pada setiap gejala yang dialami.

Berdasarkan karakteristik progam yang akan diteliti, yaitu evaluasi Karakter anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam bidang pendidikan di Sekolah Ibk Cemara
Bogor, maka peneliti menetapkan metode yang digunakan dalam penelitian ini
iala evaluasi dengan menggunakan model CIPP (Contetx, Input, Process,
Product). Adanya tujuan dari penggunaan model ini ialah bertujuan agar penelitian ini
bisa mengetahui tingkat evaluasi yang dilakukan dan bagaimana sarana dan prasarana
untuk menunjang terjadi evaluasi program pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK)
tersebut, masalah apa yang seringkali terjadi pada peserta didik, dan hambatan

21
yang terjadi pada evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam bidang
pendidikan di Sekolah Ibk Cemara Bogor.

2. Desain Matriks Evaluasi


Tabel 3.2

No Komponen Pertanyaan evaluasi Instrumen Sumber data


evaluasi pengumpulan
data
1. Context/konteks 1.Apa yang Wawancara Kepala Sekolah
melatarbelakangi Ibk Cemara
pelaksanaan program Bogor
evaluasi karakter anak
berkebutuhan khusus
dalam bidang pendidikan
di sekolah Ibk Cemara ?

2. bagaimana kesesuaian
program evaluasi karakter
anak berkebutuhan khusus
dalam bidang pendidikan
dengan kebutuhan
stakeholder ! seperti :
mahasiswa,guru dan
pencapaian tujuan
pendidikan ?

3.apakah tujuan
penyelenggaraan prpgram
evaluasi karakter anak
berkebutuhan khusus
dalam bidang pendidikan
ini ?

2. Input masukan 4.apakah pelaksanaan Wawancara Kepala Sekolah


program evaluasi karakter Ibk Cemara
anak berkebutuhan khusus Bogor
dalam bidang pendidikan
ini pernah dilakukan ?

22
5.apakah perlu
pembimbing khusus dalam
mengevaluasi karakter
anak berkebutuhan khusus
dalam bidang pendidikan
ini ?

6.apakah sarana dan


prasarana yang tersedia di
sekolah Ibk cemara ini
cukup memadai ?

3. Proses (process) 7.Bagaimana mekanisme Wawancara Guru


dalam pendidikan yang ada Pembimbing
di sekolah Ibk cemara ?

8.apakah tenaga
kependidikan yaitu guru
atau dosen sudah mampu
memahami karakter anak
berkebutuhan khusus ini
secara baik dan benar ?
9. bagaimana proses
pembelajaran pada anak
berkebutuhan khusus ini
sert a adakah kendala yang
dialami stakeholder dosen
atau guru dan mahasiswa ?
10. fasilitas pembelajaran
atau tools apa saja yang
tersedia untuk
memfasilitasi dosen atau
guru pada anak
berkebutuhan khusus ini?
4. product 11. apakah program Wawancara Guru
evaluasi karakter anak Pembimbing
berkebutuhan khusus
dalam bidang pendidikan
ini dapat diadakan lagi di
sekolah Ibk ceamara guna
mengetahui perkembangan
karakter siswa ?

3.4 Instrumen penelitian


1.Observasi
observasi adalah aktivitas terhadap suatu proses atau objek dengan maksud
merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena
berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk

23
mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu
penelitian. Widoyoko (2014:46) observasi merupakan “pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang nampak dalam suatu
gejala pada objek penelitian”. Sugiyono (2014:145) “observasi merupakan suatu
proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis
dan psikologis.Adapun Tujuan observasi sebagai berikut :
1. Menggambarkan objek yang diamati
Observer harus bisa menggambarkan kembali objek yang telah diamati untuk
memberikan pengetahuan kepada orang lain.
2. Mendapatkan sebuah kesimpulan
Hasil akhir dari dilakukannya observasi adalah adanya laporan yang di dalamnya
terdapat kesimpulan dari observer tentang hasil pengamatannya.
3. Mendapatkan data dan informasiKegiatan observasi juga bisa dimanfaatkan
oleh para peneliti untuk mendapatkan data bagi penelitian mereka. Sehingga
laporan hasil observasi tidak hanya berbentuk teks bacaan melainkan juga karya
ilmiah.
2. Wawancara
Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan
informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek
penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa
saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada
hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara
mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam
penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.Karena
merupakan proses pembuktian, maka bisa saja hasil wawancara sesuai atau
berbeda dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.Agar wawancara
efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni ; 1). mengenalkan
diri, 2).menjelaskan maksud kedatangan, 3).menjelaskan materi wawancara, dan
4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010: 358). Dalam praktik sering juga terjadi
jawaban informan tidak jelas atau kurang memuaskan. Jika ini terjadi, maka
peneliti bisa mengajukan pertanyaan lagi secara lebih spesifik. Selain kurang
jelas, ditemui pula informan menjawab “tidak tahu”.Benny don Hughnes (dalam
Black, 1996 305} menyatakan bahwa: "Wawancara bukan sebagoi alat don kojian
(studi}. Wawancara seni kemampuan s6sial, peran yang kito mainkan memberi
enikmatan don kepuosan. Hubungan berlangsung don terus menerus memberi
keasyikan sehingga kita berusaha terus menerus untuk menguasainya yang pada
okhirnya akan membangkitkan semangat untuk tetap berlangsungnya
wawancara". Sementara itu, Mcnamara (2001 }, mengatakon bahwa Interview
atau wawancara khususnya berguna untuk mendapatkan gambaran dibalik
pengalaman-pengalaman orang yang diwawancarai (partisipan}.

24
3. Studi dokumen
Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan menghimpun dan menganlisis
dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik. Menurut
Danial (2009:79) “ studi dokumentasi adalah mengumpulkan sejumlah dokumen
yang diperlukan sebagai bahan data informasi sesuai dengan masalah penelitian,
seperti peta, data statistic, gambar dan sebagainya.” Sedangkan studi dokumen
menurut Fathoni (2006:112) ialah “Teknik pengumpulan data dengan mempelajari
catatan-catatan mengenai data pribadi responden, seperti yang dilakukan oleh
psikolog dalam meneliti perkembangan seorang klien melalui catatan pribadinya.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa studi dokumen adalah sesgala
sesuatu yang sudah tercatat, baik itu berupa laporan maupun pedoman dalam
pelaksanaan suatu program. Dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud ialah
pedoman layanan bimbingan dan konselinng, karakteristik daring masing-masing
Perserta didik visi dan misi, serta sarana dan prasarana yang akan digunakan
dalam evaluasi program bimbingan dan konseling dalam meningkatkan mutu
layanan.

3.5 Standar Evaluasi


Standar penyusunan kriteria adalah peraturan atau ketentuan yang melatar
belakangi dikeluarkannya proses, pedoman pelaksanaan proses, dokumen dan
sumber-sumber ilmiah yang umum, hasil penelitian yang relevan, petunjuk atau
pertimbangan ahli evaluasi, team evaluator, evaluator sendiri dengan
menggunakan daya nalar dan kemampuan yang dimiliki, kriteria evaluasi diproleh
dari kriteria standar evaluasi. Untuk menentukan standar evaluasi, diperlukan
suatu kriteria atau patokan. Dalam evaluasi proses, standar evaluasi disesuaikan
dengan indikator- indikator yang telah ditetapkan. Standar evaluasi dapat
dijadikan sebagai bukti pertanggungjawaban dari hasil evaluasi, guna menghindari
subjektivitas evaluator, dan hasil evaluasi sama walaupun evaluator berbeda.
Pelaksaaan Evaluasi diperlukan suatu standar yang bisa digunakan sebagai acuan
dan pedoman bagi semua evaluator yang akan mengevaluasi sutu program.
Standar ini disusun oleh Asosiasi Profesio Evaluasi yaitu Standar Joint Committee
on Standard for Education Evaluation (JCSEE) dan untuk Evaluasi Pendidikan
disusun oleh tim JCSEE, Evaluation Center, Westren Michigan University yang
beranggotakan dari berbaagai asosisasi saintifik dan dipakai secara meluas didunia
semua bidang ilmu. Standar Evaluasi merupakan suatu prinsip-prinsip yang secara
umum disepakti oleh orang-orang yang berhubungan dengan Evaluasi untuk
mengukur nilai atau kualitas suatu evaluasi.
Adapun fungsi dari Standar Evaluasi sebagai pedoman evaluator adalah sebagi
berikut :
1. Merancang, melaksanakan dan menyusun hasil evaluasi

25
2. Berhubungan dengan Stakeholder evaluasi
3. Memanfaatkna hasil evaluasi
4. Melaksanakan evaluasi yang etis.

Evaluasi harus memenuhi standar evaluasi (Wirawan. 2011). Berdasarkan


Rumusan Joint Committee dalam rumusan Penetapan Standar Evaluasi
(Committee on Standar for Educational Evaluation) dibagi dalam 4 kategori.
Standar evaluasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah :
1. Kemanfaatan (Utility)
Menurut Muzayanah, 2002. h. 36, utiliy berarti berguna dan praktis,
evaluasi memiliki informasi yang berguna dan praktis, harus berguna, harus
ditujukan kepada orang-orang dan kelompok yang terlibat bertanggung jawab
untuk melaksanakan program yang dievaluasi. Para evaluator harus memastikan
kebutuhan informasi para pengguna dan melaporkan kepada mereka umpan balik
evaluatif yang relevan secara jelas, ringkas dan tepat waktu serta berguna bagi
stakeholder. Hasil evaluasi terhadap program Bimbingan dan Konseling di Smk
Taruna Terpadu 1 Bogor, akan sangat berguna bagi pihak lembaga untuk
memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan komponen program agar
efektifitas, efisiensi dan tercapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
2. Kelayakan (feasibility)

Standar feasibility yaitu standar yang mengatur agar evaluasi dilaksanakan


secara alami dan menggunakan sumber-sumber yang bernilai. desain evaluasi
harus dapat di operasionalkan dalam latar evaluasi. Menurut Muzayanah (2002:
36) feasibility berarti realistik dan hati- hati. Lebih lanjut dijelaskan tiga unsur
dalam feasibility yaitu prosedur praktis, mungkin dan dapat dilaksanakan (secara
politicaln viability), mempunyai nilai sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Pada standar ini menekankan bahwa prosedur evaluasi harus bisa ditetapkan di
dunia nyata, tidak hanya dilaboratorium eksperimental. Secara keseluruhan,
standar kelayakan memerlukan evaluasi harus realistis, bijaksana, diplomatik,
layak politik, hemat waktu, dan hemat biaya. Ekperimen sering bertentangan dan
tidak layak dalam pengaturan lapangan, dan dalam kasus tersebut, evaluator harus
lebih realistis, naturalistik, dan studi multimetode. Standar kelayakan
dimaksudkan untuk memastikan bahwa evaluasi akan menjadi realistik, bijaksana,
diplomatik, dan hemat.Standar kelayakan ini digunakan untuk menyatakan bahwa
evaluasi program bimbingan dan konseling dalam meingkatkan mutu layanan
layak dari segi tujuan, sarana dan prasarana, pembiayaan, sumber daya manusia
dan lainnya.

3. Kesahihan (propriety)

26
Menurut Muzayanah, 2002. h. 36, propriety berarti legal dan etis. Standar
ini mengacu pada evaluasi yang sah, beretika, jujur, lengkap, dan mendukung
kepentingan semua pihak yang terlibat dalam evaluasi. Suatu evaluasi harus
memenuhi kondisi kepatutan, harus didasarkan pada kejelasan dan perjanjian
tertulis dimana mendefinisikan kewajiban evaluator dan klien untuk mendukung
pelaksanaan evaluasi. Terdapat delapan unsur propriery yaitu perjanjian formal,
memperhatikan kemungkinan ada konflik kepentingan, terbuka hak masyarakat
untuk tahu, hak subjek dilindungi, interaksi manusiawi, pelaporan seimbang,
pertanggung jawaban keuangan. Standar Profriety atau etika guna menyaakan
bahwa Evaluasi Karakter anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah sesuai dengan
dengan ketentuan yang ada tanpamelanggar hukum.

4. Ketepatan dan ketelitian (accuracy)

Menurut Muzayanah, 2002. h. 36, accuracy berarti teknik memadai,


evaluasi memberikan informasi yang secara teknis dapat dipertanggung jawabkan.
“Suatuevaluasi harus akurat”. Ini jelas harus menjelaskan program seperti yang
direncanakan dan dengan benar-benar harus dieksekusi. Kita harus menjelaskan
latar belakang program dan pengaturan. Harus melaporkan temuan yang valid dan
reliable, mengidentifikasi dan membuktikan kelayakan sumber informasi evaluasi,
metode pengukuran dan perangkat, prosedur analitis, dan ketentuan untuk
pengendalian bias dan metaevaluation. Menyajikan kekuatan, kelemahan dan
keterbatasan rencana evaluasi, prosedur, informasi, dan kesimpulan, kemudian
harus menggambarkan danmenilai sejauh mana evaluasi memberikan penilaian
yang independen sebagai kaitan untuk penilaian diri yang mungkin bisa.

3.6 Analisis data penelitian


Analisa data menurut Bogdan (dalam Sugiyono, 2009:244) adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara
catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat dipahami, dan temuannya
dapat diinformasikan kepada orang lain.

1. Reduksi data
Penelitian ini reduksi data dilakukan pada saat peneliti mendapatkan data
wawancara sumber data atau informasi. Seperti peserta didik,, guru mata
pelajaran, dan wali kelas di Sekolah Ibk Cemara Bogor. Setelah penelitian
mereduksi data hasil wawancara kemudian menyederhanakan data tersebbut
dengan mengambil data-data yang mendukung pembahasan pada
penelitian,sehingga data-data tersebut mengarah pada kesipulan yang dapat
dipertanggung jawabkan.

27
2. Penyajian data

Setelah data direduksi, Maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan


data. Dalam penelitian kualitatif evaluasi ini penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat hasil wawancara, hubungan antar kategori, flowchart dan
sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman yang paling sering digunakan
untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang
bersifat naratif. Selanjutnya disarankan dalam melakukan display data, selain teks
yang naratif juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Menyajikan data
dalam penelitian ini peneliti mendiskripsikan data-data tentang bagaimana latar
belakang, tujuan, proses pengembangan program, peran dan kriteria IT Support,
mekanisme pendampingan stakeholder dengan berbagai sumber serta kendala dan
hambatan stakeholder terhadap evaluasi Karakter anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam bidang pendidikan di Sekolah Ibk Cemara Bogor. Sehingga makna
dari peristiwa-peristiwa yang ditemui lebih mudah dipahami.

3. Penarikan kesimpulan

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif adalah penarikan


kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data. Maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Temuan
dapat berupa gambaran atau obyek yang masih belum ada kejelasannya sehingga
setelah ditelititi menjadi jelas.

Hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara yang telah dilakukan
kepada kepala sekolah dan guru pembimbing sekolah Ibk Cemara Bogor, yakni
jika dibandingkan dari peningkatan karakter anak berkebutuhan khusus ABK
yang telah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan mengalami peningkatan
yang cukup tinggi. Penyebab haltersebut terjadi yakni pada proses pelaksanaan
berlangsung dalam evaluasi karakter anak berkebutuhan khusus ABK dalam
bidang pendidikan di ekolah Ibk Cemara. Serta pengaruh dari sarana dan
prasarana yang ada di sekolah tersebut, dan bagaimana proses kerja sama antara
guru pembimbing, kepala sekolah, wali kelas dan konselor. Proses tersebutsangat
mempengaruhi peningkatanan mutu layanan pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus ABK, sehingga harus menciptakan proses yang terlaksana
dengan baik

28
DAFTAR PUSTAKA

29

Anda mungkin juga menyukai