Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan salah satu dari sekian banyak gangguan
pencernaan yang sering dikeluhkan. Penyebab yang melatarbelakangi terjadinya GERD
multifaktorial. Makanan, obat-obatan, gangguan hormonal hingga stress emosional telah
dilaporkan dapat mencetuskan GERD. Sampai saat ini pemberian Proton pump inhibitor (PPI)
masih sebagai terapi utama pada GERD. Namun, adanya isu mengenai efek terapi PPI (untuk
mengatasi GERD) terhadap resiko infeksi COVID-19 membuat kekhawatiran
Mengenal GERD
GERD singkatan dari gastroesophageal reflux disease yang merupakan gejala atau komplikasi
dari aliran balik (refluks) isi lambung termasuk cairan asam lambung ke arah esofagus
(kerongkongan) sampai ke rongga mulut, Adanya paparan asam lambung tersebut dapat
menyebabkan iritasi yang menyebabkan luka ataupun inflamasi di daerah esofagus dan bahkan
dapat juga mengiritasi saluran pernapasan. Tingkat keparahan dari GERD ditentukan oleh durasi
paparan esofagus dan organ lainnya oleh asam lambung. 1,2
Bagian bawah esofagus memiliki katup yang disebut sphincter. Normalnya, katup ini akan
terbuka saat makanan masuk ke lambung untuk dicerna. Setelah makanan atau minuman masuk
ke lambung, katup ini akan tertutup kencang agar isi lambung tidak kembali naik ke
kerongkongan. Namun, pada GERD, hal ini tidak terjadi. Adanya gangguan pada otot katup ini,
dapat membuat isi lambung mengalir kembali ke esofagus.1,2,3
Gejala khas GERD adalah heartburn yaitu rasa panas atau terbakar di ulu hati yang dapat
menjalar sampai dada. Keluhan lainnya dapat berupa mual, dengan/tanpa muntah, mulut terasa
pahit,bau mulut, hipersalivasi (air liur yang berlebih), sering bersendawa, nyeri menelan sampai
kesulitan menelan. Pasien GERD juga dapat mengeluhkan suara serak, batuk bahkan sesak nafas.
Gejala ini biasanya terjadi sesudah makan dan makin terasa saat berbaring.1,2,3
Beda GERD dan dispepsia terletak pada gejala khasnya. Dispepsia diartikan sebagai
ketidaknyamanan epigastrik tanpa rasa terbakar pada dada atau regurgitasi asam dan berlangsung
lebih dari sebulan. Dispepsia dapat dihubungkan dengan kembung, sendawa, mual dan muntah.2,3
Siapa Saja yang Bisa Terkena GERD?
GERD dapat dialami siapa saja baik laki-laki maupun perempuan, terutama yang memiliki faktor
resiko seperti 1,2,3:
Pandemi COVID-19 yang berdampak terhadap semua sektor kehidupan berpotensi menyebabkan
stres pada sebagian orang. Angka kematian yang tinggi, sulitnya bersosialisasi akibat dari
pembatasan sosial berskala besar maupun karantina wilayah serta kehilangan sumber pendapatan
selama pandemi COVID-19 merupakan tekanan hidup yang dapat memicu timbulnya GERD.4,5
COVID-19 memiliki tingkat kejadian yang bervariasi. Gejala diare umumnya dapat ditemukan
pada 2-10% kasus, sedangkan mual 2-15%, muntah 1-5%, dan nyeri perut 2-6%. Hingga 80%
kasus gangguan pencernaan pada COVID-19 adalah kehilangan nafsu makan. Hal ini juga
dikarenakan pasien COVID-19 biasanya kehilangan penciuman dan rasa, sehingga memperburuk
hilangnya nafsu makan. Keluhan refluks asam lambung masih jarang dilaporkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Lin L dkk, tahun 2020 di Cina, menunjukkan bahwa dari 58 kasus COVID-19
dengan gangguan pencernaan, keluhan refluks asam lambung hanya terdapat 2 kasus, dimana 1
kasus ditemukan pada awal masuk RS dan 1 kasus lagi ditemukan saat perawatan di RS. Perlu
penelitian lebih lanjut apakah GERD merupakan bagian dari gejala COVID-19. 5,6,7,8
Menurunkan berat badan bila pasien obesitas dan menjaga berat badan tetap
Meninggikan kepala ± 15-20 cm atau menjaga kepala agar tetap tinggi saat posisi
berbaring
Tidak berbaring 2-3 jam setelah
Makan teratur dengan porsi
Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol dan makanan berlemak – asam – pedas
Menghindari merokok
Sampai saat ini, PPI masih menjadi pilihan terapi farmakologis yang efektif dan
direkomendasikan oleh pedoman penatalaksanaan GERD. Pilihan obat lainnya seperti golongan
antasida, histamine 2 receptor antagonist (H2RA) dan sucralfate dapat diberikan.8,9
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang XY dkk di Cina, tahun 2021, membantah kedua penelitian
tersebut. Zhang menyatakan bahwa dosis PPI tidak berhubungan dengan resiko terinfeksi
COVID -19. Pemberian PPI sebagai terapi maupun pencegahan tidak berhubungan dengan lama
rawatan pasien COVID-19 di RS. Dalam penelitian ini juga melaporkan bahwa penyakit
komorbid seperti hipertensi, bronkitis kronis, penyakit hati kronis dan kanker berhubungan
dengan lamanya rawatan di RS dan klinis pasien COVID -19.12
Hingga saat ini belum ada pedoman atau konsensus bersama tentang penghentian PPI pada kasus
suspek maupun kasus konfirmasi positif COVID-19. Penggunaan PPI selama masa pandemi
COVID-19 dapat dilakukan dengan indikasi yang tepat dan menggunakan dosis efektif terendah
untuk mencapai kontrol pH lambung dan kualitas hidup yang baik pada pasien GERD. Pasien
GERD disarankan untuk konsultasi dengan dokter terkait penggunaan PPI dan dosis yang tepat
untuk mengatasi keluhannya.12
Referensi