Anda di halaman 1dari 14

Makalah

Pengamalan Agama Yang Asketik Dan Kritiknya

Dosen Pengajar :

Dwi Setyowati M.P,d

Disusun oleh :

Ahmad Fakhri Elfaiz (2201085034)

Laura Monica (2201085031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR.HAMKA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Makalah tentang Pengamalan
Agama Yang Asketik Dan Kritiknya dengan baik dan tepat waktu.

Kami berusaha mencoba menyusun makalah ini sedemikian rupa dengan harapan
dapat membantu pembaca dalam memahami pelajaran Pendidikan Agama Islam yang
berjudul “Pengamalan Agama Yang Asketik Dan Kritiknya”. Di samping itu kami berharap
bahwa makalah ini dapat dijadikan bekal pengetahuan.

Kami sadar bahwa dalam pembuatan Makalah ini masih ada kekurangan. Oleh karena
itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan
makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dosen mata kuliah Pendidikan Agama
Islam. Kepada pihak yang sudah menolong turut dalam penyusunan makalah ini. Atas
waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Asketisme dari bahasa Yunani yaitu Askesis “olahraga” atau “latihan” atau
pertakaran adalah gaya hidup yang bercirikan laku berpantang kenikmatan indria
demi mewujudkan maksud-maksud rohani.
Asketisme terbagi menjadi 2 macam yaitu Asketisme natural (pertakaran yang
wajar) adalah suatu gaya hidup yang membatasi aspek-aspek kebendaan dalam
kehidupan sehari-hari sampai ke taraf yang sangat bersahaja dan pada batas minimum
tertentu tetapi tanpa merusak tubuh atau hidup dalam keadaan sungguh-sungguh
berkekurangan sehingga menyengsarakan tubuh. Sementara, Asketisme tidak natural
(pertakaran yang tidak wajar) adalah suatu praktik yang melibatkan pula tindakan
bermati-raga (modifikasi badani) dan menyakiti diri sendiri, misalnya dengan tidur
diatas ranjang paku.
Sepanjang sejarah, asketisme telah dipraktikkan dalam berbagai agama, antara
lain agama budha, kristen, hindu, yahudi. Asketisme tidak dipraktikkan dalam agama
islam, kecuali oleh sekte minoritas Sufi dengan tradisi lamanya yang juga meliputi
pertarakan ketat. Para praktisi asketisme dalam agama-agama ini sengaja menampik
kenikmatan-kenikmatan duniawi dan menjalani gaya hidup berpantang, demi
mengajar penebusan dosa, keselamatan, atau pencapaian rohani.
2.1 Rumusan Masalah
Pengetian beragama yang asketik ?
Pengamalan beragama yang asketik ?
Dampak pengamalan beragama yang asketik ?
Kritik terhadap pengamalan beragama yang asketik ?
Sikap terhadap pengamalan beragama yang asketik ?
3.1 Tujuan Penulisan
Menjelaskan pengamalan beragamana yang asketik
BAB II

PEMBAHASAN

1.2 Pengertian Beragama Yang Asketik


Asktisme adalah ajaran-ajaran yang menganjurkan pada umatnya
untuk menanamkan nilai-nilai agama dan kepercayaan dan kepercayaan
kepada Tuhan, dengan jalan melakukan latihan-latihan dan praktek-praktek
rohaniah dengan cara mengendalikan tubuh dan jiwa pada tradisi islam,
bahasan asketik bersumber pada konsep zuhud yang lahir dari tradisi tasawuf.
Dalam perjalanan spiritual, zuhud merupakan langkah awal bagi orang-orang
yang berjuang untuk mendapatkan kesempurnaan dan bermakrifat kepada
Allah SWT dalam persepktif historitas islam, praktek asketik dalam islam
pada hakekatnya sudah ada sejak Rasalullah Saw melakukan aktivitas
bertahannust di gua Hira, ketika menerima wahyu pertama. Hal ini merupakan
suatu bukti bahwa praktek asketisme dalam islam sebagai langkah awal
lahirnya kehidupan zuhud. Sedangkan, zuhud itu berarti tidak merasa bangga
atas kemewahan dunia yang telah mereka miliki dan tidak merasa sedih
kehilangan kemewahan dari dirinya.

2.2 Pengamalan Beragama Yang Asketik


Aksetisme berupa abstain dan mengekang diri dari berbagai pengaruh
melalui dorongan diciptakan secara sistematis dari dalam diri jiwa.
Persepsi Weber menegaskan bahwa asketisme merupakan a rational method
of living (cara hidup rasional). Di barat, konsep agama yang ditanam dan
bentuk sprint ‘beruf’ dalam bahasa Weber ia menyebutkan dengan kata
‘calling’ (panggilan jiwa) seperti yang dinyatakan Weber dalam bukunya
Protestant Ethic yakni asketisme yang dilandasi beruf dan calling sekarang
melangkah ke market-place dan melakukan penetrasi dalam runitas kehidupan
sehari-hari untuk menemukan enlightenment (pencerahan diri) dengan
melenyapkan sikap detachment dalam kehidupan. Asketisme dipahami sebagai
persepsi bertujuan merubah dunia menurut keyakinannya. Asketisme yang
berkembangan di Barat merubah pola pikir agama menjadi orientasi pasar
sehingga beruf (panggilan hati) melalui orientasi tersebut dapat dicapai secara
mudah. Karena itu beruf dan calling tersebut bertujuan perbaikan nasib
ketimbang perbaikan kesalehan. Urgensinya gagasan Weber untuk
mengklarifikasikan antara asketisme dunia dalam (inner-worldly/inner-
welthliche askese) lebih identik dengan ajaran calvinisme dan asketisme dunia
lain (other-worldly/ausserweltliche askese) tidak bertujuan merubah dunia.
Pandangan ini sesuai dengan ajaran monastisisme. Asketis monastik terbagi
pada dunia jenis yaitu setiap individu mencari keselamatan (salvation) dan
hiroktatik organisasi untuk melatih kependetaan pada dirinya.
Asketisme monastik adalah metode kebangkitan, pengendalian dan
menundukkan sensualitas, proses kerja keras sebagai perbaikan panggilan
agama, cara praktek dalam kebajikan dalam berpegang teguh perintah agama,
metode heroic dan kebangkitan jiwa khusus. Ide puritan dalam agama kristen
protestan digerakkan oleh calling (panggilan hati) agar orang menjadi acquire
goods and earn a living (mendapat barang dan mencari nafkah). Asketisme
agama mempengaruhi keputusan untuk menghadirkan atau
memanifestasikannya dengan cara yang paling efektif adalah masuk dalam
kelompok yang dimaksudkan Weber. Weber pernah mengatakan sesekali ada
penyatuan antara mistisisme dengan etik yakni calling dalam makna
menciptakan sebuah kedisplinan hidup. Asketisme menurut Max Weber yaitu
peka pada kepastian apa yang dimilikinya sebagai perhatian untuk membentuk
motivasi yang dapat mengorganisir kehidupannya melalui metode yang ada
dalam interpersonal.
Weber mengharapkan semua hak-hak dasar manusia menemukan justifikasi
melalui keyakinan terhadap pencerahan (enlightment) dengan aktif nya rasio
individual karena setiap individu adalah sangat kualified mengetahui benar
interest nya sendiri. Weber menyatakan dasar makna hidup, yang di anggap
nya sebagai karakteristik masyarakat modern yang ingin melepaskan diri dari
ketertinggalan. Weber memberikan perhatian besar tentang apa yang di
amatinya yaitu asketisme dalam elemen bisnis moderm yang ia kembalikan
kedalam pahampuritanisme (kemurnian). Dalam mencapai kesuksesan harus
menolak tujuan lain atau kepentingan lain, maksudnya adalah agama. Inilah
bentuk sekuler dari puritarisme dengan menggiringkan asketisme kedalam
istilah lain yaitu calling (panggilan jiwa).
Kebahagiaan hidup merupakan daatang dari keduanya baik dari calling
(panggilan) sedangkan agama adalah musuh rasionalitas asketisme, seperti
tegas weber modern workin a calling is ascetic in character is not a newan.
Akhirnya weber menegaskan unwillingness to work is symptomatic of lack of
grace ( ke engganan untuk bekerja adalah gejala dari kurangnya karunia)
Asketisme menurut weber memainkan peranan spirit of modern
rational capitalism ( semangat kapitalisme rasional modern ). Dimana konsep
ini mambantu membangkitkan manuver manusia untuk menumbuhkan spirit
kerja keras, memperhatikan ap yang dapat di jadikan usaha sebagai celah
manifestasi asketik dengan menginfestasikan kembali dengan provit
(keuntunga). Asketik dalam format weber tidak wait and see melainkan
penjabaran kreatifitas yang memungkinkan tria land eror mengenai tindakan
melahirkan provit (keuntungan). Maka provit yang paling dekat yakni
menjangkau market-place dengan latar belakang menguasai produk atau
mobilisasi produk. Itulah kemudian dikenal sebagai tindakan ekonomi yang
ditimbulkan dari spirit agama. Agama tanpa ekonomi nihil, tidak mungkin
menunggu datang nya pencerahan diri tanpa usaha . dalam konsep weber,
orang memiliki calling yang tinggi dapat di cerminkan dari keadaan ekonomi
seseorang.
3.2 Dampak Pengamalan Agama Asketik
Dalam kehidupan tasawuf, konsep zuhud adalah hal yang sangat
penting sebagai media untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki
kehidupan keruhanian. Seorang sufi sangat mencintai Allah Swt, dia ingin
mendapatkan ridha Allah dan dapat berada sedekat mungkin dengan-Nya.
Seorang Zahid akan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan
apa-apa yang dilarang oleh Allah, bahkan dia akan menjauhi segala sesuatu
yang kiranya dapat membawa dirinya jauh dari Allah, yaitu dengan jangan
terlalu mencintai kehidupan dunia.
Semua didunia ini bersifat fana, suatu saat akan musnah dan lenyap
akhirnya akan kembali kepada Allah, hal yang bersifat dunia ini hanya akan
melahirkan kebatilan sebagai menghambat untuk memperoleh keridhoan
Allah. Karena dia masih terkait dengan sifat kefanaannya. Untuk
menghindarkan diri dari sifat kefanaan itu, dia harus mengambil jalan zuhud
dalam kehidupannya.
Zuhud itu dibagi kepada 3 (tiga) tingkatan : Pertama, zuhud al-kha’ifin
yaitu zuhud karena ingin selamat dari siksaan api neraka dan segala macam
kesenggsaran di akhirat. Kedua, zuhud al-raj’a yaitu ingin mendapatkan
nikmat di akhirat. Ketiga, zuhud al-‘arifin yaitu karena cinta kepada Allah Swt
dan ingin bertemu dengan-Nya di akhirat. Menurut Amir An-Najjar bahwa
zuhud berperan sebagai ukuran akhlak seorang sufi yang tidak dalam kondisi
kurang maupun lebih. Kemudian, Djamaluddin Ahmad menulis bahwa ; Bagi
para sufi, hakekat zuhud adalah ketenangan hati tentang apa yang telah
dijanjikan Allah kepadanya.
Zuhud terhadap dunia yakni meninggalkan kehidupan yang
menggangu dirinya untuk beribadah kepada Allah. Hal ini jelas mengandung
konsekuensi akan adanya kecintaan terhadap akhirat. Karena dunia dan akhirat
adalah dua alam yang sangat berbeda dan saling bertentangan dan
kenyataannya. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa kehidupan dunia adalah
jalan untuk selamanya di akhirat kelak, artinya dalam menjalani kehidupan ini
manusia harus sesuai dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentutan ajaran
islam.
Said Al-Kharraj mengatakan bahwa zuhud adalah menjauhkan hati dari
kecintaan terhadap dunia, sedikit demi sedikit. Menurutnya ada empat macam
golongan orang melakukan kehidupan zuhud :
1. Orang yang berzuhud dengan tujuan mengosongkan hatinya dari maalah
duniawi, harapannya hanya terfokus untuk menaati, mengingat dan
mengabdikan diri kepada Allah. Ketika iu dia telah mersakan cukup
bersama dengan Allah.
2. Ada yang berzuhud demi meringankan beban yang mesti mereka pikul dan
mempercepat jalannya shirot al-mustaqim saat orang banyak bertahan
karena pertanyaan yang diajukan kepada mereka.
3. Ada yang zuhud karena cinta dan rindu pada surga, maka mereka berupaya
melupakan hal-hal dunia dan segala kenikmatan duniaya sehingga
kerindunnya pada ganjaran Allah kian mandalam.
4. Ada yang berzuhud karena rasa cinta kepada Allah, mereka merupakan ahli
ibadah yang hanya memikirnya-Nya. Golongan seperti inilah yang paling
tinggi tahapannya.
Selain itu tujuan zuhud itu ialah sebagai kritik sosial agama terhadap
kehidupan umat manusia, agar tetap hidup dalam koridor-koridor
keislaman. Sebagaimana kritik Ibn Taimiyah terhadap kehidupan tasawuf
yang telah menyimpang dari ajaran-ajaran islam, dimana Ibn Taimiyah
melancarkan kritik dan menyerang terhadap ajaran ijtihad, hulul, dan
wahdatul wujud yang membawa penganutnya kepada kekufuran (atheisme)
4.2 Kritik Terhadap Pengamalan Agama Yang Asketik
Zuhud selama ini lebih bersifat antithesis terhadap pembentukan etos
pada masyarakat bahkan lebih cenderung melahirkan etik individualistis.
Dalam kenyataan zuhud meruntuhkan idealisasi kehidupan. Semua individu
setelah mengalami metamorfosis dengan dunia, dominan tidak melepaskan
efek dunia dalam cara berpikir dan menatap masa depan. Zuhud identik
sebagai harapan individu jangka tertentu dimana semua pembebanan
kehidupan hanya berkisar didalam kesalehan individual.
Selama ini asketisme dalam islalm tidak memiliki impact terhadap
sosial dan politik. Kehidupan modern tidak tersolir dari dampak sosial dan
politik yang begitu hebat yang ditawari oleh cara berpikir melalui demokrasi
sedangkan ekonomi berkembang secara liberal. Dunia modern lebih cepat
terciptakan gap, class, strata dan differensiation yang didorong kuat oleh
tumbuhnya politik dan ekonomi dalam berbagai aspek perkembangan hidup
manusia. Murtadha muthahari mengatakan asketisme positif itulah dikenal
dengan zahid sedangkan asketisme negatif yaitu rahbib (a christian monk).
Asketisme yang relevan dengan era sekarang dengan aktif dan conscious
participation dalam masalah sosial dan politik.
Asketisme dalam islam semestinya tidak terjatuh dalam diskursus
individualistis yang terkesan sangat sempit hanya dalam batas pengontrolan
diri secara ketat. Dalam era modern, konsep asketisme semacam ini tidak
terimplementasi secara baik walaupun dalam wacana kesalehan itu merupakan
jalan terbaik yang sangat mudah mencapai tingkatan pembersihan jiwa secara
berkelanjutan namun banyak orang mengabaikannya. Faktor penyebabnya
dalam disinyalir bahwa pergantian paradigma berpikir keagamaan semakin ini
bergeser kearah worldview agreegat. Hal demikian mengingat sesuatu gagasan
aktivitas semacam ini tidak relavan deganan gagasan kontemporer.
Rekonstruksi asketisme dalam islam diarahkan lebih kepada menggiring
asketisme menuju diskursus sosial yang lebih kompleks.
Zuhud tidak lagi dominan didorong ke alam alienasi tetapi masuk ke
alam ekspansif menciptakan nilai-nilai kebersamaan dalam mengarungi
kehidupan yang sebagian orang tergelincir dan sebahagiaan lagi harus
mengupakan penyelamatan ekososial yang semakin hari terpacu dalam sikap
liberalisme, modenisme, dan hedonisme tanpa arah. Askestisme sebagai
sebuah solusi jangka panjang dalam rangka menciptakan islamisasi sosial atau
sosialisasi calling bagi tumbuhnya ethos dan etik dalam ekosistem masyarakat.
Sosial yang kaku disebabkan ethos yang nihil sedangkan deviasi sosial
diakibatkan oleh etik yang nihil tidak ada suatu peradaban di dunia tumbuh
tanpa etos dan etik
Asketisme dalam islam harus dilakukan elaborasi egohood yakni
kebersatuan jiwa manusia dalam illahiyah yang hanya dapat dirasakan oleh
sebagian orang yang memiliki kedudukan sufitik yang dipahaminya
melampaui pemahaman oranglain. Di dasari pada masalah tersebut maka
sebaiknya asketisme pada umat muslim sangat relavan dengan konsep
kekinian bila spirit islam ditumbuhkan dalam suatu tatanan sosiohood terdapat
deviasi struktur sosial yang pincang akibat kelompok ataupun klas tertentu
terusik oleh kehadiran pihak lain akibat ego sektoral manusia bertabrakan
dengan ego individualistis lainnya. Maka kehadiran individu yang memiliki
setiap asketisme membentuk etos dan etik dapat merubah karaktek melalui
kekayaan interpersonal. Kesalehan individu lebih utama untuk meraih
kesuksesan hidup akan tetapi kesalehan sosial utama dalam kehidupan dewasa
ini. Kesalehan sosial sebagai langkah wisdom agar wacana kesempitan,
kepincangan, ketertinggalan dan ketidakadilan dapat diselesaikan secara
manusiawi
Transpormasi realitas zuhud menjadi terapan pada semua orang maka
diperlukan berbagai performa agar zuhud harus direkontruksi tidak lagi
menjadi konsep apatis dengan mengupayakan nilai-nilai asketisme modern
ditanamkan dalam sainstifikasi zuhud yang dapat direprensentasikan dalam
ethos yang memungkin orang menjalankan syariat yang concern pada
ekososial seperti dalam Al-Qur’an mengajak umat muslim mengeluarkan
zakat, wakaf, infak, sodaqoh, kurban, aqiqah dan hibah disisi lain terdapat
anjuran berantas kemiskinan/maksiat dan ketidakadilan perintah semacam ini
tidak menjadi perhatian serius bagi orang zuhud. Sementara syariat
mengajarkan hal-hal demikian ada yang dalam kapasitas wajib dan sunnah
bukanlah perintah semacam itu ini dimanifestasikan dari ethos sedangkan etik
menumbuhkan kasih sayang sebagai interaksi umat muslim antar sesama agar
deviasi sosial dapat terciptanya equilibrium social (keseimbangan sosial).
Sikap askestisme dalam islam tidak lagi menggiarkan perkembangan
euphoria materialisme mendominasi individu tetapi didorong untuk
melakukan manuver pemerataan materialisme bagi sesama kelompok muslim.
Asketisme dalam islam melahirkan spirit ego yang tidak ditopang oleh sikap
prestisius tetapi simpati dan empati sosal bagi kemaslahatan. Ketimpangan ego
individual akan melahirkan berbagai kejahatan, sebaliknya perkembangan ego
sosial berbanding lurus terhadap ekososial yang tentram akibat tumbuhnya
ekoalitas yang setara. Di era modern sering terjadi sosial yang kaku akibat
permasalahan semakin hari semakin bertambah terutama kesempitan kriminal
sementara mungkinkah penantian menunggu datangnya ‘zoro’ atau sekelas
bandit sosial lainnya.
Asketisme dalam islam semata-mata mengajak orang masuk dalam
zuhud sebagai dunia sufistik tetntu tidak menarik untuk mereka yang paham
pada moderinitas bahkan sebagian umat muslim tidak kentara terhadap zuhud
semacam ini. Moderinitas menawarkan berbagai aktivitas profit, benefit, dan
etos tindakan positif lainnya yang menarik perhatian terpacu dalam
melampiaskan diri dari ironcage (terpenjarai) masalalu atau memilih masuk
ironcage (memenjarai) dalam moderinitas. Tawaran ini tentu zuhud masuk
dalam ironcage masalalu (historis), sedangkan asketisme islam yang
kontemporer mesti masuk dalam ironcage (terpenjarai) moderinitas.
Asketisme islam dilatar belakangi oleh etos dan etik yang bersifat sosiosentris
bukan egosentris hanya mendambakan kesempurnaan dan kesalehan diri.
Asketisme islam diperlukan sebuah rekontruksi berdasarkan
saintifikasi maupun islamisasi agar zuhud jadi familiar bagi umar muslim
dewasa ini dengan mengupayakan sifat zuhud yang accepteble bagi
perkembangan dunia modern maka zuhud moderat akan menjadi solusi agar
tidak lagi askestisme dalam islam mengalami stagnan. Dengan demikian akan
lahir zuhud produktif dan partisipatif diantara tawaran sufisme zuhud atau
sufisme muktasi.

5.2 Sikap Pengamalan Asketik atau Zuhud Yang Benar Dalam Islam
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tidaklah logis asketisme islam identik dengan faqir atapun ju’i ataupun menjauhkan
diri dari kebersamaan bahkan hidup di sebuah tempat yang menyembunyikan dirinya. Ajakan
asketisme islam diimplementasikan dalam sikap zuhud tidak terpatron pada semua insan
muslim yang ingin mengabdikannya dalam kehidupan tetapi mencari jalan tengah
mengadopsi sebagian tindakan zuhud dengan mengkolaborasi dengan ajakan-ajakan
manifestasi dunia dalam merubah paradigma dari konsumtif ke kontributif terhadap
mobilisasi sosial.

Istlah yang tepat mengenai asketisme dalam islam yaitu dikenal dengan kata zuhud.
Sedangkan istilah yang lama tabaattul (pemutusan dengan hal-hal duniawi). Ataupun istilah
klasik mengenai asketik yaitu dikenal dengan shalihat (kesalehan). Asketisme lebih dikenal
dalam islam sebagai zuhud sedangkan aecetic practies dikenal dengan riyadhah (kerelaan).
Kata-kata diatas merupakan elemen-elemen yang dapat disandarkan pada sikap asketisme
dalam islam. Namun dalam pelajaran sejarah islam kata zuhud lebih mansyur disebutkan
terutama diskursus kehidupan tokoh-tokoh sufi. Orang yang lebih dekat dengan zuhud yaitu
orang yang mengabaikan mudahinat (prestise)

Essensi asketisme klasik memperkenalkan zuhud itu adalah zuhud qalbi yakni zuhud
meninggalkan kreatifitas tangan atau anggota tubuh. Maka zuhud tersebut lebih
meningkatkan pencapaian takalli qalbi (menghiasi hati) ketimbang mubasyarah (interaksi
social) bahkan zuhud semacam ini lebih bersifat khalwul yad (kosong tangan).

Asketisme mengajak orang untuk berdiri di atas kaki sendiri baik dengan cara
memobilisasi, kepekaan, perasaan dan sewaktu-waktu dapat menjadi korban dari putusan
yang diambilnya dalam kehidupan. Karena itu asketisme sebagai potensi transformatif
terhadap the monastic empowerment of the self (pemberdayaan kekuatan monastic (teologi
pada diri). Karena asketisme metode pelatihan diri untuk tujuan transendental. Asketisme
rasional yang berlawanan dengan planless world flight (menerbangkan dunia tanpa rencana)
ataupun mendambakan asketisme yang sensual (gefuhlsaskese). Asketisme merupakan a
rational method of living (cara hidup rasional).
Asketisme dalam agama

Mendisiplinkan diri sendiri dan berpantang dalam bentuk dan pada taraf tertentu
adalah bagian dari praktik keagamaan dalam banyak agama dan tradisi kerohanian.
Gaya hidup asketis secara khusus dikaitkan dengan para biarawan, biarawati, dan
fakir dalam agama-agama abrahamis, serta para biku, muni, sanyasi, dan yogi dalam
agama-agama india
Istilah islam untuk asketisme adalah zuhud. Agama islam mazhab utama tidak
memiliki tradisi asketisme, akan tetapi, sekte-sekte Sufi yang merupakan golongan
minoritas dalam agama islam telah melestarikan suatu tradisi asketis selama berabad-
abad. Monastisisme dilarang dalam islam.

Anda mungkin juga menyukai