Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Siti Afiyah, S.H., MH
Disusun oleh:
FITROTUL AMALIA (19011013)
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa di susun dengan baik
dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mangharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Fitrotul Amalia
ii
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
PENUTUP................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
2. Sri Soemantri, penulis menggunakan istilah konstitusi sama seperti halnya
dengan undang-undang dasar (groundwet).
3. J.C.T . Simorangkir menggagap juga bahwa konstotusi sama dengan UUD.
B. Kelompok kedua membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar di
anmtaranya.
1. Van Apeldorn berpendapat bahwa undang-undang dasar adalah bagian
tertulis dari konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun
tidak tertulis.
2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian dalam konstitusi menjadi suatu
sekma sebagai berikut :
Konstitusi tidak tertulis (UUD)
Konstitusi
Konstitusi tidak tertulis (Konvensi)
3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan
hukum karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertuluis itu
adalah UUD.
Pendapat kedua para ahli tersebut tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena
kelompok pertama mempersamakan istilah konstitusi dengan undang-undang dasar,
akan tetapi dalam kelompok kedua meninjau dari segi materi yang ada dalam
konstitusi atau terdapat undang-undang dasar. kelompok pertama yang
mempersamakan undang-undang dasar dengan konstitusi mungkin disebabkan oleh
konstitusi tersebut dalam kamus hukum di Indonesia yang diterjemahkan dalam
undang-undang dasar.
6
2.2.1 Sejarah klasik tentang konstitusi terdapat dua perkataan yang berkaitan
sangat erat dengan pengertian kita yaitu dalam perkataan Yunani Kuno politeia dan
perkataan bahasa latin Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam dua
perkataan politeia dan constitution yang dimana itulah merupakan asal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan diantara kedua
istilah dalam sejarah.6
Charles Howard Mcilwain mengatakan didalam bukunya yang berjudul
Constitutionalism : Ancient and Modern (1947) , perkataan constitution di zaman
kekaisaran romawi (Roman Empire) , dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula
digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the
emperor.
Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno adalah bersifat materiil, dalam arti
belum berbentuk seperti yang di mengerti dizaman modern sekarang. Perbedaan
antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam perbedaan yang
dipelopori oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politeia dan nomoi,Pengertian
politeia dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah
undang-undang biasa.Politeia mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada
nomoi karena politeia mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi
tidak ada karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk supaya tidak
tercerai-berai.Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah
konstitusi adalah “Constitusions of Clarendon 1164” yang disebut oleh Henry II
sebagai constitusions, aviate constitusions or leges, a recordation vel recognition,
menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan
kakeknya, yaitu Henry I.Isi peraturan yang disebut sebagai konstitusi tersebut masih
bersifat eklesiastik,meskipun pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan
sekuler.Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula
dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut
berbagai secular administrative enactments. Beberapa tahun setelah diberlakukannya
Undang-Undang Merton pada 1236, Bracton menulis artikel yang menyebut salah
satu ketentuan dalam Undang-Undang itu sebagai a new constitution,dan mengaitkan
6
Charles Howard Mcllwain, Constitutionalism; Ancient and Modern, (Ithaca,New York: Cornell
University Press,1966), hlm 26/
7
satu bagian dari Magna Charta yang dikeluarkan kembali sebagai constitution
libertatis. Pierre Gregoire Tholosano (Of Toulouse), dalam bukunya De Republica
menggunakan kata constitution dalam arti yang hampir sama dengan pengertian
sekarang.Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum karena
Gregoire memakai frase yang lebih tua,yaitu status reipublicae.
Dari sini, kita dapat memahami pengertian konstitusi dalam dua konsepsi.
Pertama adalah konstitusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke
belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani
Kuno, Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the
realm.Dari sudut pandang etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan
konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan pengertian
dan pengunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitution
dalam bahasa Latin,serta hubungan diantara keduanya satu sama lain di sepanjang
sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan
hukum.Perkembangan-perkembangan demikian itulah yang pada akhirnya
mengantarkan umat manusia pada pengertian kata constitution itu dalam bahasa
Inggris modern.Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap
“mendahului” dan “mengatasi” pemerintahan dan segala keputusan serta peraturan
lainnya.
7
Mcllwain, Op. cit., hlm.27
8
harus dihadapi oleh Negara sehingga ia menerima Negara dalam bentuknya sebagai
the second best dengan menekankan pentingnya hukum yang bersifat membatasi.Jika
kita berusaha menafsirkan secara kritis perkembangan pemikiran Plato sendiri yang
tercermin dalam karya-karyanya, kita tidak dapat melepaskan kenyataan adanya
keterkaitan antara pemikiran yang dikembangkannya sebagai intelektual dengan
pergaulan empirisnya dengan kekuasaan setelah ia diangkat menjadi penasihat Raja
Dyonisius II.Aristoteles sendiri juga membayangkan keberadaan seorang pemimpin
Negara ideal yang bersifat superman dan berbudi luhur karena sejarah kenegaraan
Yunani pada zamannya tergolong sangat labil. Pertama, dizamannya belum ada
mekanisme yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindakan-tindakan
revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang
inkonstitusional, kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak hanya
mengubah corak public law, tetapi juga menjungkirbalikkan segala konstitusi yang
ada secara besar-besaran,dan bahkan berakibat pada tuntutan perubahan keseluruhan
way of life (masyarakat) polity yang bersangkutan.Ketiga, revolusi demikian selalu
terjadi dengan disertai kekerasan, proscription, ostracism, dan bahkan kematian
sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit fear of stasis.
Kondisi sosial politik yang tidak stabil itulah yang menyebabkan orang berusaha
memilih status.Pemikiran filsafat Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Aristoteles
dan kawan-kawan tidak atau belum membayangkan hukum sebagai sesuatu yang
berada diluar atau diatas Negara.Negara bagi Cicero merupakan kreasi hukum.
9
hukum privat.Keduanya dibedakan dari sudut kepentingan yang dipertahankan,
Hukum public membela kepentingan umum yang tercermin dalam kepentingan
“negara”,the civitas, sedangkan hukum privaat yang menyangkut kepentingan orang
per orang.Subjek keduanya selalu persis sama,yaitu menyangkut manusia, perbedaan
hakiki keduanya hanya terletak pada kenyataan bahwa “private rights affect private
individuals exclusively,while all the individual citizens alike participate in the
public”.Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah
konstitusionalisme Romawi Kuno ini adalah pertama, untuk memahami konsepsi
yang sebenarnya tentang itu dalam sejarah, ilmu hukum haruslah dipandang penting
atau sekurang-kurangnya sama pentingnya dibandingkan dengan sekedar
perbincangan mengenai materi hukum, kedua, ilmu pengetahuan hukum yang
dibedakan dari hukum sangat bercorak Romawi sesuai asal mula pertumbuhannya,
ketiga, pusat perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hukum
Romawi bukanlah sebagaimana sering dibayangkan oleh banyaj ahli tetapi justru
terletak pada doktrin kerakyatan.Menurut orang Romawi pada zaman itu, pada suatu
ketika rakyat mengadakan perjanjian dengan Caesar yang kemudian diletakkan dalam
Rex Regia.Dengan perjanjian tersebut, kekuasaan diakui telah berpindah secara
mutlak dari tangan rakyat kepada Caesar.
10
modern.Namun fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman
kenegaraan menyebabkan piagam itu dapat dikatakan tepat juga untuk disebut sebagai
konstitusi seperti yang dilakukan oleh Montgomery Watt ataupun yang dilakukan
oleh Zainal Abidin Ahmad seperti tersebut diatas.Dapat dikatakan bahwa lahirnya
Piagam Madinah pada abad ke- 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting
selama abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian
bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah
perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis.Kemudian pada 1876 lahirlah
Konstitusi Usmani yang diberi nama al-Masyrutiyah al-Ula ini pernah dibekukan
pada 1878 dan kemudian di berlakukan kembali pada 1908 dengan nama al-
Masyrutiyah al-Saniyah atau undang-undang dasar kedua.
11
kewenangan yang berada diluar dan sekaligus diatas system yang diaturnya.Dalam
hubungan dengan constituent power tersebut diatas,muncul pula pengertian constituent
act.Dalam hubungan ini,konstitusi dianggap sebagai constituent act,bukan produk
peraturan legislative yang biasa.Konstitusi bukanlah undang-undang biasa.Ia tidak
ditetapkan oleh lembaga legislative yang biasa,tetapi oleh badan yang lebih khusus
dan lebih tinggi kedudukannya.Oleh karena tu, dikembangkannya pengertian
constituent power berkaitan dengan pengertian hierarki hukum.
8
Terjemahan L.M Sitorus, ilmu Politika; Suatu Perkenalan Lapangan, cet ke-3. (Jakarta : PT.
Pembangunan 1958), hlm. 38.
12
ketentraman, mempertahankan kekuasaan dan mengurus hal-hal yang berkenaan dengan
kepentingan-kepentingan umum. Sementara itu, Maurice Hauriou menyatakan bahwa
tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan anata ketertiban, kekuasaan dan
kebebasan.
Kebebasan individu warganegara harus dijamin, tapi kekuasaan negara juga harus
berdiri tegak sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri
terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara
tidak terganggu.
Nilai normatif yakni konstitusi yang resmi diterima oleh suatu negara, dan bagi
negara atau bangsa konstitusi ini tidak berlaku hanya dalam arti hukum (legal),
namun juga kekuatan nyata di masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilakukan
secara ketat dan konsisten.
Nilai nominal adalah konstitusional menurut hukum yang berlaku, namun tidak
sempurna. Ketidak sempurnaan yang disebabkan pasal tertentu tidak berlaku / tidak
seluruh pasal yang terdapat dalam Konstitusi berlaku untuk seluruh wilayah negara.
Nilai semantik adalah konstitusi yang berlaku sebagai kepentingan penguasa.
Kekuatan memobilisasi, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat sebagai
pelaksanaan kekuasaan politik.
Konstitusi tertulis berarti konstitusi yang ditulis dalam bentuk buku atau
serangkaian dokumen yang digabungkan dalam bentuk buku. Ini adalah
13
konstitusi yang secara sadar dibingkai dan diberlakukan. Ini diformulasikan
dan diadopsi oleh majelis konstituante atau dewan atau legislatif. Ini
menyediakan desain yang pasti dari lembaga pemerintah, organisasi, kekuatan,
fungsi dan hubungan antar mereka.Ini mewujudkan hukum konstitusional
negara. Ia menikmati tempat supremasi. Pemerintah sepenuhnya terikat oleh
ketentuan-ketentuannya dan bekerja secara ketat sesuai dengan ketentuan-
ketentuannya. Konstitusi tertulis dapat diubah hanya sesuai dengan proses
amandemen yang telah ditetapkan yang ditulis dalam konstitusi itu sendiri.
Tidak tertulis Konstitusi yang tidak tertulis adalah salah satu yang tidak
disusun atau disahkan oleh Majelis Konstituante dan bahkan tidak ditulis
dalam bentuk buku. Ini ditemukan dalam beberapa charter sejarah, hukum dan
konvensi. Ini adalah produk evolusi yang lambat dan bertahap. Pemerintah
diatur dan berfungsi sesuai dengan beberapa peraturan dan konvensi yang
diselesaikan dengan baik, tetapi tidak sepenuhnya tertulis. Orang-orang tahu
Konstitusi mereka. Mereka menerima dan mematuhinya, tetapi tidak
memilikinya dalam bentuk tertulis. Konstitusi yangtidak tertulis tidak dapat
diproduksi dalam bentuk buku. Namun demikian, konstitusi yang tidak tertulis
tidak sepenuhnya tidak tertulis. Beberapa bagiannya tersedia dalam bentuk
tertulis tetapi tidak dimodifikasi dalam bentuk dokumen hukum atau kode atau
buku.
14
3. Pembagian dan Pembatasan Tugas Ketatanegaraan yang Fundamental.
Jadi materi konstitusi merupakan alat untuk mewujudkan system hukum dan politik
yang disepakati.
Materi muatan konstitusi menurut Miriam Budiarjo :.
1. Organisasi Negara (Misalnya Pembagian Kekuasaan antar Eksekutif-
Legislatif-Yudikatif, Pusat-Daerah/Negara Bagian)
2. Hak Asasi Manusia.
3. Prosedur Mengubah UUD.
4. Larangan Mengubah Sifat Tertentu dalam UUD.
Materi muatan konstitusi menurut Moh Kusnardi & Harmaily Ibrahim :
1. Adanya Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Warganegara.
2. Ditetapkannya Sususnan Ketatanegaraan yang Bersifat Fundamental.
3. Adanya Pembagian dan Pembatasan Tugas atau Kekuasaan yang Bersifat
Fundamental.
15
telah diadakan perubahan, tetapi UUD yang lama tetap berlaku. Perubahan melalui
system ini dilakukan melalui terhadap amandemen UUD lama. Kemudian amandemen ini
dicantumkan dibagian belakang atau akhir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari UUD.9
Suatu naskah undung-undang dasar menghadapi tuntutan perubahan dengan mudah
maka konstitusi itu disebut fleksibel, tetapi jika sulit disebut rigid atau kaku.10 Perubahan
UUD hharus memiliki alas an yang mendasar, artinya analisis yang komprehensif. 11
Perubahan juga harus memperhatikan aspek-aspek filosofis, teoritis, dan yuridis.
BAB III
KESIMPULAN
9
Ellydar, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007), hlm 60-61.
10
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi-Konstitusi Indonesia , cetakan ketiga (Jakarta: Sinar Grafika,2014 hlm
45.
11
Ellydar Chaidir, Hukum..op.cit,hlm 71
16
1) Pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan dapat berarti lebih luas dari
undang-undang dasar karena pengertian undang-undang dasar hanya meliputi
konstitusi tertulis saja padahal sebenarnya masih ada masih terdapat konstitusi
tidak tertulis yang tidak tercakup dalam undang-undang dasar.
2) pengertian konstitusi dalam dua konsepsi. Pertama adalah konstitusi sebagai
the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan
mengaitkannya dengan pengertian politeia dalam tradisi Yunani Kuno, Kedua,
konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm.Dari
sudut pandang etimologi, konsep klasik mengenai konstitusi dan
konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan
pengertian dan pengunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan
perkataan constitution dalam bahasa Latin,serta hubungan diantara keduanya
satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik
kehidupan kenegaraan dan hukum.
3) Nilai konstitusi dibagi menjadi tiga normative,nominal dan sementical.
4) Perubahan suatu undang-undang dasar atau konstitusi pada dasarnya dapat di
amati dari dua sisi, pertama secara materil, dan kedua perubahan secara formal.
DAFTAR PUSTAKA
17
2. Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara, Rineka Cipta, hlm 44
3. Charles Howard Mcllwain, Constitutionalism; Ancient and Modern,
(Ithaca,New York: Cornell University Press,1966), hlm 26/
4. Mcllwain, Op. cit., hlm.27
5. Ellydar, Hukum dan Teori Konstitusi (Yogyakarta: Kreasi Total Media,2007),
hlm 60-61.
6. Jimly Ashiddiqie, Konstitusi-Konstitusi Indonesia , cetakan ketiga (Jakarta:
Sinar Grafika,2014 hlm 45.
7. Ellydar Chaidir, Hukum..op.cit,hlm 71
18