Anda di halaman 1dari 33

Kecenderungan

Pelanggaran Etika dalam Uji


Klinik Obat anti Covid-19

Rianto Setiabudy
Dept. Farmakologi FKUI

1
Pendahuluan
 Letusan penyebaran infeksi Covid-19 di
Indonesia sejak Maret 2020
 Waktu itu korban berjatuhan,
 APD kurang, fasilitas diagnostik amat
terbatas
 Belum ada obat standar
 Blessing in disguise: apa yang terjadi?
 Namun ini juga membawa masalah
khusus

Pertanyaan kita: apa saja kecenderungan


defisiensi GCP di era pandemi Covid-19 ini?
2
Apa itu Good Clinical Pratice?

Suatu standar kualitas etik dan ilmiah


yang berlaku internasional untuk
merancang, melaksanakan, memonitor,
mengaudit, mencatat, menganalisis
melaporkan hasil uji klinik semikian rupa
sehingga hasilnya layak dipercaya dan
keselamatan subjek penelitiannya
terjamin.
(1.24 ICH Topic E6: GCP)
3
MERANCANG

MELAKSANAKAN
Hasil layak
MEMONITOR dipercaya
Keselamatan
MENGAUDIT subjek ter-
jamin
MENCATAT

MELAPORKAN

4
Ciri Uji klinik masa pandemi
 Protokol disusun tergesa-gesa
 Komisi Etik sering “dititipi pesan”
 Jumlah penelitian banyak sekali
 Sample size kecil2 dan terfragmentasi
 Arah penelitian tidak terfokus
 Sponsor tidak jelas

5
Faktor2 penyebab defisiensi etika
dalam UK obat

1. Keselamatan subjek terancam


2. Hak subjek tercederai
3. Penelitian gagal mencapai tujuannya
4. Penelitian menghasilkan data yang
tidak layak dipercaya

6
Mengapa dikatakan tidak terfokus?
Karena tujuan penelitiandi masa pandemi ini
amat bervariasi:

OH-klorokuin stem cell


kina kalung eukaliptus
azitromisin vaksin covid
oseltamivir obat herbal
favipiravir deksametason
plasma konvalesens heparin
remdesivir aaPRP
lopinavir/ritonavir
vitamin C, dll.
Ivermektin
7
Beberapa miskonsepsi terkait Uji
Klinik di masa pandemi

1. Indonesia harus bisa menemukan


obat/vaksin anti Covid
2. Uji Klinik harus bisa menghasilkan
kesimpulan dalam waktu cepat
3. Kalau data in vitro sudah jelas
efektivitasnya, tidak perlu lagi uji klinik

8
Defisiensi rancangan protokol
 Pemilihan primary outcome yang tidak
sesuai untuk uji klinik, mis: viral count,
kadar TNF-, kadar interleukin-6, dll
 Tidak ada blinding dan/atau randomisasi
 Informasi untuk calon subjek tidak ada atau
tidak adekuat
 Keengganan menggunakan plasebo sebagai
kontrol (alasan: “tidak etis”)
 Tidak ada monitoring dan audit
9
Apa penyebabnya?
 Protokol dibuat secara tergesa-gesa
 Sarana dan SDM yang kurang
 Sumber dana penelitian sering tidak jelas
 Tidak ada sponsor
 Kurangnya pemahaman mengenai
metodologi penelitian

Apa akibatnya?
 Tujuan penelitian tidak tercapai
 Pengorbanan subjek, dana, waktu sia2
 Terjadi penggunaan obat irasional
Kecenderungan Investigator’s
bias pada Uji klinik Covid-19
Cenderung terjadi pada penelitan:
 Tanpa kelompok kontrol atau menggunakan
historical control
 Tanpa randomisasi
 Tanpa penetapan besar sampel sebelum
penelitian dimulai
 Menggunakan parameter2 lab sebagai
outcome primer
 Tanpa blinding (kecuali kalau hasilnya dinilai
dengan parameter objektif)
 Menarik kesimpulan dari seri kasus
Defisiensi pelaksanaan

 Tidak ada initiation meeting


 Peneliti tidak memahami GCP
 Tidak ada sponsor atau walaupun ada
ia tidak tahu tugasnya
 Produk uji yang kualitasnya tidak jelas
 Tidak ada Case Report Form. Apa
akibatnya?

12
Defisiensi monitoring
 Apa itu kegiatan monitoring?
 Siapa yang bertanggung jawab
melaksanakannya?
 Bagaimana mengerjakannya dalam
keadaan normal?
 Apakah mampu laksana di masa
pandemik ini?
 Dapatkah dilakukan secara on line?

13
 Garis besar pekerjaan monitor:
1. Memastikan GCP compliance dan
protocol compliance
2. Membantu pembuatan laporan SAE
3. Menangani protocol
deviation/violation
4. Memastikan CRF diisi lengkap,
benar, dan tepat waktu
5. Memeriksa persediaan obat uji klinik
14
6. Mengawasi drug accountability
7. Memastikan tersedianya sarana
keselamatan subjek bila terjadi SAE
8. Memastikan peneliti memberi
pertolongan yang adekuat ketika
terjadi SAE dan AE dan membuat
laporannya
9. Memastikan rekrutmen pasien
berjalan sesuai dengan rencana

15
10.Memastikan semua dokumen
esensial disimpan dengan baik
11.Mendeteksi terjadinya protocol
deviation dan protocol violation
12. Membantu pelaksanaan drug
accountability
13.Memastikan CRF diisi dengan
lengkap, benar, dan tepat waktu
14.Mengumpulkan CRF yang telah diisi
lengkap untuk diserahkan ke sponsor
16
Defisiensi audit
 Apa itu audit?
 Siapa yang harus melakukannya?
 Berapa lama berlangsungnya?
 Apakah mampu laksana di masa
pandemik ini?

17
Defisiensi pencatatan dan pelaporan
 Melaporkan protocol deviation dan
violation
 Menambah/memindahkan trial site
tanpa ijin komisi etik
 Pelaporan AE dan SAE:
 pengertian AE?

 dilaporkan ke siapa?

 Perubahan dosis/rejimen obat


 Penghentian prematur penelitian
18
Masalah2 lain terkait GCP

1. Ketiadaan sponsor/sponsor
yang tidak berfungsi
2. Penggunaan vulnerable
subjects
3. Kurangnya sarana penelitian
Ketiadaan sponsor
Fungsi sponsor dalam Uji
Klinik
 Pembiayaan penelitian: pengadaan
obat uji berkualitas baik, pemeriksaan
lab dan pemeriksaan penunjang lain,
biaya kaji etik, perancangan protokol,
analisis data,
 Bila terjadi cedera: biaya perawatan
dan kompensasi untuk subjek
 Monitoring
 Audit
 Menyewa CRO
 Mencukupi semua sarana penelitian
 Pelatihan GCP
 Investigator’s brochure
 Membentuk DSMB
 Initiation dan closure meeting
 Honor pelaksana penelitian
 Publikasi

Sponsor memegang peran amat penting


dalam uji klinik, namun sering terlupakan
pada penelitian dalam pandemik
Sumber dana penelitian di
masa pandemi
 Hibah Perguruan tinggi
Vulnerable subject
Mengapa pasien Covid-19
vulnerable?
 Ketakutan akan meninggal
 Dalam keadaan physical dan
psychological distress
 Terisolasi dari keluarga
 Ketiadaan obat yang efektif
 Ketiadaan biaya
 Pertanyaan: apakah informed consent
diminta pada saat yang tepat?
Apakah pasien vulnerable boleh
dijadikan subjek penelitian?
Boleh dengan syarat:
 Masalah penelitian itu tidak bisa dijawab
dengan menggunakan pasien biasa
 Pasien vulnerable juga banyak yang
terserang oleh penyakit yang sama
 Mereka harus diberi proteksi khusus
 Mereka hanya boleh dipaparkan terhadap
risiko minimal
Kurangnya sarana dan
dana
Kondisi yang selalu terjadi pada
setiap pandemi
 Kurangnya dana, sarana, dan SDM
 Dapat terjadi persaingan antara
kepentingan pelayanan pasien vs.
kepentingan penelitian
 Kepentingan pelayanan bagi pasien harus
diberi prioritas tertinggi
Apa lagi yang harus diingat terkait
dana?
 Biaya pengembangan obat baru sekarang
mahal karena harus berstandar GCP
 Biaya normal pengembangan 1 obat baru
ialah US $ 1.3 miliar ( Rp 19.5 triliun)
 Bila diasumsikan biaya uji klinik untuk obat
anti Covid yang sudah jadi hanya 25% dari
biaya normal, maka diperlukan biaya Rp
4.8 triliun untuk 1 obat
 Sementara itu kita belum tahu berapa lama
pandemi akan berlangsung
 Keberhasilan belum tentu terjadi
 Apakah pemerintah mampu membiayainya?
 Apakah industri farmasi Indonesia mau
membiayai UK “obat2 tua” dengan biaya
setinggi ini?
 Apakah bijak bila Indonesia ikut berlomba
mengembangkan obat anti Covid berstandar
GCP?
 Lalu bila dengan dana amat terbatas ini kita
tetap mau memaksakan menemukan obat
anti Covid baru, apa yang terjadi? Defisiensi
mutu uji klinik!
31
Ringkasan
 Minat meneliti pada masa pandemik Covid-
19 amat diapresiasi
 Peneltian yang dirancang tergesa-gesa
pada masa pandemik cenderung tidak
memenuhi standar GCP
 Indonesia tidak perlu memaksakan diri
untuk menemukan obat anti Covid baru
 Partisipasi kita dalam pengembangan obat
anti Covid cukup sebatas kemampuan kita
 Uji klinik bermutu rendah membuang
biaya dan membahayakan masyarakat
 Penelitian kolaboratif internasional yang
besar dan tertata baik lebih berharga
dari penelitian2 kecil yang
terfragmentasi dan mutunya tidak jelas

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai