Anda di halaman 1dari 59

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

DENGAN PERUBAHAN FISIOLOGIS

Ditujukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Gerontik
Disusun Oleh :
Kelompok 4
Mia Dewi Aminah : 18.156.01.11.023
Nabilah Fitria : 18.156.01.11.024
Nadieva Nailuvar Jasmine P : 18.156.01.11.026
Octaviani Elpa Resi : 18.156.01.11.027
Ribka Sulastri : 18.156.01.11.028
Risma Ayu Gurning : 18.156.01.11.029
Rosdiana Manalu : 18.156.01.11.030

3A KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (S1)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik. Dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini kami banyak dibantu oleh berbagai pihak baik langsung
maupun tidak langsung. Kami sadar bahwa penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan.
Untuk itu kami menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan makalah ini. Akhir kata kami berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bekasi, 30 Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

1.1.Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2.Rumusan Masalah..................................................................................................................2

1.3.Tujuan....................................................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN..............................................................................................................................3

2.1.Proses Penuaan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia...........................................................3

2.2.Proses Penuaan Sistem Pernafasan Pada Lansia..................................................................10

2.3.Proses Penuaan Sistem Sensoris Pada Lansia......................................................................18

2.4.Proses Penuaan Sistem Integumen Pada Lansia..................................................................41

2.5.Proses Penuaan Sistem Kardiovaskuler Pada Lansia...........................................................44

2.6.Proses Penuaan Sistem Perkemihan Pada Lansia................................................................49

BAB III..........................................................................................................................................53

PENUTUP.....................................................................................................................................53

3.1.Kesimpulan..........................................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................54

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tahap perkembangan seseorang di mulai dari lahir, remaja, dewasa, dewasa akhir hingga
lansia tahapan itu terjadi secara alami, ditandai dengan menurunnya kemampuan akal dan fisik
dan beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2009). Menurut Stanley dan Beare (2006)
terdapat perubahanperubahan pada lanjut usia, yaitu perubahan sistem panca indera, sistem
integumen, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, sistem kardiovaskuler, sistem pulmonal,
sistem endokrin, sistem renal dan urinaria, perubahan psikologis. Perubahan sistem tubuh pada
lansia dapat mempengaruhi kebutuhan tidur.

Menurut WHO Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas, di
tandai dengan penurunan fungsi organ tubuh, rentannya tubuh terhadap berbagai serangan
penyakit, dan merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari
fase kehidupannya (WHO, 2015). Pada sat ini jumlah penduduk lansia didunia sebanyak 500 juta
jiwa, sedangkan dikawasan asia tenggara populasi lansia sebanyak 8% kurang lebih sebanyak
142 juta jiwa. Indonesia menempati urutan kelima Negara didunia yang memiliki populasi lansia
tertinggi, Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa
penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08
juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Ada tiga
provinsi dengan persentase lansia terbesar di Indonesia yaitu DI Yogyakarta (13,81%), Jawa
Tengah (12,59) dan Jawa Timur (12,25%). Menurut Badan Pusat Statistik (2015), Propinsi
sumatera barat memiliki populasi lansia sebanyak 44.403 jiwa, dan kota padang memiliki
populasi lansia sebanyak 28.896 jiwa.

Lanjut usia merupakan proses kehidupan yang alami dan tidak dapat dihindari karena lanjut
usia merupakan tahapan akhir kehidupan (Rohana, 2011). Menurut Stanley dan Beare (2007)
terdapat perubahan-perubahan pada lanjut usia, yaitu perubahan sistem panca indera, sistem
integumen, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, sistem kardiovaskuler, sistem pulmonal,

1
sistem endokrin, sistem renal dan urinaria, perubahan psikologis. Perubahan sistem tubuh pada
lansia dapat mempengaruhi kebutuhan tidur.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses penuaan sistem muskuloskeletal pada lansia?
2. Bagaimana proses penuaan sistem pernapasan pada lansia?
3. Bagaimana proses penuaan sistem sensoris pada lansia?
4. Bagaimana proses penuaan sistem integumen pada lansia?
5. Bagaimana proses penuaan sistem kardiovaskuler pada lansia?
6. Bagaimana proses penuaan sistem perkemihan pada lansia?
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui proses penuaan sistem muskuloskeletal pada lansia
2. Untuk mengetahui proses penuaan sistem pernapasan pada lansia
3. Untuk mengetahui proses penuaan sistem sensoris pada lansia
4. Untuk mengetahui proses penuaan sistem integumen pada lansia
5. Untuk mengetahui proses penuaan sistem kardiovaskuler pada lansia
6. Untuk mengetahui proses penuaan sistem perkemihan pada lansia

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1.Proses Penuaan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia
Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang, sendi, dan otot.Sistem
tersebut paling erat kaitannya dengan mobilitas fisik individu. Seiring bertambahnya usia,
terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada system musculoskeletal yang terdiri dari tulang,
otot, sendi, dan saraf.

A. Perubahan Fisiologis Tulang


Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendiyang
menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulangtersebut sangat
kuat namun relatif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah memberikan bentuk dan
dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga berperan untuk melindungi tubuh,
misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak danmata, tulang rusuk yang melindungi
jantung, serta tulang belakang yang melindungisumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka
ini juga terdapat tendon otot yang mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006).

Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus melakukan
remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara umum, perubahan
fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral tulang. keadaan tersebut
bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian terjatuh. Selain itu, terjadi juga
penurunan massa tulang atau disebut dengan osteopenia.Jika tidak ditangani segara osteopenia
bisa berlanjut menjadi osteoporosis yang ditandaidengan karakteristik berkuranganya kepadatan
tulang dan meningkatkan laju kehilangan tulang.

Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain:

1. Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan


untukremodeling).
2. Arbsorbsi kalsium berkuran.
3. Meningkatnya hormon serum paratiroid
4. Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast
3
5. Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik darimatriks
tulang; dan
6. Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada laki-laki.

B. Perubahan Fisiologis Otot


Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara langsung berdampak pada
kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis pada otot yang terjadi pada lansia berikut ( Colón, et
al., 2018).

Perubahan :

 Peningkatan variabilitas dalam ukuranserat otot


 Kehilangan massa otot
 Serabut otot (fiber) tipe II menurun
 Infiltrasi lemak
Efek Fungsional :

 Peningkatan heterogenitas jarak kapiler,karena kapiler dapat hanya terletak di tepiserat ->
berdampak negatif terhadapoksigenasi jaringan
 Penurunan kekuatan dan tenaga
 Terjatuh
 Kerapuhan otot melemah

C. Perubahan Fisiologis Sendi

 Menurunnya viskositas cairansynovial


 Erosi tulang (Miller,2012), Mengecilnya kartilago
 Degenerasi gen dan selelastin, Ligamen memendek, Fragmentasi struktur fibrosa di
jaringan ikat, Pembentukan jaringan parut di kapsul sendi dan jaringan ikat (Miller,2012)
 Penurunan kapasitas gerakan,seperti: penurunan rentang gerak pada lengan atas, fleksi
punggung bawah, rotasieksternal pinggul, fleksi lutut,dan dorsofleksi kaki (Miller,2012).
Efek :

 Menurunnya perlindungan ketika bergerak (Miller, 2012)


4
 Menghambat pertumbuhan tulang(Miller, 2012)
 Penurunan elastisitas, fleksibilitas,stabilitas, dan imobilitas (Kurnianto,2015).
 Gangguan fleksi dan ekstensi sehingga kegiatan sehari-hari menjadi terhambat.

D. Perubahan Fisiologis Saraf

 Penurunan gerakanrefleks, Gangguan proprioceptionterutama pada wanita,


 Berkurangnya rasa sensasigetaran dan posisi sendi pada ektremitas bagian bawah (Miller,
2012).
 Perubahan kemampuan visual.
 Perubahan kontrol postural.
Efek :

 Berjalan lebih lambat, Berkurangnya respon terhadaprangsangan lingkungan


(Miller,2012).
 Perubahan pemeliharaan dalam posisi tegak.
 Peningkatan goyangan tubuh yangmerupakan tolak ukur dari gerakantubuh saat berdiri
(Miller, 2012).

E. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia Dengan


Rheomatroid Athritis
1. Definisi

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat


sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi secara
simetris (Chairuddin, 2003).

Reumatoid arthritis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang
terjadi di jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi sehingga
kolagen terpecah dan terjadi edema. Poliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan
pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang (Brunner &
Suddarth,2001).

2. Etiologi

5
Penyebab arthritis rheomatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal
mengenai patologis penyakit ini telah terungkap. Penyakit ini belum dapat dipastikan
mempunyai hubungan dengan faktor genetik. Namun, berbagai faktor (termasuk kecenderungan
genetik) bisa memengaruhi reaksi autoimun. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah jenis
kelamin, infeksi, keturunan, dan lingkungan. dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit arthritis rheomatoid adalah jenis kelamin,
keturunan, lingkungan, dan infeksi.

Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab rheumatoid atritis, yaitu: infeksi
streptokokkus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolic,
faktor genetic serta faktor pemicu lingkungan. Pada saat ini, rheumatoid atritis diduga
disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kalogen tipe II:
faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikroplasma atau group difteroid
yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang rawan sendi penderita.

Arthritis rheomatoid adalah penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah
respons imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui. Agen pemicunya adalah bakteri,
mikroplasma, atau virus yang tidak diketahui. Agen pemicunya adalah bakteri, mikroplasma atau
virus yang menginfeksi sendi atau mirip sendi secara antigenik. Biasanya respons antibodi awal
terhadap mikroorganisme diperantai oleh IgG. Walaupun respons ini berhasil menghancurkan
mikroorganisme, individu yang mengalami RA mulai membentuk antibodi lain, biasanya IgM
atau IgG, terhadap antibodi IgG awal.

3. Manifestasi Klinis

Gejala awal terjadi beberapa sendi sehingga disebut poli athritis rhomatoid. Persendian yang
paling sering terkena adalah sendi tangan, pergelangan tangan, sendi lutut, sendi siku,
pergelangan kaki, sendi bahu, serta sendi panggul dan biasanya bersifat bilateral atau simetris.
Tetapi kadang-kadang hanya terjadi pada satu sendi disebut arthritis rheomatoid mono-artikular.
Gejala rheumatoid arthritis tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh
meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi
dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa

6
bulan atau tahun, orang-orang pada umumnya merasa sakit ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) atau pun gejala kembali (Reeves, 2001).

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kekurangan
nafsu makan, demam, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekakuan sendi biasanya
paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis RA sangat bervariasi dan
biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas,
eritemia dan gangguan fungsi merupakan klinis yang klasik untuk Reumatoid Arthritis (Smeltzer
& Bare, 2002). Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada
lanjut usia (Buffer,2010) yaitu: sendi terasa nyeri dan kaku pada pagi hari, bermula sakit dan
kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa
sakit atau nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang
(Junaidi, 2006).

4. Patofisiologi

Pada arthritis rheomatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial. Proses
fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah
kolagen sehingga terjadi edema, poliferasi membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus.
Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya
menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena
serabut otot akan mengalami perubahan generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot.

5. Penatalaksanaan

Langkah pertama dari program penatalaksanaan arthritis rheomatoid adalah memberikan


pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada klien, keluarganya, dan siapa saja
yang berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian
tentang patofisiologi penyakit, penyebab dan prognosis penyakit, semua komponen program
penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk
mengatasi penyakit, dan metode-metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan
oleh tim kesehatan. Proses pendidikan kesehatan ini harus dilakukan secara terus-menerus.
7
Pendidikan dan informasi kesehatan juga dapat diberikan dari bantuan klub penderita, badan-
badan kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang juga menderita arthritis rheomatoid, serta
keluarga mereka. Penyakit ini menyebabkan banyak keluhan yang diderita oleh pasien
diantaranya nyeri yang dapat menyerang lutut, pergelangan tangan, kaki, dan diberbagai
persendian lainnya. Keluhan yang disebabkan penyakit ini sering menyebabkan kualitas hidup
pasien menjadi sangat menurun. Selain menurunkan kualitas hidup, rematik juga meningkatkan
beban sosial ekonomi bagi para penderitanya (Wenni, 2002).

Teknik nonfarmakologi yang dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pada penderita
rematik diantaranya yaitu dengan massage kutenus atau pijat, kompres panas atau dingin, teknik
relaksasi dan istirahat. Tindakan nonfarmakologi itu dapat dilakukan sendiri dirumah dan
caranya sederhana. Selain itu tindakan nonfarmakologi ini dapat digunakan sebagai pertolongan
pertama ketika nyeri menyerang (wenni, 2002). Sebelum melakukan kompres panas kering
lansia bisa mengatur posisi senyaman mungkin, penggunaan panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan memungkinkan dapat turut menurunkan nyeri.
Panas lembab dapat menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat Reumatoid arthritis
(Smeltzer, 2001).

Penderita arthritis rheomatoid tidak memerlukan diet khusus karena variasi pemberian diet
yang ada belum terbukti kebenarannya. Prinsip umum untuk memperoleh diet seimbang sangat
penting. Penyakit ini dapat juga menyerang sendi temporomandibular, sehingga membuat
gerakan mengunyah menjadi sulit. Sejumlah obat-obat tertentu dapat menyebabkan rasa tidak
enak pada lambung dan mengurangi nutrisi yang diperlukan. Pengaturan berat badan dan
aktivitas klien haruslah seimbang karena biasanya klien akan mudah menjadi terlalu gemuk
disebabkan aktivitas klien dengan penyakit ini relatif rendah. Namun, bagian yang penting dari
seluruh program penatalaksanaan adalah pemberian obat. Obat-obat dipakai untuk mengurangi
nyeri, meredakan pradangan, dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit. Nyeri hampir
tidak dapat dipisahkan dari rheomatoid arthritis, sehingga ketergantungan terhadap obat harus
diusahakan seminimum mungkin. Obat utama pada arthritis rheomatoid adalah obat-obatan
antiinflamasi nonsteroid (NSAID).

6. Diagnose Keperawatan

8
1. Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh arthritis rheumatoid
2. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi, bengkok, deformitas.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi
7. Intervensi

Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b.d perubahan patologis oleh arthritis rheumatoid

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan nyeri akut dapat
berkurang.

Kriteria Hasil :

 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu mennggunakan teknik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mecari bantuan).
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi :

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor prespitasi.
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
4. Kurangi faktor prespitasi nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non-farmakologi dan inter personal)
Diagnosa Keperawatan : Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan tubuh, sendi,
bengkok, deformitas.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan citra tubuh dapat berkurang.

9
Kriteria hasil :

 Body image positif


 Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
 Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
 Mempertahankan interaksi social
Intervensi :

1. Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan, dan prognosis penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya identifikasi arti pengurangan melalui alat
bantu
5. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
Diagnosa Keperawatan : Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan sendi

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam gangguan mobilitas fisik dapat
berkurang.

Kriteria hasil :

 Mampu meningkatkan kekuatan sendinya


Intervensi :

1. Monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandirisesuai kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs klien
8. Berikan alat bantu jika klien memerlukan

10
9. Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
2.2.Proses Penuaan Sistem Pernafasan Pada Lansia

A. Pengertian Proses Penuaan


Lanjut usia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Menurut Bernice Neugarten (1968)
James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan
keberhasilannya. Sedangkan menurut (Prayitno dalam Aryo (2002) dalam buku Keperawatan
Gerontik edisi 2) mengatakan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan lanjut usia adalah
orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari
nafkah untuk keperluan pokok kehidupannya sehari-hari.

B. Fungsi Normal Sistem Pernafasan


Pernafasan (respirasi) merupakan peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari
oksidasi keluar dari tubuh.

Saluran pernafasan mulai dari atas secara berturut-turut adalah :

a. Hidung
b. Faring
c. Laring
d. Trakea
e. Bronkus
f. Bronkiolus
g. Paru-paru

C. Perubahan-perubahan Fisiologik Sistem Pernafasan


a. Gerak pernafasan: adanya perubahan bentuk, ukuran dada, maupun rongga dada akan
merubah mekanika pernafasan, amplitudo pernafasan menjadi dangkal sehingga akan
timbul keluhan sesak bernafas.
b. Distribusi gas: perubahan struktur anatomik saluran gas akan menimbulkan penumpukan
udara dalam alveolus (air traping) ataupun gangguan pendistribusian oksigen.
c. Volume dan kapasitas paru menurun.
11
d. Gangguan transport gas: pada usia lanjut terjadi penurunan PaO2 secara bertahap, yang
penyebabnya terutama disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.

D. Perubahan Fisik Sistem Pernafasan Pada Lansia


a. Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi
berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
b. Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial terjadi
penumpukan sekret.
c. Penurunan aktivitas paru (mengembang dan mengempisnya) sehingga jumlah udara
pernafasan yang masuk ke paru mengalami penurunan, jika pada pernafasan yang tenang
kirakira 500 ml.
d. Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang (luas permukaan normal 50 m²),
menyebabkan terganggunya proses difusi.
e. Penurunan oksigen (O2 ) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu proses oksigenasi dari
hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua ke jaringan.

E. Asuhan Keperawatan Gangguan Pulmonal Pada Lansia


1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible Pada klien PPOK paru-paru klien
tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010).

PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu menurut
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok penyakit paru yang
mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang
termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun,
bronkiektasis. Arita Murwani (2011) .
2. Etiologi

12
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Timbulnya penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor resiko yang terdapat pada penderita, antara lain merokok sigaret yang berlangsung lama,
polusi udara, infeksi paru berulang, umur, jenis kelamin, ras, defisiensi alfa-1 antitripsin,
defisiensi antioksidan dan sebagainya. Pengaruh dari masing-masing faktor resiko terhadap
terjadinya PPOM adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan
dalam menimbulkan penyakit ini.
3. Patofisiologi
Faktor-faktor resiko yang telah disebutkan di atas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan juga menimbulknn kerusakan pada dinding bronkiolis terminal. Akibat dari
kerusakan yang timbul akan terjadi obstruksi bronkus keel (bronkiolus terminal), yang
mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang pada saat inspirasi mudah
masuk ke dalam alveoli, saat ekspirasi banyak yang terjebak. dalam alveolus dan terjadilah
penumpukan udara (airtrapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak nafas
dengan segara akibat-akibatnya. Adanya obstruksi dini saat awal ekspirasi akan menimbulkan
kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi.
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme.
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk
dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan
pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan
obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi
paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001). Faktor
risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap rokok merangsang
perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
13
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009). Komponen-
komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.Mediator-
mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat
hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran
udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil)
paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi
seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap
rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar,
2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi
jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan
dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang ditemukan adalah gambaran penyakit paru yang mendasari
ditambah tanda-tanda klinik akihat terjadinya obstruksi bronkus. Gambaran klinik bila diamati
secara cermat akan mengarah pada dua hal atau dua tipe pokok:
 Mempunyai gambaran klinik dominan ke arah bronkitis kronis (blue bloater type);
 Gambaran klinik predominant ke arah emfisema (pink puffer type)
5. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas
oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan gas di lambung.
4. Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurangnya infromasi
tentang penyakit nya.
14
6. Intervensi
Diagnosa Keperawatan : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria
hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk
efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :

 Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
 R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi
nafas adventisius.
 Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
 R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
 Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
 R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
 Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
 R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi. Dorong atau
bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
 R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
 Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
 Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
 R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
 Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan
air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
 R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,mempermudah pengeluaran.
 Kolaborasi :
15
1. Berikan obat sesuai indikasi.
2. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
3. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
4. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
5. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
6. merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal menurunkan spasme jalan
napas, mengi, dan produksi mukosa
Diagnosa Keperawatan : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan
oksigenasi (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan
bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program
pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :

 Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
 R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
 Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi
individu.
 R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea,
dan kerja napas.
 Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
 R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
 Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
 R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
 Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
 R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
16
 Palpasi fremitus.
 R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
 Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
 R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
 Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi
individu.
 R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
 Awasi tanda vital dan irama jantung.
 R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.
 Kolaborasi :
1. Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2. R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
3. Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
4. R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
5. Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
6. R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
7. Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.
8. R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.
Diagnosa Keperawatan : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penumpukan
gas di lambung.

17
Setelah di lakukan tindakan keperawatan 2x24 jam gangguan rasa nyaman “nyeri’ berkurang
dengan kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang.
 Skala nyeri 2
 klien tidak meringgis
 TTV : TD 120/80-140/100 mmhg, Nadi 60-100X/ menit, Suhu: 36,5-37,5 derajat
Intervensi :
 R/ lakukan pendekatan pada klien dan keluarga jelaskan tentang penyebab sakit yang di
alami.
 Respon klien dan keluarga lebih terbuka dan menerima baik penjelasan dari perawat.
 R/ Ajarkan pada keluarga klien agar memberi kompres hangat pada daerah perut yang
sakit.
 Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan klien.
 R/ Berikan posisi senyaman mungkin.
 Mengetahui perkembangan setiap hasilnya
Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan
kurangnya infromasi tentang penyakit nya.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam pengetahuan klien dan keluarga
bertambah.Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga karena pada saat klien
bertanya perawat menjelaskan terkait penyakitnya, Respon klien merasa puasa atas apa yang
diinformasikan terhadap perawat.
Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) adalah setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pengetahuan klien dan keluarga bertambah.
Intervensi :
Intervensi yang dilakukan ke pasien yakni kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga,
jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan
fisiologi dengan cara yang tepat, gambarkan tanda dan gejalan yang biasa muncul pada penyakit
dengan cara yang tepat, gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat.
2.3.Proses Penuaan Sistem Sensoris Pada Lansia
Banyak lansia mempunyai masalah sensoris yang berhubungan dengan perubahan normal
akibat penuaan. Perubahan ini tidak terjadi pada kecepatan yang sama atau pada waktu yang

18
sama untuk semua orang dan tidak selalu jelas atau dramatis. Perubahan sensoris dan
permasalahan yang dihasilkan mungkin merupakan factor yang turut berperan paling kuat dalam
perubahan gaya hidup yang bergerak ke arah ketergantungan yang lebih besar dan persepsi
negative tentang kehidupan

Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling berhubungan dengan


orang lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan yang baru, berespons terhadap
bahaya, dan menginterpretasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
Isolasi dapat diakibatkan oleh perubahan penglihatan dan pendengaran. Lansia dengan masalah
penglihatan atau pendengaran mungkin enggan untuk berspekulasi ke luar rumah karena
ketidakmampuan mereka untuk membedakan tanda yang mudah dibaca secara sekilas atau
mengenali permukaan yang keras/kasar. Lansia dengan kerusakan pendengaran mungkin
memberikan respon yang tidak sesuai selama percakapan, menimbulkan rasa malu dan
menghindar dari komunikasi verbal. Perubahan penglihatan dan pendengaran mungkin juga
menyebabkan kesalahan dalam menginterpretasi stimulus sensasi di dalam lingkungan.

Persepsi sensori memungkinkan seseorang menghargai dan berespon terhadap lingkungan,


termasuk pemandangan yang menarik dan bergerak, music yang indah, diskusi dan debat yang
menarik, hiburan di dalam dan di luar rumah, makanan yang rasanya enak, berbagai keharuman
yang sangat menyenangkan, dan sentuhan seseorang yang dicintai. Persepsi sensori juga
memberikan pertahanan sebagai respons terhadap lingkungan serta bertindak sebagai system
keamanan seseorang terhadap sesuatu yang dapat mengakibatkan permasalahan.

Indra pengecap dan penciuman merupakan indra yang penting, tetapi perubahan dalam
indra-indra ini tidak mengakibatkan perbedaan yang jelas dalam respons lansia terhadap
lingkungan. Namun, persepsi sensoris dalam penciuman dan pengecapan dapat memfasilitasi
respons seseorang terhadap situasi yang menyenangkan juga terhadap biaya. Sebagai contoh,
seorang lansia mungkin tidak mampu untuk mendeteksi makanan yang telah basi, sehingga dapat
menyebabkan lansia tersebut memakan zat yang mengandung toksin.

Semua indra manusia memainkan peranan dalam respons perceptual seseorang terhadap
lingkungan. Indra-indra tersebut juga dapat memungkinkan seseorang untuk beradaptasi terhadap
situasi yang kompleks dan berubah dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

19
A. Sistem Penglihatan

Defisit sensori ( misalnya, perubahan penglihatan ) dapat merupakan bagian dari


penyesuaian berkesinambungan yang datang dalam kehidupan usia lanjut. Perubahan penglihatan
mempengaruhi pemenuhan AKS. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal
dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, konstriksi
pipil akibat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata ( katarak ).

Perubahan penglihatan pada awalnya dimulai dengan terjadinya awitan presbiopi


kehilangan kemampuan akomodatif. Perubahan kemampuan akomodatif ini pada umumnya
dimulai pada dekade keempat kehidupan, ketika seseorang memiliki masalah dalam membaca
huruf-huruf yang kecil. Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris
menjadi lebih lama dan lebih kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan pada ( penglihatan jarak dekat ) kondisi ini dapat
dikoreksi dengan lensa seperti kacamata jauh dekat ( bifokal ).

Ukuran pupil menurun (miosis pupil) dengan penuaan karena sfinkter pupil mengalami
sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapang pandang seseorang dan mempengaruhi
penglihatan perifer pada tingkat tertentu, tetapi tampaknya tidak benar-benar mengganggu
kehidupan sehari-hari.

Perubahan warna (misalnya: menguning) dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terjadi dari waktu ke waktu dapat menimbulkan katarak. Katarak menimbulkan berbagai tanda
dan gejala penuaan yang mengganggu penglihatan dan aktivitas setiap hari. Penglihatan yang
kabur dan seperti terdapat suatu selaput di atas mata adalah suatu gejala umum, yang
mengakibatkan kesukaran dalam memfokuskan penglihatan dan membaca. Kesukaran ini dapat
dikoreksi untuk sementara dengan penggunaan lensa. Selain itu, lansia harus didorong untuk
menggunakan lampu yang terang dan tidak menyilaukan. Sensitivitas terhadap cahaya sering
terjadi, menyebabkan lansia sering mengedipkan mata mata terhadap cahaya terang atau ketika
berada di luar pada siang hari yang cerah. Sensitivitas cahaya dapat mengakibatkan
kecenderungan lansia untuk tetap tinggal di dalam ruangan atau menggunakan kaca mata hitam.
Sinar yang menyilaukan atau lingkaran cahaya (“halo”), yang disebabkan oleh oleh penyebaran
cahaya, memengaruhi dalam mengemudi, terutama pada malam hari ketika menghadapi sinar

20
yang sangat terang dari lampu besar mobil. Kedaan ini dapat berbahaya dan mungkin
menyebabkan suatu kemunduran dalam aktivitas social pada sore hari jika lansia tersebut terlalu
segan untuk meminta bantuan dalam mengemudi. Berkurangnya penglihatan pada malam hari
dapat mengakibatkan kesukaran dalam mengemudi dan ambulasi. Lansia memerlukan
penggunaan cahaya pada malam hari di dalam rumah dan waktu tambahan untuk melakukan
penyesuaian penglihatan terhadap perubahan kekuatan penerangan ketika meninggalkan suatu
lingkungan yang memiliki pencahayaan baik ke suatu lingkungan dengan penerangan yang
redup. Katarak juga mengakibatkan gangguan dalam persepsi kedalaman atau stereopsis, yang
menyebabkan masalah dalam menilai ketinggian. Lansia harus diajarkan untuk menggunakan
tangan mereka sebagai pemandu pada pegangan tangga dan untuk menggunakan cat berwarna
terang pada bagian tepianak tangga. Perubahan dalam persepsi warna terjadi seiring dengan
pembentukan katarak dan mengakibatkan warna yang muncul tumpul dan tidak jelas, terutama
warna - warna terang seperti kuning, orange, merah direkomendasikan untuk memudahkan
dalam membedakan warna. Sakit mata atau rasa tidak nyaman pada mata mungkin dialami oleh
beberapa lansia karena pada lansia karena pada saat katarak terbentuk akan dapat meningkatkan
tekanan intraocular (TIO) untuk sementara. Hal yang penting dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan penglihatandan tekanan pada mata secara teratur dan untuk melakukan operasi
pengangkatan katarak ketika telah siap.

Asuhan Keperawatan Gangguan Penglihatan Pada Lansia (Katarak)

1. Defenisi

Katarak menyebabkan penglihatan menjadi berkabut/buram. Katarak merupakan keadaan


patologik lensa dimana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein
lensa, sehingga pandangan seperti tertutup air terjun atau kabut merupakan penurunan progresif
kejernihan lensa, sehingga ketajaman penglihatan berkurang (Corwin, 2000).

Katarak adalah kekeruhan lensa. Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi
dan dapat disebabkan oleh berbagi hal, tetapi biasanya berkaitan dengan penuaan (Vaughan,
2000).

Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat
proses penuaan, tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga
21
berhubungan dengan trauma mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka
panjang, penyakit sistemis, pemajanan radiasi, pemajanan sinar matahari yang lama, atau
kelainan mata yang lain (seperti uveitis anterior) (Smeltzer, 2001).

2. Etiologi

Katarak bisa disebabkan karena kecelakaan atau trauma.Sebuah benda asing yang merusak
lensa mata bisa menyebabkan katarak.Namun, katarak paling lazim mengenai orang-orang yang
sudah berusia lanjut. Biasanya kedua mata akan terkena dan sebelah mata lebih dulu terkena baru
mata yang satunya lagi.

Katarak juga bisa terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur atau baru mendapatkannya
kemudian karena warisan dari orang tuanya.Namun kembali lagi, katarak hanya lazim terjadi
pada orang-orang yang berusia lanjut.Coba perhatikan hewan yang berumur tua, terkadang bisa
kita melihat pengaburan lensa di matanya.Semua ini karena faktor degenerasi.

Berbagai macam hal yang dapat mencetuskan katarak antara lain (Corwin,2000):

1. Usia lanjut dan proses penuaan


2. Congenital atau bisa diturunkan.
3. Pembentukan katarak dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti merokok atau bahan
beracun lainnya.
4. Katarak bisa disebabkan oleh cedera mata, penyakit metabolik (misalnya diabetes)
dan obat-obat tertentu (misalnya kortikosteroid).
Katarak juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko lain, seperti:

1. Katarak traumatik yang disebabkan oleh riwayat trauma/cedera pada mata.


2. Katarak sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti: penyakit/gangguan
metabolisme, proses peradangan pada mata, atau diabetes melitus.
3. Katarak yang disebabkan oleh paparan sinar radiasi.
4. Katarak yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan jangka panjang, seperti
kortikosteroid dan obat penurun kolesterol.
5. Katarak kongenital yang dipengaruhi oleh faktor genetik (Admin,2009).

22
Katarak akan berkembang secara perlahan-lahan. Orang-orang tua yang hidup sendiri
(sedikit orang-orang disekitarnya/kurang dirawat) lebih sering terkena katarak.Karena
kebanyakan dari mereka kurang minum air atau cairan lainnya guna menjaga peredaran darahnya
tetap mengalir sebagaimana mestinya.

3. Patofisiologis

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti
kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen
anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi
keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nukleus mengalami
perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di
anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang
paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan
pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah diluar
lensa, misalnya dapat menyebabkanpenglihatan mengalamui distorsi. Perubahan kimia dalam
protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan
menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa
normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai
peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan
bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.

4. Manifestasi Klinis

Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:

1. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan
fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
2. Menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari
Gejala objektif biasanya meliputi:

23
1. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak
dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan
bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya
adalah pandangan menjadi kabur atau redup. Pupil yang normalnya hitamcakan tampak
abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan
bertambah putih.
2. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih.
Gejala umum gangguan katarak meliputi:

1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.


2. Gangguan penglihatan bisa berupa:
 Peka terhadap sinar atau cahaya
 Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
 Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
 Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
 Kesulitan melihat pada malam hari
 Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata
 Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )
5. Penatalaksanaan Katarak

Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu dengan
menggunakan kacamata, lensa pembesar, cahaya yang lebih terang, atau kacamata yang dapat
meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak diperlukan tindakan operasi.

Tindakan operasi katarak merupakan cara yang efektif untuk memperbaiki lensa mata,
tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan tindakan operasi. Operasi katarak perlu dilakukan
jika kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam pengelihatan sedemikian rupa sehingga
mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika
katarak terjadi berbarengan dengan penyakit mata lainnya, seperti uveitis yakni adalah
peradangan pada uvea. Uvea (disebut juga saluran uvea) terdiri dari 3 struktur:

1. Iris : Cincin berwarna yang melingkari pupil yangberwarna hitam.


2. Badan silier : Otot-otot yang membuat lensa menjadi lebih tebal.
24
3. Koroid : Lapisan mata bagian dalam yang membentang dari ujung otot silier ke saraf
optikus di bagian belakang mata.
Sebagian atau seluruh uvea bisa mengalami peradangan. Peradangan yang terbatas pada iris
disebut iritis, jika terbatas pada koroid disebut koroiditis. Juga operasi katarak akan dilakukan
bila berbarengan dengan glaukoma, dan retinopati diabetikum. Selain itu jika hasil yang didapat
setelah operasi jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan risiko operasi yang mungkin
terjadi. Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan social atau atas
indikasi medis lainnya. Indikasi dilakukannya operasi katarak :

1. Indikasi sosial : Jika pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan dalam melakukan
rutinitas pekerjaan.
2. Indikasi medis : Bila ada komplikasi seperti glaucoma.
3. Indikasi optic : Jika dari hasil pemeriksaan visus dengan hitung jari dari jarak 3m
didapatkan hasil visus 3/60.
Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:

1. ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction)


Yaitu dengan mengangkat semua lensa termasuk kapsulnya. Sampai akhir tahun 1960
hanya itulah teknik operasi yg tersedia.
2. ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction) terdiri dari 2 macam yakni:
 Standar ECCE atau planned ECCE dilakukan dengan mengeluarkan lensa secara
manual setelah membuka kapsul lensa. Tentu saja dibutuhkan sayatan yang lebar
sehingga penyembuhan lebih lama.
 Fekoemulsifikasi (Phaco Emulsification). Bentuk ECCE yang terbaru dimana
menggunakan getaran ultrasonic untuk menghancurkan nucleus sehingga material
nucleus dan kortek dapat diaspirasi melalui insisi ± 3 mm. Operasi katarak ini
dijalankan dengan cukup dengan bius lokal atau menggunakan tetes mata anti nyeri
pada kornea (selaput bening mata), dan bahkan tanpa menjalani rawat inap. Sayatan
sangat minimal, sekitar 2,7 mm. Lensa mata yang keruh dihancurkan (Emulsifikasi)
kemudian disedot (fakum) dan diganti dengan lensa buatan yang telah diukur
kekuatan lensanya dan ditanam secara permanen. Teknik bedah katarak dengan

25
sayatan kecil ini hanya memerlukan waktu 10 menit disertai waktu pemulihan yang
lebih cepat.
Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotik jangka pendek. Kacamata
baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekas insisi telah sembuh. Rehabilitasi
visual dan peresepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode
fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien akan membutuhkan
kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jarak jauh. Saat
ini digunakan lensa intraokular multifokal. Lensa intraokular yang dapat berakomodasi sedang
dalam tahap pengembangan.

Apabila tidak terjadi gangguan pada kornea, retina, saraf mata atau masalah mata lainnya,
tingkat keberhasilan dari operasi katarak cukup tinggi, yaitu mencapai 95%, dan kasus
komplikasi saat maupun pasca operasi juga sangat jarang terjadi. Kapsul/selaput dimana lensa
intra okular terpasang pada mata orang yang pernah menjalani operasi katarak dapat menjadi
keruh. Untuk itu perlu terapi laser untuk membuka kapsul yang keruh tersebut agar penglihatan
dapat kembali menjadi jelas.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Selain uji mata yang biasanya dilakukan menggunakan kartu snellen, keratometri,
pemeriksaan lampu slit dan oftalmoskopi, maka

1. Scan ultrasound
(Echography) dan hitung sel endotel sangat berguna sebagai alat diagnostik, khususnya
bila dipertimbangkan akan dilakukan pembedahan. Dengan hitung sel endotel 2000
sel/mm3, pasien ini merupakan kandidat yang baik untuk dilakukan fakoemulsifikasi dan
implantasi IOL (Smeltzer, 2001)
2. kartu mata snellen chart (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan)
3. lapang penglihatan, penurunan mungkin di sebabkan oleh glukoma
4. pengukira tonograpi (mengkaji TIO,N 12-25 mmHg)
5. pengukuran gonoskopi, membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glukoma
6. pemeriksaan oftalmologis,

26
Mengkaji struktur internal okuler,pupil oedema,perdarahan retina,dilatasi & pemeriksaan
belahan lampu memastikan Dx Katarak.

7. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan b.d Gangguan penerimaan


sensori/status organ indera ditandai dengan menurunnya ketajaman
2. Ansietas b.d Perubahan pada status kesehatan
3. Kurang pengetahuan b.d Kurang informasi tentang penyakit
4. Nyeri b.d Luka pasca operasi
5. Resiko tinggi terhadap cidera b.d Keterbatasan penglihatan
6. Risiko infeksi b.d Prosedur invansif ( operasi katarak )
7. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik b.d kurang pengetahuan,
kurang sumber pendukung.
8. Intervensi

Diagnosa Keperawatan : Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan b.d Gangguan


penerimaan sensori/status organ indera ditandai dengan menurunnya ketajaman.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan gangguan persepsi sensori
teratasi.

Kriteria hasil: Sensori function : vision

 Menunjukan tanda dan gejala persepsi dan sensori baik : penglihatan baik.
 Mampu mengungkapkan fungsi persepsi dan sensori dengan tepat
Intervensi :

NEUROLOGIK MONITORING :

1. Monitor tingkat neurologis


2. Monitor fungsi neurologis klien
3. Monitor respon neurologis
4. Monitor reflek-reflek meningeal
27
5. Monitor fungsi sensori dan persepsi : penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan,
rasa
6. Monitor tanda dan gejala penurunan neurologis klien
EYE CARE :

1. Kaji fungsi penglihatan klien


2. Jaga kebersihan mata
3. Monitor penglihatan mata
4. Monitor tanda dan gejala kelainan penglihatan
5. Monitor fungsi lapang pandang, penglihatan, visus klien
MONITORING VITAL SIGN :

1. Monitor TD, Suhu, Nadi dan pernafasan klien


2. Catat adanya fluktuasi TD
3. Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, Nadi, RR sebelum dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas Nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernafasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, brakikardi, peningkatan
sistolik)
Diagnosa Keperawatan : Ansietas b.d Perubahan pada status kesehatan

Tujuan :

 Anxiety self-control
 Anxiety level
 Coping
Kriteria Hasil :
28
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas.
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas.
 Vital sign dalam batas normal.
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivfitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan.
Intervensi :

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

1. Gunakan pendekatan yang menenangkan


2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
4. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stres
5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
6. Dorong keluarga untuk menemani anak
7. Lakukan back / neck rub
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
9. Identifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
12. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
13. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b.d Kurang informasi tentang penyakit

Tujuan :

 Knowledge : Disease Process


 Knowledge : Health Hehavior
Kriteria Hasil :

 Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis, dan
program pengobatan
 Pasien dan keluarga mampu melaksakan prosedur yang dijelaskan secara benar

29
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya
Intervensi :

Teaching : Disease Proses

1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang
spesifik
2. Jelaskan patofisiologidari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
4. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
5. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
6. Hindari jaminan yang kosong
7. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang
tepat
8. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi
dimasa yang akan datang dan ata proses pengontrolan penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
10. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara
yang tepat atau diindikasikan
11. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas local, dengan cara yang tepat
12. Intruksikan pasien mengenal tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat
Diagnosa Keperawatan : Nyeri b.d Luka pasca operasi

Tujuan :

 Pain Level
 Pain control
 Comfort level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam Pasien tidak mengalami nyeri, dengan
kriteria hasil:
30
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
 Tidak mengalami gangguan tidur
Intervensi :

1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,


frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/
dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan : Resiko tinggi terhadap cidera b.d Keterbatasan penglihatan

Tujuan :

 Risk Kontrol
Kriteria Hasil :

 Klien terbebas dari cedera


 Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cedera
31
 Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku personal
 Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
 Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
 Mampu mengenali perubahan status kesehatan
Intervensi :

Environment Management (Manajemen lingkungan)

1. Sediakan Iingkungan yang aman untuk pasien


2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan fungsi kognitif
pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan perabotan)
4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
9. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
10. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
11. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya perubahan status
kesehatan dan penyebab penyakit.
Diagnosa Keperawatan : Risiko infeksi b.d Prosedur invansif ( operasi katarak )

Tujuan :

 Immune Status
 Knowledge : Infection control
 Risk control
Kriteria Hasil:

 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


 Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta
penatalaksanaannya

32
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi :

Infection Control (Kontrol infeksi)

1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain


2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
9. Tingktkan intake nutrisi
10. Berikan terapi antibiotik bila perlu
11. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
12. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
13. Monitor kerentangan terhadap infeksi
14. Batasi pengunjung
15. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
16. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
17. Dorong masukan cairan
18. Dorong istirahat
19. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
20. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
21. Ajarkan cara menghindari infeksi
22. Laporkan kecurigaan infeksi
23. Laporkan kultur positif

33
B. Sistem Pendengaran

Palumbo menyatakan bahwa “pendengaran adalah suatu kecacatan dan sering diabaikan
yang dapat secara dramatis mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Penurunan pendengaran
adalah masalah kesehatan kedua yang paling umum yang mempengaruhi lansia. Beberapa orang
menyatakan bahwa hal tersebut memiliki efek yang bergerak seperti gelombang yang dapat
memengaruhi area dasar tertentu dari penampilan manusia, menurunkan kenikmatan hidup dan
menurunkan interaksi dengan orang lain dan rekreasi di luar rumah.

Pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun, antara 28 dan 55% mengalami gangguan
pendengaran dalam derajat yang berbeda. Diantara mereka yang berusia lebih dari 80tahun, 66%
mengalami gangguan pendengaran. Diperkirakan 90% orang yang berada dalam institusi
mengalami masalah pendengaran.

Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis. Mhoon, menggambarkan


fenomena tersebut sebagai “suatu penyakit bilateral pada pendengaran yang berkembang secara
progresif lambat terutama memengaruhi nada tinggi dan dihubungkan dengan penuaan”
penyebabnya tidak diketahui, tetapi berbagai faktor yang telah diteliti : nutrisi, faktor genetik,
suara gaduh atau ribut, hipertensi, stres emosional, dan arteriosklerosis. Penurunan pendengaran
terutama berupa sensorineural, tetapi juga dapat berupa komponenkonduksi yang berkaitan
dengan presbikusis penurunan pendengaran sensorineural terjadisaat telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik (saraf pendengaran, batang otak, atau jalur kortikal
pendengaran). Penyebab dari perubahankonduksi tidak diketahui, tetapi masih mungkin
berkaitandengan perubahan pada tulang ditelinga bagian tengah, dalam bagian koklear, atau di
dalam tulang mastoid.

Dalam presbikusis, suara konsonan dengan nada tinggi merupakan yang pertama
kaliterpengaruh, dan perubahan dapat terjadi secara bertahap. Karena perubahan-
perubahanterjadi secara lambat, klien mungkin tidak langsung meminta bantuan yang dalam hal
inisangat penting sebab semakin cepat kehilangan pendengaran dapat di detifikasi dan alat bantu
diberikan, semakin besar untuk kemungkinan berhasil. Karena kehilangan pendengaran pada
umumnya berlangsung secara bertahap, seseorang mungkin tidak menyadari perubahannya
sampai diberitahu oleh seseorang yang mengatakan bahwa iamenjadi “susah mendengar”.

34
Dua masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah ketidak
mampuanuntuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk mendeteksi suara dengan
nadafrekuensi yang tinggi seperti beberapa konsonan (misalnya f, s, sk, sh, dan l). Perubahan-
perubahan ini dapat terjadi pada salah satu atau kedua telinga. Berbagai alat yang tersediasaat ini
digunakan untuk memeriksa adanya gangguan pendengaran seperti otoskop dengan pemeriksaan
histologi, mikrobiologi, dan biokimia, secara pemeriksaan radiologi.Pemeriksaan otologis dan
audiologis yang seksama sangat penting dilakukan.

Asuhan Keperawatan Gangguan Pendengaran Pada Lansia (Presbiakusis)

1. Definisi

Presbiakusis adalah ketulian setelah beberapa waktu akibat mekanisme penuaan

dalam telinga dalam.

2. Etiologi

 Proses degenerasi tulang-tulang pendengaran bagian dalam


 Faktor intrinsik seperti genetik
3. Patofisiologi

 Presbiakusis sensori. Pada bentuk ini mula-mula hilang adalah patologi sel-
sel rambut. Hal ini kemudian akan menyebabkan gangguan neuron-neuron kokhlea. Biasanya
melibatkan hilangnya sel-sel rambut pada gelang basal kokhlea dan menyebabkan ketulian nada
tinggi.

 Neuro presbiakusis yang terganggu yaitu neuron-neuron kokhlea. Pada kasus ini yang
mengalami gangguan adalah pengertian terhadap kata-kata. Presbiakusis ceria: proses
degenerasi yang dapat menyebabkan tuli sedang hingga berat, dalam hal ini stria
vaskularis tampak berdegenerasi dan menciut.
 Kokhlea konduktif: populasi sel-sel rambut dan neuron yang normal tanpa adanya
kerusakan stria vaskularis, namun ketulian diduga berkaitan dengan keterbatasan gerak
membrana basilaris.
4. Manifestasi Klinis
35
 Mengalami gangguan pendengaran pada saat berkomunikasi
 Pusing yang disebabkan oleh gangguan vestibular ditandai oleh mual, sensasi berputar
dan penglihatan kabur.
5. Penatalaksanaan

 Pemberian alat bantu pendengaran.


6. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan degenerasi tulang-tulang pendengaran


bagian dalam
2. Harga diri rendah berhubungan dengan fungsi pendengaran menurun
3. Kurang aktivitas berhubungan dengan menarik diri llingkungan
7. Intervensi

Diagnosa Keperawatan : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan degenerasi


tulang-tulang pendengaran bagian dalam

Tujuan : Komunikasi verbal klien berjalan dengan baik

Kriteria hasil

Setelah dilakulan tindakan keperawatan 1x24 jam klien dapat:

 Menerima pesan melalui metode alternatif


 Mengerti apa yang diungkapkan
 Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan untuk berkomunikasi
 Menggunakan alat bantu dengar dengan cara yang tepat.
Intervensi :

1. Kaji tingkat kemampuan klien dalam penerimaan pesan


2. Periksa apakah ada serumen yang mengganggu pendengaran
3. Bicara dengan pelan dan jelas
4. Gunakan alat tulis pada waktu menyampaikan pesan
5. Beri dan ajarkan klien pada penggunaan alat bantu dengar
6. Pastikan alat bantu dengar berfungsi dengan baik
36
7. Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan telinga.
Diagnosa Keperawatan : Harga diri rendah berhubungan dengan fungsi pendengaran
menurun

Tujuan : Klien dapat menerima keadaan dirinya

Kriteria hasil

Secara bertahap klien dapat:

 Mengenal perasaan yang menyebabkan perilaku menarik diri


 Berhubungan sosial dengan orang lain
 Mendapat dukungan keluarga mengembangkan kemampuan klien untuk
berhubungan dengan orang lain.

Membina hubungan saling percaya dengan perawat.

Intervensi :

1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya


2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab klien tidak mau
bergaul atau menarik diri
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang
mungkin.
4. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
5. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan dan kerugian dari perilaku menarik diri
6. Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain
7. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai klien
8. Bina hubungan saling percaya dengan klien
9. Anjurkan anggota keluarga untuk secara rutin dan bergantian mengunjungi klien
10. Beri reinforcement positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga.
11. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip hubungan terapeutik
Diagnosa Keperawatan : Kurang aktivitas berhubungan dengan menarik diri llingkungan

Tujuan : Klien dapat melakukan aktivitas tanpa kesulitan


37
Kriteria hasil

Secara bertahap klien dapat:

 Menceritakan perasaan-perasaan bosan


 Melaporkan adanya peningkatan dalam aktivitas yang menyenangkan
 Menceritakan metoda koping terhadap perasaan marah atau depresi yang disebabkan oleh
kebosanan.
Intervensi :

1. Beri motivasi untuk dapat saling berbagi perasaan dan pengalaman


2. Bantu klien untuk mengatasi perasaan marah dari berduka
3. Variasikan rutinitas sehari-hari
4. Libatkan individu dalam merencanakan rutinitas sehari-hari
5. Rencanakan suatu aktivitas sehari-hari
6. Berikan alat bantu dengan dalam melakukan aktivitas
C. Sistem indra penciuman (Hidung)

Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang mudah
menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau
kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap
sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok,
obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas
terhadap bau. (Martomo,2015).

Beberapa gangguan penciuman meliputi :

 Anosmia, tidak bisa mendeteksi bau


 Hyposmia, penurunan kemampuan dalam mendeteksi bau
 Parosmia, perubahan persepsi pembauan meskipun terdapat sumber bau, biasanya bau
tidak enak
 Phantosmia, persepsi bau tanpa adanya sumber bau
 Agnosia, tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderita dapat
mendeteksi bau.
38
1. Asuhan Keperawatan Gangguan Penciuman Pada Lansia

2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan


2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu
makan menurun
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pola tidur tidak sehat.
3. Intervensi

Ajarkan pasien atau keluarganya untuk mencium aroma makanan sebelum makan dan
mencoba untuk mengingat bagaimana aromanya. Hal ini dapat memfasilitasi kemampuan untuk
mencium bau/aroma tertentu.

D. Sistem indera perasa (lidah)

Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah
tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan
yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila
atau kuncupkuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis,
asam, asin, dan pahit) berkurang. (Martono,2015).

Gangguan indera perasa dapat mengurangi kenikmatan hidup dan dapat menyebabkan
penderita menjadi tidak nyaman karena mempengaruhi kemampuan untuk menikmati makanan,
minuman, dan bau yang menyenangkan. Kelainan ini juga berpengaruh terhadap kemampuan
penderita untuk mengenali bahan kimia yang berbahaya, sehingga dapat menimbulkan akibat
yang serius.

Penurunan fungsi indera perasa pada lidah menyebabkan kepekaan terhadap rasa menurun
dengan akibat berkurangnya nafsu makan dan bertambahnya kecenderungan lansia untuk
menambah bumbu-bumbu seperti garam, gula, dan lain-lain secara berlebihan.

Beberapa gangguan indera perasa meliputi:

 Ageusia total, ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit dan asam.
 Ageusia parsial, kemampuan mengenali sebagian rasa saja
39
 Ageusia spesifik, ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada dzat tertentu
 Hipogeusia total, penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa
 Hipogeusia parsial, penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa
 Disgeusia, kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat
pencetus rasa.
1. Asuhan Keperawatan Gangguan Indera Perasa Pada Lansia

2. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan sensori-persepsi:pengecapan b.d gangguan resepsi / transmisi / integrasi


sensori sekunder terhadap proses penuaan atau penyakit pada sistem persarafan
2. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan sekunder
terhadap disgeusia / ageusia / hipogeusia
3. Intervensi

Perawat perlu mengajarkan anggota keluarga lansia bahwa lansia menyukai berbagai
makanan yang cukup rasa dan masih perlu dikunyah agar saat makan menjadi lebih
menyenangkan.

Lansia harus didukung untuk mengunyah makanan secara menyeluruh

 Manajemen nutrisi
 Manajemen gangguan makan
 Terapi relaksasi

E. Sistem indera peraba (kulit)

Merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional apabila terdapat gangguan
pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena
lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda
dan tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum terhadap lansia
tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia. (Martono,2015).

Perubahan fisik dan sistem perabaan :

40
 Kulit mengerut dan keriput akibat kehilangan jaringan lemak
 Permukaan kulit cenderung kusam, kasar dan bersisik (karena kehilangan proses
keratinasi serta perubahan ukuran dan bentuk sel epidermis)
 Timbul bercak pigmentasi akibat proses melanogenesis yang tidak merata pada
permukaan kulit sehingga tampak bintik-bintik atau noda cokelat
 Terjadi perubahan ada daerah sekitar mata, tumbuhnya kerut-kerut halus diujung mata
akibat lapisan kulit menipis
 Respon terhadap trauma menurun
 Mekanisme proteksi kulit menurun : (1) produksi serum menurun, (2) produksi vitamin D
menurun, (3) pigmentasi kulit terganggu.
1. Asuhan Keperawatan Gangguan Indera Peraba Pada Lansia

2. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko kerusakan integritas kulit


2. Kerusakan integritas kulit
3. Kerusakan integritas jaringan
4. Resiko infeksi
3. Intervensi

Rencana intervensi yang dapat dilakukan terkait kerusakan integritas kulit yaitu: mandi,
perawatan kaki, manajemen medikasi, manajemen pruritus dan manajemen nutrisi.

2.4.Proses Penuaan Sistem Integumen Pada Lansia


Menurut Reichel (2009), penuaan pada kulit dikategorikan menjadi dua yaitu penuaan
intrinsic dan penuaan ekstrinsik. Penuaan intrinsic adalah perubahan kulit yang terjadi akibat
proses penuaan secara kronologis atau normal, sedangan penuaan ektrinsik merupakan
perubahan kulit yang disebabkan oleh faktor lain seperti gaya hidyp, diet, radikal bebas, paparan
sinar UV dan kebiasaan lain. Secara structural, kulit yang tersusun atas tiga lapisan yaitu
epidermis, dermis dan jaringan subkutan akan mengalami perubahan akibat bertambahnya usia.
Secara fungsional kulit akan juga mengalami perubahan akibat degradasi sel-sel kulit.

A. Perubahan Epidermis

41
Stratum korneum akan mengalami penurunan jumlah lipid seiring bertambah usia, sel-sel
melanosit yang berfungsi memberikan warna pada kulit dan melindungi kulit dari sinar UV akan
mulai mengalami penurunan, selain itu juga sel-sel Langerhans yang berperan sebagai mkigrofag
menurun dan menyebabkan penurunan respon kekebal tubuh sehingga rentan terhadap infeksi.
Menurunnya protein dan filagrin dapat menyebabkan kulit tampak kering dan bersisik tertutama
pada bagian ektreminitas bawah.

B. Perubahan Dermis

Adanya penurunan ketebalan dan penurunan vaskularisasi serta komponen sel sedangkan
elastin mengalami peningkatan kuantitas namun menurun secara kualitas disebabkan
pertambahan usia dan faktor lingkungan (Miller,2012). Penurunan jumlah kolagen dan serat
elastis dapat meyebabkan kelemahan, hilangnya ketahanan, dan kerutan halus tampak pada kulit
yang menua juga akan menyebabkan penurunan turgor kulit.

C. Perubahan Jaringan Subkutan

Adanya perubahan pada jumlah dan distribusi lemak subkutan. Secara keseluruhan jumlah
lemak subkutan menurun secara bertahap. Selain itu, pertambahan usia juga mempengaruhi saraf
pada kulit yang berperan dalam mengenali sensasi tekanan, getaran, dan sentuhan.

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen Pada Lansia Dengan Xerotis

1. Definisi

Kulit kering (xerotis) merupakan kondisi dimana lapisan atas kulit mengalami kekurangan
kelembapan atau mengering (Black & Hawks, 2014, p. 795). Seiring bertambah usia, lapisan luar
kylit menjadi rapuh dan kering akibat berkurangnya jumlah pelembab alami kulit. Sumber utama
hidrasi bagi kulit adalah pelembab yang dihasilkan dari difusi vascular di bawah jaringan.

2. Etiologi

a. Hilangnya jumlah air pada kulit


b. Faktor lingkungan: udara dingin atau kering pada musim dingin
c. Penggunaan pembersih kulit yang dapat membuat kering (sabun,desinfektan, pelarut)
d. Jarang menggunakan pelembab
42
3. Tanda & Gejala

a. Erimatosa
b. Bersisik
c. Pecah-pecah secara halus
d. Pada kondisi berat, kulit terasa kencang, gatal, dan nyeri
4. Penatalaksanaan

Manajemen penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada kondisi xerotik yaitu hidrasi dan
melembabkan kulit ditambah dengan menghindari faktor iritan (Black & Hawks, 2014, p. 795).
Klien dengan kasus xerotik harus diajarkan mengenai perawatan kulit sehari-hari yang benar
untuk menangani kondisinya. Salah satunya yaitu perawatan kaki. Perawatan kaki merupakan
tindakan untuk mengidentifikasi dan merawat kaki untuk keperluan relaksasi.Kebersihan, dan
kesehatan kulit(Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),2018). Yang dapat dilakukan pada
perawatan kaki yaitu :

1. Perendaman, yang memiliki tujuan untuk melembabkan sehinggamembuat epidermis


yang kering menjadi lembut, yang membantupengangkatan krusta.
2. Balutan basah, yang digunakan segera setelah berendam dan oklusidapat
mengoptimalkan terapi hidrasi dan topikal; hal ini jugamendorong pendinginan kulit.
Diagnosa Keperawatan

1. Risiko gangguan integritas kulit dengan faktor risiko suhu lingkungan yang ekstrim,
bahan kimiairitatif, kelembaban,proses penuaan
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gangguan stimulus lingkungan
3. Risiko infeksi dengan faktor resiko kerusakan integritas kulit
Intervensi

1. Risiko gangguan integritas kulit dengan faktor risiko suhu lingkungan yang ekstrim, bahan
kimiairitatif, kelembaban,proses penuaan

a. Identifikasi perawatan kaki yang biasa dilakukan


b. Periksa adanya iriasi,retak, lesi, kapalan, kelainan bentuk atau edema
c. Monitor tingkat kelembaban kaki

43
d. Keringkan sela-sela jari kaki
e. Berikan pelembab kaki sesuai kebutuhan
f. Bersihkan dan atau potong kuku jika perlu
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gangguan stimulus lingkungan

a. Identifikasi kondisi kulit yang akan dilakukan kompres dingin


b. Pilih metode kompres yang nyaman dan mudah didapat
c. Pilih lokasi kompres
d. Balut alat kompres dengankain pelindung
e. Lakukan kompres dinginpada daerah yang cedera
3. Risiko infeksi dengan faktor resiko kerusakan integritas kulit

a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik


b. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
c. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
d. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
e. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2.5.Proses Penuaan Sistem Kardiovaskuler Pada Lansia
Perubahan struktur jantung dan sistem vaskular menyebabkan penurunan kemampuan untuk
berfungsi secara efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal dan kaku, jantung serta arteri
kehilangan elastisitasnya. Tumpukan kalsium dan lemak berkumpul didalam dinding arteri, vena
menjadi sangat berkelokkelok. 11 Meskipun fungsi dijaga dalam keadaan normal, tetapi sistem
kardiovaskuler berkurang cadangannya dan kemampuannya dalam merespon stress menurun.
Curah jantung saat istirahat (frekuensi jantung x volume sekuncup) berkurang sekitar 1% per
tahun setelah usia 20. Dalam kondisi stress, baik curah jantung maksimum dan denyut jantung
maksimum juga menurun tiap tahun Kemampuan arteri dalam melakukan fungsinya berkurang
sampai 50%, pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi
perubahan fungsional yaitu kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan sistol dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan sensitifitas baroreseptor
mengakibatkan terjadinya hipotensi postural. Curah jantung (cardiac output) berkurang akibat
penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokonstriksi dalam
mencegah terjadinya penggumpalan darah (pooling of blood) menurun sehingga respon terhadap
44
hipoksia menjadi lambat (Pudjiastuti & Utomo, 2003 dalam Suri, 2017). Penggunaan oksigen
pada tingkat maksimal (VO2 maks) berkurang sehingga kapasital vital paru menurun.

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Kardiovaskuler Pada Lansia

1. Definisi

Menurut WHO, hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg atau tekanan darah diatas 160/90
mmHg. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah
dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari suatu periode. Hal ini bila arteriole-
arteriole konstriksi. Konstriksi arteriole membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan
melawan dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut
dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah. ( Wajan J.U, 2011 )

2. Faktor Resiko

Menurut Aulia, R. (2017), faktor risiko hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :

1) Faktor yang tidak dapat diubah Faktor yang tidak dapat berubaha adalah :

a. Riwayat Keluarga Seseorang yang memiliki keluarga seperti, ayah, ibu, kakak
kandung/saudara kandung, kakek dan nenek dengan hipertensi lebih berisiko
untuk terkena hipertensi.
b. Usia Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada
usia lebih dari 55 tahun.
c. Jenis Kelamin Dewasa ini hipertensi banyak ditemukan pada pria daripada wanita.
d. Ras/etnik Hipertensi menyerang segala ras dan etnik namun di luar negeri hipertensi
banyak ditemukan pada ras Afrika Amerika daripada Kaukasia atau Amerika
Hispanik.
2) Faktor yang dapat diubah Kebiasaan gaya hidup tidak sehat dapat meningkatkan hipertensi
antara lain yaitu :

a. Merokok

45
b. Kurang aktifitas fisik
c. Konsumsi Alkohol
d. Kebiasaan minum kopi
e. Kebiasaan konsumsi makanan banyak mengandung garam
3. Manifestasi Klinik

Menurut Tambayong (dalam Nurarif A.H., & Kusuma H., 2016), tanda dan gejala pada
hipertensi dibedakan menjadi :

1. Tidak ada gejala Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa.
Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan darah tidak
teratur.
2. Gejala yang lazim Seing dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataanya ini merupakan gejala terlazim
yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis. Beberapa pasien
yang menderita hipertensi yaitu : a) Mengeluh sakit kepala, pusing b) Lemas, kelelahan
c) Sesak nafas d) Gelisah e) Mual f) Muntah g) Epistaksis h) Kesadaran menurun
4. Penatalaksanaan

Non Farmakologi

Terapi non farmakologi untuk penanganan hipertensi berupa anjuran modifikasi gaya hidup.
Pola hidup sehat dapat menurunkan darah tinggi. Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda
pada pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular rendah. Jika
dalam 4-6 bulan tekanan darah belum mencapai target atau terdapat faktor risiko penyakit
kardiovaskular lainnya maka pemberian medikamentosa sebaiknya dimulai.

Rekomendasi terkait gaya hidup adalah sebagai berikut :

 Penurunan berat badan. Target penurunan berat badan perlahan hingga mencapai berat
badan ideal dengan cara terapi nutrisi medis dan peningkatan aktivitas fisik dengan
latihan jasmani

46
 Mengurangi asupan garam. Garam sering digunakan sebagai bumbu masak serta
terkandung dalam makanan kaleng maupun makanan cepat saji. Diet tinggi garam akan
meningkatkan retensi cairan tubuh. Asupan garam sebaiknya tidak melebihi 2 gr/ hari.

 Diet. Diet DASH merupakan salah satu diet yang direkomendasikan. Diet ini pada intinya
mengandung makanan kaya sayur dan buah, serta produk rendah lemak.Pemerintah
merekomendasikan diet hipertensi berupa pembatasan pemakaian garam dapur ½ sendok
teh per hari dan penggunaan bahan makanan yang mengandung natrium seperti soda kue.
Makanan yang dihindari yakni otak, ginjal, paru, jantung, daging kambing, makanan
yang diolah menggunakan garam natrium (crackers, kue, kerupuk, kripik dan makanan
kering yang asin), makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, kornet, buah-
buahan dalam kaleng), makanan yang diawetkan, mentega dan keju, bumbu-bumbu
tertentu (kecap asin, terasi, petis, garam, saus tomat, saus sambal, tauco dan bumbu
penyedap lainnya) serta makanan yang mengandung alkohol (durian, tape).

 Olah raga. Rekomendasi terkait olahraga yakni olahraga secara teratur sebanyak 30
menit/hari, minimal 3 hari/ minggu.

 Mengurangi konsumsi alkohol.Pembatasan konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas per
hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita dapat menurunkan hipertensi.

 Berhenti merokok. Merokok termasuk faktor risiko penyakit kardiovaskular. Oleh karena
itu penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok demi menurunkan risiko
komplikasi penyakit kardiovaskular.

Asuhan Keperawatan Gangguan Kardiovaskuler Pada Lansia

Diagnosa Keperawatan

1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan afterload,


vasokontriksi, iskemia miokardia, hipertropi ventricular
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilisasi, kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
47
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular serebral.
4. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan
sehubungan dengan kebutuhan fisik, pola hidup monoton, keyakinan budaya.
Intervensi

1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan afterload, vasokontriksi,
iskemia miokardia, hipertropi ventricular

 Pantau tekanan darah, ukur pada kedua tangan/ paha untuk evaluasi awal. Gunakan
ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat.
 Catat keberadaan serta kualitas denyutan sentral dan perifer.
 Auskultasi bunyi jantung dan bunyi nafas.
 Amati warna kulit, kelembapan, suhu, dan masa pengisian kapiler.
 Catat edema umum atau tertentu
 Kolaborasi : Berikan obat sesuai indikasi : a. Diuretik tiazid, misal kolorotiazid (diuril),
hidroklorotiazid (esidrix atau hidrodiuril), bendroflumentiazid (naturetin)
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilisasi, kelemahan umum, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.

 Bantu klien mengidentifikasi faktor yang meningkatkan atau menurunkan toleransi


aktivitas.
 Bantu klien mengidentifikasi faktor yang meningkatkan atau menurunkan toleransi
aktivitas.
 Ajarkan klien menggunakan daftar latihan harian mencatat aktivitas latihan dan
responnya (nadi, bernafas dangkal, cemas).
 Ajarkan strategi koping kognitif (perbandingan, relaksasi, pengendalian bernafas).
 Ajarkan teknik penghematan energy (menggunakan kursi saat mandi, duduk saat
menyisir, menyikat gigi, dan melakukan aktivitas dengan perlahan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vascular serebral.

 Kaji keadaan umum klien dan TTV.


 Kaji tingkat nyeri klien.

48
 Kaji lokasi intensitas dan skala nyeri.
 Bantu klien dalam ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
 Berikan penjelasan cara untuk meminimalkan vasokontriksi mengurangi mengejan saat
BAB, batuk panjang, dan bungkuk.
 Kolaborasi Pemberian obat penurun tekanan darah (captopril 1x1) sesuai program
4. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan
sehubungan dengan kebutuhan fisik, pola hidup monoton, keyakinan budaya.

 Kaji adanya alergi makanan.


 Monitor adanya penurunan BB.
 Monitor adanya tanda-tanda kekurangan nutrisi.
 Monitor intake nutrisi klien
 Beri informasi pada klien pentingnya nutrisi.
 Kolaborasi
 Rujuk ke ahli gizi untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi.
2.6.Proses Penuaan Sistem Perkemihan Pada Lansia
Pada sistem perkemihan, lansia mengalami perubahan secara fisiologis, seperti penurunan
kapasitas kandung kemih, peningkatan kontraksi kandung kemih yang menyebabkan ekskresi
urine secara tidak sengaja, peningkatan produksi urine di malam hari dan pada pria, terjadinya
pembesaran kelenjar prostat (Meiner, 2015). Gangguan pada sistem persarafan, adanya kontraksi
selama pengisian dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna juga dialami lansia
(Touhy & Jett, 2010). Akibat dari perubahan fungsi normal berkemih, lansia mengalami
gangguan dalam mengontrol pengeluaran urinenya yang biasa disebut sebagai inkontinensia
(Meiner, 2015).

Perubahan yang terjadi pada lansia dengan sistem perkemihan yaitu penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang disebabkan oleh penurunan hormon esterogen,
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine, otot–otot menjadi lemah, kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi berkemih meningkat, perubahan letak
uterus akan menarik otot–otot vagina dan bahkan kandung kemih dan rectum seiring dengan

49
proses penurunan ini, masalah tekanan dan perkemihan (inkontinensia urine) akibat pergeseran
kandung kemih.

Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan Pada Lansia

Perempuan usia lanjut tetap mempunyai risiko lebih tinggi daripada laki‐laki untuk
menderita ISK. Demikian pula kelompok usia lanjut yang tinggal di panti, biasanya lebih mudah
menderita ISK daripada mereka yang masih mampu tinggal di tengah‐tengah masyarakat.
Mereka dengan status gizi kurang memiliki resiko ISK sebanyak 8‐12 kali lebih tinggi
dibandingkan mereka dengan status gizi normal.

1. Definisi

Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan infeksi yang berada pada organ sistem berkemih,
seperti ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Risiko ISK lebih besar pada perempuan
daripada laki-laki. ISK dapat berupa infeksi ginjal (pielonefritis), infeksi kandung kemih
(sistitis), atau infeksi uretra (uretritis). Yang paling sering ditemukan adalah sistitis dan uretritis.

2. Etiologi

Biasanya bakteri enteric, terutama Escherichia coli pada wanita. Gejala bervariasi
tergantung dari variasi jenis bakteri tersebut. Pada pria dan pasien di rumah sakit, 30 – 40%
disebabkan proteus, stapilokok, dan bahkan pseudomonas. Bila ditemukan, kemungkinan besar
terdapat kelainan salauran kemih. Namun harus diperhitungkan kemungkinan kontaminasi jika
ditemukan lebih dari satu organisme. Selain itu terdapat factor-faktor predisposisi yang
mempermudah terjadinya ISK yaitu :

1. Bendungan aliran urin : anomaly congenital, batu saluran kemih, oklusi ureter (sebagian
atau total).
2. Refluks Vesikoureter
3. Urin sisa dalam buli-buli karena hipertropi prostate
4. Penyakit metabolic (diabetes, gout, batu)
5. Peralatan kedokteran (terutama kateter tinggal)
6. Kehamilan
7. Jenis kelamin
50
8. Penyalahgunaan analgesic secara kronik
9. Penyakit ginjal
10. Personal Hygien
3. Manifestasi Klinik

Banyak orang yang tidak menyadari dirinya terinfeksi ISK karena memang kondisi ini tidak
selalu menyebabkan tanda atau gejala. Meski begitu, ada beberapa tanda atau gejala umum yang
mengikuti kondisi ini. Apa saja?

 Anyang-anyangan atau rasa ingin buang air kecil terus menerus


 Sensasi terbakar saat buang air kecil Sering buang air kecil Urine tampak keruh Urine
berwarna merah, merah muda, atau kecokelatan (tanda ada darah dalam urine)
 Urine berbau tajam Demam dan menggigil Nyeri atau tekanan di punggung atau perut
bagian bawah Pada pria, gejala ISK sering disertai dengan rasa nyeri di bagian dubur.
 Sedangkan pada wanita, gejala juga bisa meliputi nyeri panggul
4. Diagnosa

1. Infeksi berhubungan dengan masuknya kuman ke kandung kemih


2. Nyeri berhubungan dengan infeksi saluran kemih
3. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan nokturia) yang
berhubungan dengan infeksi saluran kemih
4. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan invasi kuman ke dalam tubuh
5. Intervensi

Diagnosa Keperawatan : Infeksi berhubungan dengan masuknya kuman ke kandung


kemih

Intervensi :

 kaji TTV
 catat karakteristik urine
 tampung urine mid sternum
 anjurkan mandi menggunakan sabun anti bakteri
 hindari mandi rendam
51
 kolaborasi untuk pemberian antibiotic 3-5 hari parenteral dan obat penurun panas.
Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan infeksi saluran kemih

Intervensi :

 kaji sifat, intensitas, lokasi, lamanya dan factor pencetus serta penurun nyeri
 pantau urine terhadap perubahan warna, bau dan pola berkemih, masukan dan keluaran
setiap 8 jam serta hasil urinalisis ulang.
Diagnosa Keperawatan : Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, dan
nokturia) yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
Intervensi :
 berikan kenyamanan non farmakologis : Bantu pasien mengambil posisi yang nyaman
 kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
 berikan antibiotic
 anjurkan pasien untuk meningkatkan masukan cairan peroral untuk mengencerkan urine.
 Kaji haluan urine
 Ukur dan catat haluan urine setiap kali berkemih
 Bantu pasien ke kamar kecil dan memakai pispot atau urinal
 Palpasi kandung kemih setiap 4 jam
 Menghindari minum 2-3 jam sebelum tidur dan anjurkan untuk berkemih sebelum tidur.

Diagnosa Keperawatan : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan invasi kuman ke


dalam tubuh

Intervensi :

 Kaji tanda-tanda vital


 Beri kompres air hangat
 Anjurkan pasien untuk minum air
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian anti pireutik

52
BAB III

PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua berjalan secara terus-menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan setiap individu tidak
sama cepatnya. Menua bukan status penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh.

Menua (aging) merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies
secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ
dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu.

53
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/3657/4/Chapter2.pdf

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20434726-PR-Zuriati%20Rahmi.pdf

https://www.academia.edu/43474118/
ASUHAN_KEPERAWATAN_LANJUT_USIA_GANGGUAN_SISTEM_INTEGUMEN_EKSI
M_XEROTIK_PADA_KAKI_DENGAN_INTERVENSI_PERAWATAN_KAKI

http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/397/1/Selesai.pdf

https://id.scribd.com/doc/117505873/Perubahan-Pada-Sistem-Sensori-Persepsi-Karena-Proses-
Penuaan

https://id.scribd.com/presentation/430894791/Askep-Sistem-Indera-Pada-Lansia

http://makalahcyber.blogspot.com/2012/08/askep-presbiakusis.html?m=1

https://rizkiperawatmuda.blogspot.com/2017/10/keperawatan-gerontik-asuhan-
keperawatan.html?m=1

http://docshare04.docshare.tips/files/20687/206877484.pdf

http://r2kn.litbang.kemkes.go.id:8080/jspui/handle/123/5828

54
55

Anda mungkin juga menyukai