Anda di halaman 1dari 19

KMB1

ASUHAN
KEPERAWATAN
“Ca. NASOFARING DAN Ca. LARING”

OLEH
AGUSTINA JI
A0A0100468

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


KENDEDES MALANG
DIII KEPERAWATAN
2011-2012
ASKEP CA NASOFARING

I. Pengertian
Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal
dari epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring.
Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di
THT. Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau
stadium lanjut.
II. Anatomi Nasofaring
Nasofaring letaknya tertinggi di antara bagian-bagian lain dari faring,
tepatnya di sebelah dorsal dari cavum nasi dan dihubungkan dengan cavum
nasi oleh koane. Nasofaring tidak bergerak, berfungsi dalam proses
pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang dihasilkan oleh laring.
Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai berikut:
Atas : Basis kranii.
Bawah : Palatum mole
Belakang : Vertebra servikalis
Depan : Koane
Lateral : Ostium tubae Eustachii, torus tubarius, fossa rosenmuler
(resesus faringeus).
Pada atap dan dinding belakang Nasofaring terdapat
adenoid atau tonsila faringika.
III. Etiologi
Kaitan Virus Epstein Barr dengan ikan asin dikatakan sebagai
penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk dalam tubuh
dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka
waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator kebiasaan
untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-
kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini
sehingga menimbulkan Ca Nasofaring. Mediator yang berpengaruh untuk
timbulnya Ca Nasofaring :
1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamine.
2. Keadaan social ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.
3. Sering kontak dengan Zat karsinogen ( benzopyrenen, benzoantrance,
gas kimia, asap industri, asap kayu, beberapa ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia)
5. Radang kronis nasofaring
6. Profil HLA
IV. Tanda dan Gejala
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomic nasofaring terhadap
hidung, tuba Eustachii dan dasar tengkorak
 Gejala Hidung :
1. Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi
perdarahan.
2. Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor
kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek
kronis, ingus kental, gangguan penciuman.
Gejala telinga
1. Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula dofosa Rosen
Muler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara
tuba ( berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
2. Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
Gejala lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker
dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini
sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak
benjolan dileher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan
kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit
digerakkan.
V. Pembagian Karsinoma Nasofaring
Menurut Histopatologi :
 Well differentiated epidermoid carcinoma.
- Keratinizing
- Non Keratinizing.
 Undiffeentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
- Transitional
- Lymphoepithelioma.
 Adenocystic carcinoma
Menurut bentuk dan cara tumbuh
 Ulseratif
 Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip.
 Endofilik : Tumbuh di bawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari
jaringan sekitar (creeping tumor)
VI. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
Tipe WHO 1
 Karsinoma sel skuamosa (KSS)
 Deferensiasi baik sampai sedang.
 Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
Tipe WHO 2
 Karsinoma non keratinisasi (KNK).
 Paling banyak pariasinya.
 Menyerupai karsinoma transisional
Tipe WHO 3
 Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
 Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindel.
 Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
VII. Perluasan Tumor ke Jaringan Sekitar
1. Perluasan ke atas : ke N.II dan N. VI, keluhan diplopia, hipestesi pipi
2. Sindrom petrosfenoid terjadi jika semua saraf grup anterior terkena
dengan gejala khas :
Neuralgia trigeminal unilateral
Oftalmoplegia unilateral
Amaurosis
Gejala nyeri kepala hebat akibat penekanan tumor pada duramater
3. Perluasan ke belakang : N.VII-N.XII, trismus, sulit menelan,
hiper/hipo/anestesi palatum,faring dan laring,gangguan respirasi dan
salvias, kelumpuhan otot trapezius, stenokleidomastoideus,
hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
4. Manifestasi kelumpuhan :
 N IX: kesulitan menelan akibat hemiparese otot konstriktor
superior serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang lidah.
 N X : Hiper / hipo / anestesi mukosa palatum mole, faring dan
laring disertai gangguan respirasi dan salvias.
 N XI : kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius, sterno – kleido
mastoideus, serta hemiparese palatum mole.
 N XII : hemiparese dan atropi sebelah lidah.
VIII. Penentuan Stadium :
TUMOR SIZE (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih
terbatas pada rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang
tengkorak atau saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesarantetapi homolateral dan masih bisa
digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat
digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun
bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
Stadium I : T1 No dan Mo
Stadium II : T2 No dan Mo
Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan Mo atau T3 dan No dan Mo
Stadium IV : T4 dan No/N1 dan Mo atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3
dan Mo atau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1
IX. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf
otak, manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
X. Penatalaksanaan
a. Radioterapi : hal yang perlu dipersiapkan adalah KU pasien baik,
hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu.
b. Kemoterapi
c. Pembedahan
XI. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan).
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan pemasukan nutrisi..
3. Risiko infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
4. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d
misintepretasi informasi, ketidak familiernya sumber informasi.
5. Harga diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan
penyakit.
XII. Perencanaan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan askep Manajemen nyeri :
selama 3 x 24 jam tingkat 1. Lakukan pegkajian nyeri secara
kenyamanan klien komprehensif termasuk lokasi,
meningkat, dan dibuktikan karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan level nyeri: klien kualitas dan faktor presipitasi.
dapat melaporkan nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal dari
pada petugas, frekuensi ketidaknyamanan.
nyeri, ekspresi wajah, dan 3. Gunakan teknik komunikasi
menyatakan kenyamanan terapeutik untuk mengetahui
fisik dan psikologis, TD pengalaman nyeri klien
120/80 mmHg, N: 60-100 sebelumnya.
x/mnt, RR: 16-20x/mnt 4. Kontrol faktor lingkungan yang
Control nyeri dibuktikan mempengaruhi nyeri seperti suhu
dengan klien melaporkan ruangan, pencahayaan,
gejala nyeri dan control kebisingan.
nyeri. 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis)..
7. Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
10. Kolaborasi dengan dokter bila
ada komplain tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
11. Monitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan
sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas analgetik,
tanda dan gejala efek samping.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari selama 3×24 jam klien 1. kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh menunjukan status nutrisi 2. Kaji adanya alergi makanan.
adekuat dibuktikan dengan 3. Kaji makanan yang disukai oleh
BB stabil tidak terjadi mal klien.
nutrisi, tingkat energi 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat, masukan nutrisi penyediaan nutrisi terpilih sesuai
adekuat dengan kebutuhan klien.
5. Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan.
3. Monitor lingkungan selama
makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan dalam
proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak
dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan kalori.
3 Risiko infeksi Setelah dilakukan askep Konrol infeksi :
selama 3 x 24 jam tidak 1. Bersihkan lingkungan setelah
terdapat faktor risiko dipakai pasien lain.
infeksi pada klien 2. Pertahankan teknik isolasi.
dibuktikan dengan status 3. Batasi pengunjung bila perlu.
imune klien adekuat: bebas 4. Intruksikan kepada keluarga untuk
dari gejala infeksi, angka mencuci tangan saat kontak dan
lekosit normal (4-11.000), sesudahnya.
5. Gunakan sabun anti miroba untuk
mencuci tangan.
6. Lakukan cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan keperawatan.
7. Gunakan baju dan sarung tangan
sebagai alat pelindung.
8. Pertahankan lingkungan yang
aseptik selama pemasangan alat.
9. Lakukan perawatan luka dan
dresing infus setiap hari.
10. Tingkatkan intake nutrisi.
11. berikan antibiotik sesuai
program.
Proteksi terhadap infeksi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal.
2. Monitor hitung granulosit dan
WBC.
3. Monitor kerentanan terhadap
infeksi..
4. Pertahankan teknik aseptik untuk
setiap tindakan.
5. Pertahankan teknik isolasi bila
perlu.
6. Inspeksi kulit dan mebran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
7. Inspeksi kondisi luka, insisi
bedah.
8. Ambil kultur jika perlu
9. Dorong masukan nutrisi dan
cairan yang adekuat.
10. Dorong istirahat yang cukup.
11. Monitor perubahan tingkat
energi.
12. Dorong peningkatan mobilitas
dan latihan.
13. Instruksikan klien untuk minum
antibiotik sesuai program.
14. Ajarkan keluarga/klien tentang
tanda dan gejala infeksi.
15. Laporkan kecurigaan infeksi.
16. Laporkan jika kultur positif.
4 Kurang Setelah dilakukan askep Teaching : Dissease Process
pengetahuan selama 3×24 jam, 1. Kaji tingkat pengetahuan klien
tentang penyakit pengetahuan klien dan keluarga tentang proses
dan perawatan nya meningkat. penyakit
Knowledge : Illness Care 2. Jelaskan tentang patofisiologi
dg kriteria : penyakit, tanda dan gejala serta
1 Tahu Diitnya penyebab yang mungkin
2 Proses penyakit 3. Sediakan informasi tentang
3 Konservasi energi kondisi klien
4 Kontrol infeksi 4. Siapkan keluarga atau orang-
5 Pengobatan orang yang berarti dengan
6 Aktivitas yang dianjurkan informasi tentang perkembangan
7 Prosedur pengobatan klien
8 Regimen/aturan 5. Sediakan informasi tentang
pengobatan diagnosa klien
9 Sumber-sumber kesehatan 6. Diskusikan perubahan gaya hidup
10.Manajemen penyakit yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi di masa
yang akan datang dan atau
kontrol proses penyakit
7. Diskusikan tentang pilihan
tentang terapi atau pengobatan
8. Jelaskan alasan dilaksanakannya
tindakan atau terapi
9. Dorong klien untuk menggali
pilihan-pilihan atau memperoleh
alternatif pilihan
10. Gambarkan komplikasi yang
mungkin terjadi
11. Anjurkan klien untuk mencegah
efek samping dari penyakit
12. Gali sumber-sumber atau
dukungan yang ada
13. Anjurkan klien untuk melaporkan
tanda dan gejala yang muncul
pada petugas kesehatan
14. kolaborasi dg tim yang lain.
5 Harga diri rendah Setelah dilakukan askep PENINGKATAN HARGA DIRI
selama 3×24 jam klien 1. Monitor pernyataan pasien
menerima keadaan dirinya tentang harga diri
Dengan criteria : 2. Anjurkan pasien utuk
 Mengatakan mengidentifikasi kekuatan
penerimaan diri & 3. Anjurkan kontak mata jika
keterbatasan diri berkomunikasi dengan orang lain
 Menjaga postur yang 4. Bantu pasien mengidentifikasi
terbuka respon positif dari orang lain.
 Menjaga kontak mata 5. Berikan pengalaman yang
 Komunikasi terbuka meningkatkan otonomi pasien.
 Menghormati orang 6. Fasilitasi lingkungan dan
lain aktivitas meningkatkan harga
 Secara seimbang dapat diri.
berpartisipasi dan 7. Monitor frekuensi pasien
mendengarkan dalam mengucapkan negatif pada diri
kelompok sendiri.
 Menerima kritik yang 8. Yakinkan pasien percaya diri
konstruktif dalam menyampaikan
pendapatnya
 Menggambarkan
9. Anjurkan pasien untuk tidak
keberhasilan dalam
mengkritik negatif terhadap
kelompok social
dirinya
 Menggambarkan
10. Jangan mengejek / mengolok –
kebanggaan terhadap
olok pasien
diri
11. Sampaikan percaya diri terhadap
kemampuan pasien mengatasi
situasi
12. Bantu pasien menetapkan tujuan
yang realistik dalam mencapai
peningkatan harga diri.
13. Bantu pasien menilai kembali
persepsi negatif terhadap dirinya.
14. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan tanggung jawab
terhadap dirinya.
15. Gali alasan pasien mengkritik diri
sendiri
16. Anjurkan pasien mengevaluasi
perilakunya.
17. Berikan reward kepada pasien
terhadap perkembangan dalam
pencapaian tujuan
18. Monitor tingkat harga diri
A. Pengertian
Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra
glotik, tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus
piriformis (Glotis : tumor pada korda vokalis , Subglotis : tumor dibawah
korda vokalis).
B. Patofisiologi
Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun.
Kebanyakan pada orang laki-laki.Hal ini mungkin berkaitan dengan
kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau
serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti
oleh para ahli.Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua
penyakit keganasan.Terutama neoplasma laringeal 95% adalah karsinoma
sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar
dengan lambat.Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak
terjadi metastase kearah kelenjar limfe.Bila kanker melibatkan epiglotis
(ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi.Tumor supraglotis dan subglotis
harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan
suara serak.Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada
waktu pita suara masih dapat digerakan.
C. Gambaran klinik
Paling dini adalah berupa suara parau atau serak kronik, tidak
sembuh-sembuh walaupun penderita sudah menjalani pengobatan pada
daerah glotis dan subglotis. Tidak seperti suara serak laringitis, tidak
disertai oleh gejala sistemik seperti demam.Rasa tidak enak ditenggorok,
seperti ada sesuatu yang tersangkut. Pada fase lanjut dapat disertai rasa
sakit untuk menelan atau berbicara.Sesak napas terjadi bila rima glotis
tertutup atau hampir tertutup tumor 80%. Sesak napas tidak timbul
mendadak tetapi perlahan-lahan. Karena itu penderita dapat beradaptasi,
sehingga baru merasakan sesak bila tumor sudah besar (terlambat berobat).
Stridor terjadi akibat sumbatan jalan napas.Bila sudah dijumpai
pembesaran kelenjar berarti tumor sudah masuk dalam stadium
lanjut.Bahkan kadang-kadang tumornya dapat teraba, menyebabkan
pembengkakan laring.
Bila tumor laring mengadakan perluasan ke arah faring akan
timbul gejala disfagia, rasa sakit bila menelan dan penjalaran rasa sakit
kearah telinga.Apabila dijumpai kasus dengan jelas diatas, khususnya
dengan keluhan suara parau lebih dari dua minggu yang dengan
pengobatan tidak sembuh, diderita orang dewasa atau tua, sebaiknya
penderita segera dirujuk.
D. Stadium
Tergantung keadaan tumor (T), pembesaran kelenjar regional ( N ),
dan metastasis jauh ( M ).
Stadium : I : T1 No Mo
II : T2 No Mo
III : T3 No Mo, T2 N1 Mo, T3 N1 Mo
IV : T4 No Mo, semua T N2 M1, semua T semua N dan M.
E. Diagnostic studies
Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung
dapat menunjukkan tumor dengan jelas.Tempat yang sering timbul tumor
dapat dilihat pada gambar.Sinar X dada,scan tulang, untuk
mengidentifikasi kemungkinan metastase. Darah lengkap, dapat
menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat
dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan
pembuluh limfe., Kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan
dilakukan biopsi pada tumor.Gigi yang berlubang, sebaiknya dicabut pada
saat yang sama.
F. Medical Managament
Pada kasus karsinoma laring dapat dilakukan pengobatan dengan
radiasi dan pengangkatan laring (Laringektomi).Pengobatan dipilih
berdasar stadiumnya.Radiasi diberikan pada stadium 1 dan 4.Alasannya
mempunyai keuntungan dapat mempertahankan suara yang normal, tetapi
jarang dapat menyembuhkan tumor yang sudah lanjut,lebih-lebih jika
sudah terdapat pembesaran kelenjar leher.Oleh karena itu radioterapi
sebaiknya dipergunakan untuk penderita dengan lesi yang kecil saja tanpa
pembesaran kelenjar leher.Kasus yang ideal adalah pada tumor yang
terbatas pada satu pita suara, dan masih mudah digerakkan. Sembilan dari
sepuluh penderita dengan keadaan yang demikian dapat sembuh sempurna
dengan radioterapi serta dapat dipertahankannya suara yang
normal.Fiksasi pita suara menunjukkan penyebaran sudah mencapai
lapisan otot. Jika tumor belum menyebar kedaerah supraglotik atau
subglotik, lesi ini masih dapat diobati dengan radioterapi, tetapi dengan
prognosis yang lebih buruk.
Penderita dengan tumor laring yang besar disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe leher, pengobatan terbaik adalah laringektomi
total dan diseksi radikal kelenjar leher.Dalam hal ini masuk stadium 2 dan
3. Ini dilakukan pada jenis tumor supra dan subglotik.Pada penderita ini
kemungkinan sembuh tidak begitu besar, hanya satu diantara tiga
penderita akan sembuh sempurna.Laringektomi diklasifikasikan kedalam :
1. Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya
satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk
mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara
pasien akan parau.
2. Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinan kanker
termasuk pita suara satu benar dan satu salah.Bagian ini diangkat
sepanjang kartilago aritenoid dan setengah kartilago
tiroid.Trakeostomi sementara dilakukan dan suara pasien akan parau
setelah pembedahan.
3. Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada
epiglotis atau pita suara yang salah, dilakukan diseksi leher radikal
dan trakeotomi. Suara pasien masih utuh atau tetap normal.Karena
epiglotis diangkat maka resiko aspirasi akibat makanan peroral
meningkat.
4. Laringektomi total. Kanker tahap lanjut yang melibatkan sebagian
besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hihoid,
kartilago krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke
laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang ( stoma )
trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi
makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi berhubungan dengan
saluran udara – pencernaan.Suatu sayatan radikal telah dilakukan
dileher pada jenis laringektomi ini.Hal ini meliputi pengangkatan
pembuluh limfatik, kelenjar limfe di leher, otot
sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf spinal asesorius,
kelenjar salifa submandibular dan sebagian kecil kelenjar parotis
(Sawyer, 1990).Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat
bersuara atau berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi
dengan mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan esofagus
(Esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila penderita
berbicara dengan menggunakan organ laring.Untuk latihan berbicara
dengan esofagus perlu bantuan seorang binawicara.
G. Dasar data pengkajian keperawatan
Data pre dan posoperasi tergantung pada tipe kusus atau lokasi
proses kanker dan koplikasi yang ada.
INTEGRITAS EGO
Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara,mati, terjadi atau
berulangnya kanker. Kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan
keluarga, kemampuan kerja dan keuangan. Tanda : Ansietas, depresi,
marah dan menolak operasi.
MAKANAN ATAU CAIRAN
Gejala :Kesulitan menelan.
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit
tenggorok yang menetap.Bengkak, luka. Inflamasi atau drainase oral,
kebersihan gigi buruk. Pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.
HIGIENE
Tanda : kemunduran kebersihan gigi. Kebutuhan bantuan
perawatan dasar.
NEUROSENSORI
Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian.
Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan
submandibular). Parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan
dini kanker laring intrinsik). Kesulitan menelan. Kerusakan membran
mukosa.
NYERI ATAU KENYAMANAN
Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok.
Penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan
metastase). Nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (kususnya
dengan cairan panas), nyeri lokal pada orofaring. Pascaoperasi : Sakit
tenggorok atau mulut (nyeri biasanya tidak dilaporkan kecuali nyeri yang
berat menyertai pembedahan kepala dan leher, dibandingkan dengan nyeri
sebelum pembedahan).Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah
dan gangguan tonus otot.
PERNAPASAN
Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau. Bekerja
dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat.
Riwayat penyakit paru kronik. Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase
darah pada nasal. Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe
( lanjut ), dan stridor.
KEAMANAN
Gejala : Terpajan sinar matahari berlebihan selama periode
bertahun-tahun atau radiasi.Perubahan penglihatan atau pendengaran.
Tanda : Massa atau pembesaran nodul.
INTERAKSI SOSIAL
Gejala : masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan
bergabung dalam interaksi sosial. Tanda : Parau menetap,perubahan tinggi
suara, bicara kacau, enggan untuk bicara,dan menolak orang lain untuk
memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.
H. Prioritas keperawatan pre dan post operasi
PREOPERASI
Diagnosa 1:
Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pra dan
pascaoperasi dan takut akan kecacatan.
Batasan Karakteristik :
Mengungkapkan keluhan khusus, merasa tidak mampu, meminta
informasi, mengungkapkan kurang mengerti dan gelisah, menolak operasi.
Goal : Cemas berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
Mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara terbuka,
melaporkan berkurangnya cemas dan takut, mengungkapkan mengerti
tentang pre dan posoprasi, secara verbal mengemukakan menyadari
terhadap apa yang diinginkannya yaitu menyesuaikan diri terhadap
perubahan fisiknya.
Rencana Tindakan :
1. Jelaskan apa yang terjadi selama periode praoperasi dan pascaoperasi,
termasuk tes laboratorium praoperasi, persiapan kulit, alasan status
puasa,obat-obatan praoperasi,obat-obatan posoperasi, tinggal di ruang
pemulihan, dan program paskaoprasi. Informasikan pada klien obat
nyeri tersedia bila diperlukan untuk mengontrol nyeri.Rasional
pengetahuan tentang apa yang diperkirakan membantu mengurangi
kecemasan dan meningkatkan kerjasama pasien.
2. Jika laringektomi total akan dilakukan, konsultasikan dulu dengan
pasien dan dokter untuk mendapatkan kunjungan dari anggota klub
laringektomi.Atur waktu untuk berdiskusi dengan terapi tentang
alternatif metoda-metoda untuk rehabilitasi suara.Rasional mengetahui
apa yang diharapkan dan melihat hasil yang sukses membantu
menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien berpikir realistik.
3. Izinkan pasien untuk mengetahui keadaan pascaoperasi : satu atau dua
hari akan dirawat di UPI sebelum kembali ke ruangan semula,
mungkin ruangan penyakit dalam atau ruangan bedah.Mungkin saja
akan dipasang NGT. Pemberian makan per sonde diperlukan sampai
beberapa minggu setelah pulang hingga insisi luka sembuh dan
mampu untuk menelan (jika operasi secara radikal di leher
dilaksanakan).Alat bantu jalan napas buatan (seperti trakeostomi atau
selang laringektomi) mungkin akan terpasang hingga pembengkakan
dapat diatasi.Manset trakeostomi atau selang T akan terpasang di jalan
napas buatan, untuk pemberian oksigen yang telah dilembabkan atau
memberikan udara dengan tekanan tertentu. Rasional pengetahuan
tentang apa yang diharapkan dari intervensi bedah membantu
menurunkan kecemasan dan memungkinkan pasien untuk memikirkan
tujuan yang realistik.
4. Jika akan dilakukan laringektomi horizontal atau supraglotik
laringektomi, ajarkan pasien dan latih cara-cara menelan sebagai
berikut:
Ketika makan duduk dan tegak lurus ke depan dengan kepala
fleksi, letakan porsi kecil makanan di bagian belakang dekat
tenggorok, tarik napas panjang dan tahan (ini akan mendorong pita
suara bersamaan dengan menutupnya jalan masuk ke trakea), menelan
dengan menggunakan gerakan menelan,batukan dan menelan kembali
untuk memastikan tidak ada makanan yang tertinggal di tenggorok.
Rasional karena epiglotis sudah diangkat pada jenis laringektomi
seperti ini, aspirasi karena makanan per oral merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi. Belajar bagaimana beradaptasi dengan
perubahan fisiologik dapat menjadikan frustrasi dan menyebabkan
ansietas.Berlatih secara terus – menerus dapat membantu
mempermudah belajar dan beradaptasi terhadap perubahan tersebut
.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3 EGC, Jakarta.

Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process


Approach 2 nd Edition : WB Sauders.

Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman
Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom FK Unair,
Surabaya.

Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan

Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC Jakarta

Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC :


Jakarta.

Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar


DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta

Guyton, Athur C, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 9, EGC, Jakarta

Iskandar.N, 1989, Tumor Telinga-Hidung-Tenggorokan, Diagnosis dan


Penatalaksanaan, Fakultas Kedokteran Umum, Universitas Indonesia,
Jakarta

Joanne C.Mc Closkey. 1996. Nursing intervention classification (NIC). Mosby


year book. St. Louis

Marion Johnon,dkk. 2000. Nursing outcome classification (NOC). Mosby year


book. St. Louis

Marjory godon,dkk. 2000. Nursing diagnoses: Definition & classification 2001-


2002. NANDA

NANDA International, 2001, Nursing Diagnosis Classification 2005 – 2006, USA

Anda mungkin juga menyukai