Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEKUASAAN DAN PENGARUH DALAM PEKERJAAN


Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah perilaku organisasi

Disusun Oleh Kelompok 9 :


Aisyah Zalmi Putri 3320178
Yoga Achyar 3320182
Nadila Putri 3320190

Dosen Pembimbing:
Febriyan Pratama Defaz Se.,Mm

PRODI SIPERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2022/2023
i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.Yang mana telah


memberikan kami kekuatan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata
kuliah Perilaku Organsisasi yang berjudul “Kekuasaan Dan Pengaruh Dalam
Pekerjaan” dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya
makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan
secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada BapakFebriyan


Pratama Defaz SE,MM selaku dosen pengampu mata kuliah Perilaku Organisasi.
Kemudian teman teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat
agar makalah ini dapat diselesaikan. Selain untuk menambah wawasan dan
pengetahuan penulis, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
terstruktur Mata Kuliah Perilaku Organisasi. Makalah ini membahas tentang motivasi
karyawan di dalam sebuah organisasi

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari
segi sistematika penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

Bukittinggi, 8 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan……...……………………………………………..2

BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................3

2.1 Pengertian Kekuasaan ………………………………………………3

2.2 Dasar, Sumber Atau Tipe Kekuasaan…………………………….…4

2.3 Model Kekuasaan Dalam Organisasi……………………………….6

2.3.1 Model Voluntaris……………………………………………6

2.3.2 Model Hermeneutic…………………………………………8

2.3.3 Model Structural…………………………………………….9

2.3.4 Model Post-Modernis……………………………………....10

2.4 Taktik Memengaruhi…………………………………………….....12


2.5 Hasil Dari Pengaruh………………………………………………..14
BAB III STUDI KASUS………………………………………………………….15
3.1 Contoh Kasus…………………………………………………...…15
3.2 Analisis Kasus……………………………………………………...16
3.3 Solusi………………………………………………………………..16
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………..17
4.1 Kesimpulan………………………………………………………...17
4.2 Saran……………………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang


Teori yang dikemukakan oleh French dan Raven (1959) menyatakan
bahwa kepemimpinan bersumber pada kekuasaan dalam satu kelompok atau
organisasi. Dengan perkataan lain, seseorang atau orang-orang yang memiliki
akses terhadap sumber kekuasaan dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu
akan mengendalikan atau memimpin kelompok atau organisasi itu.

Pengaruh merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan


kepemimpinan, dan konsep kepemimpinan ini selalu berhubungan dalam sebuah
organisasi. Karena jika tidak ada suatu organisasi maka sudah pasti tidak ada
yang namanya pemimpi. Jadi dalam hal ini kepemimpinan, pengaruh dan politik
saling berhubungan. Dapat dikatakan kalau politik merupakan bagian dari
perjalanan suatu konsep kepemimpinan. Politik dalam suatu organisasi
merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan tatkala organisasi terdiri dari 2 atau
lebih.

Eksistensi perusahaan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai


Lingkungan eksternalnya karena ada hubungan timbal balik antara perusahaan
dengan Masyarakat yang mana mereka saling memberi dan membutuhkan. Agar
tercipta Kondisi yang sinergis antara perusahaan dengan masyarakat ada dua
aspek yang Penting diperhatikan sehingga keberadaan perusahaan membawa
perubahan kearah Perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Pada saat ini sedang hangat sebuah kasus yang terjadi di Indonesia, yaitu
kasus pembunuhan seorang Anggota Polisi. Dalam kasus ini, dalang
pembunuhan ini adalah atasannya sendiri dengan menggunakan kekuasaan dan
pengaruhnya di Institusi ini, dia mampu menutupi dan membuat scenario kasus
ini. Dimana kekuasaan ini disalahgunakan olehnya.

1
Disini kami mengangkat studi kasus yang berjudul “kekuasaan dan
pengaruh dalam pekerjaan” yang nantinya akan Dibahas dengan konteks teori
pada makalah mengenai teori dasar kekuasaan memaksa (coercive
power) ,kekuasaan yang menggunakan balas jasa atau hadiah (reward power),
kekuasaan berdasarkan posisi (legitimate power).

Selain itu pada macam-macam taktik kami juga akan membahas rational
persuation, consultation. Dimana didalam kasus terdapat kekuasaan yang
memaksa, kekuasaan yang menggunakan balas jasa atau hadiah, kekuasaan
berdasarkan posisi, dan juga berusaha memaksa seseorang dengan menggunakan
alasan , mendapatkan orang lain berpartisipasi dalam perencanaan. Teori yang
dibahas tersebut memiliki suatu relevansi dengan studi kasus yang sedang kami
bahas.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah,
sebagai berikut :

1. Apa Pengertian dari Kekuasaan?


2. Apa saja Sumber atau tipe kekuasaan?
3. Apa saja model kekuasaan dalam Organisasi?
4. Apa saja taktik Mempengaruhi?
5. Apa hasil dari mempengaruhi
1.3 Tujuan Penulisan
Adapaun tujuan dari penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian kekuasaan
2. Mengetahui sumber atau tipe kekuasaan
3. Mengetahui model kekuasaan dalam organisasi
4. Mengetahui taktik organisasi
5. Mengetahui hasil dari mempengaruhi

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1 Pengertian Kekuasaan


Power atau kekuasaan adalah kemampuan untuk bertindak atau
memerintah sehingga menyebabkan orang lain bertindak. Pengertian ini meliputi
kemampuan untuk membuat keputusan mempengaruhi orang lain dan mengatasi
pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara kekuasaan yang berarti
dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga dapat menyebabkan
orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk memerintah
orang lain. Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari
seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh
kemampuannya dalam memahami situasi serta keterampilan dalam menentukan
jenis kekuasaan yang tepat untuk merespon tuntutan situasi. Apabila
dipergunakan untuk kebaikan organisasi, kekuasaan merupakan kekuatan positif
untuk mencapai efektivitas organisasi tingkat tinggi. Beberapa pengertian dari
kekuasaan oleh para ahli sebagai berikut :
1) Gary A. Yuki (1989), mengatakan bahwa kekuasaan adalah potensi agen
untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain (target person).1
2) McShane dan Von Glinov (2010: 300), mengatakan bahwa kekuasaan
sebagai kapasitas seseorang, tim, atau organisasi untuk mempengaruhi orang
lain.
3) Robbins dan judge (2011:454), mengatakan bahwa kekuasaan menunjukkan
pada kapasitas bahwa A harus memengaruhi perilaku B sehingga B bertindak
menurut harapan A. Seseorang dapat mempunyai kekuasaan, tetapi apabila
1
Hendi Suhendi dan Sahya Anggara, Perilaku Organisasi, (Bandung : CV Pustaka Setia,
2010), hal. 307

3
tidak menggunakannya, maka menjadi kapasitas atau potensi. Aspek paling
penting dari kekuasaan adalah fungsi dependency, ketergantungan. Semakin
besar B tergantung pada A, maka semakin besar kekuasaan A dalam
hubungan tersebut.

Maka dapat disimpulkan, bahwa power atau kekuasaan pada


hakikatnya adalah kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
untuk membujuk, memengaruhi, dan membuat orang lain tergantung padanya
dan bersedia melakukan apa yang diinginkannya.2

1.2 Dasar, Sumber, atau Tipe Kekuasaan


Kekuasaan jenisnya sangat beragam dan terminologi yang dipergunakan di
antara para pakar sangat beragam pula, ada yang mengatakan sebagai dasar,
sumber, atau tipe. Di samping itu, mereka juga mengelompokkan jenis kekuasaan
secara berbeda pula.Dasar atau sumber kekuasaan menurut Robbins dan Judge
(2011: 455) dikelompokkan dalam kategori Formal Power dan Personal Power.
Keseluruhan tipe, jenis, dasar atau sumber kekuasaan dapat dijelaskan seperti
di bawah ini.
a) Coercive Power. Dasar kekuasaan memaksa tergantung pada ketakutan atas
hasil negatif dari kegagalan untuk mematuhi. Manajer dapat menolak reward
yang diharapkan atau mengadministrasikan hukuman untuk mengontrol
orang lain
b) Reward Power. Kepatuhan dicapai berdasar pada kemampuan
mendistribusikan reward yang dipandang berharga oleh orang lain.
Menunjukkan tingkatan di mana manajer dapat menggunakan extrinsic dan
intrinsic reward untuk mengontrol orang lain.
c) Legitimate Power. Kekuasaan yang diterima orang sebagai hasil dari
posisinya dalam hierarki formal suatu organisasi. Disebut pula sebagai

2
Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2015 ), hal. 240

4
kewenangan formal dimana manajer dapat menggunakan hak komando untuk
mengontrol orang lain.
d) Process Power. Merupakan kekuasaan untuk mengontrol atas metode
produksi dan analisis. Kekuasaan di sini menempatkan individu dalam posisi
memengaruhi bagaimana masukan ditransformasi menjadi keluaran untuk
organisasi.
e) Information Power. Merupakan akses informasi atau pengawasan terhadap
informasi. Information power merupakan komplemen hierarki legitimate
power. Kekuasaan atas informasi membantu spesialis atau manajer yang
berada di tengah sistem informasi organisasi.
f) Representative Power. Merupakan hak formal diberikan pada individu oleh
organisasi yang memungkinkan mereka berbicara sebagai perwakilan
kelompok terdiri dari individu dari lintas departemen atau di luar organisasi.
g) Expert Power. Merupakan pengaruh yang didasarkan pada keterampilan atau
pengetahuan khusus. Merupakan kemampuan mengontrol perilaku orang lain
karena posisi pengetahuan, pengalaman, atau pertimbangan yang tidak
dipunyai orang lain, tetapi memerlukan.
h) Referent Power. Merupakan pengaruh yang didasarkan pada identifikasi
dengan orang yang mempunyai sumber daya yang diharapkan atau sifat
personal. Merupakaan kemampuan mengontrol perilaku orang lain karena
harapan individu untuk menyesuaikan diri dengan sumber kekuasaan.
i) Rational Persuation. Merupakan kemampuan mengontrol perilaku orang lain
karena, melalui usaha individu, orang menerima harapan tujuan yang
ditawarkan dan cara yang beralasan untuk mencapainya.
j) Coalition Power. Merupakan kemampuan mengontrol perilaku orang lain
secara tidak langsung karena individu berutang kewajiban kepada kita atau
orang lain sebagai bagian kepentingan kolektif yang lebih besar.3

3
Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2015 ), hal. 241-242

5
2.3 Model kekuasaan dalam organisasi
Jeffrey Isaac menawarkan empat model pokok tentang kekuasaan, yakni: (a)
model voluntaris, (b) model hermeneutik, (c) model strukturalis, dan (d) model
post-modernis. Masing-masing model tersebut, sebagai konsekuensi dari
perbedaan-perbedaan yang ada, memberikan bukan hanya perbedaan definisi
serta elaborasi terhadap konsep kekuasaan, tetapi juga perbedaan dalam
memberikan makna serta metode analisisnya (yang saling berbeda pula),
terhadap konsep tentang manusia, dan pranata sosial (social institutions).

2.3.1 Model Voluntaris (Voluntaris Model)


Model ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran para ahli ilmu politik
yang tergolong dalam kelompok pendekatan tingkah laku seperti Robert
Dahl, Simon, March, Lasswell, Kaplan dan lain-lain yang memandang
kekuasaan (power) hampir identik dengan kekuatan (force). Pemikiran
demikian, sebagaimana kemudian dikomentari oleh Jeffrey Issac,
menempatkan kekuasaan sebagai hubungan sebab-akibat yang bersifat
empirik, yang didalamnya seseorang mengalahkan orang lain dalam suatu
konflik, atau semacam itu, yang terjadi di antara mereka. Pada saat yang
sama, model voluntaris ini, sesuai dengan namanya (dari kata voluntary –
yang artinya suka-rela), tampaknya juga dipengaruhi oleh pandangan para
penganut teori pilihan rasional (rational choice theory) yang cenderung
mengedepankan hal-hal seperti motif, insentif, kerjasama, tawar-menawar
dan lain-lain berkenaan dengan hubungan antar individu, organisasi atau
mungkin negara.
Thomas Hobbes (1968), lebih berpandangan bahwa kekuasaan adalah
merupakan cara-cara yang ada untuk dapat digunakan demi kebaikan-
kebaikan bersama di masa depan. Pandangan Hobbes ini mengimplikasikan

6
keniscayaan adanya kekuasaan dalam setiap bentuk kolektivitas, yang
kemudian dapat berimplikasi pada penggunaan kekuasaan, demi menata
dan mengatasi ketidakteraturan sosial (social disorder). Pandangan tentang
kekuasaan yang tergolong dalam model voluntaris ini tampaknya
mengandung resiko, kendati terkesan sangat praktis (applicable) untuk
dipakai dalam menjelaskan berbagai realitas politik atau untuk dipakai
sebagai pijakan kepemimpinan. Risiko dimaksudkan terutama adalah
adanya kecenderungan meniscayakan dominasi (atau sifat hegemonik) oleh
satu kelompok atas kelompok yang lain dalam suatu masyarakat, dan
menganggap bahwa dominasi oleh suatu kelompok atas kelompok lain di
dalam masyarakat adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sebagai
konsekuensinya, model ini kurang memberi peluang pada keseimbangan,
hubungan sosial yang harmonis, kepentingan bersama, dan pentingnya
saling berbagi (misalnya ide, perasaan, keinginan, dan sumber daya) dalam
masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan politik hegemonik seperti
itu terlihat pada dominasi Golkar, terutama antara tahun 1973 sampai
dengan 1997, yang terkesan dipaksakan untuk selalu tampil sebagai
pemenang dalam setiap pemilu di era Orde Baru. Dalam hubungan ini,
kelihatan sekali bahwa kemenangan Golkar dalam setiap pemilu di
Indonesia di masa Orde Baru terutama adalah karena didukung sepenuhnya
oleh birokrasi sipil dan militer sambil memarginalkan partai politik lain
yang ada, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI). Di satu sisi PPP dan PDI tetap dinilai sangat
penting keberadaannya untuk memberikan kesan adanya kemajemukan dan
demokrasi, tetapi di sisi lain pemberian arti penting tersebut sebatas untuk
pelengkap dan/atau pemberi justifikasi bagi bukti adanya praktek
demokrasi.
Hal demikian sangat tampak dengan tidak pernah dibuatnya ketentuan-
ketentuan yang adil, yang memungkinkan adanya kompetisi secara wajar

7
dan terbuka di antara peserta pemilu: PPP, Golkar, dan PDI. Dengan kata
lain, PPP dan PDI tetap dipelihara, tetapi jangan sampai menjadi
besar/kuat, supaya dengan itu Golkar tetap mendominasi kekuasaan.
Dengan demikian memberi kesan yang kuat bahwa di Indonesia, demokrasi
tetap dikembangkan. Dalam hubungan ini demokrasi.
2.3.2 Model Hermeneutik (Hermeneutic Model)
Model hermeneutik, seperti dikatakan oleh Jeffrey Issac (1992),
mendasarkan diri pada keyakinan bahwa kekuasaan dibentuk dan
ditentukan oleh makna-makna bersama (shared meaning) oleh individu-
individu di dalam masyarakat. Model ini juga dipengaruhi oleh teori
pilihan rasional (rational choice theory) yang beranggapan bahwa
keyakinan-keyakinan merupakan bagian pokok dari hubungan kekuasaan
(power relations), dan pertimbangan-pertimbangan rasional senantiasa ada
dan berperan secara menentukan di dalam setiap kehidupan bermasyarakat.
Kalau pemahaman tentang kekuasaan menurut model voluntaris
banyak berpijak pada fikiran-fikiran para filsuf seperti Thomas Hobbes,
Newton dan John Locke yang cenderung bersifat atomistis dalam
memandang keberadaan individu dalam masyarakat, maka model
hermeneutik lebih bertumpu pada pemikrian-pemikiran para filsuf seperti
Hegel, Montesquieu, dan Toucqueville.
Contoh definisi yang tergolong dalam model hermeneutik adalah
definisi yang dikemukakan oleh Hannah Arendt. Kendati dari banyak segi
Arendt sering dikatakan tergolong dalam kelompok post-modernis, namun
ia juga mengatakan bahwa kekuasaan tidak bisa dipahami sebagaimana
orang-orang golongan voluntaris memandangnya. Cara berfikir yang
bersifat atomistik -- bahwa kekuasaan berkenaan dengan kemampuan
(seseorang dalam masyarakat untuk bertindak demi mewujudkan
keinginan-keinginannya), semestinya tidak hanya dipandang hanya sebatas
sebagai tindakan perorangan tetapi sebagai suatu paduan yang harmonis
(concert) bersama orang lain di dalam masyarakat. “Power is never the

8
property of the individual; it belongs to a group and remains in existence
only so long as the group keeps together” (Kekuasaan tak pernah menjadi
milik perorangan; ia senantiasa menjadi milik kelompok dan hanya bisa
tegak selama orang-orang dalam kelompok bersangkutan menegakkannya
secara bersama-sama).
Pandangan hermeneutik tentang kekuasaan sebagaimana dikemukakan
Arendt tersebut memberikan tempat bagi adanya kebersamaan,
keharmonisan dan saling berbagi (sharing) sumber-sumber dalam
masyarakat. Dengan demikian mengimplikasikan pentingnya saling
pergantian peran (misalnya melalui setiap siklus pemilihan umum dan
adanya partai oposisi), serta upaya diskusi/dialog yang berlangsung terus-
menerus di antara berbagai kalangan yang berbeda, demi keutamaan-
keutamaan “sesudah hari ini”. Karena itu kendati agak terkesan ideal,
model hermeneutik memiliki kelebihan dalam menjamin integrasi. Setiap
potensi konflik dikanalisir secara memadai, misalnya melalui komunikasi
politik yang wajar dan terbuka, dengan spirit kebersamaan serta aturan
main yang adil.
Para pendiri republik ini telah memberikan contoh yang kuat untuk hal
ini sehingga kendati terdapat perbedaan pandangan yang tajam di antara
mereka, namun tetap saling menghormati dan saling rukun dalam
pergaulan sehari-hari. Hal demikian dapat dilihat, misalnya, betapa
kalangan militer sangat kecewa ketika Presiden Soekarno memilih jalan
menyerah kepada Belanda dalam masa perang kemerdekaan. Kalangan
militer lebih memilih jalan gerilya. Sangat menarik kemudian, setelah
penyerahan kedaulatan (dari Belanda ke Republik Indonesia di tahun
1949) kalangan militer ternyata tetap mendukung kepemimpinan dwi-
tunggal Soekarno-Hatta. Ini adalah gejala yang sangat menarik: tak ada
terlintas sama sekali dalam benak pikiran para pemimpin militer kita dari
generasi perintis untuk mengambil kesempatan menduduki pucuk
pimpinan kekuasaan.

9
2.3.3 Model Struktural (The Structural Model)
Pandangan tentang kekuasaan dalam model struktural sangat diwarnai
oleh kombinasi antara pemikiran hermeneutik yang menolak
individualisme metodologis di satu pihak, dengan penerimaan atau
penghargaan yang tinggi terhadap pentingnya norma-norma di pihak lain.
Kendati demikian, secara kuat, model struktural menolak setiap
eksklusivisme dalam memperlakukan kekuasaan, dan lebih berpegang
pada keyakinan bahwa kekuasaan pada hakekatnya memiliki tujuan
struktural yang jelas – sesuatu yang kurang diperhatikan baik dalam model
voluntaris maupun model hermeneutik. menegaskan bahwa realitas
struktural yang ada dalam masyarakat menentukan aturan-aturan
kehidupan bermasyarakat (human conduct). Definisi tentang kekuasaan
yang dapat digolongkan dalam model struktural ini antara lain adalah
definisi dari Jeffrey Issac sendiri yang mengatakan bahwa kekuasaan
merupakan kemampuan-kemampuan untuk bertindak (capacities to act)
yang dimiliki oleh unsur-unsur sosial (social agents), untuk secara terus-
menerus mempengaruhi hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat
tempat mereka mengambil bagian.

2.3.4 Model post-mordernis


Pandangan kekuasaan model post-modernis, sebagaimana model
hermeneutik dan juga model struktural, menolak individualisme dan
voluntarisme. Penolakan ini, lebih dikarenakan oleh adanya keyakinan
mendasar yang ada pada para penganut model ini bahwa bahasa dan simbol
merupakan hal yang sangat pokok dalam kehidupan masyarakat. Lebih
jauh lagi, model post modernis ini - sebagaimana namanya, cenderung
menolak (destructive) terhadap segala kemapanan yang sudah ada
berkenaan dengan pandangan tentang kekuasaan.

10
Nancy Hartsock (1983), mengatakan bahwa rekonseptualisasi tentang
kekuasaan membutuhkan relokasi teori atas bidang epistemologi yang
ditentukan oleh kalangan feminist, dan perkembangan seperti itu
selayaknya lebih menekankan aspek-aspek kekuasaan yang terkait dengan
hal-hal tertentu seperti energi, kemampuan-kemampuan, dan potensi-
potensi dan tidak hanya melihat kekuasaan sebagai kerelaan (compliance)
dan dominasi.
Allison Jaggarr (1983) juga menegaskan bahwa sebenarnya ada
perbedaan pandangan epistemologis di antara para feminist di satu pihak
dengan kalangan orang-orang yang lebih “positif” dalam memandang
kekuasaan di pihak lain. Perbedaan itu adalah para feminist cenderung
melihat kekuasaan sebagai bersifat spesifik gender (gender-specific) dan
tidak hanya berpijak pada perbedaan filosofis, tetapi juga berpijak pada
perbedaan yang radikal dari pengalaman. Apa yang dimaksud oleh Allison
Jaggar dengan “pengalaman” di sini tidak bisa lain adalah realitas yang ada
selama ini bahwa kekuasaan, baik dalam sejarah peradaban Barat maupun
Timur, lebih didominasi oleh kalangan laki-laki, sedangkan kalangan
perempuan relatif tersubordinasikan.
Pandangan ini kendati terkesan lebih menjanjikan, antara lain karena
memberikan tempat yang wajar bagi kalangan perempuan (kendati untuk
konteks masyarakat Indonesia sejak dulunya relatif tidak ada masalah
dengan posisi perempuan dibandingkan dengan realitas yang ada pada
masyarakat Eropa), namun mengimplikasikan adanya kemungkinan eksesif
berupa dekonstruksi sosial yang radikal yang timbul karena manipulasi
simbol-simbol secara berlebihan. Dalam hubungan ini bahasa dan atau
simbol-simbol sengaja diciptakan bukan sekedar untuk mewakili realitas
yang senyatanya ada, tetapi untuk mewakili realitas yang dimanipulasikan
atau bahkan realitas fiktif. Nietzche sendiri, misalnya, karena ia seorang
atheis, mengkhayalkan adanya “manusia super” yang memiliki kemampuan
dan kesanggupan mengatasi setiap permasalahan yang ditemui sambil

11
menihilkan keberadaan Yang Maha Kuasa. Dari sini manusia, bertolak dari
fikiran Nietzche, didorong untuk dapat melebihi takaran (qadar) yang
ditentukan oleh Yang Maha Ada. Manusia pada gilirannya lalu menjadi
frustrasi dan menemui kehancurannya sendiri sebagaimana dialami sendiri
oleh Nietzche.4

2.4 Taktik Memengaruhi

Kreitner dan Kinicki (2010: 437) menunjukkan sembilan macam taktik


yang dapat dipergunakan untuk memengaruhi orang lain, seperti orang tua,
atasan, rekan sekerja, pasangan, anak-anak, guru, teman dan pelanggan.
Sedangkan Colquitt, LePine, Wesson (2011: 457) memberikan sepuluh macam
taktik. Dalam pendapat Kreitner dan Kinicki terdapat taktik legitimiting tactic
yang tidak terdapat pada pandangan Colquitt, LePine, Wesson. Sebaliknya
terdapat dua taktik menurut pandangan Colquitt, Lepine, Wesson tidak terdapat
pada pandangan Kreitner dan Kinicki yaitu Collaboration dan Appraising.

McShane dan Von Glinow (2010: 310) membagi taktik memengaruhi dalam
hard influence tactics dan soft influence tactics. Dikatakan sebagai hard
influence tactics karena memaksa perubahan perilaku melalui position power:
legitimate, reward, dan coercion. Hard influence tactics mencakup: silent
authority, assertiveness, information control, coalition formation, dan upward
appeal. Sedangkan soft tactics karena lebih mengandalkan pada personal source
of power: referent dan expert, dan appeals pada target sikap dan kebutuhan
orang. Soft tactics mencakup: persuation, ingratiation dan impression
4
Pawito, dkk, Tinjauan Teoritik ModelModel Kekuasaan, Jurnal Masyarakat Dan Budaya,
2003, Vol .5, No. 2, hlm. 111-117

12
management dan exchange. Di antara 8 taktik tersebut 3 di antaranya sama
dengan pendapat terdahulu.
Macam-macam taktik tersebut apabila dihimpun seluruhnya, maka dapat
dijelaskan seperti di bawah ini:
a) Rational persuation. Berusaha memaksa seseorang dengan menggunakan
alasan, logika, dan fakta.
b) Inspirational appeals. Berusaha membangun antusiasme dengan daya tarik
pada emosi, gagasan, atau nilai-nilai orang lain.
c) Consultation. Mendapatkan orang lain berpartisipasi dalam perencanaan,
membuat keputusan dan perubahan.
d) Ingratiation. Mendapatkan seseorang dalam suasana hati yang baik sebelum
mengajukan permintaan, menjadi bersahabat, membantu dan menggunakan
pujian atau paksaan.
e) Personal appeals. Menunjukkan persahabatan dan loyalitas ketika
mengajukan permintaan.
f) Exchange. Menyatakan janji dan menukar kebaikan dengan cepat.
g) Coalition tactics. Mendapatkan orang lain mendukung usaha untuk
membujuk seseorang.
h) Pressure. Menuntut pemenuhan atau menggunakan intimidasi atau tantangan.
i) Legitimating tactics. Mendasarkan permintaan pada kewenangan atau hak
seseorang, peraturan atau kebijakan organisasi, atau menyatakan dukungan
dari atasan.
j) Collaboration. Berusaha membuat lebih mudah bagi target menyelesaikan
permintaan. Kolaborasi dapat melibatkan pemimpin membantu
menyelesaikan tugas, menyediakan sumber daya yang diperlukan, atau
menghilangkan hambatan yang membuat sulit penyelesaian tugas.
k) Appraising. Penilaian terjadi ketika pemohon menjelaskaan dengan jelas
mengapa mewujudkan permintaan akan menguntungkan target secara
personal.

13
l) Silent authority. Memengaruhi perilaku melalui legitimate power tanpa
secara eksplisit menghubungkan pada dasar kekuasaan tersebut.
m) Assertiveness. Secara aktif menerapkan legitimate dan coercive power
dengan menerapkan tekanan atau tantangan.
n) Information control. Secara eksplisit memanipulasi akses seseorang pada
informasi dengan tujuan mengubah sikap dan/atau perilaku mereka.
o) Upward appeal. Mendapatkan dukungan dari satu orang atau lebih dengan
kewenangan atau keahlian lebih tinggi.
p) Persuation. Menggunakan argumen logis, kejadian nyata, dan tampilan
emosional memaksa orang menilai permintaan.5

2.5 Hasil dari Pengaruh


Orang dengan kekuasaan yang dimiliki berusaha memengaruhi orang lain.
Namun, usaha memengaruhi bisa berhasil atau tidak berhasil. Kemungkinan hasil
yang dapat diperoleh dari pengaruh tersebut adalah (Kreitner dan Kinicki,
2010:437) :
a) Commitment. Orang akan secara antusias menyetujui dan akan menunjukkan
inisiatif dan ketekunan sambil menyelesaikan penugasan.
b) Compliance. Orang dengan segan menuruti dan akan perlu mendorong untuk
memuaskan kebutuhan minimum.
c) Resistance. Orang akan mengatakan tidak, membuat alasan pemaaf,
memperlambat, atau menahan argumen.6

5
Maria Merry Marianti, Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang Lain Dalam Organisasi,
Jurnal Administrasi Bisnis, Vol.7, No. 1, 2011, hlm. 52-53
6
Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2015 ), hal. 248-249

14
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Contoh Kasus

“Sambo Gunakan Kekuasaan dan Jabatan


Mantan Wakapolri: Kedepannya Propam Dipimpin Bintang 3”

Kuatnya pengaruh Ferdy Sambo terungkap saat sidang kasus perintangan


penyidikan pembunuhan Yosua. Ferdy Sambo yang saat itu menjabat sebagai Kadiv
Propam begitu berkuasa sehingga anak buahnya menuruti apa segala yang
diperintahnya dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Dalam sidang terdakwa
Irfan Widyanto terungkap, Sambo membentak Penyidik Polres Jaksel yang mencecar
Richard Eliezer. Tidak hanya itu, mantan Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan

15
bahkan mengaku terguncang ada intervensi saat akan menggelar olah TKP awal di
Rumah Dinas Ferdy Sambo.
Adapun Ferdy Sambo mampu membuat para jenderal bintang 3 ketakutan
kepadanya padahal secara struktural pangkatnya kalah. Ferdy Sambo disebut punya
‘kerajaan’ di Polri yang kuasa bak seorang jenderal bintang 5 kakangi seorang
Kapolri. Perintah perusakan DVR dan cctv yang seharusnya dijadikan barang bukti
juga di sidang dari Sambo.
Sementara itu, kesaksian dua ART Ferdy Sambo Susi dan Diryanto alias
Kodir sempat disangsikan jaksa hingga hakim. Hal ini disebabkan berubah-ubahnya
keterangan kedua ART Sambo yang cenderung menunjukkan kebohongan. Hakim
sempat mengancam, saksi ART Sambo bisa dipidana jika tak jujur dalam
persidangan. Keluarga Yosua juga mengungkapkan, pengaruh Ferdy Sambo terasa
hingga persidangan. Keluarga melihat ada perbedaan perlakuan di ruang sidang
antara kesaksian untuk Richard Eliezer dan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Skenario pembunuhan Yosua yang dirancang Ferdy Sambo tak hanya menyeret
sejumlah nama.7

3.2 Analisis Kasus


Berdasarkan contoh kasus diatas, teori yang ada dalam Kekuasaan dan
Pengaruh Dalam Pekerjaan dapat menjawab hal-hal yang terjadi dalam kekuasaan
dan pengaruh terhadap Ferdy Sambo.
Terkait teori yang dikembangkan oleh Gary A. Yuki, McShane dan Von
Glinov, Robbins dan judge menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk
membuat orang lain melakukan apa yang seseorang ingin lakukan. Seperti halnya
kasus ferdy sambo yang memiliki kekuasaan yang dapat mempengaruhi segala hal,
kekuasaan ferdy sambo mempengaruhi anak buahnya mematuhi apa yang
diinginkannya termasuk merusak DVR dan CCTV, sampai saat ini kasus ferdy sambo
dengan segala kesalahpahaman terhadap Brigadir Joshua membuat ferdy sambo buta,

7
https://www.beta.kompas.tv/sambo-gunakan-kekuasaan-dan-jabatan-mantan-wakapolri-
kedepannya-propam-dipimpin-bintang (diakses pada tanggal : 10 November 2022)

16
sehingga merancang pembunuhan terhadap yang sadis terhadap pembunuhan Brigadir
Joshua, permasalahan ini masih berlanjut sampai sekarang. Teori terhadap tipe,
maupun sumber kekuasaan, termasuk Legitimate Power dimana kekuasaan yang
diterima orang sebagai hasil dari posisinya. Dimana posisi sambo dengan perwira
tinggi Polri pangkat inspektur jendral polisi.

3.3 Solusi

Dalam kasus ini, masyarakat banyak kecewa dengan Institusi Polri terutama
oknum pembunuhan Brigadir J. masyarakat merasa kecewa karena polisi harus nya
menjaga keamanan dan ketertiban malah membuat masalah.
Solusi yang harus ditempuh ialah mencabut semua wewenang dan Kekuasaan
sambo agar pengaruh sambo tidak lagi menghalangi proses penyidikan. Dan juga
kepada Kapolri harus lebih bijak dalam memilih Pemimpin-pemimpin Divisi yang
ada di Kepolisian.
Kami yakin tidak semua polisi seperti Sambo, tetapi sekarang makin lama
makin banyak nama-nama yang terseret. Perlu dilakukan pembenahan yang sangat
serius pada Institusi Polri ini agar dapat mengetahui kelakuan-kelakuan polisi yang
tersembunyi dan tidak ada lagi Sambo-Sambo lainnya

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Jenis sumber kekuasaan ada 3 macam yaitu:
1. Position Power : kewenangan formal, kontrol terhadap sumber daya dan
Imbalan, kontrol terhadap hukuman, kontrol terhadap Informasi, kontrol
ekologis.
2. Personal Power : Personal power berasal dari keahlian dalam
tugas,Persahabatan, kesetiaan, kemampuan persuasif dan Karismatik dari
seorang pemimpin

17
3. Political Power : Kekuasaan yang timbul karena ada kekuatan
politikPower atau kekuasaan mengekspresikan kapasitas individu untuk
secara Sengaja menimbulkan dampak bagi orang lain.

Pengaruh (influence) adalah Kemampuan membuat orang menuruti


kehendak seseorang yang memberi Pengaruh. Politik berdasarkan pada
kekuasaan, dan kekuasaan tidak Mendistribusikan secara merata dalam suatu
organisasi.

Cara penanaman pengaruh yang baik kepada orang lain:


1. Rational persuation
2. Inspiration appeals tactics
3. Consultation tactics
4. Pressure tactics
5. Legitimizing tactics
6. Personal appleals tactics

4.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, terimakasih atas antusiasme dari
Pembaca yang sudi menelaah isi makalah ini, tentunya masih banyak
Kekurangan dan kelemahan yang kami hadapi dalam pembuatan makalah ini,
Yaitu :
1. Dalam membuat studi kasus kami mengalami kesulitan karena kurangnya
Pemahaman dalam menganalisis studi kasus.
2. Kurangnya rujukan atau referensi dengan judul makalah ini. Penulis
berharap kepada pemakalah berikutnya untuk memperbanyak Referensi
beserta rujukan dan juga memperluas wawasan mengenai kasus-Kasus
serta menganalisis yang berhubungan dengan materi agar mudah dalam
Penyusunan makalah berikutnya.

18
Sekiranya pembaca yang budiman sudi Memberikan kritik konstruktif
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna
bagi penulis pada khususnya juga para pembaca Yang budiman pada
umumnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi dan Sahya Anggara.2010. Perilaku Organisasi. Bandung : CV


Pustaka Setia

Wibowo. 2015. Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta : Rajawali Pers.

Pawito, dkk. 2003 Tinjauan Teoritik Model-Model Kekuasaan, Jurnal Masyarakat


Dan Budaya.

Marianti, Merry, dkk. 2011. Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang Lain
Dalam Organisasi, Jurnal Administrasi Bisnis, Vol.7, No. 1.

https://www.beta.kompas.tv/sambo-gunakan-kekuasaan-dan-jabatan-mantan-
wakapolri-kedepannya-propam-dipimpin-bintang (diakses pada tanggal : 10
November 2022)

20

Anda mungkin juga menyukai