Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DEFINISI DAN ELEMEN DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF DAN


IMPLIKASINYA TERHADAP PERGESERAN PARADIGMA PENDIDIKAN
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi yang
Diampu Oleh Rina Maryanti, S.Pd., M.Pd dan Bapak Dr. Endang Rusyani, M. Pd

Disusun Oleh:
1. Annisa Indriyani (2104271)
2. Dini Febriantri (2106317)
3. Nadia Laila (2105979)
4. Shafa Qonita (2109652)
5. Silvi Fatimah Azhara (2106726)
Kelas : 2C

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

DEPARTEMEN PEDAGOGIK

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT., atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah Pendidikan Inklusi yang berjudul “Definisi dan
Elemen Dasar Pendidikan Inklusif dan Implikasinya Terhadap Pergeseran Paradigma
Pendidikan” ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam memberikan saran dan
kritiknya pada pengerjaan makalah ini. Kemudian, terima kasih juga kepada Ibu Rina
Maryanti, S.Pd., M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Inklusi yang
telah memberikan motivasi dan bimbingannya dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Sehingga, fungsinya dapat terealisasikan
dengan baik bagi para pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses penyusunan makalah ini, tentunya penulis masih memiliki
banyak kekurangan karena keterbatasan akan pengetahuan dan pengalaman. Maka
dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 14 Oktober 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................4
2.1 Pengertian Pendidikan Inklusif..............................................................................4
2.2 Elemen-Elemen Dasar Pendidikan Inklusif...........................................................5
2.3 Implikasi Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan.........................................6
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pergeseran Paradigma Pendidikan...........................7
2.5 Regulasi Pendidikan Inklusif..................................................................................8
BAB III PENUTUP
......................................................................................................................................
10
3.1 Kesimpulan
................................................................................................................................
10
3.4 Saran
................................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA
......................................................................................................................................
11

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber
daya manusia yang unggul dan kompetitif dalam upaya
menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan zaman yang
semakin meningkat tajam. Seiring terus bergulirnya arus globalisasi
dan memasukinya dunia pembangunan jangka panjang, kualitas
sumber daya manusia mendapat perhatian dalam kaitannya dengan
upaya meningkatkan kualitas hidup bangsa. Dalam hal ini pemerintah
secara tegas telah menekankan dalam mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas dapat ditempuh melalui pendidikan.
Ki Hajar Dewantara (Arif Rohman, 2011: 8) menjelaskan
bahwa pendidikan adalah usaha menuntun segenap kekuatan kodrat
yang ada pada anak, agar mereka sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai kesempurnaan hidup,
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam pernyataan
tersebut dikatakan sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat tanpa membedakan kelebihan dan kekurangan yang mereka
miliki. Mialaret (1993: 5) mengungkapkan bahwa suatu pendidikan
sudah disepakati masyarakat di dunia tanpa memandang perbedaan
ras, tingkat kemodernan dan sosio kulturalnya, bahwa setiap anak
harus memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. UNESCO dalam
hal ini merasa bertanggung jawab untuk mengatur kerja sama
antarbangsa guna memajukan kesamaan kesempatan dalam pendidikan.
Berbagai kerumitan memang melingkupi pendidikan baik dari segi
internal anak itu sendiri, misalnya, adanya hambatan fisik dan
mental, dari segi eksternalnya seperti masalah ekonomi keluarga
yang pada gilirannya memunculkan kelaparan, kekurangan gizi, dan
berbagai masalah lainnya. Senada dengan pernyataan Mialaret,
Mohammad Takdir Ilahi (2013: 16) mengatakan permasalahan
ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan yang layak, sejatinya
juga menjadi persoalan yang cukup krusial dalam dunia
pendidikan kita. Sebab, akibat kesempatan memperoleh pendidikan

1
yang semestinya mereka dapatkan tidak terpenuhi. Ketika banyak anak
bangsa yang putus sekolah, tentu saja jumlah pengangguran dalam
setiap jenjang pendidikan akan semakin bertambah.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi setiap anak
Indonesia merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara
sebagai pemegang kendali segala kebijakan dan berkewajiban untuk
merangkul semua anak dari berbagai kalangan, tidak terkecuali bagi anak
yang memiliki kebutuhan khusus. Langkah pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas yaitu dengan
menyelenggarakan pendidikan bagi semua anak tanpa diskriminasi
yang diwujudkan dalam suatu pendidikan inklusif.
Reid (Henry Kurnia Sulistyadi, 2014: 4) mengatakan bahwa istilah
inklusi memiliki makna yang sangat luas. Inklusi dapat dikaitkan
dengan adanya persamaan atau kesetaraan hak individual dalam
pembagian sumber-sumber tertentu, seperti politik, pendidikan, sosial,
dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut tidaklah berdiri sendiri-sendiri,
melainkan berkaitan satu sama lainnya. Dapat dilihat bahwa istilah inklusi
berkaitan dengan berbagai aspek hidup manusia yang didasarkan atas
prinsip persamaan, keadilan, dan pengakuan atas hak individu. Sementara
apabila dikaitkan dengan ranah pendidikan, Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif?
2. Jelaskan apa saja elemen-elemen pendidikan inklusif?
3. Bagaimana implikasi paradigma pendidikan inklusif?

2
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan secara umum adalah untuk mengidentifikasi dan
mengimplementasikan Definisi dan Elemen Dasar Pendidikan Inklusif dan
Implikasinya Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan. Adapun tujuan
penulisan makalah ini secara khusus adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui definisi dan elemen dasar pendidikan inklusif dan
implikasinya terhadap pergeseran paradigma pendidikan
2. Untuk memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi Munculnya Konsep
Definisi dan Elemen Dasar Pendidikan Inklusif dan Implikasinya
Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan
3. Untuk mengetahui dan memahami Karakteristik Pendidikan Inklusif dan
Implikasinya Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Inklusi
1. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidak puasan penyelenggara
pendidikan bagi seorang anakberkebutuhan khusus dengan menggunakan
sisitem segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggara sekolah
yang diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki kelainan atau anak-anak
berkebutuhan khusus. Sistem ini dilihat bertentangan dengan tujuan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dimana tujuaan
penyelenggaran pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah untuk
mempersiapkan mereka untuk dapat berinteraksi dengan mandiri
dilingkungan masyarakat. Namun dalam proses penyelenggaran
pendidikan, sistem segregasi justru dipisahkan dengan lingkungan
masyarakat, khususunya terjadi dimasyarakat kita berangkat dari sekarang
tersebut, lahirlah beberapa konsep pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif merupakan kata atau istilah yang
dikumandangkan oleh UNESCO berasal dari kata Education for All yang
artinya pendidikan yang ramah untuk semua, dengan pendekatan
pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang tanpa terkecuali.
Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82), pendidikan inklusi
adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi lainnya.
Mereka semua memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan. Hak dan
kesempatan itu tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik individu
secara fisik, mental, sosial, emosional, dan bahkan status sosial ekonomi.
Pada titik ini tampak bahwa konsep pendidikan inklusif sejalan dengan
filosofi pendidikan nasional Indonesia yang tidak membatasi akses peserta
didik kependidikan hanya karena perbedaan kondisi awal dan latar
belakangnya. Inklusif bukan hanya bagi mereka yang berkelainan atau luar
biasa melainkan berlaku untuk semua anak.
Berhubung pendidikan inklusif ini “menyatukan” anak
berkebutuhan khusus dan anak reguler, maka pihak sekolah yang

4
menyelenggarakannya juga harus menyesuaikan kebutuhan peserta didik,
mulai dari kurikulum, sarana pendidikan, hingga sistem pembelajarannya.
Untuk tenaga pendidik, diusahakan adalah mereka yang terlatih dan
profesional di bidangnya supaya dapat menyusun program pendidikan
secara objektif.
2.2 Elemen-Elemen Dasar Pendidikan Inklusif
a. Pemerataan dan peningkatan mutu
Pendidikan inklusif merupakan strategi untuk pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan, dan juga merupakan strategi peningkatan mutu
pendidikan. Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah
untuk menyusun strategi ini. Sikap guru terhadap keragaman kebutuhan
siswa dapat ditingkatkan melalui pemberian informasi yang akurat tentang
kondisi siswa dan cara penanganannya agar semua memiliki hak yang
sama dan mutu pendidikan meningkat.
b. Kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda,
sehingga pendidikan inklusi harus berorientasi pada Program
Pembelajaran Individual (PPI), pendidikan didasarkan pada kebutuhan
anak. Berupa program remedial, akselerasi, eskalasi, atau program-
program lain sesuai kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Program
tersebut bertujuan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khusus
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan luar biasa di kelas reguler.
Penyusunan program tersebut melibatkan guru kelas dan atau guru bidang
studi, guru PLB, konselor, orang tua, dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya.
c. Kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menjaga komunitas kelas yang ramah,
menerima keanekaragaman, menghargai perbedaan, dan saling
memberikan motivasi dalam belajar untuk meraih keberhasilan belajar
bersama. Melalui suasana belajar semacam itu diharapkan siswa akan
memiliki kebiasaan hidup bersama yang baik sehingga dapat
memudahkannya ketika kelak memasuki kehidupan di masyarakat. Siswa
juga diajarkan untuk memandang siswa lain sebagai individu yang unik

5
dan memiliki potensi kemanusiaan yang harus dikembangkan dan
diaktualisasikan dalam kehidupan.
d. Keberlanjutan
Pendidikan inklusif harus diselenggarakan secara berkelanjutan pada
semua jenjang pendidikan. Mulai dari tingkat dasar yaitu TK/Paud,
SD/MI. Tingkat menengah yaitu SMP,SMA/Pesantren. Tingkat tinggi
yaitu Universitas/Institut. Karena sejatinya Pendidikan inklusif
memandang bahwa bahwa manusia belajar sepanjang hayatnya, sedangkan
belajar di sekolah hanya merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia.
Belajar sepanjang hayat tidak hanya untuk menguasai berbagai
kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum untuk dapat naik kelas atau
lulus ujian, tetapi juga belajar untuk dapat berpikir kritis untuk dapat
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan
inklusif menekankan pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi
kelangsungan proses belajar siswa kelak dalam kehidupan masyarakat.
e. Keterlibatan
Dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh
komponen pendidikan terkait. Sekolah, keluarga, dan masyarakat pada
hakikatnya memiliki fungsi yang sama maka hendaknya sekolah, keluarga,
dan masyarakat dapat menjalin kemitraan yang erat dalam upaya
memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat
berkembang secara optimal dan terintegrasi. Hal tersebut karena keluarga
memiliki informasi yang akurat mengenai keunikan, kekuatan, kelemahan,
dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi akurat mengenai
prestasi akademik siswa. Informasi tersebut, baik dari keluarga maupun
sekolah, menjadi landasan penting dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi.
2.3 Implikasi Terhadap Pergeseran Paradigma Pendidikan
Pendidikan Inklusif diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam
pendidikan. Ini dibutuhkan karena kenyataannya, sebuah sekolah tidak baik
untuk semua anak, apalagi untuk anak penyandang cacat dan anak-anak yang
termarginalkan. Oleh sebab itu inklusi bukan sekedar memasukan anak
penyandang cacat ke dalam sistem yang kaku seperti yang ada sekarang, dan
bukan persoalan mengadaptasikan anak ke dalam sistem , akan tetapi persoalan

6
mengadaptasikan sistem yang ada kepada semua anak. Dalam perspektif
pendidikan inklusif yang dipandang sebagai masalah adalah sistem
(kurikulum, guru, lingkungan) bukan anak. Oleh karena itu sistem yang harus
disesuaikan dengan keragaman anak, yaitu perhatian guru harus berpusat pada
anak, kurikulum harus menjadi fleksibel, masyarakat.dan orang tua harus
terlibat.
Paradigma pendidikan inklusif telah mulai menampakkan
perkembangannya. Paradigma pendidikan inklusif dapat memberikan
sumbangan yang besar untuk ikut mengentaskan permasalahan bangsa dalam
kesempatan memperoleh pendidikan yang layak. Paradigma tersebut pada
dasarnya sejalan dengan semakin meluasnya tuntutan akan peningkatan
kualitas dan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas, adil dan
tidak diskriminatif bagi masyarakat.
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pergeseran Paradigma Pendidikan
Implikasi dari pergeseran paradigma pendidikan ABK, maka sistem
pendidikan ABK bergeser dari sistem segregatif ke sistem integratif dan
inklusif. Sistem segregasi adalah sebuah sistem pendidikan yang memisahkan
ABK dari komunitas ‘normal’, mereka dilayani berdasarkan jenis kelainannya
dalam satu atau beberapa unit sekolah khusus untuk satu atau beberapa jenis
kelainan. Sistem integratif atau terpadu adalah sistem sekolah reguler yang
memberikan kesempatan kepada ABK untuk mengikuti pendidikan bersama-
sama dengan anak-anak sebaya yang lain bagi yang memungkinkan. Sistem ini
mengutamakan terjadinya integrasi fisik dan sosial antara ABK dan non ABK.
Sistem integratif mengharuskan siswa ABK menyesuaikan dengan tuntutan
sekolah. Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang memberikan
kesempatan yang sama kepada semua anak tanpa kecuali (ABK dan non ABK)
untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler sesuai dengan potensi,
hambatan dan kebutuhan khusus peserta didik. Sistem ini mengutamakan
terjadinya integrasi fisik, sosial dan akademik bagi semua anak, dan
mengharuskan sekolah menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pendidikan
ABK menemukan banyak bukti baru bahwa ABK dengan berbagai hambatan
fisik dan/atau intelektualnya, mereka mampu mengikuti pendidikan di sekolah-
sekolah reguler setelah guru dan sumber daya lain di sekolah, kurikulum, dan

7
pembelajaran didesain khusus sehingga memungkinkan setiap individu
mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Yi Ding,
2006:9). Temuan semacam ini memperjelas bahwa paradigma inklusif dapat
mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK, dan sekaligus mempertegas bahwa
pendekatan segregatif bukan satu-satunya solusi dalam memenuhi kebutuhan
dan mengatasi hambatan pendidikan bagi ABK.
2.5 Regulasi Pendidikan Inklusif
Regulasi yang ada, jumlah sekolah inklusif di Indonesia terus mengalami
perkembangan, sampai dengan tahun 2014 telah mencapai lebih dari 2100
sekolah inklusif (Kemendikbud, 2013). Namun demikian kondisi ini belum
dinilai maju dibanding dengan perkembangan pendidikan inklusif di beberapa
negara. Hasil penilaian UNESCO tahun 2009 menemukan bahwa pada
awalnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tahun 2007 Indonesia
menduduki ranking 58 dari 130 negara. Tetapi karena berbagai faktor,
terutama kurangnya komitmen dan dukungan pemerintah, sehingga
implementasinya belum menasional dan menyeluruh. Ranking tersebut terus
mengalami kemerosotan menjadi ranking 63 pada tahun 2008 dan ranking 71
pada tahun 2009 (Kompas.com, 30 November 2009).
Menyadari keterbelakangan Indonesia dalam pendidikan inklusif,
Pemerintah dalam tiga tahun terakhir melakukan gerakan masiv pembudayaan
pendidikan inklusif melalui provinsi dan kabupaten/kota, serta Perguruan
Tinggi (PT). Sampai tahun 2014, sudah lebih dari 50 kab/kota dan 6 provinsi,
serta 5 PTN yang mendeklarasikan sebagai Provinsi, Kab/Kota dan PT yang
peduli terhadap pendidikan Inklusif. Gerakan masiv ini diharapkan dapat
mendorong lahirnya budaya pendidikan inklusif menuju masyarakat dan
bangsa yang inklusif.
Apa yang harus dilakukan?
Pemahaman terhadap pendidikan inklusif di kalangan warga sekolah harus
diluruskan. Implementasi pendidikan inklusif tidak boleh dipahami hanya
sekedar memberikan tempat dan ruang bagi penyandang cacat di sekolah
regular karena memenuhi tuntutan dunia. Pendidikan inklusif seharusnya
dipahami sebagai sebuah sistem pendidikan yang berorientasi pada
peningkatan mutu dan inovasi pendidikan dalam arti luas. Ketika konsep
pendidikan inklusif dipahami sebagai sistem pendidikan yang berorientasi pada

8
mutu dan inovasi pendidikan makna pendidikan inklusif menjadi tugas dan
tanggung jawab serta kebutuhan bersama. Kepala Sekolah, Guru, orangtua,
dan masyarakat seharusnya terpanggil untuk mendukung dan mensukseskan
gerakan pendidikan inklusif. Kuncinya adalah kepala sekolah dan guru.
Selama Kepala Sekolah dan Guru masih bersikap skeptis dan pesimis terhadap
pendidikan inklusif, maka mustahil pendidikan inklusif dapat berkembang dan
berlangsung dengan baik di sekolah tersebut. Untuk mengubah cara pandang
kepala sekolah dan guru dapat dilakukan dengan berbagai cara. Berikut ini
mungkin dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut:
a. Meluruskan persepsi tentang pendidikan inklusif. Prinsip utama dalam
pendidikan inklusif adalah pelayanan kepada semua anak sesuai dengan
potensi, hambatan dan kebutuhannya. Dengan prinsip ini maka semua
anak dengan kondisi apapun akan dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal, yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sekolah.
b. Pelatihan berkelanjutan. Kepala sekolah dan guru perlu diberikan
pembekalan melalui pelatihan yang berkelanjutan tentang bagaimana
menyiapkan, merencanakan, mengelola, mengevaluasi dan
mengembangkan pendidikan inklusif. Banyak hal teknis yang harus
dimengerti dan dilaksanakan kepala sekolah dan guru dalam implementasi
pendidikan inklusif. Pelatihan manajemen dan teknis layanan pendidikan
di sekolah inklusif perlu diberikan kepada mereka secara berkelanjutan.
c. Pengalaman ‘best practices’. Kepala sekolah dan guru perlu melihat
secara langsung praktik terbaik dalam pendidikan inklusif di sekolah-
sekolah yang telah menerapkan pendidikan inklusif. Melalui observasi dan
dialog dengan sekolah lain, akan muncul keyakinan baru bahwa mengelola
sekolah inklusif, bukan hal yang sulit, melainkan sebuah tantangan
menuju pendidikan yang lebih bermutu.
d. Pengembangan sekolah model. Pemerintah perlu mengembangkan banyak
sekolah inklusif model di setiap daerah. Melalui sekolah model, dapat
dijadikan percontohan bagi sekolah lain yang akan mengembangkan
pendidikan inklusif.

9
BAB III
PENUTUP

10
DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai