Anda di halaman 1dari 3

Pada praktikum kali ini yakni para praktikan menganalisis kadar protein dari beberapa

sampel bahan yaitu tahu, biskuit, bakso, sosis dan tepung dengan menggunakan metode
kjeldahl. Menurut Afkar et al. (2020), menyatakan bahwa metode kjeldahl merupakan salah
satu metode yang sederhana pada penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan
senyawa yang mengandung nitrogen. Dimana sampel didestruksi dengan asam sulfat dan
dikatalis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat, setelah
pembebasan dengan alkalikuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke
dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi. Pada metode ini cocok digunakan secara
semi mikro yang telah banyak mengalami modifikasi. Kadar protein yang ditentukan
berdasarkan cara Kjeldahl disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena terikut
senyawa N bukan protein. Prinsip kerja dari metode Kjeldahl adalah protein dan komponen
organik dalam sampel didestruksi dengan menggunakan asam sulfat dan katalis. Hasil
destruksi dinetralkan dengan menggunakan larutan alkali dan melalui destilasi. Destilat
ditampung dalam larutan asam borat. Selanjutnya ion-ion borat yang terbentuk dititrasi
dengan menggunakan larutan HCl. Menurut Sudarmadji (2003), penetapan jumlah protein
dalam bahan makanan dilakukan berdasarkan peneraan empiris (tidak langsung), yaitu
melalui penentuan kadar N sampel yang dikembangkan oleh Kjeldahl. Kadar N pada sampel
kemudian dikali dengan faktor konversi. Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl
sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein) karena selain protein senyawa N
juga berada pada stuktur urea, asam amino, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, amida,
purin, dan pirimidin.

Dari data yang diperoleh pada tabel 4.1 Analisis kadar Protein, didapatkan % protein
kasar dari sampel tahu, sosis, tepung, biskuit, dan bakso. Pada sampel tahu diperoleh hasil
persentase protein kasar sebesar 3,036% hasil tersebut dapat dikatakan tidak sesuai karena
bertolak belakang atau berbanding terbalik dengan standar yang telah ditetapkan. Dimana
menurut Andarwulan et al., (2019), menyatakan bahwa persentase kadar protein pada tahu itu
sebesar 6%. Hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diantaranya
seperti waktu dalam perendaman kedelai karena semakin lama perendaman maka semakin
meningkat kadar air-nya dan kadar protein pun semakin menurun. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Midayanto & Yuwono, (2014) bahwa semakin lama perendaman maka kadar air
semakin meningkat dan kadar protein semakin menurun. Sehingga mengakibatkan aroma
yang tidak khas dan rasa tang yang kurang.
Pada sampel sosis dan bakso diperoleh hasil persentase protein kasar berdasarkan tabel
4.1 yaitu sebesar 5,63% dan 4,31% hasil kedua sampel tersebut dapat dikatakan tidak sesuai
karena bertolak belakang atau berbanding terbalik dengan standar yang telah ditetapkan.
Dimana menurut Mitasari, (2018) bahwa kandungan protein minimum pada sosis yaitu
sebesar 13%. Dan menurut (SNI, 2014) bahwa kandungan minimum protein itu sebesar 11%.
Hal ini dapat terjadi diduga karena kandungan daging yang ditambahkan pada sampel sosis
dan bakso ini dapat mempengaruhi terhadap kadar proteinnya, apabila semakin sedikit
proporsi daging yang ditambahkan maka semakin sedikit pula kadar protein nya, akan tetapi
sebaliknya apabila proporsi daging yang ditambahkan besar maka semakin besar pula
kandungan proteinnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pinto, et al., (2015) bahwa dengan
penambahan proporsi daging secara nyata meningkatkan konsentrasi protein.

Berdasarkan pada tabel 4.1 bahwa sampel biskuit dengan merek Roma Marie Susu
diperoleh data persentase protein kasar yakni sebesar 4.92%. Kemudian menurut Fatsecret,
(2021) menyatakan bahwa kandungan kadar protein yang ada pada biskuit bermerek Roma
Marie Susu itu sebesar 11,90%.Perolehan data tersebut sangatlah berbanding jauh dengan
pernyataan peneliti tersebut. Hal ini dapat terjadi karena diduga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yakni seperti bahan pereaksinya yang sudah lama, kemudian bahan baku nya, dan
faktor-faktor penyebab lainnya.

Selanjutnya pada sampel tepung didapatkan hasil persentase protein kasar berdasarkan
tabel 4.1 yakni sebesar 5,47%, hasil tersebut ternyata tidaklah sesuai dengan standar. Karena
jika dilihat dari SNI, (2009) bahwa kandungan kadar protein minimum pada tepung itu
sebesar 7%. Hal ini dapat terjadi karena diduga pada saat proses pengolahannya yang belum
maksimal seperti suhu nya yang kurang tinggi ketika proses pengeringan sehingga kadar air
yang terkandung pada tepung tersebut itu masih banyak.

Dari kelima sampel tersebut dapat kita simpulkan bahwa sampel-sampel yang di ujikan
itu memperoleh hasil yang tidak akurat dengan kadar protein yang seharusnya atau tidak
sesuai dengan standar. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi nya
sehingga hasil yang didapat pun demikian seperti faktor bahan pereaksinya yang diduga
sudah terlalu lama, kemudian konsentrasinya ketika saat titrasi, lalu bahan bakunya yang
mana pada saat proses pengolahannya yang mungkin saja berpengaruh dan banyak faktor
penyebab lainnya. Tidak hanya itu, metode yang digunakan pun bisa saja mendapati
perbedaan terhadap hasil sampel yang diperoleh dimana metode kjeldahl ini ialah metode
protein secara tidak langsung karena metode ini hanya menganalisi kadar nitrogen yang
kemudian dikonversi menjadi protein kasar. Yang mana protein kasar ini ialah protein yang
tidak mengandung protein saja melainkan mengandung nitrogen juga yang bukan berasal dari
protein atau non protein nitrogen.

Anda mungkin juga menyukai