Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

POLI JIWA DAN NARKOBA


RSUD JEND. AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

Dispareunia Non Organik (F 52.6)

Perseptor :

dr. Woro Pramesti, Sp.KJ

Oleh :

Vina Putri Anisya

21360094

Masa KKM : 26 September - 28 Oktober 2022

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN NARKOBA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD. JENDRAL AHMAD YANI METRO
LAMPUNG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Vina Putri Anisya

NPM : 21360094

Judul : Dispareunia Non Organik

Telah menyelesaikan tugas referat dan telah dibacakan pada tanggal Oktober 2022

dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati

Disetujui oleh :

Metro, Oktober 2022

Perseptor Koas

dr. Woro Pramesti, Sp.KJ Vina Putri Anisya

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

menganugerahkan banyak nikmat sehingga saya dapat menyusun referat dalam rangka

kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas

Malahayati.

Dalam penyusunan referat ini, tentu tak lepas dari pengarahan dan bimbingan dari

dr. Woro Pramesti, Sp.KJ. Maka penulis ucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada dr.

Woro Pramesti, Sp.KJ yang telah membantu saya dalam menyelesaikan referat ini.

Penulis sangat berharap semoga refrat ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar referat ini menjadi

bahan belajar bagi pembaca. Saya merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam

penyusunan referat ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu

saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan referat.

Metro, Oktober 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3

2.1 DEFINISI ................................................................................................................. 3

2.2 EPIDEMIOLOGI ..................................................................................................... 3

2.3 ETIOLOGI ............................................................................................................... 4

2.4 KLASIFIKASI ........................................................................................................ 4

2.5 MANISFETASI KLINIS ......................................................................................... 5

2.6 DIAGNOSIS ............................................................................................................ 5

2.7 PENATALAKSANAAN ......................................................................................... 8

2.8 PENCEGAHAN ...................................................................................................... 9

2.9 PROGNOSIS ........................................................................................................... 9

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dispareunia adalah nyeri genital yang dirasakan sebelum, selama atau setelah

koitus. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh faktor psikogenik dan somatik serta

kombinasi keduanya.1 Menurut penelitian Dean A. Seehusen dkk tahun 2014 telah

menunjukkan bahwa dispareunia terjadi pada sekitar 10-20% wanita di Amerika

Serikat2. Menurut penelitian KR Mitchell et al (2017) setelah menanyai 6.669 wanita

yang aktif secara seksual di Inggris Raya pada usia 16-74 tahun mengungkapkan

bahwa 7,5% wanita melaporkan tentang seks yang menyakitkan, yang dalam

seperempat kasus sangat sering atau selalu selama 6 bulan, sehingga menyebabkan

kesulitan dalam berhubungan seksual3. Seks yang menyakitkan terkait erat dengan

masalah seksual lainnya, terutama kekeringan vagina, kecemasan tentang seks dan

kurangnya kenikmatan seksual. Hal di atas disebabkan oleh tingkat ketertarikan yang

tidak setara terhadap seks. Juga, berhubungan dengan indeks kesehatan mental dan

termasuk gejala depresi. Proporsi individu, yang melaporkan tentang seks yang

menyakitkan, adalah yang tertinggi di antara wanita termuda (16-24 tahun) dan

wanita berusia 55-64 tahun. Setelah penilaian hasil penelitian terhadap 313 wanita

Aaron Glatt et al. (1990) mengungkapkan bahwa dari 122 orang (39,0%) tidak pernah

merasakan nyeri yang berhubungan dengan koitus, sedangkan 61% wanita pernah

merasakan nyeri tersebut4. Dispareunia tercermin dalam klasifikasi medis modern.

Klasifikasi Penyakit Internasional, Revisi Kesepuluh (1994) memiliki Kode F.52.6


“dispareunia nonorganik” dan Kode N94.1 “dispareunia”, yang mengacu pada

gangguan asal organik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Dispareunia berasal dari kata Yunani kuno yang berarti sulit kawin atau
menikah (difficult mating) apapun penyebabnya, “pasangan buruk yang tidak selalu
serasi/harmonis5. Dispareunia berarti nyeri alat kelamin yang menetap atau berulang,
yang berkaitan dengan hubungan seksual (masuknya penis ke vagina) atau upaya
memasukkan objek ke vagina (baik sebagian atau keseluruhan), yang menyulitkan
diri sendiri atau menimbulkan ketidaknyamanan6.

Dispareunia non organik adalah keadaan nyeri pada saat berhubungan


seksual, dapat terjadi pada laki – laki maupun perempuan. Diagnosis ini dibuat hanya
bila tidak ada kelainan seksual primer lainnya (seperti vaginismus atau keringnya
vagina)7.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut penelitian Dean A. Seehusen dkk tahun 2014 telah menunjukkan


bahwa dispareunia terjadi pada sekitar 10-20% wanita di Amerika Serikat2. Menurut
penelitian KR Mitchell et al (2017) setelah menanyai 6.669 wanita yang aktif secara
seksual di Inggris Raya pada usia 16-74 tahun mengungkapkan bahwa 7,5% wanita
melaporkan tentang seks yang menyakitkan, yang dalam seperempat kasus sangat
sering atau selalu selama 6 bulan, sehingga menyebabkan kesulitan dalam
berhubungan seksual3. Proporsi individu, yang melaporkan tentang seks yang
menyakitkan, adalah yang tertinggi di antara wanita termuda (16-24 tahun) dan
wanita berusia 55-64 tahun. Setelah penilaian hasil penelitian terhadap 313 wanita
Aaron Glatt et al. (1990) mengungkapkan bahwa dari 122 orang (39,0%) tidak pernah
merasakan nyeri yang berhubungan dengan koitus, sedangkan 61% wanita pernah
merasakan nyeri tersebut4.

3
Di Indonesia, angka dispareunia belum diketahui pasti mengingat hambatan
sosiokultural, sebagian masyarakat masih tabu membicarakan masalah/problematika
seks, banyak wanita enggan berbicara terbuka dengan pasangannya, terlebih lagi
untuk ke dokter. Hal ini merupakan hambatan terbesar penatalaksanaan kasus ini7.

2.3 ETIOLOGI
Beberapa faktor psikis pencetus dispareunia, seperti: (1) Riwayat trauma
seksual, misalnya: incest, diperkosa. Ada yang beranggapan hal ini tidak berperan
penting menyebabkan dispareunia, (2) Persetubuhan sebelumnya nyeri, dengan
alasan/penyebab apapun, (3) Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan, (4) Rasa
bersalah (konflik dengan keluarga, agama, sistem nilai, adat-istiadat, sahabat,
kerabat, dsb), ketidaktahuan (harapan penampilan yang tak realistik, fantasi seksual
berlebihan, misinformasi seksualitas dan hubungan sosial, dsb), faktor lingkungan
(kejenuhan, tidak ada keleluasaan pribadi atau privacy, preokupasi karir atau
orangtua, kurangnya waktu, kurangnya kehangatan dan kebersamaan), (5)
Problematika pernikahan, misalnya: penderitaan, tekanan, ketidakharmonisan, dan
sebagainya 9-12.

Faktor perilaku (behavioural), kognitif, dan afektif. Pada studi yang


melibatkan lebih dari 1400 remaja wanita, mereka yang dispareunia setidaknya dalam
6 bulan terakhir, lebih banyak melaporkan riwayat siksaan seksual di masa lalu (past
sexual abuse), ketakutan terhadap siksaan fisik, dan ansietas bila dibandingkan
dengan kontrol. Penyiksaan atau trauma seksual dan fisik di masa anak (severe
physical or sexual childhood abuse) berisiko 4-6 kali lipat menjadi dispareunia dan
nyeri genital di masa dewasa.13

2.4 KLASIFIKASI

Upaya empiris pertama untuk menggambarkan subtipe dispareunia dilakukan


oleh Meana dkk (1997).14 Dua subtipe dispareunia adalah superficial dyspareunia
dan deep dyspareunia. Disebut superficial dyspareunia bila sensasi nyeri dirasakan
di vaginal introitus. Mayoritas wanita merasakan subtipe ini. Disebut deep

4
dyspareunia bila sensasi nyeri dirasakan di bagian dalam pelvis selama masuknya
penis. Dispareunia juga diklasifikasikan menjadi primer (nyeri muncul dari saat mulai
bersenggama) dan sekunder (rasa tak nyaman bersenggama dirasakan setelah
dimulainya sensasi bebas-nyeri saat senggama), dengan kategorisasi lebih lanjut:
komplet/lengkap (selama semua episode) atau situasional/ sesaat (hanya selama
persetubuhan tertentu atau dengan pasangan tertentu).15

2.5 MANISFETASI KLINIS

Pada persistent dyspareunia, beberapa lokasi paling nyeri seperti: di daerah


introitus vagina, vagina, uretra, kandung kemih, pelvis, atau tersebar dan tak dapat
ditentukan pasti lokasinya. Penderita dispareunia bisa memiliki pendapat negatif
tentang interaksi seksual. Bila berlangsung lama pada wanita bisa menyebabkan
vaginismus, pada pria bisa menyebabkan ejakulasi dini atau disfungsi ereksi. Hanya
sedikit wanita dispareunia disertai depresi dan gangguan cemas. Depresi bukan
penyebab rasa nyeri dispareunia.16-19 Pendekatan klinis dilematis karena kurangnya
standarisasi temuan pemeriksaan fisik, ketidaksesuaian antara temuan fisik yang
objektif dengan keluhan penderita yang subjektif, kurangnya pilihan terapi terutama
dengan diagnosis yang belum jelas. Model psychogenic-biogenic yang terintegrasi
perlu dikembangkan dan diimplementasikan untuk diagnosis dan penatalaksanaan
dispareunia yang efektif20.

2.6 DIAGNOSIS

Dispareunia non organik adalah keadaan nyeri pada saat berhubungan


seksual, dapat terjadi pada laki – laki maupun perempuan. Diagnosis ini dibuat hanya
bila tidak ada kelainan seksual primer lainnya (seperti vaginismus atau keringnya
vagina)7.

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR gangguan nyeri mensyaratkan adanya


keluhan nyeri yang secara klinis signifikan (Tabel 1). Keluhan nyeri harus dinilai
dipengaruhi secara signifikan oleh faktor psikologis dan gejalanya harus
menimbulkan distres emosional yang signifikan atau hendaya fungsional (cth., sosial

5
atau pekerjaan). DSM-IV-TR mengharuskan bahwa gangguan nyeri terkait hanya
dengan faktor psikologis atau dengan faktor psikologis maupun keadaan medis
umum. DSM-IV-TR rnerinci lebih jauh bahwa gangguan nyeri hanya terkait keadaan
medis umum didiagnosis sebagai keadaan aksis III dan juga memungkinkan klinisi
merinci gangguan nyeri sebagai akut atau kronis, bergantung pada durasi gejala telah
selama 6 bulan atau lebih 21.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan Nyeri21

6
Terdapat beragam kuesioner untuk tujuan spesifik pada penderita dispareunia.
Untuk menilai automatic affective sex-related associations, digunakan Affective
Simon Task (AST). McGill-Melzack Pain Questionnaire menilai tingkat keparahan
nyeri. Changes Sexual Functioning Questionnaire, Female Sexual Function Index,
McCoy Female Sexuality Questionnaire, dan Female Sexual Distress Scale untuk
mengidentifi kasi dan mendiagnosis individu dengan disfungsi seksual.
GolombokRust Inventory of Sexual Satisfaction (GRISS) dan The Sexual
Satisfaction Scale for Woman untuk mengukur perbaikan atau peningkatan atau
kepuasan terapi. Jika disertai depresi atau cemas, maka dapat digunakan Beck
Anxiety Inventory. The Female Sexual Distress Scale (FSDS) untuk mengukur
penderitaan (distress) individu yang berkaitan dengan seksual. Untuk membedakan
aspek kognisi wanita dengan dan tanpa female sexual disorder, terutama pada kasus
dyspareunia dan vaginismus, digunakan kuesioner Vaginal Penetration Cognition
Questionnaire (VPCQ). Kuesioner ini memiliki lima subskala: pengendalian kognisi
(kesadaran, pemahaman), malapetaka (catastrophic) dan kognisi (pengenalan) nyeri,
kognisi self-image, kognisi genital incompatibility. Reliabilitas subskala ini berkisar
dari 0,70 hingga 0,83. Untuk menilai fungsi seksual perempuan, digunakan kuesioner
Female Sexual Function Index (FSFI). Kuesioner ini adalah suatu multidimensional
self-report instrument, berisi 19 pertanyaan singkat, mencerminkan kondisi seksual
selama 4 minggu terakhir, telah divalidasi reliabilitas dan validitasnya, terutama
untuk studi epidemiologi dan uji klinis. FSFI terdiri dari 6 dimensi atau domain
pokok, yaitu:

(1) orgasme (meliputi frekuensi, kesulitan, kepuasan),


(2) nyeri (meliputi frekuensi selama penetrasi vagina, frekuensi yang mengikuti
penetrasi vagina, tingkat selama atau mengikuti penetrasi vagina),
(3) bangkitan atau arousal (meliputi frekuensi, tingkat, kepercayaan diri, kepuasan),
(4) hasrat atau desire (meliputi: frekuensi, tingkat),
(5) pelumasan atau lubrikasi (meliputi frekuensi, kesulitan, frekuensi serta kesulitan
di dalam pemeliharaan atau mempertahankan), dan

7
(6) kepuasan (meliputi rata-rata kehidupan seksual, dengan partner seksual,
kedekatan/ keintiman). Untuk menilai profil biopsikososial wanita dengan
dyspareunia, perlu dilakukan pemeriksaan ginekologis standar, endovaginal
ultrasound, dan colposcopy. Dilakukan juga interview terstruktur tentang nyeri
selain dyspareunia, fungsi seksual, riwayat penyiksaan/trauma, penggunaan
kuesioner Brief Symptom Inventory, Sexual Opinion Survey, dan Locke-Wallace
Marital Adjustment Scale22.

2.7 PENATALAKSANAAN

1. Farmakologi
Antidepresan, seperti trisiklik dan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRI), berguna. Mekanisme antidepresan dalam mengurangi nyeri masih
kontroversial, apakah melalui kerja antidepresan atau mengeluarkan efek
analgesik langsung dan independen (mungkin dengan merangsang jaras nyeri
inhibisi eferen). Keberhasilan SSRI menyokong hipotesis bahwa serotonin
penting dalam patofisiologi gangguan ini. Amfetamin, yang memiliki efek
analgesik, dapat menguntungkan bagi beberapa pasien, khususnya jika digunakan
sebagai tambahan terhadap SSRI, tetapi dosisnya harus diawasi dengan cermat.21
2. Psikoterapi
Sejumlah data keluaran menunjukkan bahwa psikoterapi psikodinamik
membantu pasien dengan gangguan nyeri. Langkah utama psikoterapi adalah
membangun hubungan terapeutik yang solid melalui empati terhadap penderitaan
pasien. Klinisi tidak boleh mengkonfrontasi pasien somatisasi dengan komentar
seperti, "lni semua hanya ada di dalam pikiran Anda". Bagi pasien, nyeri yang
dialami adalah nyata, dan klinisi harus memahami realitas nyeri tersebut,
meskipun mereka mencurigai asalnya sebagian besar adalah intrapsikik. Titik
masuk yang berguna di dalam aspek emosi nyeri adalah memeriksa percabangan
interpersonal dalam kehidupan pasien. Dengan menggali masalah perkawinan,
contohnya, psikoterapis dapat segera sampai pada sumber nyeri psikologis pasien

8
dan fungsi keluhan fisik dalam hubungan yang signifikan. Terapi kognitif telah
digunakan untuk mengubah pikiran negatif dan untuk memupuk sikap positif.21

2.8 PENCEGAHAN

1. Menciptakan suasana dan mencari lingkungan romantis.


2. Membina dan menjalin komunikasi seksual yang terbuka baik sebelum, selama,
dan setelah melakukan hubungan seks.
3. Mencoba berbagai variasi atau metode alternatif tentang ekspresi seksual
termasuk berfokus kepada sensasi seksual; mencatat munculnya pikiran-pikiran
negatif dan menganalisis saat nyeri seksual muncul; memperlama foreplay;
menggunakan aromaterapi, kemenyan, lilin, musik untuk meningkatkan kualitas
pengalaman seksual; memakai pelumas vagina berbasis air untuk vaginal
moisturizers; menggunakan fantasi yang disetujui bersama; memakai alat
perangsang.
4. Menghindari ego seksual terhadap pasangan, yakni: hanya baik kepada pasangan,
hanya mau memuji, bersikap mesra dan romantis, bersikap baik hanya bila mau
mengajak berhubungan intim.
5. Menghindari mengajak berhubungan intim bila ia merasa lelah, tidak sedang
bergairah, kurang mood, sedang banyak masalah, atau sedang tidur. Bila istri
dibangunkan hanya untuk bersenggama, akan memiliki anggapan dirinya hanya
sebagai pemuas nafsu seks semata.
6. Saling mencintai, saling mengasihi, saling memahami, saling setia, saling
pengertian, saling memiliki, sehingga tercipta keharmonisan dan tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
7. Sosialisasi kesehatan reproduksi sesuai tingkat pendidikan dan pemahaman
masyarakat. Diperlukan kerjasama lintas sektoral dan multidisiplin ilmu.
8. Edukasi dan konseling berkesinambungan dan berkelanjutan guna mengubah
paradigma negatif masyarakat tentang seks (misalnya, bicara seks itu tabu).
9. Konseling dan terapi kesehatan seksual sebelum, selama, dan setelah masa
persalinan atau melahirkan.

9
10. Keintiman seksual adalah aspek fundamental kemanusiaan. Keterlibatan rasa,
jiwa, hati, dan pikiran secara totalitas di dalam aktivitas seksual amatlah penting
untuk dilakukan secara berkesinambungan.
11. Edukasi seksualitas secara holistik.21

2.9 PROGNOSIS

Nyeri pada gangguan nyeri umumnya dimulai dengan tiba-tiba dan meningkat
keparahannya untuk beberapa minggu atau bulan. Prognosisnya bervariasi walaupun
gangguan nyeri sering dapat bersifat kronik, menimbulkan distres, dan benar-benar
menimbulkan ketidakmampuan. Jika faktor psikologis mendominasi gangguan nyeri,
rasa nyeri tersebut dapat membaik dengan terapi atau setelah menyingkirkan
dorongan eksternal. Pasien dengan prognosis terburuk, dengan atau tanpa terapi,
memiliki masalah karakter yang sebelumnya telah ada, khususnya pasivitas yang
nyata; terlibat di dalam proses hukum atau mendapatkan kompensasi keuangan;
penggunaan zat yang menimbulkan kecanduan; dan memiliki riwayat nyeri yang
panjang.21

10
BAB III
KESIMPULAN

Dispareunia non organik adalah keadaan nyeri pada saat berhubungan seksual, dapat

terjadi pada laki – laki maupun perempuan. Diagnosis ini dibuat hanya bila tidak ada kelainan

seksual primer lainnya (seperti vaginismus atau keringnya vagina). Proporsi individu, yang

melaporkan tentang seks yang menyakitkan, adalah yang tertinggi di antara wanita termuda

(16-24 tahun) dan wanita berusia 55-64 tahun. Dyspareunia non organic biasanya disebabkan

oleh riwayat trauma seksual, Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan, harapan penampilan

yang tak realistik, fantasi seksual berlebihan, Problematika pernikahan. Jika faktor psikologis

mendominasi gangguan nyeri, rasa nyeri tersebut dapat membaik dengan terapi atau setelah

menyingkirkan dorongan eksternal.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Коcharyan G.S. Hypersexuality: a clinical observation, Psychological counseling and


psychotherapy, 13, (2020). 87–95, https://doi.org/10.26565/2410-1249-2020-13-09

2. Seehusen Dean A., Baird Drew C., Darnall Carl R., Bode David V. (2014).
Dyspareunia in Women, Am Fam Physician, 90(7), 465–470.

3. Mitchell K.R., Geary R., Graham C.A., Datta J., Wellings K., Sonnenberg P, Field N,
Nunns D, Bancroft J., Jones K.G, Johnson A.M., Mercer C.H. (2017). Painful sex
(dyspareunia) in women: prevalence and associated factors in a British population
probability survey, BJOG, 124(11), 1689–1697, https://doi.org/10.1111/1471-
0528.14518.

4. Glatt A, Zinner S, McCormack W. (1990). The Prevalence of Dyspareunia. Obstetrics


& Gynecology. 75(3 Pt 1), 433-436.

5. Basson R, Berman J, Burnett A, Derogatis L, Ferguson D, Fourcroy J, et al. Report


of the international consensus development conference on female sexual dysfunction:
Defi nitions and classifi cation. Journal of Urology 2003;163:888-893.

6. Basson R, Shultz WCW, Binik YM, Brotto LA, Eschenbach DA, Laan E, et al.
Women’s sexual desire and arousal disorders and sexual pain. In: Lue TF, Bassoon
R, Rosen R, Giuliano F, Khoury S, Montorris F, editors. Sexual medicine: sexual
dysfunctions in men and women. Paris, France: Health Publications; 2004. p.851-974

7. Maslim, Dr. dr. Rusdi, Sp. KJ, M. Kes. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa
Rujukan Singkat Dari PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: FK Unika Atmajaya. Hal 57

8. Windhu BSC. Disfungsi Seksual: Tinjauan Fisiologis dan Patologis terhadap


Seksualitas. Penerbit Andi. Yogyakarta. 2009. Bab VIII. Hlm 177-200

9. Meana M, Binik I, Khalife S, Cohen D. Aff ect and marital adjustment in women’s
ratings of dyspareunic pain. Can J Psychiatry 1998;43:381–5.

10. Meana M, Binik YM, Khalife S, Cohen D. Biopsychosocial profi le of women with
dyspareunia. Obstet Gynecol 1997;90:583–9.

12
11. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. Sexual dysfunction in the United States: prevalence
and predictors [published erratum appears in JAMA 1999;281:1174]. JAMA
1999;281:537–44.

12. Butcher S, Ling FW. Sexual Pain Disorders: Both a Psychogenic and Biologic
Diagnosis. Primary Psychiatry. 2008;15(9):53-60

13. Harlow BL, Stewart EG. Adult-onset vulvodynia in relation to childhood violence
victimization. Am J Epidemiol 2005;161:871–80.

14. Meana M, Binik I, Khalife S, et al. Dyspareunia: sexual dysfunction or pain


syndrome? The Journal of Nervous Nad Mental Disease. 1997;185:561-9.

15. Binik YM. The DSM diagnostic criteria for dyspareunia. Arch Sex Behav.
2010;39:292-303.

16. Graziottin A. Clinical approach to dyspareunia. J Sex Marital Ther 2001;27: 489-501.

17. Pukall CF, Payne KA, Kao A, Khalife S, Binik YM. Dyspareunia. See Handbook of
Sexual Dysfunction, ed. R Balon, RT Segraves. New York: Taylor & Francis.
2005.pp 249–72.

18. Graziottin A, Bottanelli M, Bertolasi L. Vaginismus: a clinical and


neurophysiological study. Urodinamica 2004;14:117-21.

19. Akbulut S, Cakabay B, Sezgin A, Ozmen C. A rare cause of severe dyspareunia: a


case report and literature review. Arch Gynecol Obstet 2010; 281:153–155

20. Phillips NA. The clinical evaluation of dyspareunia. Int J Impot Res. 1998 May;10
Suppl 2:S117-20

21. Kaplan, Harold I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. Gangguan Delusional.
Dalam: synopsis psikiatri. Jilid satu. Jakarta: Binapura Aksara; 2010. hal. 474; 85-
771

22. Anurogo, D. (2013). Memahami Dispareunia. Jakarta: Kalbe Farma.

13

Anda mungkin juga menyukai