Perseptor :
Oleh :
21360094
NPM : 21360094
Telah menyelesaikan tugas referat dan telah dibacakan pada tanggal Oktober 2022
dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati
Disetujui oleh :
Perseptor Koas
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga saya dapat menyusun referat dalam rangka
kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati.
Dalam penyusunan referat ini, tentu tak lepas dari pengarahan dan bimbingan dari
dr. Woro Pramesti, Sp.KJ. Maka penulis ucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada dr.
Woro Pramesti, Sp.KJ yang telah membantu saya dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis sangat berharap semoga refrat ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan saya berharap lebih jauh lagi agar referat ini menjadi
bahan belajar bagi pembaca. Saya merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan referat ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan referat.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
koitus. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh faktor psikogenik dan somatik serta
kombinasi keduanya.1 Menurut penelitian Dean A. Seehusen dkk tahun 2014 telah
yang aktif secara seksual di Inggris Raya pada usia 16-74 tahun mengungkapkan
bahwa 7,5% wanita melaporkan tentang seks yang menyakitkan, yang dalam
seperempat kasus sangat sering atau selalu selama 6 bulan, sehingga menyebabkan
kesulitan dalam berhubungan seksual3. Seks yang menyakitkan terkait erat dengan
masalah seksual lainnya, terutama kekeringan vagina, kecemasan tentang seks dan
kurangnya kenikmatan seksual. Hal di atas disebabkan oleh tingkat ketertarikan yang
tidak setara terhadap seks. Juga, berhubungan dengan indeks kesehatan mental dan
termasuk gejala depresi. Proporsi individu, yang melaporkan tentang seks yang
menyakitkan, adalah yang tertinggi di antara wanita termuda (16-24 tahun) dan
wanita berusia 55-64 tahun. Setelah penilaian hasil penelitian terhadap 313 wanita
Aaron Glatt et al. (1990) mengungkapkan bahwa dari 122 orang (39,0%) tidak pernah
merasakan nyeri yang berhubungan dengan koitus, sedangkan 61% wanita pernah
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Dispareunia berasal dari kata Yunani kuno yang berarti sulit kawin atau
menikah (difficult mating) apapun penyebabnya, “pasangan buruk yang tidak selalu
serasi/harmonis5. Dispareunia berarti nyeri alat kelamin yang menetap atau berulang,
yang berkaitan dengan hubungan seksual (masuknya penis ke vagina) atau upaya
memasukkan objek ke vagina (baik sebagian atau keseluruhan), yang menyulitkan
diri sendiri atau menimbulkan ketidaknyamanan6.
2.2 EPIDEMIOLOGI
3
Di Indonesia, angka dispareunia belum diketahui pasti mengingat hambatan
sosiokultural, sebagian masyarakat masih tabu membicarakan masalah/problematika
seks, banyak wanita enggan berbicara terbuka dengan pasangannya, terlebih lagi
untuk ke dokter. Hal ini merupakan hambatan terbesar penatalaksanaan kasus ini7.
2.3 ETIOLOGI
Beberapa faktor psikis pencetus dispareunia, seperti: (1) Riwayat trauma
seksual, misalnya: incest, diperkosa. Ada yang beranggapan hal ini tidak berperan
penting menyebabkan dispareunia, (2) Persetubuhan sebelumnya nyeri, dengan
alasan/penyebab apapun, (3) Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan, (4) Rasa
bersalah (konflik dengan keluarga, agama, sistem nilai, adat-istiadat, sahabat,
kerabat, dsb), ketidaktahuan (harapan penampilan yang tak realistik, fantasi seksual
berlebihan, misinformasi seksualitas dan hubungan sosial, dsb), faktor lingkungan
(kejenuhan, tidak ada keleluasaan pribadi atau privacy, preokupasi karir atau
orangtua, kurangnya waktu, kurangnya kehangatan dan kebersamaan), (5)
Problematika pernikahan, misalnya: penderitaan, tekanan, ketidakharmonisan, dan
sebagainya 9-12.
2.4 KLASIFIKASI
4
dyspareunia bila sensasi nyeri dirasakan di bagian dalam pelvis selama masuknya
penis. Dispareunia juga diklasifikasikan menjadi primer (nyeri muncul dari saat mulai
bersenggama) dan sekunder (rasa tak nyaman bersenggama dirasakan setelah
dimulainya sensasi bebas-nyeri saat senggama), dengan kategorisasi lebih lanjut:
komplet/lengkap (selama semua episode) atau situasional/ sesaat (hanya selama
persetubuhan tertentu atau dengan pasangan tertentu).15
2.6 DIAGNOSIS
5
atau pekerjaan). DSM-IV-TR mengharuskan bahwa gangguan nyeri terkait hanya
dengan faktor psikologis atau dengan faktor psikologis maupun keadaan medis
umum. DSM-IV-TR rnerinci lebih jauh bahwa gangguan nyeri hanya terkait keadaan
medis umum didiagnosis sebagai keadaan aksis III dan juga memungkinkan klinisi
merinci gangguan nyeri sebagai akut atau kronis, bergantung pada durasi gejala telah
selama 6 bulan atau lebih 21.
6
Terdapat beragam kuesioner untuk tujuan spesifik pada penderita dispareunia.
Untuk menilai automatic affective sex-related associations, digunakan Affective
Simon Task (AST). McGill-Melzack Pain Questionnaire menilai tingkat keparahan
nyeri. Changes Sexual Functioning Questionnaire, Female Sexual Function Index,
McCoy Female Sexuality Questionnaire, dan Female Sexual Distress Scale untuk
mengidentifi kasi dan mendiagnosis individu dengan disfungsi seksual.
GolombokRust Inventory of Sexual Satisfaction (GRISS) dan The Sexual
Satisfaction Scale for Woman untuk mengukur perbaikan atau peningkatan atau
kepuasan terapi. Jika disertai depresi atau cemas, maka dapat digunakan Beck
Anxiety Inventory. The Female Sexual Distress Scale (FSDS) untuk mengukur
penderitaan (distress) individu yang berkaitan dengan seksual. Untuk membedakan
aspek kognisi wanita dengan dan tanpa female sexual disorder, terutama pada kasus
dyspareunia dan vaginismus, digunakan kuesioner Vaginal Penetration Cognition
Questionnaire (VPCQ). Kuesioner ini memiliki lima subskala: pengendalian kognisi
(kesadaran, pemahaman), malapetaka (catastrophic) dan kognisi (pengenalan) nyeri,
kognisi self-image, kognisi genital incompatibility. Reliabilitas subskala ini berkisar
dari 0,70 hingga 0,83. Untuk menilai fungsi seksual perempuan, digunakan kuesioner
Female Sexual Function Index (FSFI). Kuesioner ini adalah suatu multidimensional
self-report instrument, berisi 19 pertanyaan singkat, mencerminkan kondisi seksual
selama 4 minggu terakhir, telah divalidasi reliabilitas dan validitasnya, terutama
untuk studi epidemiologi dan uji klinis. FSFI terdiri dari 6 dimensi atau domain
pokok, yaitu:
7
(6) kepuasan (meliputi rata-rata kehidupan seksual, dengan partner seksual,
kedekatan/ keintiman). Untuk menilai profil biopsikososial wanita dengan
dyspareunia, perlu dilakukan pemeriksaan ginekologis standar, endovaginal
ultrasound, dan colposcopy. Dilakukan juga interview terstruktur tentang nyeri
selain dyspareunia, fungsi seksual, riwayat penyiksaan/trauma, penggunaan
kuesioner Brief Symptom Inventory, Sexual Opinion Survey, dan Locke-Wallace
Marital Adjustment Scale22.
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
Antidepresan, seperti trisiklik dan selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRI), berguna. Mekanisme antidepresan dalam mengurangi nyeri masih
kontroversial, apakah melalui kerja antidepresan atau mengeluarkan efek
analgesik langsung dan independen (mungkin dengan merangsang jaras nyeri
inhibisi eferen). Keberhasilan SSRI menyokong hipotesis bahwa serotonin
penting dalam patofisiologi gangguan ini. Amfetamin, yang memiliki efek
analgesik, dapat menguntungkan bagi beberapa pasien, khususnya jika digunakan
sebagai tambahan terhadap SSRI, tetapi dosisnya harus diawasi dengan cermat.21
2. Psikoterapi
Sejumlah data keluaran menunjukkan bahwa psikoterapi psikodinamik
membantu pasien dengan gangguan nyeri. Langkah utama psikoterapi adalah
membangun hubungan terapeutik yang solid melalui empati terhadap penderitaan
pasien. Klinisi tidak boleh mengkonfrontasi pasien somatisasi dengan komentar
seperti, "lni semua hanya ada di dalam pikiran Anda". Bagi pasien, nyeri yang
dialami adalah nyata, dan klinisi harus memahami realitas nyeri tersebut,
meskipun mereka mencurigai asalnya sebagian besar adalah intrapsikik. Titik
masuk yang berguna di dalam aspek emosi nyeri adalah memeriksa percabangan
interpersonal dalam kehidupan pasien. Dengan menggali masalah perkawinan,
contohnya, psikoterapis dapat segera sampai pada sumber nyeri psikologis pasien
8
dan fungsi keluhan fisik dalam hubungan yang signifikan. Terapi kognitif telah
digunakan untuk mengubah pikiran negatif dan untuk memupuk sikap positif.21
2.8 PENCEGAHAN
9
10. Keintiman seksual adalah aspek fundamental kemanusiaan. Keterlibatan rasa,
jiwa, hati, dan pikiran secara totalitas di dalam aktivitas seksual amatlah penting
untuk dilakukan secara berkesinambungan.
11. Edukasi seksualitas secara holistik.21
2.9 PROGNOSIS
Nyeri pada gangguan nyeri umumnya dimulai dengan tiba-tiba dan meningkat
keparahannya untuk beberapa minggu atau bulan. Prognosisnya bervariasi walaupun
gangguan nyeri sering dapat bersifat kronik, menimbulkan distres, dan benar-benar
menimbulkan ketidakmampuan. Jika faktor psikologis mendominasi gangguan nyeri,
rasa nyeri tersebut dapat membaik dengan terapi atau setelah menyingkirkan
dorongan eksternal. Pasien dengan prognosis terburuk, dengan atau tanpa terapi,
memiliki masalah karakter yang sebelumnya telah ada, khususnya pasivitas yang
nyata; terlibat di dalam proses hukum atau mendapatkan kompensasi keuangan;
penggunaan zat yang menimbulkan kecanduan; dan memiliki riwayat nyeri yang
panjang.21
10
BAB III
KESIMPULAN
Dispareunia non organik adalah keadaan nyeri pada saat berhubungan seksual, dapat
terjadi pada laki – laki maupun perempuan. Diagnosis ini dibuat hanya bila tidak ada kelainan
seksual primer lainnya (seperti vaginismus atau keringnya vagina). Proporsi individu, yang
melaporkan tentang seks yang menyakitkan, adalah yang tertinggi di antara wanita termuda
(16-24 tahun) dan wanita berusia 55-64 tahun. Dyspareunia non organic biasanya disebabkan
oleh riwayat trauma seksual, Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan, harapan penampilan
yang tak realistik, fantasi seksual berlebihan, Problematika pernikahan. Jika faktor psikologis
mendominasi gangguan nyeri, rasa nyeri tersebut dapat membaik dengan terapi atau setelah
11
DAFTAR PUSTAKA
2. Seehusen Dean A., Baird Drew C., Darnall Carl R., Bode David V. (2014).
Dyspareunia in Women, Am Fam Physician, 90(7), 465–470.
3. Mitchell K.R., Geary R., Graham C.A., Datta J., Wellings K., Sonnenberg P, Field N,
Nunns D, Bancroft J., Jones K.G, Johnson A.M., Mercer C.H. (2017). Painful sex
(dyspareunia) in women: prevalence and associated factors in a British population
probability survey, BJOG, 124(11), 1689–1697, https://doi.org/10.1111/1471-
0528.14518.
6. Basson R, Shultz WCW, Binik YM, Brotto LA, Eschenbach DA, Laan E, et al.
Women’s sexual desire and arousal disorders and sexual pain. In: Lue TF, Bassoon
R, Rosen R, Giuliano F, Khoury S, Montorris F, editors. Sexual medicine: sexual
dysfunctions in men and women. Paris, France: Health Publications; 2004. p.851-974
7. Maslim, Dr. dr. Rusdi, Sp. KJ, M. Kes. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa
Rujukan Singkat Dari PPDGJ III dan DSM-5. Jakarta: FK Unika Atmajaya. Hal 57
9. Meana M, Binik I, Khalife S, Cohen D. Aff ect and marital adjustment in women’s
ratings of dyspareunic pain. Can J Psychiatry 1998;43:381–5.
10. Meana M, Binik YM, Khalife S, Cohen D. Biopsychosocial profi le of women with
dyspareunia. Obstet Gynecol 1997;90:583–9.
12
11. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. Sexual dysfunction in the United States: prevalence
and predictors [published erratum appears in JAMA 1999;281:1174]. JAMA
1999;281:537–44.
12. Butcher S, Ling FW. Sexual Pain Disorders: Both a Psychogenic and Biologic
Diagnosis. Primary Psychiatry. 2008;15(9):53-60
13. Harlow BL, Stewart EG. Adult-onset vulvodynia in relation to childhood violence
victimization. Am J Epidemiol 2005;161:871–80.
15. Binik YM. The DSM diagnostic criteria for dyspareunia. Arch Sex Behav.
2010;39:292-303.
16. Graziottin A. Clinical approach to dyspareunia. J Sex Marital Ther 2001;27: 489-501.
17. Pukall CF, Payne KA, Kao A, Khalife S, Binik YM. Dyspareunia. See Handbook of
Sexual Dysfunction, ed. R Balon, RT Segraves. New York: Taylor & Francis.
2005.pp 249–72.
20. Phillips NA. The clinical evaluation of dyspareunia. Int J Impot Res. 1998 May;10
Suppl 2:S117-20
21. Kaplan, Harold I, Benjamin J. Sadock dan Jack A. Grebb. Gangguan Delusional.
Dalam: synopsis psikiatri. Jilid satu. Jakarta: Binapura Aksara; 2010. hal. 474; 85-
771
13