Disusun Oleh:
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sosial, Politik dan
Kebudayaan dalam Eonomi Islam” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari ibu
Susmita, M.E pada mata kuliah Filsafat Ekonomi Islam program studi Perbankan Syariah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Sosial, Politik dan
Kebudayaan dalam Ekonomi Islam” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Secara perbandingan dan analisis, kita harus menempatkan sistem ekonomi Islam dengan
sistem lainnya secara proposional dan adil. Sebuah perbandingan intersistemik-dalam istilah
Haiderr Naqvi meskipun membuat perbandingan intersistemik tidak sama dengan
mengidentifikasi ekonomi Islam dengan sistem ekonomi tersebut. Oleh karenanya kesan-
kesan dangkal yang timbul berdasarkan ketidaksamaan yang terpisah di antara sistem-sistem
ekonomi akan segera hilang dengan mengutip kesamaan-kesamaan intersystem yang
lebihpositif.
Sebagai mayoritas berpenduduk Muslim, maka Islam telah, sedang dan terus memainkan
perannya sesuai dengan proses-proses sosial, politik maupun budaya. Meskipun peranan itu
ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda. Dalam dinamika sosial dan politik, “mitos
kemayoritasan” ternyata tidak sertamerta membuat politik Islam dengan mudah untuk
memenangkan pergulatan dalam dimensi ruang dan dimensi hukum di republik ini.
Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap
orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas
budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun,
jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka
pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan
kekerasan.
BAB III
PEMBAHASAN
Sistem Jaminan Sosial dalam Ekonomi Islam Jaminan sosial sering diartikan sebagai
kesejahteraan sosial (social welfare). Istilah kesejahteraan sosial merupakan kondisi
terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Dalam hal ini, kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena
kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pendapatan dapat
dipenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang
mengancam kehidupannya (Dahlan 2007). Pada tinjauan yang lebih luas seperti yang telah
diterapkan dan dilaksanakan oleh berbagai negara di dunia, jaminan sosial tidak hanya
berporos pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat saja. Namun demikian, jaminan sosial
telah bermetamorfosa menjadi sebuah sistem, di mana sistem tersebut dibangun sesuai
dengan identitas dan kondisi masing-masing negara. Menurut Subianto, jaminan sosial
sebagai suatu sistem akan dapat memberikan energi bagi setiap warga negara untuk
membangun cita-cita negaranya menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
(Subianto 2011).
Aplikasi dan pemahaman jaminan sosial sebagai suatu sistem yang baik sesuai dengan
filosofinya akan mengantarkan pada kondisi negara yang sejahtera, aman, stabil dalam
berbagai bidang, mengembangkan ekonomi negara baik mikro maupun makro. Hal ini senada
dengan pandangan Muhammad Akram Khan yang menjelaskan bahwa kesejahteraan (falāḥ)
meliputi kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan harga diri dengan
beberapa aspek yang dipenuhi baik secara mikro maupun makro.
Berdasarkan konstruksi tersebut, sistem jaminan sosial dalam ekonomi Islam meliputi
jaminan individu terhadap dirinya (jaminan individu), antara individu dengan keluarganya
(jaminan keluarga), individu dengan masyarakatnya (jaminan masyarakat), dan antara
masyarakat dalam suatu negara (jaminan negara). Keempat jaminan tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1.Jaminan Individu
Jaminan ini menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab agar dirinya
terlindung dari hawa nafsu, selalu melakukan pembersihan jiwa, menempuh jalan yang baik
dan selamat, tidak menjerumuskan diri dalam kehancuran, dan bekerja keras agar mampu
memenuhi kebutuhannya.
Oleh karena itu, jaminan individu ini menuntut supaya seseorang termotivasi untuk
bekerja keras dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini didasarkan atas
firman Allah swt. dalam QS. al-Taubah [9]: 105.
“Dan katakanlah: Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah
kalian kerjakan.” (QS. al-Taubah [9]: 105).
2.Jaminan Keluarga
Setiap individu pada akhirnya membangun sebuah keluarga. Islam mengajarkan bahwa
terdapat hak dan kewajiban baik material dan non-material yang harus ditunaikan antara satu
dengan yang lainnya. Untuk itu, seorang kepala keluarga berkewajiban memberikan nafkah
lahir dan batin terhadap keluarganya. Jaminan sosial antara individu dengan keluarganya
adalah disyariatkannya hukum waris. Dalam hal ini, waris diartikan sebagai perpindahan hak
kepemilikan dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris (Isnaini Harahap
2015). Oleh sebab itu, waris merupakan salah satu sarana memperoleh jaminan sosial.
Lahirnya konsep waris sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur’an menempati
posisi fundamental dalam ajaran Islam.
3.Jaminan Masyarakat
Dapat diwujudkan melalui zakat. Untuk itu, zakat sangat erat kaitannya dengan dimensi
sosial, moral, maupun ekonomi. Dalam dimensi sosial, zakat merupakan kewajiban sosial
yang bersifat ibadah, karena zakat yang dikenakan terhadap harta individu ditujukan kepada
masyarakat agar terpenuhi kebutuhan dan mengentaskan kemiskinan. Pada dimensi moral,
zakat mengikis ketamakan dan keserakahan orang kaya.
4.Jaminan Negara
Penjaminan minimal yang diberikan oleh negara adalah penjaminan dalam pemenuhan
kebutuhan pokok bagi yang tidak dapat memenuhinya. Sedangkan dalam lingkup yang lebih
luas, kebutuhan pokok bukan hanya dalam pengertian sandang, pangan, maupun papan.
Namun, seperti jaminan keadilan, keamanan, serta perlindungan merupakan suatu hak warga
negara yang harus dijamin oleh negaranya. Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan pokok
didasarkan pada firman Allah swt. dalam QS. al-Isra [17]: 26.
Hakikat politik ekonomi Islam merupakan suatu kebijakan hukum yang dirancang oleh
pemerintahan yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi dapat menjamin memenuhi
kebutuhan masyarakat dan berlandaskan nilai-nilai syariat sebagaiacuanparameter. Aturan ini
yakni hukum yangmengaturmengenaihubungan negara dengan masyarakat, individu dengan
individu, dan individu dengan masyarakatdalam kegiatanekonomi. Kebijakan hukum yang
dibangun bukan sebagai kebijakan internal negara (pemerintah) dalam memberlakukan suatu
program.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah
Nasional(DSN) pada tanggal 14 Oktober 1997. Kemudian DewanPimpinan MUI
menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang
Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI.
Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap
orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas
budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika
kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka
pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan
kekerasan. Terkait dengan perkembangan kebudayaan Islam, jauh sebelum Islam masuk,
budaya-budaya lokal disekitar semenanjung Arab telah lebih dulu berkembang, sehingga
budaya Islam sendiri banyak beral-kulturasi dengan budaya-budaya lokal tersebut. Salah satu
kebudayaan yang cukup berpengaruh terhadap masyarakat Hijaz adalah kebuda-yaan
Abissinia. Namun secara umum perkembangan budaya kita kenal dilakukan dengan dua cara
yaitu invantion dan acomodation.Invantion adalah menggali budaya dari luar sedangkan
acomodationadalah menerima budaya luar, terkait penerimaan budaya terdapat tiga cara pula
yaitu:
1.Absorption (penyerapan), yaitu penyerapan budaya dan pemikiran dari luar seperti
pemikiran Yunani dan Romawi.
2.Modification (modifikasi) yaitu penyesuaian budaya luar sehingga diterima oleh Islam,
contoh pembuatan masjid dengan kubah, menara dan undakan
3.Elimination (penyaringan) yaitu penyaringan budaya antara diterima atau dikeluarkan
apabila bertentangan dengan Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia menunjukkan sangat bagus sehingga
mendapat dorongandari pemerintah dalam bentuk politik ekonomi Islam yang berlandaskan
pada nilai-nilai Islam. Dengan fakta yang ada, kemajuan ekonomi Islam dapat menumbuhkan
semangat umat Islam untuk terus mengembangkan kajian mengenai ekonomi Islam di
Indonesia, dan juga mendapat dukungan dari pemerintah yang di laksanakan dalam bentuk
aturan dan mendukung kemajuan ekonomi Islam.
Dengan demikian, perlu banyak pihakyang mendorong untuk menjalankanpolitik
ekonomi yang berorientasi pada sistem ekonomi Islam.
DAFTAR PUSTAKA