Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

Di Susun Oleh :
Afliona Oktovina Karubuy
2130702045

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BONEO
TARAKAN
2022/202
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri

dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi

nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan

nafsu makan berkurang) (Riskesdas, 2013). Mahfudzoh (2016) yang

melaporkan penelitian tahun 2008 oleh Muttaqin menyatakan bahwa

pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat

konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia

nosokomial merupakan salah satu komplikasi perawatan di rumah sakit

yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Insiden

pneumonianosokomial mencapai 30%. Pneumonia nosokomial yang

terjadi dirumah sakit dapat dibagi dua, yaitu: Hospital Acquired

Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Kedua

jenis pneumonia ini masih jadi penyebab penting dalam angka kematian

dan kesakitan pada pasien yang dirawat dirumah sakit (Hendra & Huriani,

2011).

Purnamasari (2016) yang melaporkan Penelitian tahun 2012 oleh

Widagdo menyatakan mikroorganisme penyebab pneumonia ialah

Streptococcus pneumoniae (paling sering), Chlamidia pneumoniae dan

Mycoplasma pneumoniae. Selain itu juga dapat disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophyllus

1
influenzae, Mycobactrium tuberculosis, Salmonella, Scherichiacolli,

Pneumocystis jirofeci. Karhu (2014) yang melaporkan penelitian 2012

oleh Mongardon dkk menyatakan bahwa Streptococcus pneumoniae

adalah patogen paling umum didapatdari pemeriksaan kultur darah

positif.Klebsiella pneumonia adalah isolat etiologi yang paling umum

diikuti oleh Streptococcus pneumoniadan candida albicans (Rohini dkk,

2015).

Di Amerika Serikat, pneumonia merupakan penyebab kematian

utama akibat penyakit infeksi, infeksi nosokomial (didapat dari rumah

sakit) adalah yang paling sering ditemukan, dan merupakan penyebab

kematian keenam. Sekitar 4,8 juta kasus pneumonia (1,8 kasus per 100

orang), dengan diagnosa pneumonia dilaporkan setiap tahunnya (Morton

dkk, 2014). Pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat

inap di rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05%

perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Di RSUP Dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten penyakit pneumonia menduduki peringkat 10 besar

penyakit yang paling sering dijumpai di ruang Intensif Care Unit (ICU)

(RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten).

Kondisi pasien yang berada di ICU umumnya terpasang ventilasi

mekanik. Ventilasi mekanik memberikan tekanan positif secara kontinu

yang dapat meningkatkan pembentukan sekresi pada paru-paru. Ventilator

dipasang dengan memasukkan sebuah tube melalui trakea atau dikenal

juga dengan nama endotracheal tube (ETT). Terpasangnya ETT akan

menjadi jalan masuk bakteri secara langsung menuju saluran nafas bagian
bawah. Hal ini akan mengakibatkan adanya bahaya antara saluran nafas

bagian atas dan trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas dan

tersedianya jalan masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya

saluran nafas bagian atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk

menyaring dan menghangatkan udara. Selain itu, reflek batuk sering

ditekan atau dikurangi dengan adanya pemasangan ETT, dan gangguan

pada pertahanan silia mukosa saluran nafas karena adanya cidera pada

mukosa pada saat intubasi dilakukan, sehingga akan menjadi tempat

bakteri untuk berkolonisasi pada trakea. Keadaan ini akan mengakibatkan

peningkatan produksi dan sekresi sekret sehingga menimbulkan masalah

ketidakefektifan jalan nafas (Agustyn, 2007 dikutip dalam Rahman 2011).

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan

membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas untuk

mempertahankan bersihan jalan napas (Herdman, 2015). Perawat harus

mengidentifikasi adanya sekresi dengan cara auskultasi paru sedikitnya 2-4

jam (selama pasien masih terpasang ventilasi mekanik dan post ekstubasi).

Tindakan untuk membersihkan jalan napas diantaranya yaitu: fisioterapi

dada seperti penepukkan pada dada/punggung, menggetarkan, perubahan

posisi, seperti; posisi miring, posisi telentang, dan termasuk penghisapan.

Fisioterapi dada sangat berguna bagi penderita penyakit paru baik yang

bersifat akut maupun kronis, sangat efektif dalam upaya mengeluarkan

sekret dan memperbaiki ventilasi pada pasien dengan fungsi paru yang

terganggu. Jadi tujuan pokok fisioterapi pada penyakit paru adalah

mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan dan


membantu membersihkan sekret dari bronkhus dan untuk mencegah

penumpukan sekret. Fisioterapi dada ini dapat digunakan untuk

pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif menahun,

penyakit pernafasan restriktif karena kelainan neuromuskuler dan penyakit

paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan pasien

yang mendapat ventilasi mekanik. Mobilisasi atau aktivitas di rumah sakit

pada pasien istirahat total sangat penting sekali dilakukan (Hendra &

Huriani, 2011).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit Pneumonia

2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi yang umum ditemukan di komunitas

(Community Acquired Pneumonia, CAP) dan rumah sakit (Hospital

Acquired Pneumonia, HAP). Kasus ini dihadapi oleh perawat keperawatan

kritis ketika infeksi tersebut memperberat kondisi penyakit yang serius

atau menyebabkan gawat napas (Morton dkk, 2014).

Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat

konsolidasi yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh eksudat.

Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami

konsolidasi, begitupun dengan aliran darah disekitar alveoli menjadi

terhambat dan tidak berfungsi makasimal. Hipoksemia dapat terjadi,

bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit (Somantri,

2009).

Ventilator-associated Pneumonia (VAP) merupakan infeksi

pernafasan yang beresiko untuk terjadi pada pasien yang di rawat di ICU

yang terpasang selang trakeal dan/atau ventilator (Rahmiati & Kurniawan,

2013)

2.1.2 Klasifikasi

Menurut Ward dkk (2008), klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut:

1) Pneumonia yang didapat dari komunitas (community

acquired pneumonia, CAP) yaitu infeksi LRT yang

terjadi dalam 48 jam setelah

7
dirawat dieumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di

rumah sakit selama >14 hari.

2) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial) yaitu setiap

infeksi LRT yang berkembang >2 hari setelah dirawat di rumah sakit.

3) Pneumonia aspirasi/anaeorob yaitu infeksi oleh bakteroid dan

organisme anaerob lain setelah aspirasi isi orofaringeal (misalnya

CVA).

4) Pneumonia oportunistik yaitu pasien dengan penekanan sistem imun

(misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh

virus, jamur, dan mikrobakteri selain organisme bakterial lain.

5) Pneumonia rekuren yaitu disebabkan oleh organisme aerob dan

anaeorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkiektasis.

2.1.3 Etiologi

Menurut Morton dkk (2014), penyebab penyakit pneumonia adalah

sebagai berikut:

1) Pneumonia yang didapat dari komunitas antara lain usia <2 tahun atau

>65 tahun, merokok, penyalahgunaan alkohol, komorbiditas: penyakit

paru, penyakit kardiovaskular, penyakit hepar, penyakit ginjal,

penyakit sistem saraf pusat.

2) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit

a) Terkait pajemu: pertambahan usia, perubahan tingkat kesadaran,

penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), penyakit berat,

malnutrisi, karang gigi, rauma tumpul, trauma kepala berat,

trauma dada, merokok.


b) Terkait Pengobatan: ventilasi mekanis, reintubasi atau ekstubasi

sendiri, bronkoskopi, slang nasogatrik dan pemberian makanan

enteral, adanya alat pemantau tekanan intrakranial (TIK), terapi

antibiotik sebelumnya, pembedahan kepala, toraks atau abdomen

atas, terapi antasid, posisi telentang.

c) Terkait infeksi: mencuci tangan kurang bersih, mengganti slang

ventilator kurang dari 48 jam sekali.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Menurut Somantri (2009) tanda dan gejala yang muncul pada

pneumonia adalah demam 39-40oC, nyeri dada karena batuk, nyeri dada

pleuritis, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, batuk produktif ataupun kering,

sputum hijau dan purulen serta mungkin mengandung bercak darah, bisa

juga berbau busuk, adanya retraksi interkostal, penggunaan otot

aksesorius, dispnea berat, sianosis, hipoksemia dan malaise.

2.1.5 Patofisiologi

Pneumonia merupakan respons inflamasi terhadap benda asing

yang tanpa sengaja teraspirasi atau multiplikasi mikroorganisme tidak

terkontrol yang menginvasi saluran pernapasan bawah. Respons tersebut

menyebabkan akumulasi neutrofil dan sel efektor di bronkus perifer dan

ruang alveolar. Sistem pertahanan tubuh yang mencakup pertahanan

anatomis, mekanis, humoral, dan seluler dirancang untuk menyingkirkan

organisme yang memasuki saluran pernapasan. Sebagian besar penyakit

sistemik meningkatkan risiko pneumonia pada pasien dengan cara

mengubah mekanisme pertahanan pernapasan. Pneumonia terjadi jika


mekanisme pertahanan paru yang normal terganggu atau bekerja terlalu

berat, sehingga mikroorganisme berkembang dengan cepat (Morton dkk,

2014).

Saat terjadi inhalasi bakteri mikroorganisme penyebab pneumonia

diaspirasi melalui orofaring. Tubuh pertama kali akan melakukan

mekanisme pertahanan primer dengan meningkatkan respons radang

(Somantri, 2009). Patogen dapat memasuki saluran pernapasan bawah

melalui empat cara; aspirasi, inhalasi, penyebaran hematogen dari lokasi

yang jauh, dan translokasi. Rute utama bakteri memasuki paru adalah

melalui aspirasi mikroorganisme dari orofaring. Aspirasi sering kali terjadi

(>45% waktu) pada individu yang sehat ketika mereka tidur. Risiko

aspirasi yang signifikan dari segi klinis meningkat pada pasien yang

mengalami penurunan tingkat kesadaran atau disfagia dan pada mereka

yang terpasang slang endotrakea atau slang enteral. Penyebaran hematogen

merupakan mekanisme yang efektif, sirkulasi pulmonal menjadi jalan

masuk yang efektif bagi mikroba. Kapiler paru membentuk jaringan padat

di dinding alveoli yang ideal untuk pertukaran gas. Mikroba hematogen

dari lokasi infeksi yang jauh dapat bermigrasi melalui jaringan tersebut

dan menyebabkan pneumonia (Morton dkk, 2014).


2.1.6 Pathway Pneumonia

Sistem pertahanan Organisme


tubuh terganggu

Virus Pneumokokus Stapilokokus


Masuk ke Saluran napas bagian bawah
Kuman patogen mencapai Trombus
bronkioli terminalis me- Eksudat masuk ke alveoli
rusak sel epitel bersilia Permukaan
dan sel goblet Sel darah merah dan leukosit lapisan pleura
pneumokokus mengisi alveoli tertutup tebal
Cairan edema + leukosit eksudat trombus
ke alveoli Leukosit dan Fibrin di vena pulmonalis
menyebabkan konsolidasi
Konsolidasi paru Nekrosis Hemoragik
Suhu tubuh meningkat
Kapasitas vital Hipertermi
kompliance menurun

Resiko kekurangan
Intoleransi
volume cairan
aktivitas

Produksi sputum meningkat Abses Pneumotocale

Ketidakefektifan bersihan jalan


nafas Ketidakefektifan
pola napas

Gambar 2.1 Pathway Pneumonia


Sumber : Nurarif & Kusuma
(2015)
2.1.7 Komplikasi

Komplikasi pneumonia menurut Manurung (2016) yaitu :

1) Abses paru

2) Efusi pleura

3) Empiema

4) Bakteremia dan septicemia

5) Bronkiektasis

2.1.8 Pentalaksanaan

1) Terapi Suportif menurut Ward dkk (2008)

a) Oksigen suplemental untuk mempertahankan PaO2>8 kPa (SaO2 <

90%).

b) Cairan intravena (± vasopresor/inotrop) untuk stabilisasi

hemodinamik.

c) Bantuan ventilasi, misalnya tekanan jalan napas positif kontinu

pada gagal napas.

d) Fisioterapi membantu bersihan sputum pascaoperasi dan pada

pasien imobilisasi.

e) Posisi setengah telentang (yaitu elevasi kepala tempat tidur 30 0)

pada pasien yang harus berbaring terus ditempat tidur dapat

mengurangi risiko aspirasi.

2) Terapi Antibiotik menurut Ward dkk (2008) yaitu:

a) Pada HAP onset dini (<4 hari di rumah sakit) tanpa faktor risiko

untuk organisme MDR (resisten terhadap antibiotik), monoterapi

pada beta-laktam/beta-laktamse, antibiotik selfalosporin generasi


ketiga, seftriakson, ko-ammoksiklav atau ertapenem, dan

fluorokuinolon.

b) Pada HAP onset lambat (>4 hari dirumah sakit) dengan faktor

risiko patogen MDR, terapi kombinasi dengan antibiotik

spektrum luas untuk mencakup hasil gram-negatif MDR dan

MRSA (resisten mitisilin) misalnya sefalospirin

antipseudomonas, karbapenem antipseudomonas, vankomisin, dll.

Terapi tambahan dengan aminoglikosida inhalasi atau polimiksin

dipertimbangkan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi

sistemik.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif & Kusuma (2015) pemeriksaan penunjang pada

pneumonia adalah sebagai berikut :

1) Sinar X: untuk mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar,

bronkial, dapat juga menyatakan abses).

2) Biopsi Paru: untuk menetapkan diagnosis.

3) Pemeriksaan kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi

semua organisme yang ada.

4) Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru, menetapkan

luas berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan.

5) Spirometrik static : untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.

6) Bronkoskopi:untuk menetapkan diagnosa dan mengangkat benda

asing.
2.2 Konsep Dasar Ventilasi Mekanik

2.2.1 Definisi

Menurut Soetioputro (2016) ventilasi mekanik merupakan salah

satubentuk terapi yang sering diberikan kepada pasien kritis di ruang

perawatan intensif. Ventilasi mekanik adalah mesin yang digunakan untuk

memasukkan dan mengeluarkan udara pernapasan ke dalam paru-paru.

Ventilasi mekanik berfungsi untuk menormalkan nilai gas darah arteri dan

keseimbangan asam basa, serta berfungsi menurunkan kerja pernapasan

pasien dengan memberikan bantuan ventilasi yang disesuaikan dengan

kebutuhan.

2.2.2 Mode Ventilator

Menurut Dewi (2008), mode ventilasi adalah salah satu dari

beberapa metode yang digunakan oleh ventilator untuk membantu

ventilasi. Adapun mode-mode tersebut antara lain:

1. Control Ventilation(VC)

Mode control ventilation menjamin bahwa pasien menerima jumlah

dan volume pernapasan setiap menit yang telah ditentukan

sebelumnya. Pada umumnya pasien diberi sedatif atau dilumpuhkan

dengan obat penghambat neuromuskular untuk mencapai tujuan.

2. Assist-Control Ventilation (VCA)

Mode ini menjamin bahwa jumlah dan volume pernapasan tertentu

yang diberikan oleh ventilator setiap menit mengharuskan pasien

untuk tidak memulai respirasi dengfan frekuensi itu atau lebih.

Apanila pasien memulai pernapasan dengan frekuensi yang lebih


tinggi dari nilai minimum yang telah ditentukan, maka ventilator

akan memberi awal pernapasan secara spontan.

3. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)

Mode SIMV memastikan bahwa jumlah oksigen yang telah

ditentukan sebelumnya sesuai dengan Vt yang dipilih akan diberikan

setiap menit. Pasien boleh memberi napas awal, tetapi berbeda

dengan mode assist control ventilation, pada mode ini pernapasan

tersebut tidak diberikan kembali oleh ventilator. Pasien boleh

bernapas secara spontan dengan kedalaman dan frekuensi napas

yang diinginkan sampai tiba waktunya pernapasannya dibantu atau

dilakukan oleh ventilator. Bantuan pernapatan (napas mendatori)

pada mode ini disesuaikan dengan kerja inspirasi pasien, apabila

pasien dapat melakukannya, untuk mengoptimalkan keselarasan

antara ventilaror dengan pasien. Pernapasan spontan yang dilakukan

selama penggunaan SIMV mempunyai FiO2 yang sama dengan

pernapasan mendatori.

4. Pernapasan Spontan (SPONT)

Mode ini memberikan seluruh kerja pernapasan dilakukan oleh

pasien selama pernapasan spontan. Pada beberapa situasi

penghentian (penyapihan) pasien menggunakan ventilator dapat

menyebabkan penurunan kerja pernapasan. Sama dengan pernapasan

spontan, mode-mode ventilasi sering dikenal sebagai CPAP, flow-by

atau SPONT pada ventilator. Tekanan jalan mapas kontinyu (CPAP)

adalah setting pernapasan spontan dengan tambahan PEEP selama


siklus pernapasan. Apabila tidak digunakan PEEP maka CPAP

setting sama dengan pernapasan spontan.

5. Pressure Support (PS)

PS adalah tipe pernapasam spontan, terdapat pada mode SIMV dan

SPON, yamg mempertahankan tekanan positif selama inspirasi

spontan. Volume gas yang diberikam oleh ventilator untuk setiap

inspirasi berbeda-beda tergantung pada level pressure support dan

kebutuhan pasien. Semakin tinggi level pressure support maka

semakin banyak gas yang diberikan setiap pernapasan.

6. Pressure Ekspirasi Ekspirasi Positive (PEEP/CPAP)

PEEP digunakan bersama-sama dengan salah satu mode ventilator

untuk membantu menstabilkan volume alveolar paru dan

memperbaiki oksigenasi.

2.3 Konsep Diagnosa Keperawatan : Ketidakefektifan Bersihan Jalan

Nafas

Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah

ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas

untuk mempertahankan bersihan jalan napas. Batasan karakteristik dari

ketidakefektifan bersihan jalan nafas yaitu batuk yang tidak efektif,

dispnea, gelisah, kesulitan verbalisasi, mata terbuka lebar, ortopnea,

penurunan bunyi napas, perubahan frekuensi napas, perubahan pola napas,

sianosis, sputum dalam jumlah yang berlebihan, suara napas tambahan,

tidak ada batuk (Herdman dkk, 2015).


2.4 Asuhan Keperawatan

2.4.1 Pengkajian

Menurut Hidayat dkk (2012), pengkajian adalah langkah awal dari

tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus

memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang

diharapakan dari pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat

analisis (individu, keluarga, komunitas) terdiri atas data subjektif dari

seseorang atau kelompok, dan data objektif dari pemeriksaan diagnostik

dan sumber lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data

subjektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif) (Weber & Kelley 2009).

1) Biodata

Anamnesis yang diperoleh dari anamnesis umum merupakan identitas

diri pasien yaitu nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, pekerjaan,

dan hobi (Febrianto, 2013).

2) Riwayat Kesehatan

a) Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Sekarang

Keluhan utama yang sering timbul pada klien pneumonia adalah

adanya awitan yang ditandai dengan keluhan menggigil, demam

≥40oC, nyeri pleuretik, batuk, sputum berwarna seperti karat,

takipnea terutama setelah adanya konsolidasi paru.

b) Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pneumonia sering kali timbul setelah infeksi saluran napas atas

(infeksi pada hidung dan tenggorokan). Risiko tinggi timbul pada

klien dengan riwayat alkoholik, posr-operasi, infeksi pernapasan,


dan klien dengan imunosupresi (kelemahan dalam sistem imun).

Hampir 60% dari klien kritis di ICU dapat menderita pneumonia

dan 50% (separuhnya) akan meninggal dunia.

3) Pengkajian Fokus

Menurut Muttaqin (2014), pengkajian fokus pada pasien pneumonia

adalah sebagai berikut:

a) Breathing

Pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumonia merupakan

pemeriksaan fokus, berurutan pemeriksaan ini terdiri atas

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

(1) Inspeksi

Bentuk dada dan pergerakan pernapasan: gerakan

pernapasan simetris, pada klien dengan pneumonia sering

ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal,

serta adanya retraksi sternum dan intercostal sternum space

(ICS). Napas cuping hidung pada sesak berat dialami

terutama pada anak-anak.

Batuk dan sputum: saat dilakukan pengkajian batuk pada

klien demgan pneumonia biasanya didapatkan batuk

produktif disertai dengan adanya peningkatan produksi

sekret dan sekresi sputum yang purulen.

(2) Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ ekskrusi pernapasan:

pada palpasi klien dengan pneumonia, gerakan pada saat


bernafas biasanya normal dan seimbang antara bagian

kanan dan kiri.

Getaran suara (fremitus fokal): taktil fremitus pada klien

dengan pneumonia biasanya normal.

(3) Perkusi

Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi,

biasanya didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh

lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan

pneumonia didapatkan apabila bronkopneumonoia menjadi

satu sarang (kunfluens).

(4) Auskultasi

Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas

tambahan ronkhi basah pada sisi yang sakit. Penting bagi

perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil

auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi.

b) Blood

Pada pasien dengan pneumonia pengkajian yang didapat meliputi:

(1) Inspeksi : didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum

(2) Palpasi : denyut nadi perifer melemah

(3) Perkusi : batas jantung tidak mengalami pergeseran

(4) Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung

tambahan biasanya tidak didapatkan


c) Brain

Klien dengan pneumonia berat sering terjadi penurunan

kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi

jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak

meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat.

d) Bladder

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake

cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria

karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.

e) Bowel

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu

makan, dan penurunan berat badan.

f) Bone

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan

ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam

melakukan aktivitas sehari-hari.

4) Pemeriksaan Fisik

Menurut Sudoyono 2006 (dikutip dalam Somantri 2009) presentasi

bervariasi bergantung pada etiologi, usia dan keadaan klinis

a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae,

Streptococcus spp, dan Staphylococcus. Pneumonia virus

ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering yang

nonproduktif.
b) Awitan yang tidak terlihat dan ringan pada orang tua/orang

dengan penurunan imunitas akibat kuman yang kurang patogen/

oportunistik.

c) Tanda-tanda fisik pada pneumonia klasik yang biasa dijumpai

adalah demam, sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi

paru yang dullnes, ronchi nyaring, serta suara pernapasan

bronkial).

d) Ronchi basah dan gesekan pleura dapat terdengar diatas jaringan

yang terserang karena eksudat dan fibrin dalam alveolus.

Pengkajian kardiovaskular dan paru harus dilakukan secara

komperhensif, perawat harus mengkaji adanya tanda-tanda hipoksia

(kulit keabu-abuan atau sianosis) dan dispnea (napas cuping hidung).

Pasien memperlihatkan gejala awitan awal pada pernapasan (misal

batuk, produksi sputum dan dispnea) yang biasanya disertai dengan

demam dan menggigil, inspeksi dada meliputi pengkajian pola

pernapasan dan frekuensi pernapasan, observasi postur tubuh pasien

dan kerja pernapasan, serta inspeksi adanya retraksi interkosta.

Perkusi dada biasanya menghasilkan bunyi pekak pada pneumonia

lobus. Penurunan bunyi napas terdengar pada saat auskultasi. Craclke

awal yang halus (dulu disebut rales) atau bunyi napas bronkus

terdengar di area konsoldasi (Morton dkk, 2014).

2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia

terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan, atau kerentangan


respons dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas.

Diagnosis keperawatan biasanya berisi dua bagian yaitu deskription atau

pengubah, fokus diagnosis, atau konsep kunci dari diagnosis (Hermand

dkk 2015).

Menurut Herdman dkk (2015), masalah yang muncul pada pasien

pneumonia adalah :

1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas

2) Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan

3) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen

4) Resiko Kekurangan volume cairan b.d kegagalan mekanisme regulasi

2.4.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan suatu perawatan yang

dilakukan perawat berdasarkan peenilaian klinis dan pengetahuan perawat

untuk meningkatkan outcome pasien atau klien. Intervensi keperawatan

mencakup baik perawatan langsung dan tidak langsung yang ditujukan

pada individu, keluarga dan masyarakat, serta orang-orang dirujuk oleh

perawat, dirujuk oleh dokter maupun pemberi pelayanan kesehatan lainnya

(Bullechek dkk 2015).

Menurut Bulechek dkk (2015), intervensi keperawatan untuk pasien

pneumonia yaitu:

1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan napas

a) Tujuan : bersihan jalan napas dapat efektif.


b) Kriteri hasil

(1) Menunjukkan jalan nafas paten

(2) Tidak mengalami penurunan kesadaran

(3) Tidak ada dispnea atau sianosis

(4) Saturasi oksigen >90%

b) Intervensi

(1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

(2) Lakukan fisioterapi dada

(3) Motivasi untuk melakukan batuk efektif

(4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian bronkodilatator

yang meningkatkan patensi jalan napas

(5) Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan

auskultasi suara nafas ronki di paru

(6) Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi

2) Ketidakefektifan pola napas b.d keletihan otot pernapasan

a) Tujuan : pola napas dapat efektif

b) Kriteria hasil :

(1) Tidak ada sianosis dan dispneu

(2) Frekuensi nafas normal

(3) Vital sign dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,

resoirasi, suhu)
c) Intervensi :

(1) Monitor tanda-tanda vital

(2) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan

bernafas

(3) Informasikan pada pasien dan keluarga tentang pentingnya

oksigenasi

(3) Beri terapi oksigen sesuai kebutuhan

(4) Posisikan pasien semi fowler untuk memaksimalkan

ventilasi

(5) Kelola pengobatan aerosol sebagaimana mestinya

3) Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen

a) Tujuan : aktivitas pasien mandiri

b) Kriteria hasil :

(1) Mampu melakukan aktivitas dan latihan (ADLs) secara

mandiri

(2) Tanda-tanda vital normal

(3) Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat

(4) Status kardiopulmonari adekuat

(5) Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi adekuat


c) Intervensi :

(1) Monitor respon pasien dalam latihan keseimbangan

(2) Ajarkan tekhnik relaksasi otot

progresif

(3) Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti

kursi roda dan krek

(4) Dorong klien untuk bangkit sebanyak dan sesering yang

diinginkan (up ad lib)

(5) Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu

dilakukan

(6) Kolaborasi dengan terapis fisik dalam merencanakan

program terapi yang tepat

2.4.4 Implementasi

Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana

tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di

mulai setelah rencana tindakan di susun dan di tujukan pada rencana

strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh sebab

itu, rencana tindakan yang spesifik di laksanakan untuk memodifikasi

faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan. Tujuan dari

implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di

tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli,

2009).

2.4.5 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis keperawatan,


rencana tindakan dan implementasinya sudah berhasil di capai. Tujuan

evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini

bisa di laksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien

berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang di berikan,

sehingga perawat dapat mengambil keputusan. Proses evaluasi terdiri atas

dua tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien yang baik kognitif,

afektif, psikomotor dan perubahan fungsi tubuh serta gejalanya serta

membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian

tujuan (Efendi & Makhfudli, 2009).

Dari masalah yang muncul, evaluasi yang diharapkan oleh penulis yaitu:

1) Kebersihan jalan nafas kembali efektif

2) Pola nafas kembali efektif

3) Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri

4) Tidak terjadi dehidrasi


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar. 2013. Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak.
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 3 Desember 2013

Bulechek, G.M., et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi 6. 6th
Indonesian edn. Elsevier Singapore Pte Ltd

Dermawan, D. 2012. Proses Keperawatan Penerapam Dan Kerangka Kerja.


Yogyakarta: Gosyeng Publishing.

Dewi, Y. Anisa. 2008. BASIC VENTILATORY MANAGEMENT. Tugas Kepaniteraan


Klinik Bagian Anastesi, Perawatan Intensif Dan Manajemen Nyeri Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar. Text Book Reading November
2008

Efendi, F dan Makhfudi. 2009. Keperawatan kesehatan Komunitas Teori dan Praktik
dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Febrianto, Ardy.2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Dada Pada Pneumonia di RSUD
Pandangarang Boyolali. Universitas Muhammadiyah Surakarta: Naskah
Publikasi
Firdaus, M. 2017. TRIASE. Dilihat tanggal 17 Juli 2017 pukul 22.15 WIB.
http://www.academia.edu/5296135/Dr._M_Firdaus_TRIASE
Hendra & Emil Huriani. 2011. Pengaruh Mobilisasi Dan Fisioterapi Dada Terhadap
Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif. NERS
JURNAL KEPERAWATAN Volume 7 No 2, Desember 2011 : 121-129
Herdman, T. Heather. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Edisi 10. Jakarta EGC
Hidayat, A.A & M. Uliyah. 2012. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia (KDM),
Pendekatan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Health Books
Publishing
Karhu, Jaana. 2014. Severe Communityacquired Pneumonia – Studies On Imaging,
Etiology, Treatment, And Outcome Among Intensive Care Patients. Journal
ISBN 978-952-62-0531-1 (PDF).ACTA Universitatis Ouluensis D Medica
1256, Finland
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2014
Mahfudzoh, Siti. 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Pneumonia di
Bbkpm Surakarta.Universitas Muhammadiyah Surakarta: Naskah Publikasi
Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory. Jakarta:
CV. Trans Info Media
Morton, P.G., et al. 2014. Critical care Nursing : A Holistic Approach, Vol 1 Edisi 8.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A.H & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & North American Nursing Diagnosis Association (NANDA),
Jilid 2 Edisi Revisi. Yogyakarta: Mediaction Publishing
Pedoman Rekam Medis Berorientasi Masalah. 2009. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PNEUMONIA KOMUNITI PEDOMAN
DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia 2003
Purnamasari, Dewi. 2016. Upaya Mempertahankan Kebersihan Jalan Napas Dengan
Fisioterapi Dada Pada Anak Pneumonia. Universitas Muhammadiyah Surakarta:
Publikasi Ilmiah
Rahman, Dally dkk. 2011. Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (Vap) Pada Klien
Dengan Ventilasi Mekanik Menggunakan Indikator Clinical Pulmonary Infection
Score (CpIS. Jurnal Ners Vol. 6 No. 2 Oktober 2011, hal 126–135
Rahmawati, Fida A. 2014. Angka Kejadian Pneumonia Pada Pasien Sepsis Di ICU RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Laporan Akhir Hasil Penelitian Karya Tulis Ilmiah. FK:
Universitas Diponegoro
Rahmiati & Titis Kurniawan. 2013. VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA DAN
PENCEGAHANNYA. Jurnal Husada Mahakam Volume III No. 6, Nopember
2013, hal. 263 – 318
Rekam Medik. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. 2016. Jumlah Pasien Pneumonia.
Klaten: RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Tidak Di Publikasikan
Rohini, K. Patel, et al. 2015. Study Of Bacteriological And Clinical Profile In Community
Acquired Pneumonia.International Journal of Advanced Research (2015), Volume
3, Issue 9, 1042- 1056
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Pernapasan
edisi 2. Jakarta: Salemba
Ward, P.T. Jeremy, et.al. 2008. At Aglance Sistem Respirasi edisi kedua. Jakarta: Erlang

Anda mungkin juga menyukai