Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kanker Serviks

1. Definisi

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel

epitel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada

serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang

merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan

liang senggama atau vagina. Sebanyak 90% dari kanker serviks berasal

dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel

kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim.

(Setyarini, 2009).

Kanker serviks adalah jenis penyakit kanker yang terjadi pada daerah

leher rahim, yaitu bagian rahim yang terletak di bawah, yang membuka ke

arah vagina. Berawal dari leher rahim, apabila telah memasuki tahap lanjut

kanker ini akan menyebar organ-organ tubuh yang lain (Dr. Setiawan

Dalimartha, 2009)

Kanker serviks adalah keganasan didaerah leher rahim, yang

umumnya memberikan gejala perdarahan per vagina yang abnormal.

Kanker serviks yang terbanyak berasal dari sel skuamosa, yaitu sel gepeng

yang melapisi leher rahim. Urutan berikutnya adalah kanker jenis

adenokarsinoma, berasal dari epitel kelenjar.

7
8

Gambar 2.1 Tempat kanker serviks

Sumber : Hilam tadjoedin & Sri Agustini, 2016.

Tabel 1.1
Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO tahun 2000
Stadium I Karsinoma masih terbatas pada serviks (perluasan
kekorpus uteri diabaikan)
Stadium Ia Karsinoma pre-klinik dan didiagnosis secara
histopatologi
Stadium Ia1 Invasi stroma dini
Stadium Ia2 Keadaan invasi tidak melebihi 5mm dari batas lesi
(permukaan atau glandular) dan lebar lesi horizontal
tidak melebihi 7mm
Stadium Ib Lesi dengan diameter lebih luas stadium Ia, baik secara
klinik atau mikroskopik
Stadium II Karsinoma meluas keluar serviks, tetapi belum
mengenai dinding panggul. Karsinoma sudah mengenai
vagina tetapi 1/3 distal masih bebas
Stadium IIa Tanpa invasi ke parametrium
Stadium IIb Sudah menginvasi parametrium
Stadium III Karsinoma sudah mencapai dinding panggul. Pada
9

pemeriksaan rektal tidak ada celah antara tumor dan


dinding panggul. Tumor mencapai 1/3 distal vagina,
semua kasus dengan hidronefrosis dan gangguan fungsi
ginjal kecuali penyebabnya diketahui oleh hal lain.
Stadium IIIa Meluas sampai 1/3 distal vagina tetapi belum mencapai
dinding panggul.
Stadium IIIb Sudah mencapai dinding panggul dan atau hidronefrosis
atau gangguan fungsi ginjal
Stadium IV Karsinoma sudah meluas ke pelvis kecil (true pelvis)
Stadium IVa Karsinoma sudah menginvasi mukosa vesika urinaria
dan rektum
Stadium I Karsinoma sudah menginvasi ke organ jauh

Gambar 2.2 stadium kanker serviks menurut FIGO

Sumber : Hilman tadjoedin & Sri Agustini, 2016


10

2. Tanda Dan Gejala

Menurut Nugroho (2014), pra kanker pada serviks biasanya

tidak menimbulkan gejala dan tidak terdeteksi kecuali wanita tersebut

menjalani pemeriksaan panggaul dan pap smear. Gejala baru biasanya

baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi

keganasan dan penyusup ke jaringan di sekitarnya. Namun beberapa

tanda dan gejala kanker serviks yang terkadang diabaikan oleh

penderita, yaitu:

a. Bercak perdarahan setelah bersetubuh atau membersihkan vagina.

b. Perdarahan yang semakin banyak, lebih sering, dan berlangsung

lama. Namun terkadang keadaan ini diartikan penderita sebagai

haid yang sering dan banyak.

c. sekret pada vagina berbau.

d. kehilangan berat badan

e. cachexia atau penurunan massa otot dan kelemahan

f. anemia

g. perdarahan rektum

h. hematuria

i. Sakit untuk berkemih

j. Sulit berkemih dan buang air besar

k. nyeri yang menjalar ke panggul atau kaki


11

Namun selain tanda dan gejala diatas, ada beberapa faktor yang

berhubungan dengan kanker serviks, yaitu :

a. Aktivitas seksual yang terlalu dini (<17 tahun)

b. Melahirkan pada usia sangat muda (<16 tahun)

c. Berganti-ganti pasangan

d. Adanya riwayat infeksi

e. Wanita perokok

(Astrid Savitri, 2015)

B. Nyeri pada Kanker serviks

1. Definisi

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yg berhubungan dengan jaringan rusak, cenderung

rusak, dan segaa keadaan yang menunjukan adanya kerusakan jaringan

yang rusak (Imam Rasjidi, 2010).

Menurut Asrul Harsal dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam

(2009) nyeri merupakan sensasi yang tidak enak dan pengalaman emosi

yang terutama berhubungan dengan kerusakan jaringan. Dari definisi

ini tersirat laporan nyeri ini adalah kombinasi dari respon sensoris,

afektif (kejiwaan) dan kognitif, sehingga berhubungan nyeri dengan

kerusakan jaringan tidak sama dan tidak konstan. Akibatnya rasa nyeri

itu subjektif, sehingga laporan/keluhan dari pasien merupakan penilaian


12

yang paling mempunyai arti (gold standard/buku emas), dalam

menegakan diagnosis nyeri kanker.

Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak

menyenangkan, persepsi nyeri seseorang sangat ditentukan oleh

pengalaman dan status emosionalnya. Persepsi nyeri bersifat sangat

pribadi dan subjektif. Oleh karena itu, suatu rangsang yang sama dapat

di rasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda bahkan suatu rangsang

yang sama dapat di rasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan

emosonalnya yang berbeda. (Ana Zakiyah, 2015)

Pada pasien kanker serviks biasanya yang dialami adalah nyeri

kronis. Nyeri kronis di definisikan sebagai nyeri yang berlangsung

enam bulah atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode

yang dapat berubah untuk membedakan antara nyeri akut dan nyeri

kronis. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetepakan

dengan tepat atau sering sulit untuk di obati karena biasanya nyeri ini

tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang di arahkan pada

penyebabnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan nyeri seseorang antara

lain adalah usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, makna nyeri,

ansietas, mekanisme koping, keletihan, pengalaman sebelumnya.(Ana

Zakiyah, 2015)

Nyeri kanker dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu ringan, sedang,

dan berat, masing-masing tingkatan ada sedikit perbedaan dalam


13

memulai pengobatan. Berdasarkan patofisiologi yang dihubungkan

dengan kepentingan klinis, nyeri dibagi 3 kelompok :

a) Nyeri somatik

Nyeri yang timbul akibat kerusakan jaringan misalnya

metastasis tulang.

b) Nyeri viseral

Nyeri yang timbul akibat kerusakan organ atau alat dalam

tubuh seperti nyeri perut karena pembesaran hati karena

kanker hati atau kanker lain yang mestatasis ke hati

c) Nyeri neurogenik

Nyeri yang berhubungan dengan kerusakan/gangguan saraf

(Asrul Harsal dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)

2. Fisiologi Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2006) menjelaskan proses nyeri:

1) Resepsi

Semua kerusakan sekunder yang disebabkan oleh stimulus

termal, mekanik atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan

substansi yang menghasilkan nyeri.Stimulus tersebut kemudian

memicu pelepasan mediator biokimia (misalnya prostaglandin,

bradikinin, histamin, substansi P) yang mensensititasi noiseptor,

noiseptor berfungsi untuk memulai transmisi neural yang dikaitkan

dengan nyeri.
14

2) Transmisi

Fase transmisi terbagi menjadi tiga bagian.Bagian pertama

nyeri merambat dari bagian serabut saraf perifer ke medulla

spinalis.Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis

menuju batang otak dan thalamus melalui jaras

spinotalamikus.Bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks

sensori somatik tempat nyeri dipersepsikan.Impuls yang

ditransmisikan tersebut mengaktifkan respon otonomi.

3) Persepsi

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri.

Persepsi akan menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu

sehingga individu dapat bereaksi.

4) Reaksi

Fase ini dapat dijuga disebut sistem desenden.Reaksi

terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan perilaku yang

terjadi setelah mempersiapkan nyeri.Apabila nyeri berlangsung

terus menerus, berat atau dalam dan secara taktil melibatkan organ

viseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi.Respon

fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu,

pada kasus traumatik berat, yang menyebabkan individu

mengalami syok.
15

3. Intensitas Nyeri

Intensiteas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat

subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas nyeri

yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin

adalah menggunakan respon fisiologi tubuh terhadap nyeri itu sendiri

namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan

gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Satria, 2014).

Pengkajian karakteristik umum nyeri membantu perawat

mengetahui pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk menangani

nyeri.Karakteristik meliputi durasi, lokasi nyeri, intensitas nyeri

kualitas dan tindakan yang memperberat atau memperingan nyeri

(Potter & Perry, 2006).

Menurut Raphael (2010), orang dengan kanker serviks

melaporkan adanya rasa sakit akibat dari pengobatan kanker dan

kelemahan. Kemoterapi dan radioterapi merupakan pengobatan kanker

yang dapat menyebabkan rasa sakit terus menerus. Bagian tubuh yang

mengalami nyeri yaitu di perut bagian bawah dan ada yang menjalar ke

bagian punggung belakang. Frekuensi dari nyeri yang dirasakan

beragam yaitu hilang timbul dan terus menerus.

Nyeri kanker sering ditemukan dalam praktek di rumah sakit,

pada pasien yang pertama kali datang berobat, sekitar 30% pasien
16

kanker disertai dengan keluhan nyeri dan hampir 70% pasien kanker

stadium lanjut yang menjalani pengobatan disertai dengan keluhan

nyeri dalam berbagai tingkatan. Nyeri kanker merupakan nyeri kronik

yang membutuhkan penatalaksanaan yang berbeda dengan nyeri kronik

lainnya, membutuhkan penilaian (asessment) dengan tingkatan akurasi

yang tepat, evaluasi secara komperhensif dan waktu yang ketat

terutama untuk nyeri berat, serta pengobatanya yang berlangsung lama.

Potter dan Perry (2006) juga menjelaskan bahwa ada banyak

instrumen pengukuran nyeri diantaranya: skala analog visual, skala

nyeri secara numerik, skala intensitas deskriptif, dan face pain rating

scale dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Skala Analog Visual


Sumber :Potter & Perry, (2006)

Gambar 2.4 Skala Nyeri Numerik


Sumber :Potter & Perry, (2006).
17

Gambar 2.5 Skala Intensitas Deskriptif


Sumber : Potter & Perry, (2006)

Gambar 2.6Face Pain Rating Scale


Sumber :Potter & Perry, (2006)

4. Teori pengontrolan nyeri (Gate Control Nyeri)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan

bagaimananosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai

saat ini dikenalberbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana

nyeri dapat timbul,namun teori Gate control theory dianggap paling

relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menjelaskan

bahwaimpuls nyeri diatur oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

sistem sarafpusat. Keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan

serabut kontroldesenden dari otak mengatur proses pertahanan.

Neuron delta-A dan Cmelepaskan substansi C melepaskan substansi P


18

untuk mentranmisiimpuls melalui mekanisme pertahanan.Selain itu

terdapatmekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih

cepat yangmelepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan

yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup

mekanisme pertahanan. Mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat

seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan

yang dihasilkan akan menstimulasi mechanoreseptor, apabila masukan

yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan

membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi

nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat

kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.Alur saraf

desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin,

pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.Neuromedulator ini

menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan

substansi P. Teknik distraksi musik, konseling dan pemberian plasebo

merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter dan Perry,

2006).

Gambar 2.7Gate Control Theory


Sumber :Potter & Perry, (2006)
19

5. Penatalaksanaan Nyeri Kanker Serviks

Tatalaksana nyeri kanker membutuhkan pengkajian (assessment)

yang tepat, terus-menerus dan berkesinambungan. Keluhan pasien

merupakan arti sangat penting dalam pengobatan nyeri, keluhan ini

harus di uraikan secara jelas. Ada beberapa pedoman untuk menilai

nyeri seperti :

d) Kapan timbul nyeri

e) Dimana lokasi nyeri

f) Bagaimana kemungkinan mekanisme nyeri tersebut muncul

g) Bagaimana intensitas nyeri itu

h) Faktor apakah yang mengurangi atau menambah nyeri

tersebut

(Asrul Harsal, 2009)

Penatalaksanaan nyeri sendiri terdiri dari 2 jenis, yaitu Farmakologis

dan Nonfarmakologis :

a) Terapi Farmakologis

Ada tiga jenis analgesik yakni:

a. Non-narkotik dan obat antiinflamasi non steroid (NSAID),

umumnya menghilangkan nyeri ringan dan sedang, analgesik ini

bekerja dengan menghambat sistesis prostaglandin dan

menghambat respons selular selama inflamasi sehingga


20

mengurangi transmisi dan persepsi stimulus nyeri. Sebagai contoh

yaitu ketorolac (Taradol).

b. Analgesik narkotik atau opioid umumnya diresepkan dan

digunakan untuk nyeri sedang sampai berat, seperti pascaoperasi

dan nyeri maligna. Analgesik ini bekerja pada sistem saraf pusat

untuk menghasilkan kombinasi efek menstimulasi, contohnya

morfin sulfat.

Obat tambahan (adjuvan) adalah obat yang indikasi utamanya

bukanlah sebagai penanganan rasa nyeri, melainkan memiliki efek

analgesia dalam kondisi-kondisi tertentu terutama pada rasa nyeri

yang berat. Adjuvan seperti sedatif , anticemas, dan relaksan otot

meningkatkan kontrol nyeriatau menghilangkan gejala lain yang

terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Agens tersebut

diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik (Potter &

Perry, 2006).

b) Terapi relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan

mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat

meningkatkan toleransi terhadap nyeri.Teknik relaksasi yang

sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat,

berirama.Klien dapat memejamkan matanya dan bernafas secara

perlahan dan nyaman.Irama yang konstan dapat dipertahankan


21

dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi

(“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi (“hembuskan, dua, tiga”). Pada

saat perawat mengajarkan ini akan sangat membantu bila

menghitung dengan keras pada pasien dengan keras pada awalnya.

Nafas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik

distraksi.Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan

manfaat dari metode-metode relaksasi.Periode relaksasi yang

teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan

otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri

(Smeltzer & Bare, 2002).

c) Terapi distraksi

Distraksi merupakan strategi pengalihan nyeri yang

memfokuskan perhatian klien ke stimulus yang lain daripada

terhadap rasa nyeri dan emosi negatif. Teknik distraksi dapat

mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivitas retikuler

menghambat stimulus nyeri, jika seseorang menerima input sensori

yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke

otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh pasien). Peredaan

nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif

pasien, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat

klien dalam stimulasi. Oleh karena itu stimulasi penglihatan,

pendengaran, dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam


22

menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indra saja. (kozier &

erb 2009, Timbly, 2009)

Ada beberapa jenis distraksi, yaitu :

1. Distraksi visual

Distraksi visual meliputi melihat pertandingan olahraga,

menonton televisi, membaca koran, serta melihat pemandangan

dan gambar.

2. Distraksi pendengaran

Distraksi pendengaran dapat dilakukan dengan cara

mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta

gemercik air. Pasien diminta untuk berkonsentrasi pada lirik

dan irama lagu, pasien juga diperbolehkan menggerakan tubuh

mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jariatau

kaki.

Terapi Distraksi mendengarkan musik klasik adalah salah

satu metode pengalihan perhatian pasien dengan menggunakan

musik. Musik dapat mempengaruhi hidup seseorang dengan

memberikan rasa santai dan nyaman atau menyenangkan.

Disamping sebagai hiburan, musik juga dapat menyembuhkan

stres, depresi, dan nyeri. Musik klasik juga dapat mengatasi

nyeri kronis, musik bekerja pada sistem syaraf otonom yaitu

bagian sistem syaraf yang bertanggung jawab mengontrol

tekanan darah, denyut jantung, dan fungsi otak yang


23

mengontrol emosi.Berdasarkan teori Gate Control, bahwa

impuls nyeri dapat di atur atau dihambat oleh mekanisme

pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat (Farida, 2010)

Teori Gate Control dari Melzack dan Wall (1965, dalam

Potter & Perry, 2006) teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan di buka dan impuls di

hambat saat sebuah pertahanan di tutup. Salah satu cara

menutup mekanisme pertahanan ini adalah dengan merangsang

sekresi endorfin yang akan menghambat pelepasan substansi P.

Musik klasik sendiri juga dapat merangsang peningkatan

hormon endorfin yang merupakan substansi sejenis morfin

yang disuplai oleh tubuh. Sehingga pada saat neuron nyeri

perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara

neuron perifer dan neuron yang menuju ke otak tempat

seharusnya substansi P akan menghantarkan impuls. Pada saat

tersebut, endorfin akan memblokir lepasnya substansi P

darineuron sensorik, sehingga transmisi impuls nyeri di medula

spinalis menjadi terhambat, sehingga sensasi nyeri menjadi

berkurang.

Keunggulan terapi musik klasik yaitu lebih murah daripada

analgesik, prosedur non-invasif, tidak melukai pasien, tidak ada

efek samping, penerapannya luas, bisa diterapkan pada pasien

yang tidak bisa diterapkan terapi secara fisik untuk menurunkan


24

nyeri. Terapi nusik dapat digunakan untuk penyembuhan,

musik yang dipilih pada umumnya musik lembut dan teratur

seperti instrumental / musik klasik Mozart (Laila, 2011)

Dari hasil penelitian yang dilakukan Puji lestari (2013)

tentang perbedaan skala nyeri sebelum dan setelah pemberian

musik klasik, hasil penelitian ini rerata skala nyeri sebelum

mendapatkan terapi musik klasik adalah 4,33 dengan skala

nyeri minimal skala 2 dan maksimal skala 6. Setelah mendapat

terapi musik klasik rerata nyerinya adalah 2,59 dengan skala

nyeri minimal skala 1 dan maksimal skala 4.

Dari penelitian yang dilakukan Andreas Endarto (2011)

mendapat hasil dari perbedaan intensitas nyeri pada pasien

kanker sebelum dan sesudah pemberian terapi musik klasik

mozart, sebanyak 16 responden sebelum diberikan terapi musik

klasik mozart berada pada skala 6 sebanyak 9 responden

(56,3%), skala 4 sebanyak 6 responden (37,5%), skala 8

sebanyak 1 responden (6,3%). Sesudah diberikan terapi musik

klasik mozart, intensitas nyeri responden pada skala berat

menurun menjadi tidak ada (0,0%), skala 6 sebanyak 3

responden (18,8%), skala 2 sebanyak 4 responden (25,0%), dan

skala 0 atau tidak meraskan nyeri sebanyak 9 responden

(56,3%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan


25

intensitas nyeri pada pasien kanker sebelum dan sesudah

pemberian terapi musik klasik mozart.

3. Distraksi pernafasan

Bernafas ritmik, pasien dianjurkan untuk fokus memandang

pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi

perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai tiga

kemudian menghembuskan nafas melalui mulut. Anjurkan

pasien untuk berkonsentrasi pada sensasi pernafasan, kemudian

intruksikan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada

saat yang sama lakukan masase pada bagian tubuh yang

mengalami nyei dengan melakukan gerakan memutar di arean

nyeri.

4. Distraksi intelektual

Mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran

seperti mengumpulkan perangko, menulis cerita, merupakan

beberapa contoh distraksi intelektual.


26

C. Pathways

Etiologi
 Aktivitas Proses
seksualmetalplasi
yang terlalu dini (<17)
(erosife)
 Melahirkan pada usia sangat muda (<16 tahun)
 Berganti-ganti pasangan
Dispalsia serviks
 Adanya riwayat infeksi
 Wanita perokok
Ca serviks

Terapi

Peradangan sampai ke Pembesaran massa Penyebaran


vagina melalui
(kemoterapi, pembuluh limfe
radioterapi, &
Penipisan sel epitel Ke arah
pembedahan) Keputihan berbau Menyebar ke parametrium

busuk Rusaknya permeabilitas pelvis


Menginfiltrasi
dampak pembuluh darah
septum
pengobatan Keputihan berbau rektovaginal dan
busuk
Regresi spontan ureter

Penekanan sel
Nekrosis jaringan
MK : kanker pada Obstruksi
Fistula
Ansiet ureter
perdarahan Perdarahan saat saraf rektum
as MK : HDR bersenggama
Perdarahan MK:
BAB gangguan
MK : Resiko kekurangan cairan
anemia MK : Nyeri eliminasi
urin

Gambar 2.8. Pathway Kanker serviks


Sumber : Mitayani, 2009
27

D. Asuhan Keperawatan Nyeri pada Pasien Kanker Serviks

1. Pengkajian

Pada proses keperawatan langkah pertama yang harus dilakukan

yaitu melakukan pengkajian, dimulai dari menerapkan pengetahuan

dan pengalaman untuk mengumpulkan data tentang pasien sehingga

dapat menetapkan masalah keperawatan yang dialami oleh pasien

(Potter & Perry, 2006).

Keuntungan pengkajian nyeri bagi klien adalah nyeri dapat

diidentifikasi, atau dikenali sebagai suatu yang nyata, dapat diukur,

dan dapat dijelaskan serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan

(McGuire, 1992 dalam Potter & Perry, 2006).

Beberapa askpek yang perlu diperhatikan perawat dalam

pengkajian nyeri antara lain :

a. Penentuan ada tidaknya nyeri

Perawat harus mempercayai ketika pasien melaporkan

adanya ketidaknyamanan walaupun dalam observasi perawat tidak

ditemukannya cedera atau luka.Setiap nyeri yang dilakukan klien

adalah nyata adanya.Sebaliknya, ada beberapa pasien yang

terkadang justru menyembunyikan rasa nyerinya untuk

menghindari pengobatan (Andarmoyo, 2013).

b. Faktor-faktor yang memengaruhi nyeri

Perawat perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang

memengaruhi nyeri klien.Hal ini sangat penting bagi perawat untuk


28

memberikan kemudahan dalam memberikan asuhan keperawatan

pada klien yang mengalami nyeri. Seperti yang telah dijelaskan

faktor-faktor yang memengaruhi nyeri yang dapat dikaji oleh

perawat antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri,

perhatian, ansietas.

c. Pengalaman nyeri

Hal ini akan sangat membantu bagi perawat untuk

mengetahui pada fase apa nyeri yang dirasakan oleh klien dan

apakah klien mengetahui nyeri yang sedang dialami. Fase tersebut

antara lain fase antisipatori, fase sensasi, fase akibat.

d. Karakteristik nyeri

Untuk membantu klien dalam mengutarakan masalah/

keluhannya secara lengkap, pengkajian yang bisa dilakukan oleh

perawat untuk mengkaji karakteristik nyeri bisa menggunakan

pendekatan analisis symptom.Komponen pemgkajian analisis

symptom meliputi (PQRST).

1) Paliatif atau provocatif yaitu penyebab terjadinya nyeri pada

penderita, dalam hal ini perlu dipertimbangkan bagian-bagian

tubuh mana yang mengalami cidera termasuk menghubungkan

antara nyeri yang diderita dengan faktor psikologisnya, karena

bisa terjadinya nyeri hebat karena dari factor psikologisnya

bukan dari lukanya.


29

2) Quality adalahkualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif

yang digunakan oleh klien, seringkali klien mendiskripsikan

nyeri dengan kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri

dalam atau superficial, atau bahkan nyeri seperti di gencet.

3) Region digunakan dalam pengkajian lokasi nyeri, tenaga

kesehatan meminta penderita untuk menunjukkan semua

bagian/daerah yang dirasakan tidak nyaman.

4) Severe yaitu tingkat keparahan yang merupakan hal paling

subjektif yang dirasakan oleh klien, kualitas nyeri harus bisa

digambarkan dengan menggunakan skala yang sifatnya

kuantitas.

5) Time yaitu kapan mulai muncul adanya nyeri, berapa lama

menderita, lain-lain (Judha, Sudarti, & Fauziah, 2012).

e. Respon dan efek nyeri

Respon dan efek nyeri meliputi fisiologis, perilaku, dan

pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari. Respons perilaku yang

timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat antara lain:

1) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas,

mendengkur).

2) Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit

bibir).

3) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot,

peningkatan gerakan jari & tangan).


30

4) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (menghindari

percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang

perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri).

Respon fisiologis terhadap nyeri dapat menunjukkan

keberadaan dan sifat nyeri serta ancaman yang potensial terhadap

kesejahteraan klien. Apabila klien merasakan nyeri, perawat harus

mengkaji tanda-tanda vital, melakukan pemeriksaan fisik terfokus

dan mengobservasi keterlibatan sistem saraf otonom yang

menghasilkan respon fisiologis seperti saat awitan nyeri akut denyut

jantung meningkat, dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan

saluran pernafasan, vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan

tekanan darah), peningkatan kadar glukosa darah, diaforesis,

peningkatan ketegangan otot, dilatasi pupil dan penurunan motilitas

saluran cerna (Potter & Perry, 2006).

f. Persepsi terhadap nyeri

Dalam hal ini perawat perlu mengkaji persepsi klien terhadap

nyeri, bagaimana anggapan klien terhadap masalah yang

dihadapinya saat ini, dan bagaimana klien menghubungkan antara

nyeri yang ia alami dengan proses penyakit atau hal lain dalam diri

atau lingkungan disekitarnya.


31

g. Mekanisme dan adaptasi terhadap nyeri

Perawat dalam hal ini perlu mengkaji cara-cara apa saja yang

bisa klien gunakan dalam menurunkan nyeri yang ia alami. Selain

itu, perlu ditanyakan bagaiman keefektifan cara tersebut dalam

upaya menurunkan nyeri dan apakah cara tersebut digunakan klien

saat menjalani perawatan di rumah sakit. Apabila cara tersebut

digunakan, maka perawat dapat memasukkan dalam rencana

tindakan keperawatan, karena masing-masing individu mempunyai

cara yang berbeda-beda dalam menyikapi dan beradaptasi dengan

nyeri yang ia rasakan.

2. Diagnosa Keperawatan

Nyeri Kronis

Definisi : pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau

digambarkan sebagai suatu kerusakan (international

association for the study of pain); awitan yang tiba-tiba atau

lambat dengan intensitas dari ringan hingga berat, terjadi

konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi

atau di prediksi dan berlangsung lebih dari tiga (>3) bulan.

(NANDA, 2015)
32

Batasan karakteristik:

a. Anoreksia

b. Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri

untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (mis., Neonatal

infant pain scale, pain assessment checklist for senior with limited

ability to communicate)

c. Ekspresi wajah nyeri ( mis., mata kurang bercahaya, tampak kacau,

gerakan mata berpencar atau teteap pada satu fokus, meringis)

d. Fokus pada diri sendiri

e. Hambatan kemampuan meneruskan aktivitas sebelumnya

f. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri ( mis.,

skala wong baker FACES, skala analog visual, skala penilaian

numerik)

g. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar

instrumen nyeri (mis., McGill Pain Questionnaire, Brief Pain

Inventory)

h. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas (mis., anggota

keluarga, pemberi asuhan

i. Perubahan pola tidur


33

Faktor yang berhubungan:

a. Agens pencedera

b. Distres emosi

c. Gangguan imun (mis., neuropati karena human immunodeficiency

virus [HIV], virus varisela zoster)

d. Gangguan metabolik

Gangguan pola tidur

Infiltrasi tumor

Jender wanita

Kerusakan sistem syaraf

Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor


Malnutrisi
Usia >50 tahun (NANDA, 2015)

3. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan nyeri kronis

terkontrol dengan indikator :

1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala

nyeri

2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik

untuk kontrol nyeri


34

3) Vital sign dalam batas normal

4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat

aktivitas menunjukkan berkurangnya tingkat nyeri.

(NANDA NIC-NOC 2015 dalam Amar Nurarif H., 2015)

Intervensi (NIC): Penurunan nyeri kronis

1) Gunakan pendekatan yang menenangkan

2) Nyatakan dengan jelas terhadap pelaku pasien

3) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama

prosedur

4) Pahami prespektif pesien terhadap situasi nyeri

5) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi

takut

6) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan

medikasi

7) Identifikasi tingkat nyeri pasien

8) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan

persepsi nyeri

9) Instruksi pasien menggunakan teknik relaksasi dan distraksi

(NANDA 2015, dalam Amar Nurarif H., 2015)

10) Instruksi pasien menggunakan terapi musik klasik mozart

untuk menurunkan tingkat nyeri


35

4. Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses

keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana

tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang

diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Sifat

nyeri dan sejauh mana nyeri tersebut mempengaruhi kesejahteraan

individu menentukan pilihan terapi penanganan nyeri.Perawat memberi

dan memantau terapi yang diprogramkan dokter untuk penghilang rasa

nyeri dan penggunaan tindakan penghilang nyeri yang mandiri sehingga

melengkapi terapi yang di programkan dokter (Potter & Perry, 2006).

5. Evaluasi

Dalam evaluasi keperawatan terhadap klien dengan masalah nyeri

perawat harus melakukan observasi dengan penuh perhatian dan

mengetahui respon apa yang akan diantisipasi berdasarkan jenis terapi

nyeri, waktu pemberian terapi, sifat fisiologis setiap cedera atau penyakit

dan respons klien terdahulu. Perawat juga mengevaluasi persepsi klien

tentang keefektifan terapi dan menetapkan toleransi klien terhadap terapi

dan tingkat penanganan nyeri yang dicapai (Potter & Perry, 2006).

Evaluasi keperawatan terhadap klien dengan masalah nyeri dilakukan

dengan menilai kemampuan dalam merespon rangsangan nyeri,

diantaranya klien melaporkan adanya penurunan rasa nyeri, mendapat

pemahaman yang akurat mengenai nyeri, mampu mempertahankan


36

kesejahteraan dan meningkatkan kemampuan fungsi fisik dan psikologis

yang dimiliki, mampu menggunakan tindakan-tindakan peredaan nyeri

nonfarmakologis, dan mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk

mengurangi rasa nyeri (Andarmoyo, 2013).

Anda mungkin juga menyukai