Anda di halaman 1dari 16

1

MODUL PERKULIAHAN

U002100010PAK
DAN ETIK UMB

TINDAK PIDANA
KORUPSI

Abstrak Sub-CPMK (lihat di RPS)


Pemberantasan tindak pidana korupsi 1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah tindak
adalah tugas bersama antara pidana korupsi
pemerintah, penegak hukum, 2. Mahasiswa dapat menjelaskan latarbelakang
masyarakat dan lembaga-lembaga delik korupsi dalam perundangan
anti korupsi lainnya. Gerakan simultan
ini harus terus dijaga dan dikawal oleh 3. Mahasiswa dapat menjelaskan gratifikasi
bersama, terurtama oleh pemerintah 4. Mahasiswa memberikan contoh tidak pidana
dan kepemimpinan nasional. Korupsi korupsi
bukan berarti tidak bisa diberantas, 5. Mahasiswa dapat memberikan contoh tindak
tetapi untuk itu butuh sinergi, pidana pencucian uang.
kerjasama dan komitmen .

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

Semua Fakultas Semua Program Studi


12 Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pendahuluan

"Berani melakukan perubahan dan melawan korupsi adalah


sesuatu yang membuat kita lebih dihargai." (Sri Mulyani)

"Komunisme tidak akan pernah menjadi kekuatan


di negeri yang tidak direcoki oleh perang dan korupsi,
atau keduanya." (John F. Kennedy)

"Jika kejahatan dan korupsi merajalela,


kebebasan tidak bisa bertahan; tetapi,
jika kebajikan memiliki keuntungan,
kekuasaan sewenang-wenang
tidak dapat dibangun." (Algernon Sidney)

“Jika penguasa dan pengusaha telah berselingkuh,


maka korupsi sulit untuk diberantas” (Dadan Anugrah)

Undang-undang pembrantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak upaya


pembrantasan korupsi, disamping itu juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam
pembrantasan korupsi. Kesadaran masyarakat timbul apabila masyarakat mempunyai
pengetahuan dan pemahaman akan hakekat tindak pidana korupsi yang diatur dalam
perundang-undangan. Perlu adanya sosialisasi undang-undang pembrantasan korupsi,
khususnya mengenai delik korupsi yang diatur didalamnya. Pengetahuan masyarakat
akan adanya delik korupsi sangat diperlukan mengingat ketidaktahuan akan adanya
peraturan perundang-undangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari
tanggung jawab hukum.

Oleh karena itu, secara sosiologis penguatan masyarakat serta Lembaga-lembaga


anti korupsi tak terelakan lagi. Masyarakat harus diedukasi untuk memahami bahaya
korupsi serta beragam perilaku korupsi disekitarnya serta berani untuk melaporkannya
kepada aparat penegak hukum. Sementara lembaga-lembaga penegak hukum harus
dijamin kebebasannya untuk bersuara keras kepada pihak-pihak yang diduga melakuklan
tindakan korupsi. Tidak ada lagi istilah kriminalisasi sehingga masyarakat dan lembaga
anti korupsi merasa takut dipidanakan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tugas bersama antara pemerintah,


penegak hukum, masyarakat dan lembaga-lembaga anti korupsi lainnya. Gerakan
simultan ini harus terus dijaga dan dikawal oleh bersama, terurtama oleh pemerintah dan

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
2 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
kepemimpinan nasional. Korupsi bukan berarti tidak bisa diberantas, tetapi untuk itu butuh
sinergi, kerjasama dan komitmen.

B. Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Dalam sejarahnya, tindak pidana korupsi bukan hanya terjadi dan marak saat ini,
namun korupsi telah ada sejak negara ini berdiri. Bahkan secara antropolgis dapat
dikatakan, bahwa korupsi telah ada sejak manusia ada dan hidup berkelompok.
Kehidupan sosial dalam setiap fase kehidupan manusia akan saling ketergantungan yang
mengawali adanya transaksi satu sama lain.

Sejak kemerdekaan pemerintah telah menggunakan perundang-undagan yang lama


dan yang baru dalam menangani kejahatan korupsi. Khusus mengenai tindak pidana
korupsi saat ini, di ataranya ada beberapa peraturan yang perlu dipahami, antara lain:

1. Delik Korupsi dalam KUHP.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sekalipun dibuat zaman penjejahan


Belanda, namun telah mengatur banyak perbuatan korupsi. Dalam perjalanannya KUHP
telah banyak diubah, ditambah dan diperbaiki dengan berbagai perundang-undangan.
Delik korupsi dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik korupsi yang diatur di
dalamnya merupakan kejahatan biasa saja.

2. Peraturan Pembrantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.


Prt/Peperpu/013/1950.

Pada Era kemerdekaan, peraturan ini khusus mengatur pembrantasan korupsi, dalam
peraturan ini sudah memakai istilah korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan
dan perekonomian Negara. Dalam peraturan ini adanya pembagian korupsi dalam dua
perbuatan, yaitu:

a) Korupsi sebagai perbuatan pidana, yaitu kejahatan yang memperkaya diri sendiri
yang merugikan keuangan Negara dan penyelahgunaan jabatan (Psl 41 sd. 50).

b) Korupsi sebagai perbuatan lainnya, yaitu korupsi sebagai perbuatan bukan pidana
dengan mempergunakan modal dari masyarakat.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
3 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
3. UU No. 24 (PRP) tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang ini merupakan perubahan peraturan terdahulu, seperti istilah


perbuatan menjadi “tindak Pidana” namun undang-undang menguntungkan tertuduh
karena pembuktiannya lebih sulit.

4. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada tahun 1970an Presiden membentuk komisi 4 agar pemberantasan korupsi


berjalan secara efektif dan efesian. Komisi 4 terdiri dari Wilopo, Kasimo, Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto yang bertugas:

a) Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijakan dan hasil-hasil yang


telah dicapai dalam pembratasan korupsi.

b) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang


masih diperlukan dalam pembrantasan korupsi.

5. Tap. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Setelah berakhirnya pemerintah Orde Baru dan lahir era Reformasi, maka MPR
mengeluarkan keketapannya yang memberi amanat untuk membentuk perundang-
undangan untuk mengawal pembangaun di era reformasi dan masalah korupsi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan Suharto.

6. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Dalam perjanalannya undang-undang ini tidak banyak digunakan. Beberapa alasan


terlalu luasnya ketentuan pidana yang diatur didalammya, adanya kebutuhan ketentuan
undang-undang yang lebih spesifik dan tegas yang khusus mengatur Pembtrantasa
Korupsi.

7. UU NO. 31 tahun 1999 Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagai tuntutan reformasi untuk pembrantasan korupsi ada gerakan baru


membentuk suatu instrument baru Pembrantasan Korupsi.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
4 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
8. UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lahirnya undang-undang ini untuk memperbaiki kemelahan dan kekurangan dari


undang-undang lama.

9. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pembrantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara-cara yang luas biasa dimana
KPK diberikan kewanangan yang lebih besar daripada kepolisian dan kejaksaan. Diantara
kewenangan yang dimiliki KPK dan tidak dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan adalah
kewenangan melakukan penyadaban pembicaraan telepon, dapat melakukan supervise
bagi kepolisian dan kejaksaan dan dapat mengambil alih perkara korupsi yang ditangani
kepolisian dan kejaksaan apabila tidak mengalami perkembangan. Kewenangan KPK itu
juga ada batasnya yaitu perkara:

a) Yang menyangkut kerugian Negara sebesar 1 milyar lebih,

b) Perkara itu menarik perhatian public,

c) Perkara yang dilakukan oleh penyelenggara Negara dan khususnya penegak


hukum.

10. UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003.

Beberapa hal baru yang diatur oleh UNCAC antara lain kerjasama hukum timbal
balik (mutual legal assistance), pertukaran nara pidana, korupsi dilingkungan swasta dan
pengembalian asset hasil kejahatan.

11. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Peranserta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pembrantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Dalam peraturan ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dlam melakukan pengaduan kepada pihak penegak hukum tentang
pembrantasan korupsi dengan cara memberikan penghargaan kepada masyarakat,
seperti:

a) Mengasingkan dan menolak keberadaan koruptot.

b) Memboikot dan memasukan nama koruptor dalam daftar hitam.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
5 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
c) Melakukan pengawasan lingkungan,

d) Melaporkan adanya gratifikasi

e) Berani memberi kesaksian dan tidak fitnah.

12. Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Pencepatan Pembrantasan


Korupsi.

Keluarga instruksi Presiden ini untuk mempercepat pembrantasan korupsi. Secara


khusus ditujukan kepada menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, Gubernur,
Bupati/walikota sesuai dengan tanggung jawabnya.

C. Gratifikasi

Gratifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun


2001 adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Lebih lanjut, Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31/1999 jo. Undang-
Undang No. 20/2001, menyatakan: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.

Sesuai dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jabatan


yang terkena ketentuan tersebut di Pengadilan, meliputi Hakim, Panitera Pengadilan dan
Pegawai Negeri, serta Pegawai pada Mahkamah Agung.

Pada prinsipnya, gratifikasi dilarang sepanjang memenuhi unsur pidana, dan


penerimaan terhadapnya harus dilaporkan kepada KPK. Ada 12 jenis gratifikasi yang
tidak wajib dilaporkan kepada KPK, sesuai dengan Surat KPK No. B-143 tahun 2013
tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi:

1. jika pemberian gratifikasi itu disebabkan karena adanya hubungan keluarga,


sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan;

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
6 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
2. penerimaan dalam penyelenggaraan pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis,
khitanan, dan potong gigi, atau upacara adat/agama lain dengan nilai paling banyak
Rp1.000.000,00;

3. Pemberian yang terkait dengan musibah atau bencana dengan nilai paling banyak
Rp1.000.000,00;

4. pemberian dari sesama pegawai pada acara pisah sambut, pensiun, promosi, dan
ulang tahun dalam bentuk selain uang paling banyak senilai Rp300.000,00 dengan
total pemberian Rp1.000.000,00 dalam satu tahun dari pemberi yang sama;

5. pemberian dari sesama rekan kerja dalam bentuk selain uang dengan nilai paling
banyak Rp200.000,00 dengan total pemberian Rp1.000.000,00 dalam satu tahun
dari pemberi yang sama.

6. pemberian hidangan atau sajian yang berlaku Umum;

7. pemberian atas prestasi akademis atau non akademis yang diikuti, dengan
menggunakan biaya sendiri seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang
tidak terkait kedinasan;

8. penerimaan keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau


kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;

9. penerimaan manfaat bagi seluruh peserta koperasi atau organisasi pegawai


berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum;

10. Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan alat tulis serta sertifikat yang
diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop,
konferensi, pelatihan, atau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum;

11. penerimaan hadiah, beasiswa atau tunjangan baik berupa uang atau barang yang
ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh Pemerintah
atau pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

12. penerimaan yang diperoleh dari kompensasi atas profesi diluar kedinasan, yang
tidak terkait dengan tupoksi dari pejabat/pegawai, tidak memiliki konflik kepentingan,
dan tidak melanggar aturan atau kode etik internal instansi;

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
7 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
D. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.


Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang
terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta
berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia
telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
8 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan
wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.
Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-
Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi
sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-
badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu
pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini
dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan
berbagai instansi tersebut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang: (a)
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
(c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi
yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan
pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger
mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah
ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan.

Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah


didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:

1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat
bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
9 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat
melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara
negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;

3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada


publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan;

4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi


atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan

5. ketentuan mengenai pemberhentian tanpa syarat kepada Anggota Komisi


Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah pentingnya


adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola Komisi
Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum yang kuat
sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang
semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan
unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.

Berdasarkan ketentuan ini maka persyaratan untuk diangkat menjadi anggota


Komisi Pemberantasan Korupsi, selain dilakukan secara transparan dan melibatkan
keikutsertaan masyarakat, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan harus
melalui uji kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, yang kemudian dikukuhkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Di samping itu untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya,


Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengangkat Tim Penasihat yang berasal dari
berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedang mengenai aspek kelembagaan,

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
10 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
ketentuan mengenai struktur organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi diatur sedemikian
rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam
aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta
pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten,
sehingga kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diawasi oleh masyarakat luas.

Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan
berat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Dalam UndangUndang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk
dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah
provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga
dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex
specialis).

Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum


terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai
pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang
untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan
tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim
Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses
pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis
hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk
menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu
secara tegas.

Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula


mengenai ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini
atau hukum yang berlaku.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
11 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
E. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Untuk melengkapi dan mendalami tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
ini, berikut petikannya:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN 2010

TENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(Pasal 3)

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul,


sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang
sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5

(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,


pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
12 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 6

(1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi,
pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali
Korporasi.

(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana


Pencucian Uang:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pasal 7

(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana


denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilalihan Korporasi oleh negara.

Pasal 8

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana
denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun 4 (empat) bulan.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
13 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
Pasal 9

(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda
tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi
atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan
putusan pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana
kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali
Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Pasal 10

Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara


Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan,
pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana
Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 11

(1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan
Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam
rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib
merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk
memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.

(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim
jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang


memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai
laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun
atau telah disampaikan kepada PPATK.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
14 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas
dan Pengatur.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan


Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK
secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada
Pengguna Jasa atau pihak lain.

(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-
Undang ini.

(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

Pasal 13

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut
diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat)
bulan.

Pasal 14

Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan


tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 15

Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 16

Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau
hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang
sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
15 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka
David Wijaya. 2014. Pendidikan Antikorupsi: untuk Sekolah dan Perguruan Tinggi.
Jakarta. Indeks.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. 2018. Pendidikan Antikorupsi untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta.
Klitgaard, dkk. 2002. Penuntun Pembrantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Kurniawan, L (Pngent.) 2002. Menyingkap Korupsi di Daerah. Malang. Intrans.
Kurniawan. 2010. Akuntabiltas Publik: Sejarah, Pengertian, Dimensi dan Jenisnya.
Jakarta.
Nadapdap, Binoto. 2014. Korupsi belum Ada Matinya. Jakarta. Permata Aksara.
Nurdjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi: Perspektif
Tegaknya Keadilan melawan Mafia Hukum. Pustaka Pelajar . Jokyakarta.
Piping Effrianto, Yuliansyah dan Suryo Cahyo Putro. 2014. Kiat-kiat terhindar dari Korupsi
pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jakarta. Change Publication.
Pope, Jaremy. 2003. Strategy membrantas Korupsi. Jakarta Yayasan Obor
Supardi. 2016. Perambasan Harta Hasil Korupsi. Jakarta. Kencana.
Yanti Garnasih. 2015. Penegakan Hukum Anti Pencician Uang dan Masalah
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta. Rajawali Indonesia.
Salahuddin, Anas. 2017. Pendidikan Anti Korupsi. Bandung.Pustaka Setia.
https://acch.kpk.go.id/id/jejak-pemberantasan/uu-30-tahun-2002-komisi-pemberantasan-
tindak-pidana-korupsi

2021 PAK dan Etik UMB Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
16 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai