Anda di halaman 1dari 4

MEMAHAMI MODERASI BERAGAMA

Oleh

Asrul Haq Alang


Staf Balai Diklat Keagamaan Makassar

Moderasi Beragama belakangan ini menjadi fokus utama Kementerian Agama, bahkan menjadi
salah satu dari tiga mantra yang menjadi ruh pada Kementerian Agama saat ini. Hal itu
disebabkan karena moderasi beragama mempunyai tingkat relevansi dan urgensi yang tinggi
ditengah-tengah kehidupan beragama di Indonesia. Moderasi beragama dianggap mampu
menjawab berbagai problematika keagamaan dan peradaban global, dan merupakan waktu yang
tepat bagi generasi moderat dalam mengambil langkah yang lebih agresif.

Moderasi muncul karena adanya pluralitas sehingga moderasi beragama dianggap sebagai cara
pandang yang tepat dalam kehidupan beragama yang plural. Jadi jika ada kelompok yang
radikal, ekstrimis, atau puritan yang berbicara lantang dengan disertai tindakan kekerasan, maka
kelompok moderat harus berbicara lebih lantang dengan disertai tindakan damai.

Konsep moderasi (wasathiyyah) dianggap mampu untuk menangkal umat agar tidak tergelincir
pada pemahaman-pemahaman yang radikal dan ekstrem. Secara historis kelompok-kelompok
yang mempraktikkan pemahaman yang radikal dan ekstreme, kebanyakan disertai dengan
tindakan-tidakan kekerasan dengan mengatasnamakan jihad.

Konsep Moderasi (Wasathiyyah)


Terminologi yang paling tepat untuk melabeli umat Islam adalah moderat. Hal ini didasarkan
pada legitimasi al-Qur’an dan Hadist Nabi bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjadi
orang moderat. Disinilah istilah moderat menemukan akarnya di dalam tradisi Islam, apalagi
terminologi wasathiyyah ini merupakan identitas dan watak dasar Islam.

Konsep wasathiyyah dalam beberapa literatur keislaman ditafsirkan secara beragam oleh para
ahli. Menurut al-Salabi kata wasathiyyah memiliki banyak arti. Pertama, dari akar kata wasth,
berupa dharaf, yang berarti baina (antara). Kedua, dari akar kata wasatha, yang mengandung
banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang mengandung pengertian antara dua
ujung; (2) berupa sifat yang bermakna (khiyar) terpilih, terutama, terbaik; (3) wasath yang
bermakna al-‘adl atau adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang
baik (jayyid) dan yang buruk (radi’).

Sementara Kamali menganalisis wasathiyyah bersinonim dengan kata tawassuṭ, I’tidal,


tawazun, iqtiṣad. Istilah moderasi ini terkait erat dengan keadilan, dan ini berarti memilih posisi
tengah di antara ekstremitas. Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi wasathiyah ke dalam
beberapa makna yang lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan,
kekuatan, dan persatuan.
Beberapa pemaknaan wasathiyyah di atas menunjukkan bahwa terminologi ini sangat dinamis
dan kontekstual. Terminologi ini juga tidak hanya berdiri pada satu aspek, tetapi juga
melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban,
individualisme dan kolektivisme, teks (al-Quran dan Sunnah) dan interpretasi pribadi (ijtihad),
ideal dan realita, yang permanen dan sementara, yang kesemuanya terjalin secara terpadu.

Itu lah kenapa Hanapi menyebut wasathiyyah merupakan pendekatan yang komprehensif dan
terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta umat Islam untuk mempraktikkan Islam secara
seimbang dan komprehensif dalam semua aspek kehidupan masyarakat dengan memusatkan
perhatian pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan pengembangan
pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem
pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan, persamaan antar ras, dan lainnya. Tidak heran
jika ummah wasath (muslim moderat) menjadi model yang akan dipersaksikan di hadapan
umat-umat yang lain.

Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi agama Islam, karakteristik
ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Misi agama ini adalah sebagai rahmat bagi semesta
alam (rahmatan lil‘alamin, QS. al-Anbiya’: 107). Adapun karakteristik ajaran Islam adalah
agama yang sesuai dengan kemanusiaan (fitrah, QS. al-Rum: 30), sedangkan karakteristik umat
Islam adalah umat yang moderat (ummatan wasatan, QS. al-Baqarah: 143). Di samping itu,
terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpihak kepada kebenaran (hanif, QS.
al-Rum: 30), serta menegakkan keadilan (QS. al-Maidah: 8) dan kebaikan agar menjadi umat
terbaik (khair ummah, QS. Ali ‘Imran: 110).

Ayat-ayat tersebut memperkuat perlunya beragama dengan sikap moderat (tawassuth) yang
digambarkan sebagai umatan wasathan, sehingga pada saat ini banyak ulama mempromosikan
konsep moderasi Islam (wasathiyyah al-Islam). Memang ada juga kelompok-kelompok Islam
yang tidak setuju dengan konsep moderasi ini, karena ia dianggap menjual agama kepada pihak
lain. Secara bahasa wasathiyyah berarti jalan tengah di antara dua hal atau pihak (kubu) yang
berhadapan atau berlawanan. Adapun pengertian dan rambu-rambu tentang moderasi ini cukup
bervariasi, yang tidak terlepas dari pemahaman dan sikap keagamaan masing-masing ulama.

Karena moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi ini pun bisa berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya, karena pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan-
persoalan yang dihadapi tidak sama antara di satu negara dengan lainnya. Di negara-negara
mayoritas Muslim, sikap moderasi itu minimal meliputi: pengakuan atas keberadaan pihak lain,
pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan
kehendak dengan cara kekerasan. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat al-Quran, antara lain
menghargai kemajemukan dan kemauan berinteraksi (QS. al-Hujurat: 13), ekspresi agama
dengan bijaksana dan santun (QS. al-Nakhl: 125), prinsip kemudahan sesuai kemampuan (QS.
al-Baqarah: 185, al-Baqarah: 286 dan QS. al-Taghabun: 16).

Urgensi Moderasi (Wasathiyyah)


Sejarah telah memperlihatkan bagaimana kondisi negara-negara di Timur Tengah yang saat ini
luluh lantak serta mudah untuk dipecah belah. Penyebabnya tidak lain karena adanya kelompok
yang memaksakan metode syiar dakwah yang radikal. Pada taraf tertentu, juga tidak jarang
mereka menggunakan jubah agama sebagai simbol, seperti misalnya kelompok Islamic State of
Iran and Syiria (ISIS) dan Al-Qaeda.

Di Indonesia sendiri kelompok-kelompok yang berpemahaman ekstreme dan radikal juga


semakin ingin menunjukkan eksistensinya terutama diera reformasi yang mendukung
kebebasan. Hal ini mengakibatkan munculnya sejumlah kasus ketegangan, intoleransi dan
konflik horisontal dalam masyarakat, konflik vertikal antara kelompok ekstrimis dengan negara
dalam bentuk jihadi, bahkan konflik yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik.
Kondisi tersebut telah menggambarkan bahwa sangat relevan apabila pemahaman terhadap
moderasi beragama dikembangkan di tengah-tengah umat Islam Indonesia, meskipun pada
dasarnya mayoritas umat Islam di Indonesia adalah moderat, yang diwakili oleh Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tetapi negara juga dihadapkan pada munculnya berbagai
aliran keagamaan yang dapat mengganggu karakteristik moderasi ini.

Untuk menghadapi hal tersebut diperlukan dua pendekatan, yakni pendekatan penegakan
hukum dan pendekatan persuasif. Pendekatan hukum hanya dilakukan terhadap pelaku
kekarasan, sedangkan pendekatan persuasif dilakukan melalui upaya-upaya sosialisasi faham
moderasi Islam atau Islam moderat dan wawasan kebangsaan serta counter terhadap
radikalisme. Para ulama dan tokoh Islam dengan dukungan Kementerian Agama dan lembaga-
lembaga terkait perlu melakukan hal tersebut melalui penyelenggaraan forum-forum sarasehan
bagi para tokoh agama dan kaderisasi calon-calon ulama moderat. Para ulama serta tokoh dan
aktivis Islam juga dituntut untuk menghindari sikap fanatisme dan absolutisme mazahab atau
aliran keagamaan mereka, dengan mudah menuduh kelompok lain sebagai syirik (tasyrik),
bid’ah (tabdi’) atau apalagi kafir (takfir). Hal ini disebabkan karena radikalisme dan
ekstrimisme keagamaan itu berkembang dari sikap fanatisme dan absolutisme.

Menanam pemahaman tentang konsep moderasi sangat perlu dilakukan sejak dini kepada para
generasi muda. Hal tersebut dimaksudkan agar generasi muda memiliki sikap keagamaan yang
inklusif. Sehingga jika berada di masyarakat yang multikultural dan multireligius, kita bisa
menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dan bisa menempatkan diri secara bijak
dalam interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Visi moderasi Islam yang perlu ditanamkan kepada generasi muda Indonesia, antara lain: (a)
tasamuh (toleransi) yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek agama
maupun sosial, (b) tawassuth (mengambil jalan tengah) yaitu tidak berlebih-lebihan dan tidak
mengurangi ajaran agama, (c) tawazun (berkeseimbangan) yaitu pemahaman dan pengamalan
agama secara seimbang, (d) i'tidal (lurus dan tegas) yaitu menepatkan sesuatu pada tempatnya,
(e) menerapkan sikap toleran, bersikap hati-hati dalam menjatuhkan vonis kafir dan sesat, (f)
menciptakan ruang dialog inklusif (terbuka) baik dengan kelompok atau aliran intern internal
dalam Islam maupun dengan berbagai kalangan pemuka agama non-Islam, (g) egaliter, yaitu
tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan atau agama dan
tradisi, (h) musyawarah, yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk
mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
Moderasi beragama pada intinya merupakan produk dari pembangunan dalam bidang Agama
yang dilakukan oleh Kementerian Agama, produk ini diharapkan mampu mengahsilkan sebuah
formula untuk lebih mempererat kerukunan umat beragama dalam bingkai Pancasila. Seperti
tujuan dilahirkannya Kementerian Agama di Indonesia yaitu untuk membangun agama-agama
yang ada di negara ini.

Wallahu A’lam bi As-Shawwab

Anda mungkin juga menyukai