Anda di halaman 1dari 93

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP

GLUTEN DAN PATI PADA TEPUNG TERIGU DAN


TEPUNG KETAN PUTIH

MARDIAH

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP
GLUTEN DAN PATI PADA TEPUNG TERIGU DAN
TEPUNG KETAN PUTIH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains


Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

MARDIAH

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 25 Januari 2013

MARDIAH
108096000020
ABSTRAK

MARDIAH, Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma Terhadap Gluten dan Pati Pada
Tepung Terigu dan Tepung Ketan Putih. Dibimbing oleh MIRZAN THABRANI
RAZZAK dan ZUBAIDAH IRAWATI
Telah dilakukan penelitian pengaruh iradiasi gamma terhadap tepung terigu dan
tepung ketan putih dengan dosis iradiasi 0, 10, 15 dan 20 kGy pada masa simpan
0, 7 dan 14 minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mengetahui pengaruh iradiasi terhadap parameter yang diamati, yaitu analisis
kadar gluten, amilosa, air dan perubahan gugus fungsi. Parameter tersebut
dibandingkan dengan kedua sampel tanpa perlakuan iradiasi (0 kGy). Berdasarkan
hasil pengamatan, penurunan kadar gluten tepung terigu tertinggi pada dosis
iradiasi 20 kGy selama penyimpanan 7 minggu dengan persentase akhir sebesar
7,02%. Persentase penurunan kadar amilosa tepung terigu optium selama
penyimpanan 7 minggu dengan dosis iradiasi 20 kGy sebesar 16,41%, sebaliknya
tepung ketan putih mengalami peningkatan persentase kadar amilosa setelah
penyimpanan 7 minggu sebesar 4,70%. Hasil analisis menggunakan ANOVA
menunjukkan bahwa kadar air nampak tidak berbeda nyata dengan tingkat
kepercayaan 95%. Spektrum FTIR untuk tepung terigu dan tepung ketan putih
dengan perlakuan iradiasi menunjukkan terjadinya pemutusan ikatan 1,4-α
glikosidik yang dicirikan oleh pita serapan C-O-C pada bilangan gelombang
1150-1040 cm-1 jika dibandingkan dengan 0 kGy. Hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa kadar gluten dan pati menurun seiring dengan
meningkatnya dosis iradiasi.
Kata Kunci: dosis iradiasi, kadar gluten, amilosa dan air
ABSTRACT

MARDIAH, The Effects of Gamma Ray Irradiation Towards Gluten in Wheat


Flour and White Glutinous Rice Flour. Supervised by MIRZAN THABRANI
RAZZAK and ZUBAIDAH IRAWATI.
Studies of the effects of gamma irradiation on the wheat flour and white glutinous
rice flour with doses of 10, 15 and 20 kGy, stored for 0, 7 and 14 weeks,
respectively has been done. The aim of this research was to identified and to know
the effects of irradiation on the parameters observed; gluten content, amylose,
water content and the changes of functional group. The irradiated samples were
compared to unirradiated one as a control. The results showed that, the highest
decreasing of gluten content of wheat flour with irradiation dose of 20 kGy in 7
weeks storage was 7,02%. Amylose content of wheat flour was optimum during 7
weeks storage with irradiation dose of 20 kGy at 16,41% , on the other way white
glutinous rice flour had increased amylose content after 7 weeks storage was
4,70%. The ANOVA result showed that water content didn’t change, it showed no
significant different with level of confidence of 95%. FTIR spectrum for wheat
flour and white glutinous rice flour with irradiation treatment showed that the
termination of 1,4-α glycosidic bond was characterized by C-O-C absorption
bands at wave number of 1150-1040 cm-1 in comparison with 0 kGy. The results
of this research was that gluten content decreased along with increasing
irradiation dose.
Keywords: irradiation dose, gluten, amylose and water content
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Puji syukur bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“PENGARUH IRADIASI SINAR GAMMA TERHADAP GLUTEN DAN

PATI PADA TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG KETAN PUTIH”. Shalawat

dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga, para sahabat dan para pengikutnya yang selalu istiqomah dalam

menjalankan Sunnahnya sampai hari kiamat.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang menjadi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan segala kerendahan hati,

penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. DR. Mirzan Thabrani Razzak, M.Eng, APU selaku Dosen Pembimbing I

yang telah membimbing dan memberikan saran serta nasihat kepada

penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran selama penyusunan

penulisan skripsi

2. Dr. Ir. Zubaidah Irawati, APU selaku Pembimbing II yang telah

membimbing dan memberikan saran serta nasihat kepada penulis dengan

penuh keikhlasan dan kesabaran selama pelaksanaan penelitian dan

penyusunan penulisan skripsi.

3. Dr. Thamzil Las, selaku Penguji I yang telah memberikan pengarahan

dalam penyusunan skripsi.

viii
4. Isalmi Aziz, MT selaku penguji II yang telah memberikan pengarahan

dalam penyusunan skripsi.

5. Drs. Dede Sukandar selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi.

6. Dr. Agus salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Dr. Hendig Winarno selaku Kepala PATIR-BATAN, Dr. Darmawan

selaku Kepala Laboratorium Proses Iradiasi, Cecep M. Nurcahaya,S.Si

selaku koordinator kelompok bahan pangan dan Tjahjono selaku

penanggung jawab Iradiator Karet Alam (IRKA)

8. Para sttaf kelompok bahan pangan irradiasi; Pak Indra, Ibu Deudeu, Pak

Aji, dan Ibu Asti dan seluruh staff BATAN yang memberikan kemudahan

selama penulis melakukan penelitian.

9. Seluruh Dosen Kimia dan para Staff Fakultas Sains dan Teknologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Bapak (Alm), Mama dan Abang yang tidak pernah lelah mencurahkan

kasih sayang, perhatian, dukungan dan Do’a kepada penulis.

11. Teman-teman seperjuangan selama penelitian ; Ades, Emma,Vira, Anita,

Wulan dan Tami atas nasehat dan dukungan kepada penulis.

12. Sahabat setiaku ; Amel, Fitria, Rukiyah , Fathurrahman dan Rika yang

selalu setia menemani, menyemangati dan membantu penulis.

13. Keluarga Kost Ibu Nardi ; Indah, Virly, Citra, Monic, Ary dan Suryani

yang berbagi cerita suka dan duka.

ix
14. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 dan semua pihak yang telah

membantu penulis secara moril.

15. Keluarga Kost Annur ; Kak Wardah, Ruhana, Dini, Icha, Kak Nur, Kak

Biah, Kak Ratu, Titi, dan Fatiha atas nasihat dan kebersamaan berbagi

suka dan duka.

Penulis menyadari dengan segala kekurangan penelitian dan penyusunan

skripsi ini, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan

para pembaca, terutama dalam pengembangan ilmu kimia, khususnya pengaruh

iradiasi gamma terhadap gluten dalam bahan pangan. Penulis mengucapkan

terimakasih.

Jakarta, Januari 2013

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7
2.1. Gluten .......................................................................................................... 7
2.2. Kelompok bahan makanan gluten dan bebas gluten ................................... 8
2.3. Tepung terigu .............................................................................................. 9
2.4. Ketan .......................................................................................................... 12
2.4.1 Ketan putih. ......................................................................................... 14
2.4.2. Perkembangan komoditas ketan ......................................................... 14
2.5. Radiasi ........................................................................................................ 15
2.5.1. Dosis iradiasi ...................................................................................... 19
2.5.2. Sumber iradiasi ................................................................................... 21
2.5.3. Dosimetri standar ............................................................................... 22
2.5.4. Iradiator 60Co (IRKA) ........................................................................ 24
2.5.5. Interaksi sinar gamma dengan materi ................................................. 27
2.5.6. Pengaruh iradiasi gamma terhadap protein tepung ............................ 29
2.5.7. Pangan iradiasi ................................................................................... 30
2.5.8. Undang-undang pangan iradiasi ......................................................... 31
2.6. Spektrometer inframerah ............................................................................ 34
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 41
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 41

xi
3.2. Bahan dan Alat ........................................................................................... 41
3.3. Prosedur kerja............................................................................................. 42
3.3.1. Persiapan sampel dan iradiasi............................................................. 42
3.3.2. Analisis kadar air ................................................................................ 43
3.3.3. Analisis kadar gluten .......................................................................... 43
3.3.4. Analisis kadar Amilosa ...................................................................... 44
3.3.5. Analisis gugus fungsi dengan FTIR ................................................... 45
3.4. Analisis data ............................................................................................... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 47
4.1. Pengaruh iradiasi dan masa simpan terhadap tepung terigu
dan tepung ketan putih ............................................................................... 47
4.1.1. Kadar air ............................................................................................ 47
4.1.2. Kadar gluten ...................................................................................... 51
4.1.3. Kadar amilosa ..................................................................................... 54
4.1.4. Analisis gugus fungsi dengan FTIR .................................................. 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 62
5.1. Kesimpulan ................................................................................................ 62
5.2. Saran ........................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 63
LAMPIRAN .................................................................................................... 68

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Struktur sistein...................................………………………...... 8
Gambar 2. Struktur Kimia Amilosa......................................………………….... 11
Gambar 3. Struktur Kimia Amilopektin ........................……………………...... 11
Gambar 4. Interaksi elektron cepat dengan materi ........................……………...16
Gambar 5. Grafik hubungan antara absorpsi spesifik dengan dosis..................... 27
Gambar 6. Efek fotolistrik.................................................................................... 28
Gambar 7. Efek hamburan compton..................................................................... 28
Gambar 8. Produksi pasangan ion......................................................................... 29
Gambar 9. Sistem peralatan spektrofotometer FTIR........................................... 34
Gambar 10. Bentuk vibrasi regangan.................................................................... 37
Gambar 11. Bentuk vibrasi bengkokan.................................................................. 38
Gambar 12 Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar air
tepung terigu .......................................................................................47
Gambar 13. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar air
tepung ketan putih ............................................................................. 49
Gambar 14. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar gluten
Tepung terigu .................................................................................... 51
Gambar 15. Ikatan disulfida pada sistein .............................................................. 53
Gambar 16. Struktur tirosin................................................................................... 53
Gambar 17. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar amilosa
tepung ketan putih ............................................................................. 54
Gambar 18. Reaksi pemecahan amilosa oleh iradiasi gamma............................... 56
Gambar 19. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar amilosa
tepung ketan putih ............................................................................. 57
Gambar 20. Spektrum FTIR tepung terigu........................................................... 59
Gambar 21. Spektrum FTIR tepung ketan putih................................................... 60

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kelompok bahan makanan gluten dan bebas gluten................................. 9
Tabel 2. Komposisi tepung terigu per 100 g bahan................................................. 9
Tabel 3. Nilai nutrisi dan RDA gluten terigu ........................................................ 10
Tabel 4. Komposisi beras ketan putih per 100 g bahan......................................... 14
Tabel 5. Karakteristik Co-60 dan Cs-137.............................................................. 22
Tabel 6. Data kalibrasi hubungan absorpsi spesifik dengan dosis........................ 26
Tabel 7. Autolisis pada tepung teriradiasi ............................................................ 30
Tabel 8. Aplikasi tentang jenis pangan, tujuan iradiasi
dan dosis serap maksimum ..................................................................... 33
Tabel9.Daerah spektrofotometer inframerah......................................................... 36
Tabel10.Frekuensi penyerapan IR dari kelompok variasi gugus fungsi................ 40

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian ...........................................................68
Lampiran 2. Contoh perhitungan analisis kadar air
Tanggal 15 Maret 2012 ..............................................................69
Lampiran 3. Contoh perhitungan analisis kadar gluten
Tanggal 5 April 2012. ................................................................70
Lampiran 4. Perhitungan analisis kadar amilosa.............................................71
Lampiran 5. Tabel titik presentase distribusi F untuk probabilita 5% ............72
Lampiran 6. Hasil pengamatan .......................................................................73
Lampiran 7. Hasil uji statistik ANOVA dua faktor dengan SPSS 13.0 ..........75
Lampiran 8. Hasil uji beda nyata terkecil dengan SPSS 13.0 .........................76
Lampiran 9.Bahan dan alat . ...........................................................................78

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Protein gluten mengandung prolin dan kurang dapat dicerna di dalam

saluran pencernaan manusia. Selain itu, gluten memiliki kandungan gliadin, yaitu

fraksi protein gluten yang larut dalam alkohol dan berisi sebagian besar

komponen beracun. Gluten tidak dapat dicerna oleh usus karena mengandung

gliadin yang terdiri dari 33 asam amino tahan terhadap degradasi oleh asam

lambung, pankreas, dan membran protease intestinal brush-bonder dalam usus

manusia. Penderita seliak memiliki respon kebal terhadap gliadin yang

mengakibatkan reaksi inflamasi, terutama di usus kecil bagian atas, yang ditandai

dengan adanya infiltrasi dari lamina propria dan epitel sel-sel inflamasi kronis

atrofi voli (Green dan Christophe, 2007).

Gluten merupakan 80% campuran protein dari gliadin dan glutenin. Pada

penderita seliak gluten dapat menyebabkan sifat intoleran pada tubuhnya.

Penyakit seliak adalah penyakit inflamasi kronik pada usus halus yang

diakibatkan oleh hipersensitivitas terhadap produk tepung (Asmara, 2008) dan

merupakan gangguan autoimun yang dapat menyebabkan kerusakan atau terjadi

peradangan usus halus, sehingga dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi dari

makanan tersebut. Kelompok lain yang intoleran terhadap asupan gluten termasuk

anak dengan gangguan spektrum autisme atau ADHD, pasien yang menderita

gangguan pencernaan seperti sindrom iritasi usus besar. Menurut Kidd (2002),

1
konsumsi gluten oleh penderita autis dapat menyebabkan gangguan terhadap

fungsi kerja otak, seperti pada narkotika. Hal ini disebabkan gluten yang dicerna

di dalam tubuh manusia menghasilkan polimer asam amino kecil yang dinamakan

exorphin. Exorphin merusak usus halus dan masuk ke dalam aliran darah,

kemudian menuju otak dan masuk dalam otak. Di dalam otak, exorphin ditangkap

oleh reseptor opioid. Reseptor memiliki fungsi kerja seperti pada opium atau

morfin, sehingga menyebabkan gangguan sistem syaraf (Anonim, 2011).

Penderita alergen tidak bisa mentolerir bahkan sejumlah kecil asupan dari gluten,

protein yang berasal dari gandum, rye dan barley, diantara biji-bijian lainnya.

Gandum merupakan bahan dasar pembuatan tepung terigu. komponen

utama pati tepung terigu adalah amilosa (25%). Tepung terigu telah menjadi

makanan pokok banyak negara diantaranya penduduk Amerika dan Indonesia.

Menurut USDA, peningkatan persediaan gandum dalam skala dunia tahun 2011-

2012 mencapai 0,6%. Total produksi gandum setiap tahun mencapai 2,8 miliar ton

(Anonim 2011). Produksi gandum dunia tahun 2011-2012 juga diperkirakan

meningkat 5,7% dari tahun sebelumnya (WAOB, 2012). Sedangkan di Indonesia,

Jakarta-Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) mencatat, bahwa

impor tepung terigu di Indonesia turun 34,92% pada kuartal I tahun 2012 menjadi

121,778 ton, jika dibandingkan dengan periode tahun lalu (2011) 187.115 ton

(Kemenperin, 2012). Selain tepung terigu, juga digunakan tepung ketan putih

yang disebutkan dalam literatur (Nikolic et al, 2011) tidak mengandung

kandungan gluten. Namun, dalam beberapa kasus, terjadi proses pencampuran

tepung terigu dengan tepung ketan putih, sehingga tepung ketan putih tidak murni

2
bebas dari gluten. Oleh karena itu tepung ketan putih yang berada di pasaran juga

perlu untuk diteliti kandungan glutennya.

Beras ketan (Oriza sativa Glatinus) adalah makanan bergizi, secara

biologis termasuk tanaman tropis aktif yang bebas gluten dan rendah natrium,

kandungan tinggi karbohidrat yang mudah dicerna, diinginkan dalam beberapa

diet dan kaya akan antioksidan. Beras ketan juga merupakan sumber protein, lisin,

rendah lemak dan dapat digunakan untuk serat (Nikolic et al, 2011) . Beras ketan

sebagai bahan makanan pokok masyarakat di Laos dan Muanghtai bagian utara.

Beras ketan biasa digunakan sebagai makanan penutup atau diolah menjadi

makanan ringan, seperti tape ketan (Setyawardhani, 2008). Beras ketan termasuk

serelia yang kaya dengan kandungan karbohidrat, sehingga dapat digunakan

sebagai pengganti bahan makanan pokok manusia. Komponen utama beras ketan

adalah amilopektin, sedangkan kadar amilosanya hanya berkisar antara 1-2% dari

pati (Winarno, 1992). Menurut BPS (2012), konsumsi rata-rata beras ketan per

kapita seminggu di Indonesia mulai tahun 2009 sampai dengan 2011 masing-

masing sebesar 1.755; 1.733 dan 1.721 kg. Sedangkan, berdasarkan hasil survei

sosial ekonomi nasional 2007-2011 konsumsi beras ketan rata-rata per kapita

setahun di Indonesia mencapai 1,25%.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa

kandungan gluten terdapat pada sampel tepung terigu. Terigu adalah salah satu

jenis bahan pangan yang mempengaruhi asupan gluten pada seliak dan autis.

Penyakit seliak adalah gangguan genetik atau gangguan autoimun dimana sistem

kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh. Hal ini dipicu oleh gluten yang

3
dikonsumsi mengganggu penyerapan nutrisi dari makanan dengan merusak bagian

dari usus kecil yang disebut vili. Ketika nutrisi tidak bisa diserap ke dalam aliran

darah dapat menyebabkan sejumlah masalah termasuk kekurangan gizi, kanker,

osteoporosis, diabetes tipe 1, infertilitas dan timbulnya penyakit autoimun lainnya.

Penyakit ini dapat dipicu oleh peristiwa stres, fisik dan atau emosional dalam

kehidupan seseorang seperti kelahiran operasi, anak atau perceraian. Ada hampir

300 gejala yang berhubungan dengan penyakit ini meskipun yang paling umum

adalah gastrointestinal seperti: sakit perut, kembung, sembelit, gas dan non-usus

seperti: anemia, ruam kulit gatal, sakit kepala migrain dan lainnya (Murray,

2012).

Untuk mengatasi kedua penderita alergen gluten tersebut, maka dilakukan

usaha-usaha oleh para ilmuan untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan

kandungan gluten di dalam bahan tersebut. Salah satu solusi yang dapat

dilakukan adalah dengan teknik iradiasi pengion menggunakan sumber radiasi

sinar-γ dari radioisotop Co-60 karena cara ini mempunyai beberapa keuntungan,

antara lain menekan perubahan fisiologis yang terjadi dalam bahan pangan, radiasi

mempunyai daya tembus besar maka radiasi dapat dilakukan pada bahan yang

dikemas dalam bentuk kemasan akhir yang siap dipasarkan sehingga kontaminasi

dapat dihindarkan, pemilihan bahan pengemas yang leluasa, tidak meninggalkan

residu bahan kimia sehingga bersifat ramah lingkungan dan hemat energi untuk

skala industri (Depkes, 1995). Sumber radiasi selain 60Co adalah radioisotop yang
137
berasal dari Cs, memiliki energi gamma yang lebih rendah dan sudah jarang

digunakan untuk penelitian dan skala industri. Iradiasi gamma terutama dengan

4
dosis tinggi atau dosis sterilisasi dapat mematikan hampir semua jenis mikroba

secara lebih menyeluruh dibanding dengan dosis iradiasi yang sedang atau rendah.

Namun demikian, iradiasi gamma dengan dosis tinggi dapat menyebabkan

perubahan fisika-kimia pada bahan pangan. Metode iradiasi gamma untuk

sterilisasi ini menggunakan dosis tinggi, yaitu 10, 15 dan 20 kGy, dengan

pertimbangan bahwa dosis 20 kGy merupakan dosis sterilisasi yang umumnya

digunakan pada alat-alat kesehatan (WHO, 1999).

Pengaruh iradiasi gamma terhadap protein gluten dalam tepung telah

dilakukan oleh Koksel et.al (1988) dan diketahui iradiasi gamma pada dosis 20

kGy dapat mempengaruhi struktur polimer gluten. Pada penelitian ini dilakukan

identifikasi untuk mengetahui pengaruh iradiasi pada sampel terigu yang memiliki

kandungan gluten yang digunakan untuk memecah jenis ikatan kimia dalam bahan

organik, yaitu ikatan disulfida. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk

memberikan kemudahan kepada penderita yang alergi terhadap produk pangan

yang mengandung gluten, sehingga dapat mengkonsumsi produk pangan dari

bahan dasar tepung secara aman.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah iradiasi gamma dapat membantu menurunkan gluten, amilosa, air

dan perubahan gugus fungsi?

5
1.3. Tujuan Penelitian

1) Mengidentifikasi dan mengetahui pengaruh iradiasi terhadap

penurunan gluten, amilosa, air dan perubahan gugus fungsi.

2) Mengetahui kandungan gluten tepung ketan putih

1.4. Manfaat Penelitian

1) Memberikan informasi mengenai pengaruh iradiasi terhadap gluten,

amilosa, air dan perubahan gugus fungsi.

2) Memberikan informasi khususnya kepada penderita seliak dan autis

bahwa teknik iradiasi dapat membantu mengurangi atau menurunkan

kandungan gluten dalam bahan pangan yang mengandung gluten

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gluten

Bulir gandum mengandung 8-15%. Sekitar 80% protein tepung adalah

gluten. Gluten adalah protein yang membentuk rantai seperti benang. Dengan

pengadukan (pengulian) adonan, gluten mengembang menjadi rantai panjang dan

bertautan. Pengulian lebih baik untuk pengembangan rantai ini karena tidak

memotong rantai. Saat menguli adonan roti, berarti dengan sendirinya telah

membuat rantai gluten (Ichda, 2007).

Gluten akan membentuk sifat elastisitas yang tinggi jika ditambahkan air

(Suarni, 2004). Selain itu, gluten juga merupakan protein tepung terigu yang tidak

larut dalam air karena bersifat elastis dan dapat memanjang (Dwiari et al., 2008).

Sifat unik pada adonan tepung dihasilkan dari sifat gluten. Suatu adonan terbentuk

oleh campuran air dan tepung terigu, saat terjadi hidrasi dan pencampuran gluten

mengembang dan membentuk suatu jaringan tiga dimensi yang berikatan satu

sama lain dengan ikatan hidrogen dan ikatan disulfida. Kualitas dan kuantitas

gluten berdampak pada karakteristik roti secara keseluruhan. Gluten berperan

pada sifat kohesif dan elastisitas adonan karena gluten bersifat kompleks (Rao,

1963).

Gluten mengandung dua fraksi protein, yaitu gliadin dan glutenin. Gliadin

yaitu protein yang memiliki berat molekul rendah sekitar 40.000, dibandingkan

dengan fraksi glutenin yang memiliki berat molekul tinggi, yaitu diatas 3.000.000.

7
Dua fraksi ini berbeda dalam struktur dan komposisi asam amino. Sistein

merupakan salah satu jenis asam amino yang terkandung dalam protein gliadin.

Sistein mengandung atom –SH seperti yang disajikan pada Gambar 1 berikut ini:

HS OH
NH2

Gambar 1. Struktur sistein

Gliadin memiliki struktur ikatan yang ketat karena adanya ikatan disulfida

intra-molekuler. Sedangkan glutenin memiliki struktur berupa lipatan yang bebas

terjadi karena adanya ikatan disulfida inter-molekuler Glutenin merupakan

senyawa yang bertanggung jawab terhadap elastisitas adonan sedangkan gliadin

penting dalam ekstensibilitas adonan (Rao, 1963).

2.2. Kelompok bahan makanan gluten dan bebas gluten

Menurut Coeliakie (2012), penderita seliak (celiac) dan autis adalah suatu

penyakit yang intoleransi makanan gluten dan harus mengkonsumsi makanan

yang tidak mengandung gluten atau bebas gluten. Untuk kedua penderita tersebut

pada Tabel 1 disajikan bahan-bahan makanan yang mengandung gluten dan bebas

gluten.

8
Tabel 1. Kelompok bahan makanan gluten dan bebas gluten
No Makanan gluten Makanan bebas gluten
1. Gandum Tepung jagung
2. Sereal Tepung beras
3. Gandum belanda Gandum hitam
4. Gandum kasar Sorgum
5. Kamut Tapioka
6. Cracker Maizena
7. Barley Tepung jagung kasar (polenta)
8. Gandum havermut Tepung kentang

2.3. Tepung terigu

Tepung terigu adalah tepung atau bubuk halus yang berasal dari hasil

penggilingan biji gandum. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, bahwa tepung

terigu mengandung protein yang tidak larut dalam air atau protein pembentuk

gluten, yang bersifat kenyal dan elastis. Ciri khas inilah yang membuat terigu

banyak digunakan untuk membuat adonan, misalnya roti. Umumnya kandungan

gluten menentukan kadar protein tepung terigu, semakin tinggi kadar gluten maka

semakin tinggi kadar protein tepung terigu tersebut.

Kandungan kimia tepung terigu per 100 g porsi makanan dapat dilihat

pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Komposisi tepung terigu per 100 g bahan (PT Indofood, 2008)
Nama bahan Energi Protein Lemak Karbohidrat Air
(Kkal) (g) (g) (g) (g)
Tepung terigu 340 10,69 1,99 75,36 10,42

9
Air dalam bahan pangan merupakan komponen penting karena dapat

mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa, bahkan dalam bahan pangan

yang kering sekalipun, seperti tepung dan biji-bijian (Winarno, 1992).

Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam kebanyakan

reaksi perusakan bahan pangan baik segar maupun yang diawetkan, maka

pengaturan kadar air untuk menjamin kualitas bahan pangan kering selama

penyimpanan merupakan hal yang sangat penting (Manheim, 1994). Untuk itu,

kadar air sebagai parameter kualitas yang dapat dievaluasi secara kuantitatif

dianalisis dengan masa simpan 7 dan 14 minggu. Metode pengukuran kadar air ini

mengacu pada Badan Standar Nasional (BSN): 01-2891-1992. Menurut SNI:

3751-2009, hasil pengukuran kadar air tepung terigu sebagai syarat mutu bahan

pangan yang memenuhi standar maksimal adalah sebesar 14,50%.

Menurut Food and Nutrition (2012) nilai nutrisi dan asupan harian yang

direkomendasikan atau disingkat RDA (Recomended Daily Allowance) gluten

terigu disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai nutrisi dan RDA gluten terigu


Bahan Gizi Jumlah Gizi
Kalori 270 kkal, 19 % dari RDA
Protein 75 g, 150 % dari RDA
Karbohidrat 13,8 g, 11 % dari RDA
Lemak 1,85 g, 3 % dari RDA

Selain mengandung protein gluten, tepung terigu juga banyak

mengandung zat pati, yaitu karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air. Pati

(starch) adalah jenis polisakarida yang merupakan makanan simpanan dalam

10
tanaman, dan sumber energi yang besar untuk organisme non-fotosintetik. Pati

terdiri dari dua komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah molekul

linier yang terdiri dari α-glukopiranosil yang terikat sebagai ikatan 1,4-glikosidik

ditunjukkan pada Gambar 2. Amilopektin adalah rantai komplek dengan ikatan

1,4-glukopiranosil pada 1,4-glikosida dan ikatan 1,6-glikosida sebagai rantai

cabangnya ditunjukkan pada Gambar 3. Studi struktur ultra menunjukkan pati

mempunyai dua morfologi utama, yaitu bentuk kristalin yang disusun oleh

amilopektin dan bentuk amorf yang disusun oleh amilosa (Belitz dan Grosch,

1999).

Gambar 2. Struktur kimia amilosa.

Gambar 3. Struktur kimia amilopektin.

Amilosa merupakan bagian dari rantai lurus yang dapat memutar dan

membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa yang bersulur

tunggal terdapat hidrogen yang berikatan dengan atom O-2 dan O-6. Rantai lurus

11
amilosa yang membentuk sulur ganda kristal tersebut tahan terhadap amilase.

Ikatan hidrogen inter-sulur dan intra-sulur mengakibatkan terbentuknya struktur

hidrofobik dengan kelarutan yang rendah. Oleh karena itu, sulur tunggal amilosa

mirip dengan siklodekstrin yang bersifat hidrofobik pada permukaan dalamnya

(Berry, 1986).

Granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin. Jumlah

cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang terdiri atas cincin

lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Hustiany, 2006). Amilosa

merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati letaknya tidak pada satu

tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa terletak diantara

molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling di antara

daerah amorf dan kristal (Oates, 1997). Ketika dipanaskan dalam air, amilopektin

akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu larutan dengan viskositas tinggi

dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada amilopektin cenderung

tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada konsentrasi

tinggi (Belitz dan Grosch, 1999).

2.4. Ketan

Ketan atau yang lebih dikenal dengan beras ketan (Oryza sativa glutinosa)

merupakan salah satu varietas dari padi dan termasuk famili Graminae. Butir

beras tersusun dari endosperm, aleuron dan embrio. Dalam aleuron dan embrio

terdapat protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin, sedangkan endosperm

hampir seluruhnya terdiri dari pati. Pati (C6H10O5) adalah cadangan makanan

12
yang terdapat di dalam biji atau umbi tumbuh-tumbuhan (Setyawardhani, 2008).

Akan tetapi menurut Coeliakie (2012) beras ketan termasuk bahan pangan yang

bebas gluten sesuai pengelompokkan bahan makanan pada Tabel 1.

Komposisi terbesar beras ketan dari kandungan pati adalah amilopektin,

sebesar 89,12% (Hartati, 2003) sedangkan amilosa hanya berkisar 1-2%. Beras

ketan memiliki sifat dari butir atau granula yang berwarna gelap dan lunak, selain

itu ketan juga memiliki kandungan kalori, kalsium dan fosfor yang tinggi, serta

berbagai mineral dan vitamin B yang berguna untuk mengatur metabolisme

normal lemak, pertumbuhan dan pembentukan tulang serta gigi.

Air dalam bahan pangan merupakan komponen penting karena dapat

mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa, bahkan dalam bahan pangan

yang kering sekalipun, seperti tepung dan biji-bijian (Winarno, 1992).

Kadar air merupakan parameter utama yang terlibat dalam kebanyakan

reaksi perusakan bahan pangan baik segar maupun yang diawetkan, maka

pengaturan kadar air untuk menjamin kualitas bahan pangan kering selama

penyimpanan merupakan hal yang sangat penting (Manheim, 1994). Untuk itu,

kadar air sebagai parameter kualitas yang dapat dievaluasi secara kuantitatif

dianalisis dengan masa simpan 7 dan 14 minggu. Pengukuran kadar air ini

mengacu pada Badan Standar Nasional (BSN): 01-2891-1992. Menurut SNI: 01-

4447-1998, pengukuran kadar air ketan sebagai syarat mutu bahan pangan yang

memenuhi standar maksimal adalah sebesar 12,00%. Sesuai metode yang

digunakan dalam pengukuran kadar air, bahwa beras ketan dengan kadar air <14%

akan lebih aman disimpan. Sedangkan beras ketan dengan kadar air lebih >14%

13
akan menyebabkan pertumbuhan mikroba dan perkembangan serangga bertambah

cepat (Setyawardhani, 2008).

2.4.1. Ketan putih

Ketan putih kaya akan pati, serat alami yang terkandung didalam

endosperm ketan putih. Adapun komposisi kimia beras ketan putih dapat dilihat

pada Tabel 4. berikut ini :

Tabel 4. Komposisi Beras Ketan Putih per 100 g bahan (Setyawardhani, 2008)
Nama bahan Energi Protein Lemak Karbohidrat Air
(Kkal) (g) (g) (g) (g)
beras ketan putih 362,00 6,70 0,70 79,40 12,00

2.4.2. Pekembangan komoditas ketan

Beras ketan paling banyak dijumpai di daerah kering utara Thailand,

Laos, dan Kamboja karena sering digunakan sebagai bahan hidangan manis,

makanan ringan, dan untuk pembuatan bir. Per kapita, Laos merupakan produsen

dan konsumen beras ketan terbesar dengan menyumbang sekitar 85% dari

produksi beras. Di Thailand, rata-rata varietas bukan ketan berkisar 4 ton/hektar

dibandingkan dengan 1,9 ton/hektar untuk jenis ketan. Tetapi, menurut

pengamatan Dat Van Tran, produksi rendah karena dikompensasi oleh harga yang

lebih tinggi dan permintaan meningkat, terutama pada pasar ekspor. Sedangkan di

Indonesia beras ketan banyak dijumpai di daerah Jawa (Anonim, 2002).

14
2.5. Radiasi

Radiasi adalah pancaran energi atau partikel energi/foton oleh suatu

sumber. Jenis-jenis radiasi terbagi atas radiasi pengion dan bukan pengion.

Radiasi pengion menimbulkan ionisasi dan eksitasi jika berinteraksi dengan

materi, energinya lebih tinggi dari potensial ionisasi atom atau molekul. Contoh

radiasi pengion adalah partikel bermuatan α , β (pancaran elektron dari inti),

berkas elektron dipercepat, berkas ion misalnya netron (bermassa 1 tapi tidak

bermuatan), gelombang elektromagnetik (tidak bermasa dan tidak bermuatan).

Sedangkan radiasi bukan pengion tidak menimbulkan ionisasi meskipun dapat

mengeksitasi materi, misalnya sinar ultra violet, sinar infra merah, dan sinar

tampak. Sinar γ dilepaskan pada peluruhan inti unsur radioaktif sedangkan sinar

X diperoleh dengan menembakkan berkas elektron pada target logam berat

(IAEA, 2004).

Kimia radiasi mempelajari perubahan kimia dalam suatu materi yang

ditimbulkan oleh radiasi pengion sinar γ (Co-60 dan Cs-137), dan elektron energi

tinggi (40 keV dan 4MeV) yang dihasilkan oleh suatu mesin pemercepat elektron

atau mesin berkas elektron. Radiasi dengan energi rendah (< 40 keV) hanya dapat

mengakibatkan eksitasi. Sifat utama radiasi yang berenergi tinggi ialah dapat

menyebabkan proses ionisasi dan eksitasi. Ionisasi yaitu pelepasan elektron dari

orbitalnya akibat adanya energi dari luar dan eksitasi, yaitu perpindahan elektron

ke tingkat energi yang lebih tinggi jika diberi energi dari luar (Miyata, 1993.,

Donnel dan Sangster, 1969., Spinks dan Woods, 1976). Berikut adalah contoh

reaksi ionisasi dan eksitasi:

15
AB AB+ + e- (ionisasi)

AB AB* (eksitasi)

Interaksi ionisasi dan eksitasi akan menyebabkan pemutusan ikatan kimia

dan pembentukan ikatan kimia yang baru (Spinks dan Woods, 1976). Elektron

cepat yang dihasilkan dari interaksi radiasi pengion, sinar-γ, sinar-X maupun

elektron cepat yang dihasilkan dari suatu mesin pemercepat elektron dengan suatu

materi dapat ditunjukkan secara skematis pada Gambar 4 berikut ini:

ionisasi Elektron cepat Sinar γ


Ion positif
Elektron lambat
Penangkapan elektron
Elektron
Molekul
tereksitasi Ion negatif

disosiasi
netralisasi
netralisasi
Radikal bebas

Reaksi kimia

Gambar 4. Interaksi elektron cepat dengan materi

Sebagaimana dilihat pada Gambar 4, elektron cepat menghasilkan ion

positif dan elektron lambat. Penangkapan elektron lambat oleh suatu atom akan

menghasilkan ion negatif. Selanjutnya interaksi ion positif terhadap molekul

ataupun atom akan menghasilkan molekul tereksitasi dan juga radikal bebas.

16
Terdapat tiga reaksi penting yang terjadi pada reaksi kimia polimer dengan

iradiasi sinar-γ, yaitu proses pembentukan radikal bebas yang dapat

mengakibatkan terjadinya degradasi, dan pengikatan silang dari polimer tersebut

akan tetapi apabila ke dalam polimer tersebut ditambahkan monomer, maka akan

terjadi reaksi pencangkokan (grafting), karena monomer bersangkutan mengalami

proses polimerisasi sekaligus tercangkok pada rantai utama polimer yang sudah

ada. Selain itu, molekul tereksitasi mengalami proses disosiasi sehingga

menghasilkan radikal bebas. Demikian pula ion negatif mengalami disosiasi

radikal bebas. Ion positif maupun ion negatif akan langsung mengakibatkan

terjadinya reaksi kimia dengan membentuk reaksi ionik sedangkan radikal bebas

akan melangsungkan reaksi kimia menurut mekanisme reaksi radikal bebas, reaksi

polimerisasi atau reaksi kimia yang terjadi akibat interaksi radiasi pengion dengan

materi pada umumnya berlangsung menurut mekanisme reaksi radikal bebas.

Mekanisme reaksi radikal bebas adalah pembentukan radikal bebas terjadi

saat bahan polimer diiradiasi dengan sinar gamma atau berkas elektron. Energi

sinar-γ yang berasal dari radioisotop Co-60 adalah 1,17 MeV dan 1,33 MeV.

Elektron cepat yang dihasilkan akibat interaksi sinar-γ (Co-60) dengan materi

merupakan efek fotolistrik atau hamburan compton, karena interaksi tersebut

semata-mata terjadi pada lintasan elektron/ kulit elektron, maka semata-mata pula

terjadi reaksi kimia dan bukan reaksi inti. Artinya, reaksi yang terjadi tidak akan

mengakibatkan perubahan radioaktifitas. Reaksi kimia yang terjadi akan

mengikuti mekanisme radikal bebas. Ada tiga tahap reaksi kimia menurut

mekanisme radikal bebas, yaitu:

17
1. Tahap inisiasi:

Pada tahap inisiasi mula-mula terjadi reaksi pembentukan radikal bebas

oleh suatu inisiator (sinar-γ). Reaksi inisiasi dapat digambarkan sebagai

berikut:

Bila sinar-γ berinteraksi dengan monomer (M), maka M akan

membentuk radikal, contoh:

M M● (Reaksi pembentukan radikal)

Radikal yang terbentuk (M●) mulai mengadakan mekanisme reaksi

kimia:

M● + R RM●

2. Tahap Propagasi:

Pada tahap propagasi, radikal-radikal bebas yang dihasilkan oleh reaksi

inisiasi tumbuh dari satu molekul menjadi molekul yang lebih besar. Reaksi

propagasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Radikal (RM.) bertemu lagi dengan molekul monomer lainnya sehingga

terjadi pembentukan radikal-radikal yang lebih besar.

RM● + M RM2● (propagasi)

3. Tahapan Terminasi

Tahap terminasi terjadi saat dua radikal bertemu satu sama lain. Radikal

bebas tersebut dapat berasal dari reaksi inisiasi atau propagasi. Dengan

adanya pertemuan kedua radikal tersebut, maka reaksi akan berhenti. Pada

tahap ini akan terjadi polimerisasi, ikatan silang dan pencangkokan dan juga

degradasi polimer.

18
Pada polimerisasi, reaksi terjadi bila monomer yang diiradiasi

merupakan monomer yang dapat berpolimerisasi. Akibat adanya proses

tersebut, maka akan membentuk polimer yang memiliki berat molekul jauh

lebih besar. Pada reaksi pengikatan silang, rantai polimer saling berikatan

silang satu dengan yang lainnya sedangkan pada reaksi pencangkokan

umumnya terjadi bila terdapat monomer dan polimer yang diiradiasi bersama-

sama dan menghasilkan suatu kopolimer. Reaksi terminasi pembentukan

polimerisasi, ikatan silang dan pencangkokan dapat digambarkan sebagai

berikut:

RM2● + RM2● P (Polimerisasi)


(Radikal monomer) (Radikal monomer) (Polimer)

RM2● + RM2● P P●
(Radikal polimer) (Radikal polimer) (Polimer berikatan silang)

RM2● + P● P● P (RM2)n●
(Radikal monomer) (Radikal polimer) (Polimer grafting)

Reaksi radiasi pada suatu polimer juga akan mengakibatkan proses

degradasi, dimana terjadi pemutusan ikatan rantai utama pada polimer. Reaksi

degradasi polimer digambarkan sebagai berikut:

P P●

P● + P P1 + P2 (Pemutusan ikatan)
(Polimer radikal) (Polimer) (polimer) (Polimer)

2.5.1. Dosis iradiasi

Dosis radiasi adalah banyaknya energi radiasi yang diserap oleh materi

yang dilaluinya. Ada tiga macam besaran dosis radiasi, yaitu:

19
a. Dosis paparan (exposure dose), yakni kemampuan radiasi tertentu untuk

menimbulkan ionisasi pada medium yang tertentu pula. Satuan besaran dosis

ini adalah Roentgen (R).

1 R = 1 sma/gram

Atau dalam SI:

1 R = 2,58 x 10-4Coulomb

b. Dosis serap (absorbed dose), yaitu jumlah energi radiasi (semua jenis radiasi

pengion) yang diserap oleh satu satuan massa/berat dari bahan atau medium

yang dilaluinya. Satuan dari dosis serap adalah rad (radiation absorbed dose).

1 rad = 100 erg/gram

Atau dalam SI, satuan dosis serap adalah Gray (Gy),

1 Gray = 1 joule/kg= 104 erg/gram = 100 rad

1 kGy = 1000 joule/kg

Secara matematis, dosis serap (D) dirumuskan dengan :

D = dE/dm .............................................................................. (1)

Keterangan:

dE adalah energi yang diserap oleh medium

dm adalah massa

Hubungan dalam prakteknya adalah sebagai berikut:

100 rad = 1 Gy

1 Krad = 10 Gy atau

1 Mrad = 10 kGy

20
c. Dosis setara atau dosis ekivalen (eqivalent dose), yaitu menyatakan jumlah

energi radiasi yang diserap oleh satuan massa/berat bahan atau medium yang

dilaluinya dan sekaligus dikaitkan dengan efek biologisnya. Satuan yang lazim

dipakai adalah rem (rontgen equivalentman), atau dalam SI digunakan satuan

Sievert (Sv).

1 Sv = 1 joule/kg= 100 rem (Arnikar, 1995)

Dalam proses iradiasi biasanya digunakan dosis dalam satuan kGy atau

1000 Gy. Untuk mengukur dosis iradiasi yang dipaparkan ke bahan pada saat

proses iradiasi berlangsung digunakan alat yang bernama dosimeter. Cara yang

dilakukan untuk mengukur dosis dengan Dosimeter adalah komponen kecil

dilekatkan pada produk iradiasi, sehingga saat terpapar energi ionisasi dapat

dilihat tingkat nilai dosis yang diterima produk (Fardiaz, 2006).

2.5.2. Sumber radiasi

Jenis radionuklida yang lazim digunakan pada saat ini adalah Co-60 yang

merupakan hasil penembakan Co-59 dengan netron selama 1,5 tahun. Reaksi

pembentukan isotop Co-60 dapat ditulis sebagai berikut:


59 60
27 𝐶𝑜 + 𝑛10 27 𝐶𝑜

Co-60 diproduksi secara offsite dalam reaktor nuklir dan ditransportasikan

dengan menggunakan container khusus kearea proses iradiasi. Co-60 merupakan

logam radioaktif padat yang dibawa dalam container stainless steel yang dilas dan

terbungkus rapi yang disebut sealed source.

21
Pada Tabel 5. ditunjukkan perbandingan karakteristik Co-60 dan Cs-137

Tabel 5. Karekteristik Co-60 dan Cs-137 (Diehl, 1990).

Waktu paruh Energi radiasi (MeV)


Nuklida
(tahun) gamma Beta
60
Co 5,2 1,17 dan 1,33 0,31
137
Cs 30 0,66 0,51 dan 1,18

Sinar gamma memiliki daya tembus yang tinggi dengan panjang

gelombang yang sangat pendek berada dalam rentang 10-7-10-10 cm atau energi

foton antara 103-106 eV. Co-60 lebih banyak digunakan dibandingkan isotop Cs-

137, karena efisiensi biaya dan ramah lingkungan.

2.5.3. Dosimetri standar

Dosimetri merupakan unsur utama dari langkah-langkah menuju

pemanfaatan radiasi secara baik dan tepat dengan cara memproduksi bahan pada

suatu proses radiasi. Satuan radiasi digunakan untuk menunjukkan besarnya

pancaran radiasi dari suatu sumber, atau menunjukkan banyaknya dosis radiasi

yang diberikan atau diterima oleh suatu medium yang terkena radiasi (Tjahjono,

2012).

Menurut Thamrin dan Akhadi, (1997) keperluan dosimetri gamma dosis

tinggi, nilai dosis dapat ditentukan secara langsung dengan menggunakan

dosimeter standar, atau diukur dengan dosimeter lain yang sebelumnya telah

dikalibrasi terhadap dosimeter standar yang hingga sekarang sering dimanfaatkan

untuk dosimetri gamma dosis tinggi, yaitu dosimeter Fricke. Dosimeter Fricke

22
merupakan salah satu jenis pengukur dosis serap yang dipakai sebagai dosimeter

acuan karena absorbsinya yang tinggi dan mempunyai hubungan linier terhadap

dosis serap. Dosimeter ini dibuat dari bahan kimia Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O (ferro

ammonium sulfat), NaCl (natrium klorida) dan H2SO4 (asam sulfat).

Ketika larutan diiradiasi maka akan terjadi pemecahan air dan

memproduksi atom hidrogen yang bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal

hidroperoksil (H2O•):

H• + O2 → HO2•

Proses iradiasi dapat menghasilkan macam-macam reaksi oksidasi ion dari

Fe2+ menjadi Fe3+ berikut ini:

Fe2+ + OH• → Fe3+ + OH-

Fe2+ + HO2• → Fe3+ + HO2-

HO2- + H3O+ → H2O2 + H2O dan Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH• + OH

Kuantitas atau jumlah ion Fe3+ bergantung dalam serapan energi oleh

larutan. Khususnya perubahan dalam kosentrasi ion Fe3+ berhubungan ke dosis

radiasi (energi/ unit massa). Berikut adalah rumusnya:

𝐷.𝐺 Fe 3+ .10ρ
∆ [Fe3+] = ...........................................................(2.1)
𝑁𝐴.𝑒

dimana:

D = dosis,

G (Fe3 +) = hasil kimia Fe3 + (dinyatakan dalam ion yang dihasilkan per 100 eV),

ρ= densitas kg/liter

NA= bilangan Avogadro

e = jumlah Joule/elektron volt

23
Proses iradiasi dapat menghasilkan oksidasi ion dari Fe2+ menjadi Fe3+.

Oksidasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan rapat optik pada larutan

dosimeter. Jumlah ion yang terbentuk sebanding dengan besar perubahan rapat

optik dan dapat diukur dengan spektrofotometer varian pada panjang gelombang

serapan maksimal ion ferri pada 305 nm. Penentuan laju dosis pada suatu titik

penyinaran dilakukan dengan cara meletakkan dosimeter pada titik tertentu dan

diiradiasi dengan gamma dalam waktu tertentu. Perubahan rapat optik pada

dosimeter Fricke diukur dengan spektofotometer pada panjang gelombang 305

nm. Sedang laju dosis pada titik dimana dosimeter tersebut disinari dan dihitung

menggunakan persamaan Schested (Schreiner, 2004)

Keunggulan dosimeter Fricke ini adalah laju dosis dari sumber yang

diukur tidak melebihi 2x107 Gy/det dan temperatur tidak meyimpang selama

proses iradiasi, sehingga laju dosis sumber tidak berpengaruh terhadap hasil

pengukuran. International Commission on Radiation Units and Measurements

(ICRU) juga menganjurkan pengunaan dosimeter Fricke untuk pengendalian mutu

faktor kalibrasi alat untuk radiasi standar nasional, yaitu laju dosis serap yang

ditentukan dengan dosimeter Fricke digunakan untuk mengevaluasi faktor

kalibrasi alat ukur radiasi standar nasional yang diperoleh sebelumnya.

2.5.4. Iradiator gamma 60Co (IRKA)


60
Iradiator gamma Co (IRKA) adalah iradiator gamma kategori IV yang
60
dirancang dengan aktivitas maksimum 400.000 Ci dengan sumber radiasi CO.

Ci atau Curie merupakan satuan konvensional untuk aktivitas. Sesuai dengan

24
ketentuan Badan Pengawas Teknologi Nuklir (BAPETEN) mengenai tujuan

keamanan dan keselamatan radiasi, maka hanya digunakan aktivitas maksimum

sebesar 300.000 Ci. Rancangan awal mula sumber radiasi 60CO pada 8 April 1983

adalah sebesar 225.000 Ci, sedangkan aktivitas sumber 60Co yang dirancang saat

penelitian pada 5 Maret 2012 adalah sebesar 128.437 Ci. Skema gambar iradiator

karet alam dapat dilihat pada Lampiran 9.

Tipe iradiator ini adalah tipe penyimpanan basah dalam kolam air, di dasar

kolam terdapat sebuah wadah penyimpanan sumber radiasi source storage.

Sumber radiasi saat penyinaran akan dikeluarkan oleh sistem perangkat katrol

yang dikendalikan oleh operator pada ruang panel kendali. Rak sumber yang

digunakan untuk tempat unit kotak yang masing-masing unit kotak bisa memuat

lima batang pensil Cobalt-60 ( Tjahjono, 2012).

Pemetaan dosis dengan pola iradiasi tertentu, yang dapat memberikan

informasi laju dosis maksimum dan minimum. Laju dosis maksimum dan

minimum diukur menggunakan dosimeter Harwell Amber type 3042V yang

memiliki rentang dosis 1-30 kGy pada panjang gelombang 651 nm. Data hasil

kalibrasi dosimeter Dosimeter Harwell Amber type 3042V, dengan menggunakan

panjang gelombang 651 nm hubungan nilai absorbsi spesifik dan dosis

ditunjukkan pada Tabel 6. berikut ini:

25
Tabel 6. Data kalibrasi hubungan absorbsi dan dosis (Tjahjono, 2012)

Absorbsi spesifik
No Dosis (kGy)
(cm-1)
1. 0,25 1,03
2. 0,81 3,20
3. 1,27 5,03
4. 1,84 7,50
5. 2,17 9,02
6. 2,38 10,01
7. 2,79 12,00
8. 2,88 12,49
9. 3,36 15,00
10. 3,79 17,53
11. 4,03 19,03
12. 4,19 20,08
13. 4,86 25,03
14. 5,38 30,03

Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin besar nilai absorbsi spesifik, maka

semakin besar pula dosisnya. Hal ini terjadi karena adanya hubungan kausalitas

antara absorbsi spesifik dengan dosis.

26
6.00
y = -0.003x2 + 0.270x - 0.021
5.00 R² = 1
Absorbsi Spesifik (cm-1) 4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00
Dosis (kGy)

Gambar 5. Grafik hubungan antara absorpsi spesifik dengan dosis


(Tjahjono, 2012).

Pada Gambar 5. didapatkan persamaan grafik, y = -0,003x2 + 0,270x –

0,021. Persamaan tersebut menunjukkan keakuratan nilai absorbsi spesifik dan

dosis dengan nilai koefisien determinasi (R2=1) bahwa keduanya memiliki

hubungan kausalitas, yang artinya kedua variabel tersebut memiliki hubungan

yang seimbang.

2.5.5. Interaksi Sinar Gamma dengan Materi

Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik yangdipancarkan dalam

bentuk partikel-partikel berenergi atau disebut foton (Donnel dan Sangser, 1969).

Interaksinya dengan materi tergantungpada energi dan materinya sendiri.

Mekanisme interaksi sinar gamma dengan materinya dibagi menjadi tiga macam

(Spinks dan Woods 1976) :

27
a. Efek fotolistrik

Dalam peristiwa ini seluruh energi foton digunakan untuk mengeksitasi

elektron yang terdapat pada orbital dalam. Peristiwa ini hanya terjadi pada energi

foton < 0,1 MeV dengan nomer atom target rendah.

Gambar 6. Efek Fotolistrik

b. Efek Hamburan Compton

Pada proses ini hanya sebagian energi foton diberikan kepada materi untuk

ionisasi, sisanya dilepaskan sebagai sinar gamma berenergi lebih rendah. Hal ini

terjadi pada foton yang mempunyai energi 0,1 MeV < Eo < 1 MeV, dan tidak

bergantung pada nomor atom target.

Gambar 7.Efek Hamburan Compton

c. Produksi Pasangan Ion

Proses ini terjadi bila seluruh energi foton diberikan dan menghasilkan

pasangan elektron–positron. Kedua spesi ini saling menghapuskan dan

28
membentuk sinar gamma dengan energi 0,5 MeV. Proses ini dapat terjadi pada

foton yang mempunyai energi > 1,02 MeV dengan nomor atom target tinggi.

Elektron yang terbentuk dari interaksi sinar gama disebut elektron sekunder yang

dibekali energi, sehingga menjadi sangat reaktif. Elektron sekunder ini akan

mengionisasi materi yang dilaluinya.

Gambar 8. Produksi Pasangan Ion

Menurut Spinks dan Woods (1976) daya tembus dari foton gamma

memiliki banyak aplikasi dalam kehidupan manusia, dikarenakan ketika sinar

gamma menembus beberapa bahan, sinar gamma tidak akan membuatnya menjadi

radioaktif.

2.5.6. Pengaruh iradiasi gamma terhadap protein tepung

Pengaruh iradiasi gamma terhadap gluten tepung pada level 100 kGy

mengakibatkan sifat elastisitas dan ekstensibilitas menghilang. Ditemukan

penurunan signifikan pada kandungan sistein ketika gluten diiradiasi melebihi 10

kGy. Iradiasi gluten pada level dosis tinggi menyebabkan protein rusak dan

kemungkinan terjadi pada ikatan disulfida. Efek iradiasi pada terigu ditunjukkan

pada Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan

pada tepung semakin meningkat konsentrasi asam amino tirosin bebas. Maka,

29
dimungkinkan bahwa konsentrasi asam amino tirosin yang meningkat merupakan

akibat dari terputusnya polimer glutenin dan gliadin pada terminal tirosin (Rao.

1963).

Tabel 7. Autolisis pada tepung teriradiasi (Rao,1963)

Dosis Tirosin bebas Tirosin yang


(kGy) awal (mg/g Kenaikan (%) dibebaskan Kenaikan (%)
tepung) (mg/g tepung)
0 145 304
200 153 5.50 332 6.20
400 153 5.50 375 28.30
600 153 5.50 381 30.20
2000 164 13.10 396 31.40

2.5.7. Pangan Iradiasi

Dalam prinsip pengawetan bahan pangan iradiasi, digunakan radiasi

elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan foton berenergi tinggi sehingga

dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya.

Iradiasi menyebabkan efek langsung (direct effect) dan efek tak langsung (indirect

effect). Efek langsung adalah eksitasi atau ionisasi atom akibat energi ionisasi,

sedangkan efek tak langsung adalah pembentukan radikal bebas akibat radiolisis

dari molekul air, misalnya radikal hidroksi. Jenis iradiasi ini dinamakan radiasi

pengion karena dapat menyebabkan ionisasi pada materi yang dilaluinya (Maha,

1982). Contoh radiasi pengion adalah radiasi partikel α, β, dan yang paling banyak

digunakan yaitu gelombang elektromagnetik γ.

30
Ketika suatu materi dilalui oleh radiasi pengion, energi yang melewatinya

akan diserap dan menghasilkan pasangan ion. Energi yang terserap oleh tumbukan

radiasi dengan partikel bahan pangan akan menyebabkan eksitasi dan ionisasi

beribu-ribu atom dalam lintasannya, yang akan terjadi dalam waktu kurang dari

0,001 detik. Efek pengawetan pangan pada radiasi ionisasi dapat mematikan

mikroba. Ada sekitar 13 elektron, yang berasal dengan sinar gamma, bertumbukan

dengan 30.000 elektron lain secara bersamaan, maka hal tersebut akan

menyebabkan atom yang tertumbuk menjadi terionisasi. (Anang, 1986).

Proses iradiasi untuk pengawetan sudah dimulai sejak tahun 1950-an

dalam penelitian pengawetan makanan. Aplikasi dosis iradiasi dikategorikan

dalam 3 golongan, yaitu (Irawati, 2008)

1. Pemakaian dosis rendah (≤ 1 kGy) dapat dimanfaatkan untuk menunda

pematangan buah dan menghambat pertunasan.

2. Pemakaian dosis sedang (2-10 kGy) untuk membasmi serangga dan parasit,

mikroba patogen dan kapang/khamir.

3. Pemakaian dosis tinggi (> 10 kGy) untuk membasmi seluruh mikroba

patogen termasuk mikroba pembentuk spora.

2.5.8. Undang-undang pangan Iradiasi

Berdasarkan undang-undang RI Nomor 7/1996 tentang pangan yaitu

proses perizinan penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi pangan yang

dilakukan dengan menggunakan teknik atau metoda iradiasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) : wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan

31
limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin keamanan

pangan, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 701/Menkes/Per/VIII/2009 tentang

jenis pangan, tujuan iradiasi dan dosis serap maksimum dipaparkan pada Tabel 8

berikut ini :

32
Tabel 8. Aplikasi tentang jenis pangan, tujuan iradiasi dan dosis serap maksimum
(Permenkes No.701/Menkes/Per/VIII/2009)

Dosis serap
No Jenis pangan Tujuan iradiasi Maksimum
(kGy)
Menghambat pertunasan selama
1. Umbi lapis dan umbi akar 0,15
penyimpanan.
a. Menunda pematangan. 1,0
Sayur dan buah segar (selain yang b. Membasmi serangga 1,0
2.
termasuk kelompok 1) c. Memperpanjang masa simpan 2,5
d. Perlakuan karantina* 1,0
3. Produk olahan sayur dan buah** Memperpanjang masa simpan 7,0
4. Mangga Memperpanjang masa simpan 0,75•
a. Membasmi serangga 1,0
5. Manggis
b. Perlakuan karantina 1,0
Serelia dan produk hasil
penggilingannya, kacang-kacang, a. Membasmi serangga 1,0
6.
biji-bijian penghasil minyak, b. Mengurangi jumlah mikroba 5,0
polong-polong, buah kering
a. Mengurangi jumlah 5,0
mikroorganisme patogen
Ikan, pangan laut (seafood segar tertentu**.
7.
maupun beku). b. Memperpanjang masa simpan 3,0
c. Mengontrol infeksi oleh parasit 2,0
tertentu**.
a. Mengurangi jumlah 8,0
mikroorganisme patogen
8. Produk olahan ikan dan pangan laut
tertentu**.
b. Memperpanjang masa simpan 10,0
a. Mengurangi jumlah 7,0
mikroorganisme patogen
tertentu**.
Daging dan unggas serta hasil b. Memperpanjang masa simpan 3,0
9.
olahannya (segar maupun beku) c. Mengontrol infeksi oleh parasit 2,0
tertentu**.
d. Menghilangkan bakteri 7,0
salmonella
a. Mengurangi jumlah 10,0
Sayuran kering, bumbu, rempah,
mikroorganisme patogen
10. rempah kering (dry herbs) dan
teretentu**.
herbal tea
b. Membasmi serangga 1,0
a. Membasmi serangga 1,0
Pangan yang berasal dari hewan
11. b. Membasmi mikroba, kapang 5,0
yang dikeringkan
dan khamir
Sterilisasi dan membasmi mikroba
Pangan olahan siap saji berbasis
12. patogen termasuk mikroba berspora 65,0
hewani***
serta memperpanjang masa simpan

33
Keterangan :

* dosis serap minimum dapat disesuaikan untuk membasmi organisme

pertunasan pengganggu tumbuhan/organisme pengganggu tumbuhan

karantina, untuk lalat buah: 0,15 kGy.

• Dikombinasikan dengan pencelupan dalam air hangat pada suhu 55oC

selama 5 menit

** Dosis minimum dapat ditetapkan dengan mempertimbangkan tujuan

perlakuan untuk menjamin mutu higienis pangan

*** Wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh institusi berwenang

tentang iradiasi pangan dosis diatas 10 kGy.

Keberhasilan proses iradiasi pada bahan pangan dicapai jika mengikuti

petunjuk cara iradiasi yang baik yaitu kondisi pangan, fasilitas iradiator lengkap

dengan sarananya, pengemasan, sumber daya manusia, tujuan iradiasi, dan

kondisi saat distribusi dan penyimpanan (Irawati, 2008).

2.6. Spektrometer Inframerah

Skema peralatan spektroskopi FTIR ditampilkan pada Gambar 9 (Suseno

dan Firdausi, 2008).

Gambar 9. Sistem peralatan spektroskopi FTIR

34
Keterangan:

1: Sumber cahaya inframerah,

2: Spektrometer, terdiri dari interferometer, sampel, dan detektor,

3: Penguat dan Analog to Digital Converter (ADC) 0804,

4: Port printer,

5: Komputer,

6: Periferal Input/Output (I/O), yaitu monitor, printer, disk drive/hard disk,

7: Program jaringan syaraf tiruan

Spektrofotometri inframerah digunakan untuk menentukan struktur,

khususnya senyawa organik. Sumber radiasi yang umum digunakan Neslert atau

lampu glower dan menggunakan detektor termal. Radiasi inframerah hanya

terbatas pada perubahan energi tingkat molekul, yang terjadi perbedaan dalam

keadaan vibrasi. Syarat terbentuknya vibrasi pada molekul harus memiliki

perubahan momen dipol (Sastrohamidjojo, 1992).

Kelebihan dari FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah ukuran sampel

yang kecil. Instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi sehingga memiliki

kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. Ada tiga cara umum

untuk mengolah cuplikan yaitu lempeng KBr, mull, dan bentuk lapisan tipis

(Hayati, 2007). Dilihat dari segi aplikasi dan instrumentasi spektroskopi infra

merah dibagi ke dalam tiga jenis radiasi yaitu infra merah dekatm infra merah

pertengahan dan infra merah jauh. Daerah spektroskopi infra merah dapat dilihat

pada tabel 9 (Hayati, 2007).

35
Tabel 9. Daerah spektrofotometer infra merah
Daerah Panjang Bilangan
gelombang gelombang cm-1
μm
Dekat 0,78-2,5 12800-4000
Pertengahan 2,5-50 4000-200
Jauh 50-100 200-10

Energi dalam spektroskopi infra merah dibutuhkan untuk transisi vibrasi,

maka radiasi infra merah hanya terbatas pada perubahan energi setingkat molekul.

Untuk tingkat molekul, perbedaan dalam keadaan vibrasi dan rotasi digunakan

untuk mengadsorbsi sinar infra merah. Jadi untuk dapat mengadsorbsi, molekul

harus memiliki perubahan momen dipol sebagai akibat dari vibrasi. Radiasi

medan listrik yang berubah-ubah akan berinteraksi dengan molekul dan akan

menyebabkan amplitudo salah satu gerakan molekul (Khopkar, 2003).

Menurut Hayati (2007), spektroskopi infra merah mengandung banyak

serapan yang berhubungan dengan sistem vibrasi yang berinteraksi dalam suatu

molekul akan memberikan puncak-puncak yang sangat karakteristik dalam

spektra. Corak puncak ini dikenal sebagai sidik jari molekul yang merupakan

daerah yang mengandung sejumlah besar vibrasi yang tidak dapat dimengerti.

Dengan membandingkan dpektra infra merah dari dua senyawa yang diperkirakan

identik maka dapat dinyatakan kedua senyawa tersebut identik atau tidak.

36
Energi pada radiasi infra merah sebanding dengan energi yang timbul pada

getaran-getaran ikatan (energi vibrasi, translasi, dan rotasi molekul). Berikut

adalah macam-macam vibrasi, diantaranya :

a) Vibrasi Regangan (Streching)

Dalam vibrasi ini, atom bergerak terus sepanjang ikatan yang

menghubungkannya, sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya,

walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan terbagi menjadi dua, yaitu

1. Regangan Simetri, yaitu unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam

satu bidang datar.

2. Regangan Asimetri, yaitu unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah

tetapi masih dalam satu bidang datar.

Gambar 10. Bentuk Vibrasi Regangan

a) Vibrasi Bengkokan (Bending)

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih

besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang

37
mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan

terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

1. Vibrasi Goyangan (Rocking), yaitu unit struktur bergerak mengayunasimetri

tetapi masih dalam bidang datar.

2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), yaitu unit struktur bergerak mengayun

simetri dan masih dalam bidang datar.

3. Vibrasi Kibasan (Wagging), yaitu unit struktur bergerak mengibas keluar

dari bidang datar.

4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), yaitu unit struktur berputar mengelilingi ikatan

yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang

datar.

Gambar 11 Bentuk Vibrasi bengkokan

Karena tiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai sifat frekuensi vibrasi

yang berbeda, dan karena tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa berbeda

38
terletak dalam lingkungan yang sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang

berbeda strukturnya akan mempunyai bentuk serapan atau spektrum infra merah

(IR) yang tepat sama. Dengan membandingkan spektra IR dari dua senyawa yang

diperkirakan identik, maka seseorang dapat menyatakan apakah kedua senyawa

tersebut identik atau tidak. Jika puncak spektrum IR dari kedua senyawa tepat

sama maka dalam banyak hal dua senyawa tersebut adalah identik. Pelacakan

tersebut lazim dikenal dengan bentuk “sidik jari” atau Finger print dari dua

spektrum IR. Daerah yang biasa dikenal dengan fringer print ini karena biasanya

mempunyai penyerapan yang sangat beragam dan bermacam-macam. Hal penting

dalam area sidik jari adalah setiap senyawa yang berbeda menghasilkan pola

lembah yang berbeda-beda pada spektrum (Kusumastuti, 2011).

Kebanyakan gugus seperti C-H, O-H, C=O, dan C=N mempunyai serapan

IR yang hanya bergeser sedikit dari satu molekul ke molekul lain. Daftar gugus

fungsi pada Spektrofotometer IR disajikan pada berturut-turut pada Tabel 10

berikut ini:

39
Tabel 10. Frekuensi penyerapan IR dari kelompok variasi gugus fungsi (Suzanne,
1998)

Kelompok Ciri-ciri vibrasi Frekuensi (cm-1)


-CH regang dan bengkok 3000-2800
Alkana -CH2 dan –CH3 bengkok 1470-1420 dan 1380-
1340
Alkena Olefinik –CH regang 3100-3000
Alkina Asetilenik –CH regang 3300
Aromatik –CH regang 3100-3000
Aromatik
-C=C- regang 1600
-OH regang 3600-3200
Alkohol -OH bengkok 1500-1300
C-O regang 1220-1000
Eter C-O asimetris regang 1220-1000
Amina Primer dan sekunder –NH regang 3500-3200
Aldehid dan -C=O regang 1735-1700
keton -CH (doublet) 2850-2700
Asam -C=O regang 1740-1720
karboksilat
-C=O regang 1670-1640
Amida -NH regang 3500-3100
-NH bengkok 1640-1550

40
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Proses Iradiasi, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir

Nasional (BATAN), Pasar Jum’at, Jakarta Selatan. Penelitian dilaksanakan pada

tanggal 1 Februari 2012 sampai dengan 31 Agustus 2012.

3.2. Bahan dan Alat

a) Bahan

Bahan untuk penelitian adalah tepung terigu merek segitiga biru, ketan

putih yang diperoleh dari lotte mart. Jenis pengemas yang digunakan

adalah klip plastik dengan ukuran 12x8 cm yang diperoleh dari

laboratorium proses radiasi PATIR-BATAN.

Bahan lain yang digunakan untuk penelitian adalah NaCl 1%,

C2H5OH (etanol) 95%, NaOH 1N, CH3COOH (asam asetat) 1N, larutan

Iod, amilosa murni, aquades, serbuk KBr dan air kran.

b) Alat

Alat untuk penelitian adalah Iradiasi yang dilakukan dalam iradiator γ,

yaitu iradiator karet alam (IRKA) di PATIR-BATAN, Pasar Jumat,


60
Jakarta. Sumber radiasi Co, aktivitas sumber pada 5 maret 2012 sebesar

128.437 Curie (Ci), laju dosis 9 kGy/jam ditentukan dengan dosimeter

kimia Fricke. Spektrofotometer UV-Vis Parklin-Elmer di BPPP,

41
Cimanggu-Bogor dan FTIR Shimadzu di PATIR-BATAN, pasar jumat,

Jakarta.

Alat lain yang digunakan adalah Oven Memmert, Promix-mixer,

Eksikator, Neraca Analitik, klip plastik, cawan kecil dan peralatan kimia

lain yang diperlukan.

3.3. Prosedur kerja

3.3.1. Persiapan sampel dan iradiasi

Pertama-tama beras ketan putih dihaluskan menggunakan promix-mixer,

kemudian kedua sampel ini diayak menggunakan saringan berukuran 100 mesh

(Koksel et al 1998). Beras ketan yang telah diayak, di promix-mixer kembali

untuk mendapatkan tekstur tepung yang diinginkan dengan jumlah tepung sebesar

2,4 kg. Sedangkan tepung terigu hanya diberi perlakuan tahap pengayakan dengan

saringan berukuran 100 mesh.

Sampel berupa tepung terigu dan tepung ketan putih yang telah

dipersiapkan sebanyak 2,4 kg kemudian di random (acak) dan dimasukkan ke

dalam masing-masing klip plastik sebanyak 50 g, selanjutnya dikemas dengan

kardus karton, Lalu diiradiasi. Dosis radiasi yang digunakan adalah 0, 10, 15 dan

20 kGy dengan laju dosis 9 kGy/jam. Setelah diiradiasi, sampel disimpan pada

suhu kamar (27oC). Pengamatan sampel dilakukan dengan selang waktu 0 , 7 dan

14 minggu penyimpanan dengan dua kali pengulangan. Parameter yang diamati

adalah kadar air, kadar gluten, kadar amilosa dan gugus fungsi.

42
3.3.2. Analisis kadar air (SNI, 2009)

Dikondisikan oven pada suhu 105oC yang akan digunakan hingga

mencapai kondisi stabil. Kemudian, cawan kosong dimasukkan ke dalam oven

selama 2 jam dan cawan kosong dipindahkan ke dalam deksikator dengan alat

penjepit selama 30 menit sampai mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang

bobot kosong (A). kemudian tepung terigu dan tepung ketan putih, masing-masing

ditimbang sebanyak 2 g kedalam cawan (B). Cawan yang telah diisi dengan

sampel dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC selama 3 jam. Kemudian cawan

dipindahkan dengan alat penjepit kedalam deksikator selama 30 menit kemudian

ditimbang (C) dan dilakukan penggulangan hingga minimal duplo (dua kali)

hingga diperoleh bobot tetap.

b−c
% Kadar Air = b−a x 100% ................................................................... (2.5)

Keterangan : a = bobot cawan perti kosong (g)

b = bobot cawan petri + sampel (g)

c = bobot cawan petri + sampel setelah pengeringan (g)

3.3.3. Analisis kadar gluten (Jones and Amos, 1967)

Tepung terigu dan tepung ketan putih, masing-masing ditimbang sebanyak

10 gram (x), kemudian ditambahkan 5 ml larutan NaCl 1% untuk membentuk

adonan bola-bola, didiamkan dalam air selama 1 jam dan dicuci dengan air

mengalir hingga sampel tersebut bebas pati atau tersisa gluten. Gluten yang

diperoleh dioven selama 2 jam pada suhu 105oC, kemudian disimpan dalam

eksikator selama 30 menit dan ditimbang bobot gluten (y), setelah itu, ditentukan

kadar gluten dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

43
y
% Gluten = x 100% ......................................................................... (2.6)
x

Keterangan: x adalah berat sampel awal

y adalah berat sampel setelah pengeringan

3.3.4. Analisis kadar amilosa

Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi UV-VIS. Analisis

kadar amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan

analisis sampel sebagai berikut:

a) Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke

dalam tabung reaksi bertutup, ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml

NaOH 1N. campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai

terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan

ditambahkan aquades sampai tanda tera. Gel yang telah diencerkan diambil 1, 2,

3, 4, 5, 6 dan 7 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Masing-masing

labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1N sebanyak masing-masing 0,2; 0,4;

0,6; 0,8; 1,0; 1,2 dan 1,4 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Masing-

masing labu takar kemudian ditambahkan aquades sampai tanda tera, dikocok,

dan didiamkan selama 20 menit. Tahapan selanjutnya adalah pengukuran

intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer UV-Visible pada

panjang gelombang 625 nm.

b) Penetapan sampel

Tepung terigu, tepung ketan putih dan tepung ketan hitam, masing-masing

sebanyak 100 mg ditimbang kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 ml

44
NaOH 1N. selanjutnya campuran dipanaskan dalam air mendidih selama ± 10

menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk dipindahkan kedalam labu takar

100 ml, kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan aquades dan dikocok

hingga homogen. Gel yang telah diencerkan dipipet sebanyak 5 ml dan

dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan 1N asam asetat

dan 2 ml larutan iod. Larutan ditambah aquades dan ditepatkan sampai tanda tera,

dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Kemudian pengukuran intensitas warna

yang terbentuk dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang

625 nm.

Persamaan standar amilosa:

y = 0,025 x – 0,001............................................................................................ (2.7)

Keterangan:

y = absorbansi

x = kosentrasi

(amilosa pada kurva standar )


Kadar amilosa sampel = x fp x 100% ...................... (2.8)
(sampel yang dianalisis )

Keterangan:

fp = faktor pengenceran

3.3.5. Analisis gugus fungsi dengan FTIR

Sebelum di lakukan analisis, tepung terigu dan tepung ketan putih

dimasukkan kedalam aluminium foil dan dikondisikan dalam oven selama 12 jam

pada suhu 60oC. Tujuan perlakuan ini agar kadar air dalam sampel berkurang dan

tidak menjadi pengotor saat sampel akan dianalisis dengan IR. Tepung terigu dan

tepung ketan putih, masing-masing sebanyak 1 mg digerus bersamaan dengan

45
serbuk KBr sebanyak 10mg kedalam mortal hingga homogen. Selanjutnya,

campuran dimasukkan kedalam cup stainless stell dan ditempatkan kedalam disc

holder untuk dilewati oleh sinar laser Infra merah.

3.3.6. Analisis data

Data yang didapat dari hasil penelitian dianalisis menggunakan analisa of

variance atau ANOVA. Anova merupakan salah satu teknik analisis multivariate

yang berfungsi untuk membedakan rerata dari dua kelompok data dengan cara

membandingkan variansinya. Dalam penelitian ini digunakan jenis anova dua arah

yaitu terdapat dua atau lebih variabel independen.

Data yang akan dianalisis menggunakan anova dua arah diantaranya

adalah kadar air dan kadar gluten, dengan anova ini akan mempermudah dalam

menentukan perbedaan bentuk fisik dan kandungan nutrisi antara perlakuan

iradiasi dan perlakuan masa simpan serta membandingkannya dengan tanpa

perlakuan iradiasi (kontrol). Jika F hitung < F tabel, maka hipotesis nol ( Ho )

diterima, berarti tidak ada perbedaan yang nyata. Jika F hitung > F tabel, maka

hipotesis nol ( Ho ) ditolak berarti terdapat perbedaan yang nyata, sehingga uji

dilanjutkan dengan menggunakan metode uji berganda Duncan dengan taraf uji 5

% (0,05).

46
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh iradiasi dan masa simpan terhadap karakteristik tepung

terigu dan tepung ketan putih

4.1.1. Kadar Air

11.5
Kadar Air (%)

11
0 minggu
10.5
7 minggu
10 14 minggu
0 10 20
Dosis Iradiasi (kGy)

Gambar 12. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar air
tepung terigu.

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar

air pada masa simpan 0 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah

10,60%, sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10 kGy sebesar

10,27%, pada dosis 15 kGy sebesar 10,55% dan untuk tepung terigu terigu yang

diiradiasi pada dosis 20 kGy sebesar 10,65%. Kadar air pada masa simpan 7

minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 11,08%, sedangkan

tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing

adalah 10,80; 10,83 dan 10,45% serta kadar air pada masa simpan 14 minggu

47
tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 10,42%, sedangkan tepung

terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing adalah

10,85; 10,65 dan 10,84%.

Sebagaimana hasil yang diuraikan tersebut terlihat adanya penurunan dan

peningkatan (fluktuatif) kadar air tepung terigu kemungkinan disebabkan oleh

tiga faktor, diantaranya sifat penyerapan dari tepung, yaitu higroskopis. Menurut

Hruskova dan Machova (2002), tepung adalah bahan yang sangat higroskopis

(mampu menyerap air dari lingkungan) dan perubahan kadar air tepung tersebut

disebabkan adanya perubahan pada suhu dan kelembaban dari lingkungan tempat

penyimpanan. Faktor kedua adalah tepung memiliki bound water dan unbound

water. Artinya kemampuan produk tepung untuk mengikat air dari lingkungan

permukaan (unbound water) ini hanya terjangkau pada pemanasan 105oC,

sedangkan tepung memiliki satu sifat lagi yaitu kemampuan untuk membentuk

hidrat (bound water). Menurut Cervenka et al (2006) air terikat (Bound water)

mudah menguap pada suhu 203oC. Artinya kapasitas pemanasan sampai 105oC

belum cukup untuk melepaskan uap air dari tepung tersebut.oleh karena itu,

pemanasan 1050C sesuai dengan metode gravimetri yang digunakan dalam

analisis kadar air (SNI,1992) hanya bisa menghilangkan uap air yang terikat pada

permukaan saja atau unbound water, sedangkan bound water masih tersisa

(tertinggal). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain metode gravimetri

juga dapat digunakan metode lain, yaitu metode TGA (Thermogravimetric

Analysis). Menurut Perkinelmer (2010), Metode ini menggunakan prinsip

pemanasan tinggi dengan membandingkan suhu terhadap persentase berat sampel

48
yang hilang, sedangkan tujuan analisis kadar air disini adalah untuk mengetahui

persentase air yang terkandung dalam tepung. Kelebihan dari metode TGA ini

adalah penyimpanan sampel dalam desikator, selain menggunakan silika gel juga

ditambahakan NaCl jenuh agar tepung menghasilkan 100% kelembaban terjaga.

Terkait dengan faktor sebelumnya, faktor ketiga adalah hubungan luas permukaan

dengan air terikat pada permukaan luar terigu (unbound water), menurut

Cervenka et al (2006) permukaan tepung bisa mengikat air permukaan yaitu,

semakin besar ukuran partikel tepung, maka air yang terikat semakin banyak.

Dari hasil perhitungan secara statistik ANOVA menggunakan analisis

sidik ragam, didapatkan bahwa pengaruh interaksi perlakuan dosis iradiasi dan

masa simpan tidak memberikan pengaruh secara nyata (p>0,05) dalam

meningkatkan maupun menurunkan kadar air tepung terigu (Lampiran 7).

11.7
Kadar Air (%)

11.2
0 Minggu
10.7 7 Minggu
14 Minggu
10.2
0 10 20

Dosis Iradiasi (kGy)

Gambar 13. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan kadar air tepun ketan
putih.

49
Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar

air pada masa simpan 0 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah

11,13%, sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10 kGy sebesar

11,83%, pada dosis 15 kGy sebesar 10,76% dan untuk tepung terigu terigu yang

diiradiasi pada dosis 20 kGy sebesar 10,93%. Kadar air pada masa simpan 7

minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 11,35%, sedangkan

tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing

adalah 11,65; 11,58 dan 11,50% serta kadar air pada masa simpan 14 minggu

tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 10,37%, sedangkan tepung

terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing adalah

10,79; 11,07 dan 11,28%.

Sebagaimana hasil yang diuraikan tersebut, terjadi penurunan kadar air

tepung ketan putih seiring lamanya penyimpanan. Seperti yang diungkapkan oleh

Tandiabang et al (1996) bahwa penurunan bobot jagung mencapai 17%, apabila

disimpan selama enam bulan dengan kerusakan biji 85%. Sedangkan menurut

Hruskova dan Machova (2002), tepung adalah bahan yang sangat higroskopis

(mampu menyerap air dari lingkungan) dan perubahan kadar air tepung tersebut

disebabkan adanya perubahan pada suhu dan kelembaban dari lingkungan tempat

penyimpanan. Peningkatan maupun penurunan (fluktuatif) kadar air tepung ketan

putih kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sistem

pemanasan pada metode gravimetri yang digunakan dengan pemanasan 105oC

hanya mampu menghilangkan kandungan air di permukaan uar sampel sedangkan

kandungan air dari sampel ini juga memiliki sifat air terikat di dalam permukaan,

50
oleh karena itu diperlukan temperatur yang lebih tinggi dari penggunaan 105oC

untuk menguapkan kandungan air yang terdapat dalam permukaan sampel

tersebut.

Dari hasil perhitungan secara statistik ANOVA menggunakan analisis

sidik ragam, didapatkan bahwa pengaruh interaksi perlakuan dosis iradiasi dan

masa simpan tidak memberikan pengaruh secara nyata (p>0,05) dalam

meningkatkan maupun menurunkan kadar air tepung ketan putih (Lampiran 7).

4.1.4. Kadar Gluten


Kadar Gluten (%)

22

17
0 Minggu
12 7 Minggu
14 Minggu
7
0 10 20

Dosis Iradiasi (kGy)

Gambar 14. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan kadar gluten tepung
terigu

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 14 menunjukkan bahwa kadar

gluten pada masa simpan 0 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy)

adalah 15,15%, sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10 kGy

sebesar 12,11%, pada dosis 15 kGy sebesar 11,84% dan untuk tepung terigu

51
terigu yang diiradiasi pada dosis 20 kGy sebesar 7,44%. Kadar gluten pada masa

simpan 7 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 17,17%,

sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy masing-

masing adalah 9,66; 8,10 dan 7,02% serta kadar gluten pada masa simpan 14

minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 21,79%, sedangkan

tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing

adalah 15,80; 13,56 dan 10,13%.

Sebagaimana yang diuraikan tersebut terlihat adanya penurunan kadar

gluten setelah diberikan perlakuan iradiasi dibandingkan dengan tanpa perlakuan

iradiasi (0 kGy) dan persentase penurunan kadar gluten pada masa simpan 0

minggu seiring dengan semakin besar dosis iradiasi yang diberikan,begitu juga

dengan kadar gluten pada masa simpan 7 dan 14 minggu, dari ketiga masa simpan

tersebut terhadap persentase penurunan terbesar kadar gluten tepung terigu dengan

masa simpan 14 minggu pada dosis iradiasi 20 kG adalah 7,02%. Penurunan kadar

gluten akibat perlakuan iradiasi kemungkinan menyebabkan terjadinya perubahan

bentuk konformasi dari struktur gluten (protein kuartener) dibandingkan sebelum

diberi perlakuan diiradiasi (0 kGy). Menurut Kokselt et al (1988), perlakuan

iradiasi gamma pada dosis 20 kGy dapat menurunkan kadar gluten sampai 34%

untuk jenis gandum dibandingkan dengan kadar gluten yang tidak diiradiasi. Rao

(1963) melaporkan bahwa, terjadi penurunan signifikan pada kandungan sistein

ketika gluten diiradiasi melebihi dosis iradiasi 10 kGy. Berikut ini diperlihatkan

ikatan disulfida dari sistein pada Gambar 15:

52
O OH

NH2
S

S
H2N

HO O

Gambar 15. Ikatan disulfida pada sistein ( Shewry and Tatham, 1997).

sebagaimana terlihat pada Gambar 15, ikatan disulfida terbentuk oleh 2

asam amino sistein, hal ini dikarenakan sistein masih memiliki atom H yang dapat

digantikan dan membentuk ikatan. Monomer asam amino lain yang mencirikan

polimer gluten adalah tirosin. Tirosin pada Tabel 7 (Tinjauan pustaka)

menunjukkan pengaruh iradiasi terhadap penurunan kadar gluten, hal ini terlihat

dati peningkatan kosentrasi asam amino tirosin bebas seiring dengan semakin

besar dosis iradiasi yang diberikan, kemungkinan kosentrasi asam amino tirosin

bebas yang meningkat akibat terputusnya polimer glutenin dan gliadin pada

terminal tirosin, seperti yang terlihat pada Gambar 16 berikut ini:

Gambar 16. Struktur tirosin

53
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa gluten

tersimpan dalam protein tepung terigu. Nikolic et al (2011) juga melaporkan

bahwa, kadar gluten dalam tepung terigu sebesar 23,9%. Dari hasil perhitungan

secara statistik ANOVA menggunakan analisis sidik ragam, didapatkan bahwa

pengaruh interaksi perlakuan dosis iradiasi dan masa simpan memberikan

pengaruh secara nyata (p>0,05) dalam menurunkan kadar gluten tepung terigu

(Lampiran 7).

4.1.5. Kadar Amilosa


Kadar Amilosa (%)

21
0 Minggu
7 Minggu

16 14 Minggu
0 10 20

Dosis Iradiasi (kGy)

Gambar 17. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan kadar amilosa
tepung terigu

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 17 menunjukkan bahwa kadar

amilosa pada masa simpan 0 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy)

adalah 23,72%, sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10 kGy

sebesar 24,47%, pada dosis 15 kGy sebesar 18,22% dan untuk tepung terigu

terigu yang diiradiasi pada dosis 20 kGy sebesar 17,95%. Kadar amilosa pada

54
masa simpan 7 minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 21,14%,

sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy masing-

masing adalah 19,03; 16,55 dan 16,41% serta kadar amilosa pada masa simpan 14

minggu tepung terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 20,45%, sedangkan

tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy, masing-masing

adalah 18,14; 16,81 dan 17,09%.

Sebagaimana yang diuraikan tersebut terlihat bahwa, Penurunan kadar

amilosa tepung terigu tanpa perlakuan iradiasi (0 kGy) seiring dengan lamanya

masa simpan. Hal ini juga dilaporkan oleh Ballesteros, et al (2002) bahwa

semakin lama penyimpanan tepung terigu, maka semakin berkurang kadar

amilosa yang terkandung di dalam tepung terigu. Jadi, penyimpanan

mempengaruhi penurunan kadar amilosa. Menurut Faridah, et al (2010)

penurunan kadar amilosa yang tidak diiradiasi (0 kGy) disebabkan oleh degradasi

daerah amorf karena asam berdifusi ke dalam granula pati dan menyerang atom

oksigen pada ikatan glikosidik yang terdapat pada α-1,4, sehingga menghasilkan

senyawa intermediet karbokationik yang tidak stabil dan dapat bereaksi dengan air

dalam granula pati. Hal ini disebabkan amilosa pati garut mengalami degradasi

selama proses hidrolisis asam dan pemanasan.

Penurunan kadar amilosa juga disebabkan oleh pengaruh dosis iradiasi

yang diberikan, hal ini kemungkinan terjadi karena komponen pati yang lebih

sensitif terhadap perlakuan iradiasi adalah amilosa. Menurut Ananthaswamy

dalam Soebianto (2001), iradiasi terhadap pati menyebabkan pemutusan ikatan α-

1,4-glikosidik karena ikatan tersebut lemah dan rentan terhadap pemisahan oleh

55
atom hidrogen. Selain dengan iradiasi, Ikatan α-1,4-glikosidik juga rentan

terhadap pemanasan. Berikut ini ialah reaksi pemecahan amilosa menggunakan

radiasi gamma yang disajikan pada Gambar 18

OH OH OH OH
HO HO
O O O O
Amilosa HO HO O C OH Amilosa
C O OH

OH OH
OH OH OH OH

Fragmentasi Hidrolisis

OH
OH OH
HO
O O Rearrangement CH O
HO O OH C OH
OH
D-glukono- OH
OH HO D-glukosa
1,5-lakton OH OH
OH
Asam-2,3,4,6-
tetrahidroksi heksanoat
OH
OH
HO
HO O
O
OH
C OH
4-deoksi- D-glukosa
D-glukosa HO
H OH
OH

Gambar 18. Reaksi pemecahan amilosa oleh iradiasi gamma (O’Reilly, 2012).

Sebagaimana pada Gambar 25, Menurut O’Reilly (2012) posisi pusat

pembentukan radikal yang terjadi pada ikatan CH terbentuk di atom C-1 dan C-4.

Struktur radikal juga kemungkinan dapat terjaidi pada atom C-2 dan C-3, namun

56
kurang disukai jika dibandingkan dengan ikatan atom C-1 dan C-4. Hal ini karena

pada posisi C-1 dan C-4 merupakan ikatan 1,4-α glikosidik yang memiliki ikatan

paling lemah dan bersifat rentan terhadap pemisahan oleh atom hidrogen (H).

Pembentukan radikal dari elektron-elektron yang tidak berpasangan tersebut,

berada pada posisi C-1 dan C-4 dalam cicin piranosa seperti yang terlihat pada

Gambar 18.

7
Kadar Amilosa (%)

0 Minggu
5 7 Minggu
14 Minggu
4
0 10 20

Dosis Iradiasi (kGy)

Gambar 19. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan kadar amilosa
tepung ketan putih.

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 19 menunjukkan bahwa kadar

amilosa pada masa simpan 0 minggu tepung ketan putih yang tidak diiradiasi (0

kGy) adalah 6,80%, sedangkan tepung terigu yang diiradiasi dengan dosis 10 kGy

sebesar 5,95%, pada dosis 15 kGy sebesar 4,33% dan untuk tepung terigu terigu

yang diiradiasi pada dosis 20 kGy sebesar 4,42%. Kadar amilosa pada masa

simpan 7 minggu tepung ketan putih yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 5,23%,

sedangkan tepung ketan putih yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy

57
masing-masing adalah 4,80; 4,76 dan 4,70% serta kadar amilosa pada masa

simpan 14 minggu tepung ketan putih yang tidak diiradiasi (0 kGy) adalah 6,49%,

sedangkan tepung ketan putih yang diiradiasi dengan dosis 10, 15 dan 20 kGy,

masing-masing adalah 5,78; 5,62 dan 5,73%.

Hasil pengamatan seperti yang diuraikan sebelum-nya bahwa terjadi

penurunan kadar amilosa tepung ketan putih tanpa perlakuan iradiasi (0 kGy)

seiring dengan lamanya masa simpan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

degradasi amilosa dan menyerang atom oksigen pada ikatan glikosidik yang

terdapat pada α-1,4, sehingga menghasilkan senyawa intermediet karbokationik

yang tidak stabil dan dapat bereaksi dengan air dalam granula pati. Hal ini

disebabkan amilosa mengalami degradasi selama proses pemanasan. Selain

pemanasan, perlakuan iradiasi dalam hal ini juga dapat mendegradasi struktur

amilosa pada ikatan 1,4- α glikosidik. Ananthaswamy dalam Soebianto (2001)

juga melaporkan bahwa, iradiasi terhadap pati menyebabkan pemutusan ikatan α-

1,4-glikosidik karena ikatan tersebut lemah dan rentan terhadap pemisahan oleh

atom hidrogen. Reaksi pemecahan amilosa oleh perlakuan iradiasi diperlihatkan

pada Gambar 15 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Wu, D et al (2002) iradiasi gamma pada beras ketan

mempengaruhi kandungan amilosa-nya. Pada beras yang memiliki apparent

amylose content (ACC) atau kandungan amilosa nyata tinggi, pengurangan

kandungan amilosa tidak terlihat, tetapi pada beras ketan yang memililiki

kandungan ACC yang rendah, maka pengurangan kandungan amilosa akan

58
terlihat. Hal ini terlihat jelas bahwa kadar amilosa tepung ketan putih memiliki

nilai ACC yang rendah, seperti yang dilaporkan oleh Wu

4.1.6. Analisis gugus fungsi dengan FTIR

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik gugus fungsi yang

terbentuk dari sampel tepung terigu dan tepung ketan putih. Spektrum FTIR

tepung terigu tanpa perlakuan iradiasi (0 kGy) dan tepung terigu yang diradiasi

pada dosis 10, 15 dan 20 kGy disajikan pada Gambar 20 berikut ini:

Gambar 20. Spektrum FTIR tepung terigu

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 20 menunjukkan spektrum

tepung terigu yang dihasilkan adalah gugus fungsi O-H pada frekuensi 3600-3200

cm-1, 3000-2800 cm-1 adalah gugus fungsi -CH, frekuensi 2400-2420 cm-1 adalah

gugus fungsi ion ammonium (ND3) (Shimanouchi,1972), frekuensi 1740-1720

cm-1 adalah gugus fungsi C=O, frekuensi 1550 cm-1 adalah gugus fungsi -NH

59
(Suzanne, 1998) dan frekuensi 1100 cm-1 adalah vibrasi C-O-C (Galat, 1980).

Hasil pengukuran FTIR tepung terigu menunjukkan bahwa gugus fungsi O-H

mencirikan adanya kandungan air dalam sampel tepung, sedangkan perubahan

intensitas penyerapan frekuensi 1150-1040 yang dicirikan oleh gugus fungsi C-O-

C adalah ikatan 1,4-α glikosidik pada struktur amilosa. Perlakuan iradiasi

memungkinkan terjadinya pemutusan ikatan 1,4-α glikosidik yang ditandai oleh

intensitas penyerapan yang semakin berkurang dibandingkan intensitas tepung

terigu yang tidak diiradiasi (0 kGy). Gugus ion ammonium (ND3) menandakan

bahwa perlakuan iradiasi dapat menurunkan intensitas penyerapan yang

menyebabkan protein rusak.

Spektrum FTIR tepung ketan putih tanpa perlakuan iradiasi (0 kGy) dan

tepung terigu dengan perlakuan iradiasi disajikan pada Gambar 21 berikut ini:

Gambar 21. Spektrum FTIR tepung ketan putih

Hasil pengamatan yang disajikan Gambar 21 menunjukan spektrum tepung

ketan putih yang dihasilkan adalah frekuensi 3600-3200 cm-1 merupakan gugus

60
fungsi OH, frekuensi 3000-2800 cm-1 adalah gugus fungsi -CH, frekuensi 2400-

2420 Cm-1 adalah gugus fungsi ion ammonium (ND3), frekuensi 1740-1720 cm-1

adalah gugus fungsi C=O, frekuensi 1550 cm-1 adalah gugus fungsi -NH

(Suzanne, 1998) dan gugus fungsi 1100 cm-1 adalah gugus fungsi C-O-C (Galat,

1980). Hasil pengukuran FTIR tepung terigu menunjukkan adanya perubahan

intensitas penyerapan frekuensi 1150-1040 yang dicirikan oleh gugus fungsi C-O-

C. Perlakuan iradiasi memungkinkan terjadinya pemutusan ikatan 1,4-α glikosidik

yang ditandai oleh intensitas penyerapan yang semakin berkurang dibandingkan

intensitas tepung ketan putih tanpa iradiasi (0 kGy). Gugus ion ammonium (ND3)

menandakan bahwa perlakuan iradiasi dapat menurunkan intensitas penyerapan

yang menyebabkan protein rusak.

Hasil pengamatan dari kedua spektrum FTIR, baik tepung terigu maupun

tepung ketan putih tidak menunjukkan adanya perubahan gugus fungsi baru atau

dapat dikatakan memiliki kemiripan pola spektrum seperti yang terlihat pada

Gambar 24 dan Gambar 18. Frekuensi 1150 cm-1 yang dicirikan oleh gugus fungsi

–NH kemungkinan adalah gugus fungsi dari asam amino protein, dimana menurut

Rao (1963) pada analisis kadar gluten menyebutkan bahwa, perlakuan iradiasi

mempengaruhi kandungan sistein dan tirosin pada gluten. kedua asam amino

memiliki gugus NH seperti yang terlihat pada puncak spektrum FTIR pada tepung

terigu dan tepung ketan putih.

61
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a) Penurunan kadar gluten tepung terigu terbesar selama masa simpan 7

minggu dengan dosis iradiasi 20 kGy adalah 7,02%.

b) Penurunan kadar amilosa tepung terigu terbesar selama masa simpan 7

minggu dengan dosis iradiasi 20 kGy adalah 16,41%

c) Analisis kadar air menunjukkan bahwa iradiasi gamma pada tepung terigu

dan tepung ketan putih tampak tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan

95%

d) Pemutusan ikatan glikosidik 1,4 tepung terigu dan tepung ketan putih

ditandai dengan penyerapan pita serapan C-O-C pada panjang gelombang

1150-1040 cm-1

5.2. Saran

1) Analisis kadar air sebaiknya menggunakan metode TGA supaya terlihat

pengaruh perlakuan iradiasi terhadap tepung terigu dan tepung ketan putih

2) Perlakuan iradiasi dan masa simpan terhadap pengujian mikrobiologi untuk

mengetahui jumlah mikroba

62
DAFTAR PUSTAKA

Anang, H. 1986. Iradiasi Makanan. Jakarta: PATIR-BATAN.

Anonim. 2002. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Big Money in
Speciality rices. http://www.fao.org/ag/magazine/0207sp1.htm,12 Januari 2012 pk
12.15 WIB.

Anonim. 2011. How does gluten and casein relate to problem of seliac and autism.
Department of pediatrics division of genetics and metabolism. Florida: The foundation
the gator nation.
http://www.peds.ufl.edu/divisions/genetics/programs/autism_card/casein.htm, 12
Januari pk 15.55 WIB.

Anonim. 2011. Global grain to Increase in 2011-2012. Australia. http://www.Global-grain-


supplies-to-increase-in-2011-12/htm,12 Januari 2012 pk 08.03 WIB

Arnikar, H.J. 1995. Essential of Nuclear Chemistry Fourth Edition. India : New Age
International (P) Limited.

Asmara, I.G.Y. 2008. Celiac Disease: Focus on Multisteps Immunopathogenesis and Their
Correspond Clinical Investigations. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 58, No. 12,
hal.532

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Uji Kadar Air. hhtp://www.bsn.go.id.
20 Januari 2012, pk 15.00 WIB.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 3751 : 2009. Tepung Terigu sebagai bahan
makanan. http://www.bsn.go.id, 25 Maret 2012 pk 12.35 WIB.

Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-5557-1998-2. Tepung Ketan sebagai bahan
makanan. http://www.bsn.go.id, 25 Maret 2012 pk 12.40 WIB.

Ballesteros, R. Carreres, R. dan Sendra, J. 2002. Notes on amylose content used as rice grain
quality index in spain. Cahiers option mediterraneennes, Vol. 15, No. 4, hal. 55 dan 58.

Belitz, H.D dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Berlin: Springer Verlag.

Berry, C.S. 1986. Formation and measurement of starch that survives exhaustive digestion
with amylolytic enzymes during the determination of dietary fiber. Resistant starch. J.
Cereal Sci, Vol. 4, hal. 301–314.

Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi


indonesia. Katalog BPS: 3101015. Jakarta. ISSN: 2085.5664

Cervenka, L.,Brozkova, I.,Vytrasova, J. 2006. Effects of the principal ingredlents of biscuits


upon water activity. Journal of Food and Nutrition Research. Vol.45, No.1, hal. 39.

63
Chosdu R, Z.I Purwanto dan Sudarman H. 1983. Studi Pengemasan dan Pengawetan Tepung
Gandum dan Roti dengan Iradiasi Sinar Gamma, Risalah Seminar Nasional
Pengawetan Makanan dengan Iradiasi. Patir-Batan. Jakarta.
.
Coeliac. 2012. Gluten free diet. Healthy living: food and nutrition. Australia: diet and health
conditions. http://www.betterhealth.vic.gov.au/.../Glut 3 Desember 2012 pk 05.45 WIB.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes). Farmakofe Indonesia. 1995. Direktorat


Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Ed. IV. Jakarta.

Diehl, J.F. 1990. Safety of irradiated foods. New york: Marcel Dekker, Inc.

Donnel J.H dan Sangster D.F. 1969. Principles of Radiation Chemistry. London Edard
Arnold (Publisher) Ltd.

Dwiari, S.R., Danik, D.A., Nurhayati., Mira, S., Sandi, F.A.R.Y., dan Ida. B.K.W.Y. 2008.
Teknologi Pangan Jilid I. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.

Elmer, P. 2010. Thermogravimetric analysis (TGA); A beginner’s guide. Hal. 3. USA.

Fardiaz, D. 2006. Teknologi irradiasi untuk meningkatkan keamanan pangan. Risalah


seminar ilmiah. Aplikasi Isotop dan Radiasi. Deputi bidang keamanan pangan dan
bahan berbahaya. Badan pengawas obat dan makanan, RI.

Food and Nutrition. 2012. Vital wheat gluten nutrition facts. http://www.Vegtalk.org,15
Oktober 2012 pk 12.50 WIB.
Galat, A. 1980. Study of the raman scattering and infrared absorption spectra of branced
polysaccharides. Acta biochimica polonica, Vol. 27, No. 2.
Green P.H.R, dan Christophe C. 2007. Medical Progress Celiac Disease; Review Article The
New England. Journal of Medicine, Vol, 357, No. 17, hal.1731

Hartati N.S dan Prana T.P. 2003. Analisis Kadar Pati dan Serat Kasar Tepung beberapa
Kultivar Talas (Colocasia esculenta L. Schott). Jurnal Natur Indonesia, Vol. 6, No. 1,
hal. 29-33.

Hayati, E.K. 2007. Dasar-Dasar Analisis Spektroskopi. Universitas


Islam Negeri Malang. Malang.

Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan
Enkapsulasi Komponen Flavor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Hruskova, M. dan Machova, D. 2002. Changes of wheat flour properties during short term
storage. Czech . J. Food Sci., Vol. 20, No. 4, hal. 125-130.

International Atomic Energy Agency(IAEA). 2004. Radiation, people and the environment.
http://www.iaea.org/.../RadPeopleEnv/.../ra, 12 Januari 2013 pk 14.10 WIB.

Ichda, C. 2007. Lab Sheet Pengujian Bahan Pangan. Yogyakarta.

64
Irawati, Z. 2008. Perkembangan dan Prospek Proses Radiasi Pangan di Indonesia. Ulasan
Ilmiah. J.Teknol dan Industri Pangan, Vol. XIX, No. 2.

Jones, D.W.K dan Amos, A.J. 1967. Modern cereal chemestry, sixth edition, Food trade
press.

Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin). 2012. Impor tepung terigu.


Jakarta.

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI-Press.

Kidd, P.M. 2002. Autism, An Extreme Challenge to Integrative Medicine. Part II. Medical
Management, Vol. 7, No. 6. hal.474

Kokselt, H., Sapirstein, H.D., Celik, S. dan Bushuk, W. 1988. Effect of gamma irradiation of
wheat on gluten proteins. Jurnal of cereal science, Vol. 28, hal. 243-250.

Kusumastuti, A. 2011. Pengenalan pola gelombang khas dengan interpolasi. Vol. 2, No. 1.

Lindsay, M.P dan Skerritt, J.H. 2000. The Glutenin Macropolymer of Wheat Flour Doughs:
structure-function perspectives. Trends in food science and technology, hal. 247-253.

Maha, M. 1982. Prospek Penggunaan Tenaga Nuklir dalam Bidang Teknologi Makanan.
Risalah seminar nasional, PATIR-BATAN. Jakarta. hal:19-28.

Maha, M. 1985. Pengawetan pangan dengan radiasi. PATIR-BATAN. Jakarta.

Manheim, C.H. 1994. Control of water in foods during storage. Food process Eng, Vol. 22,
hal. 509-532.

Miyata, T. 1993. Liquid Wastes-Chemistry. Department of Environment and Resources.


JAERI Japan : Takasaki Radiation Chemistry Research Establishment.
UNDP/IAEA/RCA, Regional Training on Radiation Technology for Environment
Conservation.

Murray, A.J. 2012. The widening spectreum of celiac disease. Review Article. American
Society for Clinical Nutrition.

Nikolic, N., Dodic, J., Mitrovic, M. dan Lazic, M. 2011. Rheological Properties and the
Energetic Value of Wheat Flour Substitued by Different Shared of White and Brown
Rice Flour. Chem. Ind. Chem. Eng. Q., Vol. 17, No. 3, hal. 349-357.

Oates, C.G. 1997. Towards an understanding of starch granule structure and hydrolysis.
Review: Trends Food Sci. Technol., Vol. 8, hal. 375-382.

O’Reilly, M. (2012). An ESR Study Of The Effect Of Adsorbed Species On The Radiolysis Of
Cellulose. The Catholic University of America-Chemistry Dept.
Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang No.7 tahun 1996. Tentang pangan.

65
Peraturan Pemerintah (PP) No.28 tahun 2004. Tentang keamanan, mutu dan gizi pangan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Tentang Pangan Iradiasi. No. 701 Tahun
2009.

PT. Indofood.2008. Komposisi Tepung Terigu Segitiga Biru. Jakarta.

Rao, S.R. 1963. Effect of low-dose gamma irradiation on breadmaking quality of wheat.
Thesis. Kansas State University. India.

Sastrohamidjojo. 1992. Spektroskopi Inframerah. Liberty. Jakarta.


Schreiner. 2004. Review of gel dosimeters. Journal of physics: conference series 3. Canada:
institute of physics publishing.

Setyawardhani, D.R. 2008. Pengaruh jenis kemasan dan volume ketan terhadap fermentasi
serta perubahan mutu tape ketan hitam hitam selama penyimpanan. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor.

Shewry P.R dan Tatham A.S. 1997. Disulphide bonds in wheat gluten proteins. Journal of
cereal science. Vol. 25, issue 3.

Shimanouchi, T. 1972. Tables of molecular vibrational frequencies consolidated volume I.


National Bureau of Standards. University of Tokyo. Hal 15.

Skoog, D. A. 1996. Fundamental of Analytical Chemistry. Seventh edition. USA: Saunders


College Publishing.

Soebianto,Y.S., Meilani,S.S dan Widowati,D. 2001. Radiolisis Pati Larut sebagai Senyawa
Model Polisakarida Efek Pelarut dan Laju Dosis Iradiasi. Risalah Pertemuan Ilmiah
Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta.
Spinks J.W.T dan Woods R.J. 1976. An introduction to Radiation Chemistry 2nd edition. John
Wiley & Sons..

Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum Untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian,
Vol. 23, No. 4.

Suseno, J.E dan Firdausi, K.S. 2008. Rancang bangun spektroskopi FTIR untuk penentuan
kualitas susu sapi. Nama majalah, Vol.11, No.1, hal. 23-28.

Suzanne, S.N. 1998. Food Analysis second edition principle of infrared (IR) spectroscopy.
Gaithersburg, Maryland.

Tandiabeng, J., Tenrirawe, A dan Surtikanti. 1996. Pengelolaan hama pascapanen jagung.
Balai penelitia tanaman serelia. Maros.

Thamrin, M.T dan Akhadi, M. 1997. Dosimetri Gamma Dosis Tinggi dalam Kegiatan
Industri. Buletin Alara, Vol. 1, No. 2, hal. 27-33. Pusat Standarisasi dan Penelitian
Keselamatan Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional.

66
Tjahjono. 2012. Evaluasi pelaksanaan kegiatan kalibrasi dibalai iradiasi elektromekanik dan
instrumentasi. PATIR-BATAN.
Tjahjono. 2012. Dosimetri pada fasilitas iradiasi gamma. Disajikan pada pelatihan pekerja
iradiator gamma PT. Rei-Ion sterilization. Bekasi 7-22 Mei.
Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga.

Winarno, F.G. 1992. Kimia pangan dan gizi. Penerbit: Gramedia pustaka utama. Jakarta.
World Agricultural Outbook Board (WAOB). 2012. World agricultural supply and demand
estimates. Virginia: United states departements of agriculture. ISSN: 1554-9089
Wu, D., Shu, Q., Wang, Z. dan Xia, Y. 2002. Effect of gamma irradiation on starch viscosity
and physicochemical properties of different rice. Radiation Physics and Chemistry,
Vol. 65, hal. 79-86.
World Health Organization Study Group. 1999. High-Dose Irradiation : Wholesomeness of
Food Irradiated with Doses Above 10 kGy. Geneva : World Health Organization
Report Series.

67
Lampiran 1. Skema tahapan Penelitian

Tepung Ketan Ketan


Terigu Putih Hitam

Dipromix
Diayak, ,
ukuran Tepung kasar
diayakxx
100 mesh x ukuran 100 mesh
Diayak,
Tepung

Pengemasan sampel dengan kemasan klip plastik

Tanpa Iradiasi 0 kGy Iradiasi gamma Co-60


dalam kardus karton dosis 10, 15 dan 20
kGy dalam kardus
karton

Disimpan selama 0, 7, 14 Minggu

Pengamatan

Analisis Kadar Analisis Kadar Analisis Kadar Analisis Gugus


Air Gluten Amilosa Fungsi

68
Lampiran 2. Contoh perhitungan analisis Kadar Air tanggal 15 Maret 2012

Tepung terigu
𝒃−𝒄
%kadar air = 𝒃−𝒂 x 100%

Dimana:

a = bobot cawan petri kosong

b = bobot cawan petri + sampel

c = bobot cawan petri + sampel setelah pengeringan

Data pengamatan I:

Bobot cawan kosong Bobot cawan +sampel setelah pengeringan

Kontrol (0 kGy) = 12,459 g kontrol (0 kGy) = 14,246 g

Dosis 10 kGy = 12,590 g Dosis 10 kGy = 14,374 g

Dosis 15 kGy = 12,440 g Dosis 15 kGy = 14,230 g

Dosis 20 kGy = 12,581 g Dosis 20 kGy = 14,372 g

Jadi,

Kontrol (0 kGy)
12,459+2 𝑔−14,246 𝑔
Kadar air = x100% = 10,65%
12,459+2 𝑔−12,459 𝑔

Dosis 10 kGy
12,590+2 𝑔−14,374
Kadar air = x100% = 10,80%
12,590+2 𝑔−12,590 𝑔

Dosis 15` kGy


12,440+2 𝑔−14,230 𝑔
Kadar air = x100% = 10,50%
12,440+2 𝑔−12,440 𝑔

Dosis 20 kGy
12,581+2 𝑔−14,372 𝑔
Kadar air = x100% = 10,45%
12,581+2 𝑔−12,581 𝑔

69
Lampiran 3. Contoh perhitungan analisis Kadar Gluten tanggal 5 April 2012

Tepung terigu

Berat awal = berat tepung terigu = x

Berat akhir = berat gluten = y


𝑌
kadar gluten = 𝑋 x 100%

Data pengamatan I: Data pengamatan II :

Kontrol (0 kGy) = 1,532 g Kontrol (0 kGy) = 1,499 g

Dosis (10 kGy) = 1,260 g Dosis (10 kGy) = 1,161 g

Dosis (15 kGy) = 1,213 g Dosis (15 kGy) = 1,154 g

Dosis (20 kGy) = 0,785 g Dosis (20 kGy) = 0, 621 g

Jadi, Jadi,

Kontrol (0 kGy) kontrol (0 kGy)


1,532 𝑔 1,499 𝑔
Kadar gluten = x 100% = 15,32 % kadar gluten = x 100% = 14,99%
10 10

Dosis (10 kGy) Dosis (10 kGy)


1,260 𝑔 1,161 𝑔
Kadar gluten = x 100% = 12,60% Kadar gluten = x 100% = 11,61%
10 10

Dosis (15 kGy) Dosis (15 kGy)


1,213 𝑔 1,154 𝑔
Kadar gluten = x 100% = 12,13% Kadar gluten = x 100% = 11,54%
10 10

Dosis (20 kGy) Dosis (20 kGy)


0,785 𝑔 0,621 𝑔
Kadar gluten = x 100% = 7,85% Kadar gluten = x 100% = 6,21%
10 10

70
Lampiran 4. Perhitungan analisis Kadar Amilosa

ppm Abs
4 0,102
8 0,201
12 0,308
16 0,399
20 0,513

0.6

0.5 20; 0.513

0.4 16; 0.399 y = 0.025x - 0.001


Absorbansi

R² = 0.999
0.3 12; 0.308
Abs
0.2 8; 0.201
Linear (Abs)
0.1 4; 0.102

0
0 5 10 15 20 25
ppm

Gambar 22. Kurva standar kadar amilosa

Keterangan:

Y = Absorbansi

X = Kosentrasi

(amilosa pada kurva standar )


Amilosa Sampel = x fp x 100%
(sampel yang dianalisis )

71
Lampiran 5. Tabel Titik Persentase Distribusi F untuk Probabilita 5% (0,05)

72
Lampiran 6. Hasil pengamatan

Tabel 11. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan pada


kadar air tepung terigu
Kadar Air (%)*
Dosis
Iradiasi Masa Simpan (Minggu)
(kGy) 0 7 14
0 10,60±0,07 11,08±0,39 10,42±0,37
10 10,27±0,46 10,80±0,28 10,85±0,23
15 10,55±0,78 10,83±0,25 10,65±3,18
20 10,65±3,22 10,45±0,14 10,84±0,37
*) Hasil rata-rata dua kali ulangan±SD (Standar Deviasi).

Tabel 12. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan pada


kadar air tepung ketan putih

Kadar Air (%)*


Dosis
Iradiasi Masa Simpan (Minggu)
(kGy) 0 7 14
0 11,13±0,32 11,35±0,42 10,37±0,59
10 11,83±1,10 11,65±0,14 10,79±1,00
15 10,76±0,56 11,58±0,11 11,07±0,40
20 10,93±0,67 11,50±0,00 11,28±0,18
*) Hasil rata-rata dua kali ulangan±SD (Standar Deviasi)

Tabel 13. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan pada


kadar gluten tepung terigu.
Dosis Kadar Gluten (%)*
Iradiasi Masa Simpan (minggu)
(kGy) 0 7 14
0 15,16 ± 0,23 17,17 ± 0,31 21,79 ± 2,58
10 12,11 ± 0,70 9,66 ± 1,00 15,80 ± 0,02
15 11,84 ± 0,42 8,10 ± 1,86 13,56 ± 0,00
20 7,44 ± 0,58 7,02 ± 0,00 10,13 ± 0,84
*) Hasil rata-rata dua kali ulangan±SD (Standar Deviasi)

73
Tabel 14. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan
pada kadar amilosa tepung terigu
Kadar amilosa tepung terigu (%)
Dosis
Iradiasi Masa Simpan (minggu)
(kGy) 0 7 14
0 23,72 21,14 20,45
10 24,47 19,03 18,14
15 18,22 16,55 16,81
20 17,95 16,41 17,09

Tabel 15. Pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan


pada kadar amilosa tepung ketan putih
Kadar amilosa tepung ketan putih (%)*
Dosis
Iradiasi Masa Simpan (minggu)
(kGy) 0 7 14
0 6,80 5,23 6,49
10 5,95 4,80 5,78
15 4,33 4,76 5,62
20 4,42 4,70 5,73

74
Lampiran 7. hasil uji statistik ANOVA dua faktor dengan bantuan aplikasi SPSS
statistics 13.0

Tabel 16. Hasil ANOVA pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar
air tepung terigu (%)

Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat d.b. F hitung F table
Tengah
Masa Simpan 1,11 2 0,58 0,30 3,89
Dosis Iradiasi 8,21 3 2,74 1,45 3,49
Masa Simpan*Dosis Iradiasi 21,36 6 3,56 1,95 3,00
Galat 21,945 12 1,83
Total 2892,53 24
Keterangan : tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% taraf signifikasi α= 0,05

Tabel 17. Hasil ANOVA pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar
air tepung ketan putih (%)

Kuadrat
Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat d.b. F hitung F table
Tengah
Masa Simpan 1,72 2 0,86 2,72 3,89
Dosis Iradiasi 0,67 3 0,22 0,71 3,49
Masa Simpan*Dosis Iradiasi 1,70 6 0,28 0,90 3,00
Galat 3,80 12 0,32
Total 3007,70 24
Keterangan : tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% taraf signifikasi α= 0,05

Tabel 18. Hasil ANOVA pengaruh dosis iradiasi dan masa simpan terhadap kadar gluten
tepung terigu (%)

Jumlah d.b Kuadrat


Sumber Keragaman F hitung F table
Kuadrat . Tengah
Dosis iradiasi 306,049 3 102,016 94,256* 3,49
Masa Simpan 102,203 2 51,102 47,214* 3,89
Dosis Iradiasi * Masa Simpan 25,226 6 4,204 3,884* 3
Galat 12,988 12 1,082
Total 4181,73 24
Keterangan : * berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95% taraf signifikasi α= 0,05

75
Lampiran 8. Hasil Uji Duncan dengan bantuan aplikasi SPSS statistics 13.0
Tabel 19. Hasil Duncan test pengaruh masa simpan
terhadap kadar air tepung terigu (%)

Masa Simpan Urutan Rataan


14 Minggu 11,18
7 Minggu 10,79
0 Minggu 10,67
Ket: tidak berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

Tabel 20. Hasil Duncan test pengaruh dosis iradiasi


terhadap kadar air tepung terigu (%)

Dosis Iradiasi Urutan Rataan


15 10,00
0 10,70
10 11,29
20 11,52
Ket: tidak berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

Tabel 21. Hasil Duncan test pengaruh masa simpan


terhadap kadar air tepung ketan putih (%)

Urutan Rataan
Masa Simpan
A B
14 10,86
0 11,16 11,16
7 11,52
Ket: berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

Tabel 22. Hasil Duncan test pengaruh dosis iradiasi


terhadap kadar air tepung ketan putih (%)

Dosis Iradiasi Urutan Rataan


0 11,00
15 11,13
20 11,23
10 11,41

Ket: tidak berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

76
Tabel 23. Hasil Duncan test pengaruh masa simpan terhadap
kadar gluten (%) tepung terigu

Urutan Rataan
Masa Simpan A B C
7 mingggu 10,4763
0 minggu 11,6338
14 minggu 15,3163
Keterangan : berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

Tabel 24. Hasil Duncan test pengaruh dosis iradiasi terhadap


kadar gluten (%) tepung terigu

Urutan Rataan
Dosis Iradiasi A B C D
20 kGy 8,195
15 kGy 11,15
10 kGy 12,5
0 kGy 18,037
Keterangan : berbeda nyata pada taraf signifikan α= 0,05

77
Lampiran 9. Bahan dan alat

Gambar 22. Sampel yang siap dianalsis Gambar 23. Panel kontrol Iradiator 60CO

Gambar 24. Sumber gamma Co-60 Gambar 25. Meja lifter dan kolam air

Gambar 26. Skema IRKA Gambar 27. Ruang Iradiasi

78

Anda mungkin juga menyukai