Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTHESIA PADA OPERASI BEDAH


PASIEN DENGAN KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)

Pembimbing :

dr. Rahmadius Eka Santoso, Sp.An


dr. Indra Nur Hidayat, Sp.An
dr. Mhd. Mustafa Lubis, Sp.An

Disusun oleh :

Ahmad Fadil (102121082)

Falah Haikal (102122002)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RS HJ BUNDA HALIMAH BATAM
UNIVERSITAS BATAM
2022
BAB I

PENYAJIAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Akasamania M Donungang
Jenis Kelamin : perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 14 April 1961/ 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Taman Mediterania, Batam
Tanggal Masuk RS : 01 Desember 2022
Tanggal Operasi : 02 Desember 2022
Diagnosa : Kehamilan Ektopik Terganggu
Macam Operasi : Laparatomi
Macam Anestesi : General Anesthesia

;
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : 15 (E4V5M6)

BB/TB : 49 kg/158 cm

Tekanan Darah : 120/82 mmHg

Pernapasan : 20x/menit

Nadi : 88x/menit

Suhu : 36,2 oC

SpO2 : 99 %

C. Diagnosis Akhir

Kehamilan Ektopik Terganggu

D. Tatalaksana

Laparatomi

E. Kunjungan Pra Anestesi

a. Penentuan status ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6

b. Persiapan Pra Anestesi:

;
Pasien telah diberikan Informed Consent

Persiapan operasi :

a. Pasien puasa 6 jam

b. Lab darah rutin, masa pembekuan, masa perdarahan

c. Surat persetujuan tindakan operasi

F. Laporan Anestesi Pasien

a. Diagnosis pra-bedah : Etopic Pregnancy

b. Diagnosis post-bedah : Etopic Pregnancy

c. Jenis pembedahan : Laparatomi

d. Jenis anestesi : Anestesi Umum

a. Medikasi : Paracetamol 1 gr, Metoclopramid 10 mg,


Tramadol 100 mg, Dexametason 10 mg, Sedasi 2 mg

b. Anestesi umum : Bucain 12,5 mg, Morfin 10 mg

c. Jumlah cairan

• Input : 2 x Sodium Chloride 500 mL + pct 100 mL

• Output : 400 cc

d. Perdarahan : 5000cc

e. IWL : 30,6 cc/jam

f. Respirasi : Terpasang ETT nomor 6,5

g. Posisi : Supine

;
h. Anestesi dimulai : 16.55 WIB

i. Operasi mulai : 17.00 WIB

j. Operasi selesai : 19.30 WIB

G. Monitoring

Jam (WIB) TTV Keterangan


17.00 TD : 125/72 mmHg Pasien masuk
HR : 65x/menit kamar operasi
SpO2 : 100 % Pasien dipasang
Tensi Meter
dan Oxymetri
Perbaikan
infus
17.00 TD : 125/80 mmHg  Persiapan operasi
 Bucain 12,5 mg/
HR : 92 x/menit Spinal
SpO2 : 100 x/menit  Morfine 10 mg/
Spinal

17.10 TD : 110/76 mmHg  Operasi dimulai


 PCT 1gr
HR : 90 x/menit  Metoclopramide
SpO2 : 100 x/menit 10mg
 Tramadol 100mg
 Dexamethasone
10mg
17.20 TD : 80/66 mmHg Operasi
HR : 88 x/menit berlangsung
SpO2 : 100 x/menit  Epedrin 150mg
s.d 20.00
17.22 TD : 83/63 mmHg Operasi
HR : 71 x/menit berlangsung
SpO2 : 100 x/menit  KTM 150mg s.d

;
20.10

17.56 TD : 77/58 mmHg Operasi


HR : 71 x/menit berlangsung
SpO2 : 100 x/menit  Norephinep 0,01
 18.20 (0,5)

17.57 TD : 128/83mmHg Induksi obat


HR : 60x/menit Fentanyl 2 cc (100 mg),
SpO2 : 100 % Propofol 10 cc (100 mg),
Atracurium (25 mg)
Sevofluran, O2,
N2O (induksi
inhalasi) 2L
17.58 TD : 106/60 Operasi berlangsung
mmHg  Sevoflurane stop
 KTM 50mg
HR : 77 x/menit
SpO2 : 100 %
18.00 TD : 115/63 Operasi berlangsung
mmHg  Atropine Sulfate 1 amp
HR : 76 x/menit
SpO2 : 100 %
18.20 TD : 139/72 Operasi berlangsung
mmHg  Dopamin 5 mcg
HR : 82 x/menit
SpO2 : 100 %
18.40 TD : 115/60 Operasi berlangsung
mmHg Albumin 1fls 20%
HR : 79 x/menit
SpO2 : 100 %
18.41 TD : 117/63 Operasi berlangsung
mmHg  Natrium Bikarbonat 1fls
HR : 82 x/menit  Ca Glukonat 1fls
SpO2 : 100 %
18.50 TD : 113/65 Operasi berlangsung
;
mmHg  Atropine Sulfate 1 amp
HR : 80 x/menit
SpO2 : 100 %

;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTHESIA)

A. Definisi

Anestesi umum adalah menghilangkan kesadaran dengan pemberian


obat-obat tertentu, tidak merasakan sakit walaupun diberikan
rangsangan nyeri, dan bersifat reversibel. Kemampuan untuk
mempertahankan fungsi ventilasi hilang, depresi fungsi neuromuskular,
dan juga gangguan kardiovaskular (ASA, 2019). Pasien membutuhkan
bantuan untuk mempertahankan jalan napas dan pemberian ventilasi
tekanan buatan. Sering kali kita bertanya tanya dengan istilah sedasi
dan anestesi. Perbedaan sedasi dan anestesi kami tampilkan pada Tabel
1.1.
Tabel 2.1 Tanda-tanda klinis perbedaan sedasi dan anestesi
umum.

Sumber: ASA, 2019


Tujuan utama anestesi umum adalah untuk mencapai:
1) Hipnosis (hilangnya kesadaran).

2) Analgesia (hilangnya rasa sakit).

;
3) Arefleksia (hilangnya refleks–refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien).
4) Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan
memfasilitasi intubasi trakeal.
5) Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).1

B. Macam-macam teknik anestesi umum

Ada beberapa macam teknik anestesi umum, yaitu anestesi inhalasi


dan anestesi intravena. Cara memberikan anestesi inhalasi dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu dengan masker intubasi, dan
Laryngeal Mask Airway (LMA). Metode inhalasi adalah obat anestesi
diberikan dalam bentuk gas yang masuk ke paru-paru dibantu dengan
alat selang endotrakeal, LMA, atau ditutup dengan sungkup/masker.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi dimasukkan melalui
injeksi intravena. Jalan napas pasien juga tetap perlu diaman pada saat
memberikan obat-obat anestesi intravena.
Anestesi merupakan tingkat kesadaran pasien setelah diberikan
obat-obat anestesi di mana tidak dapat mempertahankan jalan napasnya
dengan baik sehingga walaupun kita memberikan anestesi umum
dengan metode intravena maka perlu juga dilakukan intubasi untuk
memasangkan jalan napas selang endotrakeal, pemasangan LMA, dan
pemberian sungkup atau masker. Dasar yang dipergunakan untuk
memilih kapan kita memilih intubasi, LMA, atau sungkup adalah
multifaktorial. Beberapa alasan yang digunakan sebagai dasar
pemilihan intubasi, sungkup, atau LMA di antaranya adalah karena
jenis tindakan pembedahan yang ekstensif maka mungkin memerlukan
intubasi. Operasi yang berlangsung singkat, tidak berisiko terhadap
jalan napas, mungkin cukup dengan memasang LMA atau sungkup.

C. Tanda-Tanda Klinis Tahapan Anestesi Umum

Pemeriksaan fisik pada masa lampau adalah satu-satunya petunjuk


tentang kedalaman anestesi pasien, overdosis anestesi yang dilakukan.

;
oleh ahli anestesi yang tidak berpengalaman dengan mudah terjadi.
Pada abad ke-20, komunitas anestesi mengembangkan pendekatan yang
sistematis untuk pemantauan. Pada tahun 1937, Dr. Arthur Guedel
menciptakan salah satu sistem keamanan pertama dalam anestesiologi
dengan bagan yang menjelaskan tahapan anestesi dengan kedalaman
yang meningkat mulai dari tahap ke 1 hingga ke 4.
Klasifikasi Guedel masih digunakan meskipun obat anestesi dan
teknik pengiriman lebih baru yang menyebabkan onset lebih cepat dan
pemulihan dari anestesi umum (dan dalam beberapa kasus menghindari
tahap tertentu seluruhnya). Sistem ini dirancang untuk digunakan
dengan agen anestesi inhalasi tunggal (eter) pada pasien yang diberi
pengobatan sebelumnya dengan morfin dan atropin.
Salah satu tujuan anestesi modern adalah memastikan kedalaman
anestesi yang memadai untuk mencegah kesadaran anpa sengaja
membebani pasien dengan obat yang kuat. Salah satu capaian anestesi
modern adalah kemampuannya dalam memantau kedalaman anestesi.
Tabel 2.2 Metode Menilai Kedalaman Anestesi

Gambar 2.1 Tahapan kedalaman anestesi menurut Guedel.

;
Gambar 2.2 menjelaskan tentang sebagai berikut.

Tahap 1:Analgesia dan amnesia. Dari induksi anestesi umum hingga


hilangnya kesadaran.
Tahap 2:Delirium dan tidak sadarkan diri. Dari kehilangan
kesadaran hingga permulaan pernapasan otomatis.
Tahap 3:Anestesi bedah. Dari pernapasan otomatis hingga kelumpuhan
pernapasan (empat bidang kedalaman).
Tahap 4:Dari apnea (berhenti bernapas) sampai kematian.
Tahapan anestesi berdasarkan klasifikasi Guedel
1) Tahap 1-Analgesia atau disorientasi

Tahap ini dapat dimulai di area penahanan anestesiologi


praoperasi di mana pasien diberi obat dan mungkin mulai merasakan
efeknya, tetapi belum menjadi tidak sadar. Tahap ini biasanya
digambarkan sebagai "tahap induksi." Pasien dibius, tetapi masih
bisa melakukan percakapan. Pernapasan lambat dan teratur. Pada
tahap ini, pasien berkembang dari analgesia bebas amnesia menjadi
analgesia dengan amnesia bersamaan. Tahap ini berakhir dengan
hilangnya kesadaran.
2) Tahap 2-Kegembiraan atau delirium

Tahap ini ditandai dengan fitur-fitur, seperti disinhibition,

;
delirium, gerakan tidak terkontrol, hilangnya refleks bulu mata,
hipertensi, dan takikardia. Refleks jalan napas tetap utuh selama fase
ini dan sering kali hipersensitif terhadap stimulasi. Manipulasi jalan
napas selama tahap anestesi harus dihindari termasuk penempatan
dan pelepasan tabung endotrakeal dan manuver penyedotan yang
dalam. Pada tahap ini, ada risiko lebih tinggi terjadinya spasme
laring (penutupan pita suara tak disengaja) yang dapat diperburuk
oleh manipulasi saluran napas. Akibatnya, kombinasi gerakan
kejang, muntah, serta pernapasan yang cepat dan tidak teratur yang
dapat mengganggu jalan napas pasien. Agen yang bertindak cepat
dapat membantu mengurangi waktu yang dihabiskan di tahap 2 dan
dapat segera masuk ke tahap 3.
3) Tahap 3-Bedah anestesi

Tahap 3 adalah tingkat anestesi yang ditargetkan untuk prosedur


yang memerlukan anestesi umum. Gerakan mata yang terhenti dan
depresi pernapasan adalah ciri khas dari tahap ini. Manipulasi jalan
napas aman pada level ini. Ada empat bidang yang dijelaskan unt
tahap ini. Selama bidang 1, masih ada pernapasan spontan teratur,
pupil terbatas, dan pandangan sentral. Namun, refleks kelopak mata,
konjungtiva, dan menelan biasanya menghilang di bidang ini.
Selama bidang 2, terjadi penghentian respirasi secara intermiten
bersamaan dengan hilangnya refleks kornea dan laring. Gerakan
mata terhenti dan peningkatan lakrimasi juga dapat terjadi. Bidang 3
ditandai dengan relaksasi lengkap otot interkostal dan perut serta
hilangnya refleks cahaya pupil. Bidang ini disebut sebagai "anestesi
bedah sejati" karena bidang ini merupakan kondisi ideal untuk
sebagian besar operasi. Bidang 4 ditandai dengan respirasi yang
tidak teratur, gerakan tulang rusuk paradoks, dan kelumpuhan
diafragma penuh yang mengakibatkan apnea.
4) Tahap 4-Overdosis

Tahap ini terjadi ketika terlalu banyak agen anestesi yang


diberikan terhadap jumlah rangsangan pembedahan dan dapat
mengakibatkan pemburukan otak yang sudah parah atau depresi

;
meduler. Tahap ini dimulai dengan penghentian pernapasan dan
diakhiri dengan kematian. Pada tahap ini, otot rangka dalam keadaan
lembok serta pupil tetap dan melebar. Tekanan darah jauh lebih
rendah dari biasanya dengan denyut nadi lemah dan sudah berdenyut
karena penekanan pompa jantung dan vasodilatasi di aliran darah
perifer Tahap ini mematikan tanpa ada dukungan kardiovaskular dan
mentransmisikan pasien secepat mungkin ke anestesi stadium/ tahap
3 dan menahannya selama operasi berlangsung.

D. Manajemen Peri-Operatif

1) Periode Pra-Bedah

Pada periode ini tujuan utamanya adalah mencari kemungkinan


penyulit anestesia atau tindakan pembedahan. Harus diketahui
riwayat kesehatan pasien dan pemakaian obat- obatan. Beberapa obat
harus diteruskan hingga pagi sebelum operasi, namun ada pula obat
yang sudah harus dihentikan pemberiannya satu minggu sebelum
pembedahan.
Salah satu yang dapat menyebabkan penyulit anestesia adalah
kelainan anatomi, terutama anatomi jalan nafas. Kelainan fungsi
tubuh dan penyakit penyerta juga perlu diketahui karena akan
berhubungan dengan pilihan teknik dan obat anestetik. Penyakit
kardiovaskular adalah di antara kelainan perioperatif yang sering
menimbulkan komplikasi perioperatif. Penyakit lain yang sering
menimbulkan morbiditas bahkan mortalitas perioperatif adalah
penyakit paru, ginjal dan diabetes. Infeksi akut harus diatasi dulu
sebelum operasi elektif. Infeksi kronik yang masih aktif pun perlu
disikapi dengan hati-hati. Berkonsultasi dengan ahlinya merupakan
pilihan yang tepat. Harus pula diketahui biohazard lain pada pasien,
misalnya hepatitis B, HIV, sifilis dan lain-lain.
Secara garis besar, di bawah ini adalah hal-hal yang biasa
dikerjakan ketika melakukan kunjungan pra anestesia:
a) Anamnesis

 dentitas pasien.
;
 Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pengobatan, riwayat
alergi.
 Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok,
minum alkohol atau penggunaan obat-obat rekreasional
(misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
 Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi. Hal
ini perlu ditanyakan dengan berhati-hati namun seksama,
terutama pada pasien dewasa muda yang akan menjalani
operasi muskuloskeletal atau memiliki kelainan sistem
muskuloskeletal.
b) Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan tanda-tanda vital

 Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi dapat


diperkirakan dari bentuk wajah. Leher pendek dan kaku, jarak
tiro-mental, lidah besar, maksila yang protrusif, gigi geligi
yang goyah dan sebagainya.
 Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah
duduk atau menggunakan bantal yang tinggi), frekuensi nafas,
jenis pernafasan dan tingkat saturasi HbO, dari pulse oxymeter.
Pengamatan dan pemeriksaan ini penting karena terkadang
pasien mengaku tidak sesak.
 Auskultasi dada selain untuk mendengarkan bunyi nafas atau
bunyi nafas tambahan, juga untuk mendeteksi murmur jantung
dan bunyi abnormal lain.
c) Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan tambahan harus sesuai indikasi. Rutinitas


pemeriksaan laboratorium darah tepi pada orang sehat seharusnya
sudah ditinggalkan. Sebaliknya, tidak dibenarkan juga
mengesampingkan pemeriksaan EKG atau foto X-ray toraks
semata-mata karena pasien berusia muda. Beberapa pemeriksaan
penting seringkali tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
(biaya, sumberdaya dan sebagainya). Dalam hal ini, perlu

;
dilakukan penjelasan dan pencatatan tentang hal tersebut. Hal ini
penting untuk menghindari masalah medikolegal.
d) Status Fisik

Klasifikasi status fisis yang disusun oleh American Society of


Anesthesiologists (ASA) telah dikenal dan digunakan secara luas
di dunia.
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga

aktifitas rutin terbatas.

ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat


melakukan aktifitas rutin penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.
ASA VI : Pasien dengan “Brain Dead” yang organnya akan

diambil untuk didonorkan.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat


dengan mencantumkan tanda darurat (E-EMERGENCY),
misalnya ASA IE atau IIE Pengosongin lambung untuk anestesia
penting untuk mencegah aspirasi lambung karena regurgitasi atau
muntah. Pada pembedahan elektif pengosongan lambung
dilakukan dengan puasa anak dan dewasa 4-6 jam, bayi 3-4 jam.
Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan
dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida
(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin)
Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh

;
perlu dipasang kateter Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah. periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
e) Puasa

Salah satu rutinitas yang dilakukan pada periode ini adalah


menentukan waktu puasa bagi pasien. Lamanya puasa hendaknya
disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisis dan rencana
operasinya. Pada umumnya pasien dewasa memerlukan waktu 6-8
jam untuk mengosongkan lambung dari makanan padat. Anak
besar perlu 4-6 jam, sedangkan anak kecil dan bayi 4 jam. Cairan
bening (clear fluid) boleh diminum sedikit-sedikit, hingga dua
jam prabedah. Pada pasien pediatrik, harus diterangkan kepada
orang tuanya bahwa susu digolongkan setara makanan padat.
Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah demi
keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya pneumonia
aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap kondisi
dehidrasi (misalnya pasien polisitenia), perlu dipertimbangkan
memberikan cairan intravena selama periode puasa ini.
f) Pramedikasi

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan


memberikan obat-obat pendahuluan yang terdiri dari obat-obat
golongan antikholinergik, sedatif/trankuilizer dan analgetik.
Pemberian premedikasi harus didasari tujuan, indikasi dan pilihan
yang tepat. Tujuan Premedikasi sangat beragama, diantaranya :
1) Mengurangi kecemasan dan ketakutan

2) Memperlancar induksi dan anesthesia

3) Mengurangi sekresi ludah dan broncus

4) Meminimalkan jumlah obat anesthetic

5) Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah

6) Menciptakan amnesia

7) Mengurangi isi cairan lambung

;
8) Mengurangi reflek yang membahayakan.

Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:

1. Obat antikolinergik

2. Obat penenang

3. Obat analgetik narkotik

a. Obat Golongan Antikholinergik.

Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang


berkhasiat menekan/ menghambat aktivitas kholinergik atau
parasimpatis.
Tujuan utama pemberian obat golongan antikholinergik
untuk premedikasi adalah
1. Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna dan
saluran nafas.
2. Mencegah spasme laring dan bronkus.

3. Mencegah bradikardi

4. Mengurangi motilitas usus

5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas


Obat golongan antikholonergik yang digunakan dalam
praktik anestesia adalah preparat alkaloid belladona, yang
turunnya adalah:
1. Sulfas atropin

2. Skopolamin

 Mekanisme kerja

Menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada organ


yang diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau
serabut saraf yang mempunyai neurotransmiter asetil kholin.
Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara
kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel
efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan
otot jantung. Khasiat sulfas atropin lebih dominan pada otot
;
jantung, usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih
dominan pada iris, korpus siliare dan kelenjar.

 Efek terhadap susunan saraf pusat.

Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf


pusat, sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi
sehingga menim bulkan rasa ngantuk, euforia, amnesia dan
rasa lelah.
 Efek terhadap respirasi

Menghambat sekresi kelanjar pada hidung, mulut, faring,


trakea dan bronkus, menyebabkan mukosa jalan nafas
kekeringan, menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan
bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar akan
menyebabkan volume ruang rugi bertambah.
 Efek terhadap kardiovaskular

Menghambat aktivitas vagus pada jantung, sehingga


denyut jantung meningkat, tetapi tidak berpengaruh langsung
pada tekanan darah. Pada hipotensi karena refleks vagal,
pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah.
 Efek terhadap saluran cerna.

Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa


kering dan sulit menelan, mengurangi sekresi getah lambung
sehingga, keasaman lambung bisa dikurangi. Mengurangi
tonus otot polos sehingga motilitas usus menurun.
 Efek terhadap kelenjar keringat.

Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga


menyebabkan kulit kering dan badan terasa panas akibat
pelepasan panas tubuh terhalang melalui proses evaporasi.
 Cara pemberian dan dosis.

1. Intramuskular, dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan 30-45


menit sebelum induksi.
2. Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10

;
sebelum induksi.

 Kontra Indikasi

Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang


men derita: demam, takikardi, glukoma dan tirotoksikasis.
 Kemasan dan sifat fisik.

Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung 0,25 dan


0,50 mg, tidak berwarna dan larut dalam air.
b. Obat Golongan Sedatif/Trankuilizer

Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat


anti cemas dan menimbulkan rasa kantuk.
Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk membe
rikan suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa
cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan
lingkungannya.
Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang
sering digunakan adalah:
1. Turunan fenothiazin

2. Turunan benzodiazepine

3. Turunan butirofenon

4. Turunan barbiturat

5. Antihistamin

1. Turunan fenothiazin.

Derivat fenothiasin yang banyak digunakan untuk


premedikasi adalah prometazin. Obat ini pada mulanya
digunakan sebagai anti histamin.
 Khasiat farmakologi.

 Terhadap saraf pusat.

Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada


formasio retikularis dan hipotalamus menekan
pusat muntah dan mengatur suhu obat ini
;
berpotensi dengan sedatif lainnya.

 Terhadap respirasi.

Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas


dan mengham bat sekresi kelenjar.
 Terhadap kardiovaskular.

Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat


memperbaiki perfusi jaringan.
 Terhadap saluran cerna efek lain.

Menurunkan peristaltik usus, mencegah spasme


dan mengurangi sekresi kelenjar. Efek lainnya
adalah menekan dekresi katekolamin dan sebagai
antikholinergik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat
prome thazin sebagai obat premedikasi adalah sebagai:
sedatif, antiemetik, antikhonergik, antihistamin,
bronkodilator dan anti piretika.
 Cara pemberian dan dosis.

1. Intramuskular dosis 1 mg/kg bb dan diberikan 30-


45 menit sebelum induksi
2. Intravena, dengan dosis 0,5 mg/kg bb diberikan 5-
10 menit sebelum induksi
 Kemasan dan sifat fisik

Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung


50 mg. Tidak berwarna dan larut dalam air.
2. Turunan benzodiazepin.

Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk


preme dikasi adalah diazepam dan midazolam. Derivat
yang lain adalah: klordiazepoksid, nitrazepam dan
oksazepam.
 Khasiat farmakologi.

 Terhadap saraf pusat dan medula spinalis.


;
Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang
bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS serta
bisa menimbulkan amnesia antero grad. Sebagai
obat anti kejang yang bekerja pada kornu anterior
medula spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis
kecil bersifat sedatif, sedangkan dosis tinggi sebagai
hipnotik.
 Terhadap respirasi

Pada dosis kecil (0,2 mg/kgbb) yang diberikan


secara intravena, menimbulkan depresi ringan yang
tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik
menimbulkan depresi nafas yang lebih berat.
 Terhadap kardiovaskular.

Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada


kontraksi maupun denyut jantung, akan tetapi pada
dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan
oleh efek dilatasi pembuluh darah.
 Terhadap saraf-otot.

Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang


bekerja di tingkat supra spinal dan spinal, sehingga
sering digunakan pada pasien yang menderita
kekakuan otot rangka seperti pada tetanus.
 Penggunaan klinis.

Dalam praktik anestesia obat ini digunakan sebagai:

1) Premedikasi, diberikan intramuskular dengan


dosis 0,2 mg/kg BB atau peroral dengan dosis
5-10 mg.
2) Induksi, diberikan intravena dengan dosis 0,2-
0,6 mg/kg BB
3) Sedasi pada analgesia regional, diberikan
intravena
4) Menghilangkan halusinasi pada pemberian
;
ketamin.
Penggunaan lainnya, adalah:

1) Antikejang pada kasus-kasus epilepsi, tetanus


dan eklamsi
2) Sedasi pasien rawat nginap

3) Sedasi pada tindakan kardioversi atau


endoskopi.
Pada pemberian intramuskular atau intravena,
obat ini tidak bisa dicampur dengan obat lain karena
bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih
sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah
flebitis. Pemberian intramuskular kurang disenangi
oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah
suntikan.
 Kemasan.

Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam


ampul 2 ml yang mengandung 10 mg, berwarna
kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam.
Kemasan oral dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg,
disamping itu ada kemasan supositoria atau pipa
rektal (rectal tube) yang diberikan pada anak-anak.
Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah
hanya dalam bentuk larutan tidak berwarna, mudah
larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5
ml) yang mengandung 5 mg/ml.

3. Turunan butirofenon.

Derivat ini disebut juga sebagai obat golongan


neroleptika, karena sering digunakan sebagai neroleptik.
Derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat
premedikasi adalah dehidro benzperidol atau populer
disebut DHBP.

;
 Efek farmakologi.

 Terhadap saraf pusat

Berkhasiat sebagai sedatif atau trankuilizer.


Disamping itu mempunyai kasiat khusus sebagai anti
muntah yang bekerja pada pusat muntah di
"chemoreceptor trigger zone". Efek samping yang
tidak dikehendaki adalah timbulnya rangsangan
ekstrapiramidal sehingga menimbulkan gerakan tak
terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi dengan
pemberian obat antiparkinson.
 Terhadap respirasi.

Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi


pembuluhi darah rongga hidung. Juga menimbulkan
dilatasi pembuluh darah paru sehingga indikasi kontra
pada pasien asma.
 Terhadap sirkulasi.

Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah


perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti syok.
tekanan darah akan turun tetapi perfusi dapat
dipertahankan selama volume sirkulasi adekuat.
Penggunaan klinik.

1) Premedikasi, diberikan intramuskular, dosis


0,1 mg/kg/bb
2) Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia
regional
3) Anti hipertensi

4) Anti muntah

5) Suplemen anestesia.

 Kemasan.

Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung


2,5 mg/ml Tidak berwarna dan bisa dicampur dengan
;
obat lain.

4. Turunan barbiturat.

Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai


obat preme dikasi adalah: pentobarbital dan sekobarbital.
Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah,
terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim,
menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi.
Sebagai premedikasi diberikan intramuskular dengan
dosis 2 mg/kg BB atau peroral.
5. Siapkan antihistamin.

Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai


premedikasi adalah derivat defenhidramin.
Khasiat yang diharapkan adalah: sedatif, antimuntah
ringan dan antipiretk, sedangkan efek sampingnya adalah
hipotensi yang sifatnya ringan.
c. Golongan Analgetik Narkotik atau Opioid

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid,


dibedakan menjadi 3 kelompok:
1. Alkaloid opium (alami): morfin dan kodein

2. Turunan semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin,


oksi morfon, hidrokodon dan oksikodon.
3. Turunan sintetik

i. Fenilpiperidine petidin, fentanil, sulfentanil dan


alfentanol.
ii. Benzmorfans: Pentazosin, fenazosin dan siklazosin.

iii. Morfinans: lavorvanol

iv. Propionanilides: metadon

v. Tramadol

Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada


reseptor reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor,
yaitu:
;
1. Reseptor Mu.

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini.


Stimulasi pada reseptor ini akan menimbulkan analgesia,
rasa segar, euforia dan depresi respirasi.
2. Reseptor Kappa

Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi


dan anestesia. Morfin bekerja pada reseptor ini.
3. Reseptor Sigma.

Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan


disforia, halu sinasi, pupil midriasis dan stimulasi
respirasi.
4. Reseptor Delta.

Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui


dengan jelas. Diduga memperkuat reseptor Mu.Golongan
narkotik yang sering digunakan sebagai obat preme
dikasi adalah: petidin dan morfin. Sedangkan fentanil
digunakan sebagai suplemen anestesia.
 Efek farmakologi.

 Terhadap susunan saraf pusat.

Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan


substansia gelatinosa medula spinalis, disamping itu,
narkotik juga mempunyai efek sedasi
 Terhadap respirasi.

Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi


dan orang tua. Efek ini semakin manifes pada keadaan
umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan
seksama dalam peng gunaannya. Namun demikian efek ini
dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson.Terhadap
bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus,
sedangkan morfin menimbulkan konstriksi akibat
pengaruh pele pasan histamin.

;
 Terhadap sirkulasi.

Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi, sehingga


cukup. aman diberikan pada semua pasien kecuali bayi
dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewati
barier plasenta sehingga bisa menimbulkan defresi nafas
pada bayi baru lahir.
 Terhadap sistem lain.

Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme


spinter kandung empedu sehingga menimbulkan kolik
abdomen. Morfin merangsang pelepasan histamin
sehingga bisa menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau
minimal pada daerah hidung, sedangkan petidin, pelepasan
histaminnya bersifat lokal ditempat suntikan.
 Penggunaan klinik.

Morfin mempunyai kekuatan 10 (sepuluh) kali


dibandingkan dengan petidin, ini berarti bahwa dosis
morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100
kali dari petidin.
Analgetik narkotik digunakan sebagai:

1. Premedikasi: petidin diberikan intramuskular dengan


dosis 1 mg/kg bb atau intravena 0,5 mg/kg bb,
sedangkan morfin sepersepuluhnya dari petidin,
sedangkan fentanil seperseratus dari petidin.
2. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri
akut/kronis, diberikan sistemik atau regional
intratekal/epidural.
3. Suplemen anestesia atau analgesia.

4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnostik lain

5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif.

 Kontra Indikasi.

Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua


;
atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh
diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat penghambat
monoamin oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.
Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi
1. Memperpanjang masa pulih anestesia.

2. Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa henti nafas

3. Pupil miosis

4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin

5. Kolik abdomen akibat spasme sfinter kandung empedu

6. Mual muntah dan hipersalivasi

7. Gatal-gatal seluruh tubuh

Penanggulangan efek samping ini dilakukan dengan jalan


mem berikan bantuan hidup dasar dan segera memberikan obat
penawar.
Catatan.

 Toleransi dan adiksi.

Toleransi adalah suatu kondisi pasien yang memerlukan


dosis lebih besar dari dosis sebelumnya untuk memperoleh
efek yang sama, sedangkan adiksi adalah kondisi pasien yang
mengalami ketergantungan terhadap morfin. Kedua kondisi ini
disebabkan karena pemakaian berulang dan dalam jangka
waktu lama.
 Sindrom Abstinensia

Apabila seorang pemadat morfin, dihentikan pemberiannya


secara mendadak, maka akan terjadi "sindrom withdrawal"
yang akan muncul dalam 10-12 jam setelah pemakaian obat
dihentikan. Gejala-gejalanya adalah: menguap, ingusan,
berkeringat, gelisah, lakrimasi, sukar tidur, pupil midriasis,
kram, mual-muntah dan diare. Gejala ini mencapai puncak
dalam waktu 72 jam dan mereda setelah 7-10 hari.

;
 Kemasan.

1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung


50mg/ml tidak berwarna.

2. Fentanil dikemas steril dalam bentuk ampul 2 dan 10 ml


tiap ml mengandung 50 µg.
3. Morfin dalam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau
20 mg, tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.
Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat premedikasi ini
di campur dalam satu spuit kecuali diazepam, dan disuntikkan
secara intramuskular. Pemberian dengan cara ini dimaksudkan
untuk mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan
terpisah, pasien akan disuntik sebanyak tiga kali, keadaan ini
tidak mengenakkan pasien.
2. Periode Intra Bedah

a. Persiapan Anestesia

Hal pertama yang harus dilakukan ketika masuk ruang bedah


adalah memastikan sumber listrik terpasang pada peralatan
elektronik. Lampu ruangan, mesin anestesia, berbagai alat
pantau, mesin penghangat tempat tidur/blanket roll, infusion
pumps, syringe pumps, defibrilator dan sebagainya adalah
peralatan elektronik yang harus dipastikan berfungsi.
Sumber gas, terutama O2, harus disambungkan dengan
mesin anestesia. Setelah semua gas diperiksa, harus dipastikan
tidak ada kebocoran pada sirkuit nafas. Diperiksa juga kondisi
APL valve (adjustable pressure-limiting valve), yaitu katup
yang dapat diatur untuk mengeluarkan gas ke udara luar jika
tekanan di sirkuit nafas telah tinggi. Nama lain katup ini banyak,
di antaranya pressure relief valve, pressure valve, pop-off valve,
safety relief valve, expiratory valve, blow-off valve, excess gas
valve, overspill valve, venting port.
Berikutnya adalah menyiapkan STATICS (akronim untuk
mudah mengingat kelengkapan alat-alat yang disediakan

;
sebelum anesthesia).
- S : Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop,
Laringoskop harus diperiksa lampunya cukup terang atau
tidak. Stetoskop diperlukan untuk konfirmasi bunyi nafas
paru kanan-kiri setelah intubasi endotrakeal. Stetoskop juga
kadang ditempeikan di dinding dada dekat apeks jantung,
untuk memantau intensitas dan irama denyut jantung.
- T: Tubes. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT).
ETT disiapkan dengan ukuran yang sesuai, disertai satu
ukuran di bawahnya dan satu ukuran di atasnya,
- A: Airway. Yang dimaksud dengan airway adalah alat-alat
untuk menahan lidah agar tidak "jatuh", yaitu pipa
orofaringeal Guedel atau pipa nasofaringeal.
- T: Tapes. Tapes adalah pita atau plester yang akan
digunakan untuk memfiksasi ETT nantinya.
- I : Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang
dimasukkan ke dalam ETT untuk memudahkan tindakan
intubasi. Alat ini harus cukup fleksibel agar dapat diatur
lengkungnya, namun tidak boleh terlalu lembek karena akan
menjadi tidak berguna.
- C : Connector, yaitu penghubung antara ETT dengan sirkuit
nafas.
- S : Suction. Di samping mesin anestesia harus tersedia mesin
pengisap yang berguna untuk membersihkan jalan nafas
ketika laringoskopi-intubasi, selama anestesia berlangsung
dan menjelang atau sesudah ekstubasi.
Setelah STATICS dan perlengkapan lain siap, barulah
dapat disiapkan obal-obat yang kan digunakan Tidak
dianjurkan menyiapkan obat sebelum persiapan lain. Hal ini
menghindari reaksi obat yang tidak diharapkan pada pasien
sementara anestesiologis bersiap melakukan resusitasi.
b. Pemantauan dan Pencatatan

Pekerjaan terbesar seorang anestesiologis pada hakekatnya

;
adalah pemantauan yang dilakukan terus menerus, sejak pasien
tiba di ruang operasi hingga keluar dari ruang pulih. Terkadang
pemantauan dilanjutkan Jagi di ICU (Intensive Care Unit) atau
PACU (Post Anesthesia Care Unit), Selama operasi,
pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
3. Periode Pasca Bedah

Periode pascabedah merupakan tindak lanjut dari kondisi pra dan


intrabedah, Pasien PPOK perlu terus dipantau fungsi pernafasannya
sebelum dinyatakan layak untuk kembali ke ruang rawat. Pasien
yang mengalami hipotensi intraoperatif perlu dinilai seksama
hemodinamikanya. Pasien yang mengalami pendarahan intraoperatif
demikian pula, harus dipastikan kondisi hemodinamiknya baik.
Komunikasi antara anestesiologis, dokter bedah dan petugas di ruang
pulih adalah krusial. Jika dinilai kondisi pasien tidak memuaskan,
selayaknya diputuskan untuk memantau ketat seluruh fungsi tubuh di
tempat yang memiliki fasilitas lengkap, misalnya PACU atau ICU.
Pasien yang sejak prabedah sudah direncanakan menjalani
perawatan di ICU/ PACU, begitu operasi usai harus segera dibawa
menuju ruang tersebut, jika kondisinya memungkinkan. Semua
pasien yang tidak memerlukan perawatan intensif di ICU atau
PACU, harus diobservasi di ruang pulih. Pemantauan standar
dilakukan sesuai kriteria Aldrette. Sistem skor ini diciptakan oleh J.
Antonio Aldrette, seorang anestesiologis di USA. Kriteria Aldrette
original adalah:
Tabel 2.3 Kriteria Aldrette Score Original

;
Menurut penelitian Sudiono (2012) menyatakan bahwa pada
aldrete score kurang dari 7, menunjukkan bahwa pengaruh anestesi
masih kuat, sisa obat anestesi belum sepenuhnya hilang dari tubuh,
aldrete score 8-9, menunjukkan bahwa pasien sudah mulai stabil,
efek obat anestesi di dalam tubuh sudah mulai hilang/ berkurang ,dan
aldrete score 10 menunjukkan bahwa kondisi pasien secara umum
sudah mulai pulih.

E. Obat Anestesi Inhalasi

Obat anestesi inhalasi yang pertama dikenal dan digunakan untuk


membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul, Eter,
Klorofom, Etil-klorida, Etilen, Divinil-eter, Siklo-propan, Trikloro-
etilen, Iso-propenil-vinil-eter, Propenil-metil-eter, Flouroksan, Etil-
vinil-eter, Halotan, Metoksi-fluran, Enfluran, Isofluran, Desfluran,
dan Sevofluran.
Berdasarkan kemasannya, obat anestesia umum inhalasi ada 2 macam:

1. Obat anestesia umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah


menguap :
Derivat halogen hidrokarbon.

- Halothan

;
- Trikhloroetilen

- Khloroform b. Derivat eter

- Dietil eter

- Metoksifluran

- Enfluran

- Isofluran

2. Obat anestesia umum yang berupa gas

 Nitrous oksida (N2O)

 Siklopropan

Saat ini, anestesi inhalasi yang umum digunakan untuk


praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran
dan Sevofluran. Beberapa obat ditinggalkan, karena efek samping
yang tidak dikehendaki misalnya :
 Eter: Kebakaran, peledakan, sekresi bronkus berlebihan,
mual-muntah, kerusakan hepar, baunya merangsang.
 Klorofom: Aritmia, kerusakan hepar.

 Etil-Klorida: Kebakaran, peledakan, depresi jantung,indeks


terapi sempit, dirusak kapur soda.
 Triklor-etilen: Dirusak kapur soda, bradi-aritmia,mutagenik.

 Metoksifluran: Toksis terhadap ginjal, kerusakan hepar


dan kebakaran.
Halotan

Halotan (floutan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan.


Cairan tidak berwarna, baunya yang enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi
dengan N2O. Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua)
supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%.
 Efek Farmakologi

1) Terhadap susunan saraf pusat

;
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di
semua komponen otak. Depresi di pusat kesadaran akan
menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik
menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada pusat
motorik akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan
vasodilatasi, sehingga aliran darah otak meningkat, yang
sulit dikendalikan dengan teknik hiperventilasi, dan hal ini
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat, dan oleh
karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada kraniotomi.
2) Terhadap sistem kardiovaskuler

Halotan menimbulkan depresi langsung pada “S-A


Node” dan otot jantung, relaksasi otot polos dan inhibisi
baroreseptor. Keadaan ini akan menyebabkan hipotensi
yang derajatnya tergantung dari dosis dan adanya interaksi
dengan obat lain, misalnya dengan tubokurarin.
Gangguan irama jantung sering kali terjadi, seperti
bradikardi, ekstrasistol ventrikel, takikatrdi ventrikel, bahkan
bisa terjadi fibrilasi ventrikel. Hal ini disebabkan karena
peningkatan eksitagen maupun eksogen serta adanya
retensi CO2.
Batas keamanan halotan terhadap kardiovaskuler
sangat sempit, maksudnya, konsentrasi obat untuk mencapai
efek farmakologi yang diharapkan sangat dekat dengan efek
depresinya.
3) Terhadap sistem respirasi

Pada konsentrasi tinggi, halotan akan menimbulkan


depresi pusat nafas, sehingga pola nafas menjadi cepat dan
dangkal, volume tidal dan volume nafas semenit menurun
dan menyebabkan dilatasi bronkus.
4) Terhadap ginjal

Halotan pada dosis lazim secara langsung akan


;
menurunkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, tetapi efek ini hanya bersifat sementara dan
tidak mempengaruhi autoregulasi aliran darah ginjal. Hasil

metabolitnya terutama bromidnya akan diekskresikan melalui


ginjal dan apabila terdapat gangguan fungsi ginjal,
ekskresinya akan terhambat sehingga akan terjadi
akumulasi.
5) Terhadap otot rangka

Halotan akan berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot


golongan non depolarisasi, sehingga pada pemakaian
kombinasi kedua obat ini, perlu dilakukan modifikasi dosis.
Pada saat persalinan normal, begitu juga pada seksio
sesaria.Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1vol%,
karena relaksasi uterus akan menimbulkan perdarahan.
6) Terhadap hati

Pada konsentrasi 1,5 vol%, halotan akan menurunkan


aliran darah pada lobulus sentral hati sampai 25-30%. Faktor-
faktor yang lain disamping halotan yang ikut berpengaruh
terhadap aliran darah, antara lain aktivitas sistem saraf
simpatis, tindakan pembedahan, hipoksia, hiperkarbia dan
refleks splangnik. Penurunan aliran darah pada lobulus
sentral ini menimbulkan nekrosis sel pada sentral hati yang
diduga sebagai penyebab dari “hepatitis post-halothane”.
Kejadian ini akan lebih bermanifes, apabila diberikan halotan
berulang dalam waktu yang relatif singkat.
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar
secara oksidasif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam
trikloro asetat. Secara reduktif menjadi komponen flourida
dan produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin.
Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja keras,
sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita
gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang
tiga bulan atau pada pasien kegemukan.
;
Kejadian “hepatitis post-halotane”, pertama kali

dilaporkan di USA pada tahun 1958, selanjutnya pada

tahun1966 diadakan penelitian besar-besaran untuk


membuktikan laporan tersebut. Dilakukan evaluasi pada
850.000 kasus pasien yang diberikan anestesi halotan.
Ternyata penelitian ini menyangkal anggapan bahwa halotan
menimbulkan nekrosis sel hati. Selanjutnya beberapa
percobaan laboratorium juga gagal membuktikan efek toksik
langsung halotan pada hepar. Jadi sikap yang disepakati pada
saat ini adalah bahwa mungkin saja terjadi nekrosis sel hati
setelah anestesia dengan halotan, tetapi mekanismenya
masih belum jelas.

7) Terhadap suhu tubuh

Induksi dengan halotan akan segera menurunkan suhu


sentral tubuh sebesar 1 derajat celcius, tetapi akan
meningkatkan suhu permukaan tubuh akibat redistribusi
panas tubuh ke permukaan. Selanjutnya pada periode
pemeliharaan anestesia, suhu permukaan pun akan turun
akibat dilatasi pembuluh darah seehingga terjadi pelepasan
panas tubuh.
8) Terhadap metabolisme glukosa

Halotan menghambat pelepasan insulin, meninggikan


kadar gula darah.
 Penggunaan Klinik

Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik


dalam pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek
hipnotik, halotan juga mempunyai efek analgetik ringan dan
relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang tidak
kooperatif, halotan digunakan untuk induksi bersama-sama
dengan N2O secara inhalasi.
Untuk mengubah cairan halotan menjadi uap, diperlukan

;
alat penguap (vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec,
halomix, copper kettle, dragger dan lain-lainnya.

 Dosis

1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada


udara inspirasi adalah 2,0-3,0% bersama-sama N2O.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopi
intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan
sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain
4% atau 10% disekitar faring laring. Setelah
beberapa menit lidokain kerja, umumnya
laringoskopi intubasi dapat dikerjakan dengan mudah,
karena relaksasi otot cukup baik.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar anatara 1,0-2,5%, sedangkan
untk nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.
 Kontra indikasi

Penggunaan halotan tidak dianjurkan pada pasien:

1. Menderita gangguan fungsi hati dan gangguan


irama jantung.
2. Operasi kraniotomi.

 Keuntungan Dan Kelemahan

1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak


intattif terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya
relatif cepat, tidak menimbulkan mual muntah dan tidak
meledak atau cepat terbakar.
2. Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit
(mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan
relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain. Selain itu juga menimbulkan hipotensi,
gangguan irama jantung dan hepatotoksik, serta
menimbulkan menggigil pasca anestesia.2

;
Enfluran

Enfluran (entran, aliran) merupakan obat anestesi inhalasi


halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cair, tidak berwarna, tidak
iritatif, berbau agak harum, tidak eksplosif, lebih stabil dibandingkan
dengan halotan dan induksinya lebih cepat dibandingkan dengan
halotan. Pertama kali diperkenalkan oleh Dobkin dkk pada tahun
1968 dan cepat populer setelah ada kecurigaan gangguan fungsi
hepar pada penggunaan ulang halotan.
 Biotransformasi

Hanya sekitar 2-8% dari dosis yang diberikan mengalami


metabolisme di hati, sebagian besar keluar secara utuh lewat
respirasi. Rendahnya daya larut dalam lemak menyebabkan
pemulihannya sangat cepat asal pasien tidak mengalami
depresi nafas. Produk metabolit enfluran berupa fluorida
organik dan anorganik.
 Efek Farmakologi

a. Terhadap susunan saraf pusat

Pada dosis tinggi menimbulkan “twitching” (tonik-klonik)


pada otot muka dan anggota gerak. Hal ini terutama dapat
terjadi bila pasien mengalami hipokapnea. Kejadian ini bisa
dihindari dengan mengurangi dosis obat dan mencegah
terjadinya hipokapnea. Obat ini tidak dianjurkan
pemakaiannya pada pasien yang mempunyai riwayat
epilepsi walaupun pada penelitian terbukti bahwa enfluran
tidak menimbulkan bangkitan epilepsi. Walaupun
menimbulkan vasodilatasi serebral, tetapi pada dosis kecil
dapat dipergunakan untuk operasi intrakranial karena tidak
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Terhadap sistem kardiovaskuler

Secara kualitatif efeknya sama dengan halotan. Walaupun


enfluran meningkatkan kepekaan otot jantung terhadap
katekolamin, tetapi pemakaian adrenalin sangat jarang
;
menimbulkan disritmia. Kombinasi dengan adrenalin 3 kali
lebih aman dibanding halotan.Enfluran menghambat
pelepasan katekolamin sehingga konsentrasinya pada
plasma rendah, pada saat anestesia dengan enfluran.
c. Terhadap sistem respirasi

Menimbulkan depresi respirasi sesuai dengan dosis


yang diberikan. Volume tidal berkurang tetapi frekuensi nafas
hampir tidak berubah. Tidak menimbulkan iritasi pada
mukosa jalan nafas sehingga komplikasi batuk, laringospasme
dan peningkatan sekresi kelenjar jalan nafas tidak terjadi.
d. Terhadap ginjal

Enfluran menurunkan aliran darah ginjal, menurunkan laju


filtrasi glomerolus dan akhirnya menurunkan diuresis.
Pemecahan enfluran menghasilkan metabolit fluorida
anorganik, tetapi konsentrasi dalam plasma tidak pernah
menccapai konsentrasi yang nefrotoksik. Walaupun demikian
harus berhati-hati menggunakan enfluran pada pasien yang
mempunyai gangguan fungsi ginjal.
e. Terhadap otot rangka

Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi


pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian
berpotensisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal
terutama pada operasai laparotomi.
f. Terhadap hati

Dilaporkan bahwa terjadi gangguan fungsi hati yang


ringan setelah pemakaian enfluran yang sifatnya reversibel.
g. Terhadap uterus

Menimbulkan depresi tonus otot uterus, namun respon


uterus terhadap oksitosin tetap baik selama dosis enfluran
rendah.
;
 Penggunaan Klinik

Sama seperti halotan, enfluran digunakan terutama


sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.
Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan
dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan anak-anak yang tidak
kooperatif, sangat baik digunakan untuk induksi bersama- sama
dengan N2O.
Untuk mengubah cairan enfluran menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus enfluran.
 Dosis

1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara


inspirasi adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.
 Kontra indikasi

Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal. Akhir-akhir ini


penggunaan enfluran relatif jarang karena efeknya terhadap
ginjal dan hati tersebut, seperti telah diuraikan di atas.
Keuntungan Dan Kelemahan.
5. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari
halotan, tidak menimbulkan mual muntah, dan tidak
menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak atau
terbakar
5. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang,
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain dan bisa
menimbulkan hipotensi.2

;
Isofluran

Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter, dikemas


dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak
mengandung zat pengawet, dan relatif tidak ralut dalam darah tapi
cukup iritatif terhadap jalan nafas sehingga pada saat induksi inhalasi
sering menimbulkan batuk dan tahanan nafas. Proses induksi dan
pemulihannya relatif cepat dibandingkan dengan obat-obat anestesi
inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih lebih lambat dibandingkan
dengan sevofluran.

 Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi,


hanya 0,2% dimetabolisme di dalam tubuh. Konsentrasi
metabolitnya sangat rendah, tidak cukup untuk menimbulkan
gangguan fungsi ginjal.
 Efek Farmakologi

a. Terhadap susunan saraf pusat

Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang


diberikan. Isofluran tidak menimbulkan kelainan EEG seperti
yang ditimbulkan oleh enfluran. Pada dosis anestesi tidak
menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum
serta mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh isofluran adalah penurunan
konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian isofluran
merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi,
karena tidak berperngaruh pada tekanan intrakranial,
mempunyai efek proteksi serebral dan efek metaboliknya
yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.
b. Terhadap sistem kardiovaskuler

Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah


lebih ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain.
Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama
;
anestesi. Dengan demikian isofluran merupakan obat pilihan
untuk obat anestesi pasien yang menderita kelainan
kardiovaskuler.
c. Terhadap sistem respirasi

Seperti halnya obat anestesi inhalasi yang lain, isofluran


juga menimbulkan depresi pernafasan yang derajatnya
sebanding dengan dosis yang diberikan.
d. Terhadap ginjal

Pada dosis anestesi, isofluran menurunkan aliran darah


ginjal dan laju fitrasi glomerulus sehingga produksi urin
berkurang, akan tetapi masih dalam batas normal.
e. Terhadap otot rangka

Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi


pusat motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian
berpotensiasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Walaupun demikian, masih diperlukan obat pelumpuh otot
untuk mendapatkan keadaan relaksasi otot yang optimal
terutama pada operasai laparatomi.
f. Terhadap hati

Isofluran tidak menimbulkan perubahan fungsi hati.


Sampai saat ini belum ada laporan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa isofluran hepatotoksik.
 Penggunaan Klinik

Sama seperti halotan dan enfluren, isofluran digunakan


terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi
umum. Disamping efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik
ringan dan relaksasi ringan.
Untuk mengubah cairan isofluran menjadi uap, diperlukan alat
penguap (vaporizer) khusus isofluran.
 Dosis

1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara

;
inspirasi adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.

2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan


konsentrasinya berkisar antara 1-2,5%, sedangkan untuk nafas
kendali berkisar antara 0,5-1%.
 Kontra indikasi

Tidak ada kontra indikasi yang unik. Hati-hati pada


hipovolemik berat.
 Keuntungan Dan Kelemahan

1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif


terhadap mukosa jalan nafas, pemulihannya lebih cepat dari
halotan, tidak menimbulkan mual muntah, dan tidak
menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak atau
terbakar. Penilaian terhadap pemakaian isofluran saat ini
adalah bahwa isofluran tidak menimbulkan guncangan
terhadap fungsi kardiovskuler, tidak megubah sensitivitas
otot jantung terhadap katekolamin, sangat sedikit yang
mengalami pemecahan dalam tubuh dan tidak menimbulkan
efek eksitasi SSP.
2. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang,
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.2
Desfluran

Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus


bangun dan efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah
menguap dibandingkan anestetik volatil lain, sehingga perlu
menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati
suhu ruangan (23.5oC). Potensinya rendah (MAC 6.0%).
 Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan melalui udara ekspirasi,


hanya <0,1% dimetabolisme oleh tubuh.
 Efek Farmakologis

Efek klinisnya hampir sama dengan isofluran. Hanya efeknya


;
terhadap respirasi dapat menimbulkan rangsangan jalan nafas
sehingga tidak dapat digunakan untuk induksi. Bersifat
simpatomimetik sehingga mengakibatkan takikardi, akan tetapi
tidak bermakna dalam meningkatkan tekanan darah. Efek
terhadap hepar dan ginjal sama dengan sevofluran.
 Penggunaan Klinik

Sama seperti agen volatil lainnya, desfluran digunakan


terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesia umum. Disamping efek hipnotik, desfluran juga
mempunyai efek analgetik yang ringan dan relaksasi otot
ringan.
 Dosis

1. Untuk induksi, disesuaikan dengan kebutuhan

2. Untuk pemeliharaan tergantung dengan racikan obat yang lain


dan disesuaikan dengan kebutuhan.
 Kontra indikasi

Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced


hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan Dan Kelemahan
1. Keuntungannya hampir sama dengan isofluran.

2. Kelemahannya adalah batas keamanannya sempit (mudah


terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.2
Sevofluran

Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter, dikemas dalam


bentuk cairan, tidak berwarna, tidak eksplosif, tidak berbau, stabil di
tempat biasa (tidak perlu tempat gelam), dan tidak terlihat adanya
degradasi sevofluran dengan asam kuat atau panas. Obat ini tidak
bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik untuk induksi
inhalasi.
Proses induksi dan pemulihannya paling cepat dibandingkan
dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini.
;
Sevofluran dapat dirusak oleh kapur soda tetapi belum ada laporan
yang membahayakan.
 Biotransformasi

Hampir seluruhnya dikeluarkan untuk melalui udara


ekspirasi, hanya sebagian kecil 2-3% dimetabolisme dalam
tubuh. Konsentrasi metabolitnya sangat rendah, tidak cukup
untuk menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
 Eliminasi

Eliminasi sevofluran oleh paru-paru kurang cepat


dibanding desfluran, tetapi masih lebih cepat dibanding
isofluran,enfluran, dan halotan. Sevofluran mengalami
metabolisme di hati (defluoronisasi) kurang dari 5%,
membentuk senyawa fluorine, kemudian oleh enzim glucuronyl
tansferase diubah menjadi fluoride inorganik dan fluoride
organik (hexafluoro isopropanol), dan dapat dideteksi dalam
darah serta uruin. Hexafluoro isopropanol akan terkonjugasi
menjadi produk tidak aktif, kemudian diekskresikan lewat urin.
Tidak ada pengaruh nyata pada fungsi ginjal dan tidak bersifat
nefrotoksik.
 Efek Farmakologi

a. Terhadap susunan saraf pusat

Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan


isofluran. Aliran darah otak sedikit meningkat sehingga
sedikit meningkatkan tekanan intrakranial. Laju
metabolisme otak menurun cukup bermakna sama dengan
isofluran. Tidak pernah dilaporkan kejadian kejang akibat
sevofluran.
b. Terhadap sistem kardiovaskuler

Sevofluran relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia.


Nilai ambang aritmogenik epinefrin terhadap sevofluran
terletak antara isofluran dan enfluran.

;
Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun,
sehingga tekanan darah sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC
sevofluran menyebabkan penurunan tahanan vaskuler
sistemik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-kira
20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada
pemakaian sevofluran lebih dari 2 MAC. Dibandingkan
dengan isofluran, sevofluran menyebabkan penurunan
tekanan darah lebih sedikit.
Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan
pada aliran darah koroner. Dilatasi arteri koroner yang
terjadi akibat sevofluran lebih kecil dibanding isofluran dan
tidak menimbulkan efek coronary steal, sehingga sevofluran
aman dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau
yang mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi
penelitian pada orang tua di atas 60 tahun, disebutkan
bahwa sebaiknya berhati-hati dlaam memberikan sevofluran
konsentrasi tinggi (8%) pada penderita hipertensi dan
riwayat penyakit jantung koroner dan iskemik.
Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung.
Mekanisme ini belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh
karenna penurunan aktifitas simpatis tanpa perubahan
aktifitas parasimpatis. Penelitian-penelitian menyebutkan
bahwa penurunan laju jantung tidak sampai menyebabkan
bradikardi, tetapi kejadian bradikardi pernah dilaporkan pada
bayi.
c. Terhadap sistem respirasi

Seperti halnya dengan obat anestesi inhalasi yang lain


sevofluran juga menimbulkan depresi pernapasan yang
derajatnya sebanding dengan dosis yang diberikan sehingga
volume tidal akan menurun, tapi frekuensi nafas sedikit
meningkat. Pada manusia, 1,1 MAC sevofluran
menyebabkan tingkat depresi pernafasan hampir sama

;
dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat depresinya lebih
dalam daripada halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus, tetapi tidak sebaik halotan.
d. Terhadap hepar dan ginjal

Tidak ada laporan tentang hepatotoksisitas klinis pada


manusia setelah penggunaan sevofluran oleh lebih dari dua
juta orang sejak tahun 1988. Sevofluran menurunkan aliran
darah ke hepar paling kecil dibandingkan dengan enfluran
dan halotan.
Ada beberapa bukti, sevofluran menurunkan aliran
darah ke ginjal dan meningkatkan konsentrasi fluoride
plasma, tetapi tidak ada bukti hal ini menyebabkan gangguan
fungsi ginjal pada manusia.
e. Terhadap otot rangka

Efeknya terhadap otot rangka lebih lemah dibandingkan


dengan isofluran. Relaksasi otot dapat terjadi pada anestesi
yang cukup dalam denga sevofluran. Proses induksi,
laringoskopi dan intubasi dapat dikerjakan tanpa bantuan
obat pelemas otot.
f. Terhadap uterus

Kontraksi uterus spontan dapat dipertahankan dengan


baik dan kehilangan darah minimal. Tidak terjadi efek buruk
pada bayi dan ibu. Penelitian Sharma dkk, menunjukkan
bahwa efek terhadap bayi, perubahan hemodinamik ibu dan
efek samping pasca bedah adalah sebanding antara
sevofluran dan isofluran.
 Penggunaan Klinik

Sama seperti agen volatil lainnya, sevofluran digunakan


terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesia umum. Disamping efek hipnotik, juga mempunyai
efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan

;
anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk
induksi.
Untuk mengubah cairan sevofluran menjadi uap,
diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus sevofluran.
 Dosis

1. Untuk induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara


inspirasi adalah 3,0-5,0% bersama-sama dengan N2O.
2. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk
nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
 Kontra indikasi

Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced


hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
Keuntungan Dan Kelemahan
1. Keuntungannya adalah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif
terhadap mukosajalan nafas, pemulihannya paling cepat
dibandingkan dengan agen volatil lain.
2. Kelemahannya adalah batas keamanan sempit (mudah
terjadi kelebihan dosis), analgesia dan relaksasinya kurang
sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.2
Nitrous Oksida (N2O)

Nitrous oksida ditemukan oleh Priestley pada tahun 1772,


kemudian pada tahun 1779, oleh Humphrey Davy menyatakan
bahwa N2O mempunyai efek anestesia. Pada tahun 1844 Cotton dan
Wells mempergunakannya dalam praktik klinik. Nitrous oksida lebih
populer dengan nama gas gelak. N2O adalah satu-satunya gas
inorganik yang masih dipakai dalam praktek anestesia.
N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan
konsentrasi besar (lebih dari 65%) agar efektif. Paling sedikit
20%atau 30% oksigen harus diberikan sebagai campuran, karena
konsentrasi N2O lebih besar dari 70-80% dapat menyebabkan
hipoksia. N2O tidak dapat menghasilkan anestesia yang adekuat

;
kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain, meskipun
demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi
yang menarik, yaitu koefisien partisi darah / gas yang rendah, efek
analgesi pada konsentrasi subanestetik, kecilnya efek kardiovaskuler
yang bermakna klinis, toksisitasnya minimal dan tidak
mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi baik untuk induksi
dengan masker.
Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain bersifat additif,
sehingga pemberian N2O dapat secara substansial mengurangi
jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan. Pemberian N2O
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar dari zat
anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat “efek gas kedua” dan
“efek konsentrasi” dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat gas
diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas
diinhalasi, maka semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas
tersebut. Seorang pasien menerima 70-75% N2O akan menyerap
sampai 1.000 ml/menit N2O saat fase awal induksi. Pemindahan
volume N2O dari paru ke darah, menyebabkan aliran gas segar
seperti disedot masuk dari mesin anestesi ke dalam paru-paru,
sehingga meningkatkan laju gas lain. Pasien menerima hanya 10-
25% N2O, pengambilan N2O oleh darah hanya 150 ml/menit, hal ini
tidak menghasilkan perubahan yang signifikan pada laju penyerapan
agen/gas lain. Efek gas kedua terjadi saat agen inhalasi kedua
diberikan bersama dengan N2O. efek ini berkaiatan dengan
pengambilan N2O yang cepat, sekitar 1.000 ml/menit saat induksi
anestesi. Pengambilan cepat volume N2O yang besar, menmbulkan
suat keadaan vakum di alveolus, sehingga memaksa lebih banyak
gas segar (N2O bersama dengan agen inhalasi lain) masuk ke dalam
paru-paru.
MAC bangun N2O adalah 65% diatas konsentrasi tersebut pasien
tidak sadar atau lupa terhadap tindakan pembedahan. Analgesia yang
dihasilakan oleh 50% N2O kira-kira sama dengan 10 mg morfin.

;
 Kemasan Dan Sifat Fisik

N2O dibuat dengan cara mereaksikan besi (Fe) dengan asam


nitrat, terbentuk nitrit oksida (NO), kemudian bereaksi
kemablidngan besi sehingga terbentuk N2O. Secara komersial,
N2O dihasilkan dari pemanasan kristal amonium nitrat pada
suhu 240oC dan akan terurai menjadi N2O dan H2O, dimana gas
yang dihasilkan ditampung, dipurifikasi dan dekompresi ke
dalam silinder metal warna biru pada tekanan 51 atm.
N2O merupakan gas yang tidak bewarna, berbau harum
manis, tdaik bersifat iritasi, tidak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak tetapi membantu proses kebakaran akibat gas lain
meskipun tidak ada oksigen. N2O mempunyai berat molekul 44,
titik didih 89oC dan umumnya disimpan dalam bentuk cair serta
tekanan kritis 71,7 atm, suhu kritis 36,5oC, berat jenis 1,5 (udara
1).
N2O tidak bereaksi dengan soda lime, obat anestesi lain dan
bagian metal peralatan tetapi bisa meresap dan berdifusi melalui
peralatan dari karet. Kelarutan N2O 15 kali lebih larut
dibandingkan dengan oksigen, mempunyai koefisien partisi darah
/ gas 0,47 dan koefisen partisi darah/otak 1,0.

 Absorpsi, Distribusi Dan Eliminasi

Absorbsi dan eliminasi nitrous oksida relatif lebih cepat


dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi lainnya, hal ini
terutama disebabkan oleh koefisien partisi gas darah yang rendah
dari N2O. total ambilan N2O oleh tubuh manusia diteliti oleh
Severinghause. Pada menit pertama, N2O (75%) dengan cepat
akan diabsorbsi kira-kira 1.000 ml/menit. Setelah 5 menit, tingkat
absorbsi turun menjadi 600 ml/menit, setelah 10 menit turun
menjadi 350 ml/menit dan setelah 50 menit tingkat absorbsinya
kira-kira 100 ml/menit, kemudian pelan-pelan menurn dan
akhirnya mencapi nol. Konsentrasi N2O yang diabsorbsi
tergantung antara lain oleh konsentrasi inspirasi gas, ventilasi

;
alveolar dan ambilan oleh sirkulasi, seperti koefisien partisi
darah/gas dan aliran darah (curah jantung).
N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.
Konsentrasi di jaringan adalah berbanding lurus dengan perfusi
per unit volume dari jaringan, lamanya paparan dan koefisien
partisi darah / jaringan zat tersebut. Jaringan dengan aliran
darah besar/banyak seperti otak, jantung, hati dan ginjal akan
menerima N2O lebih banyak sehingga akan menyerap volume gas
yang lebih besar. Jaringan lain dengan suplai darah sedikit seperti
jaringan lemak dan otot menyerap hanya sedikit N2O, ambilan
dan penyerapan yang cepat menyebabkan tidak terdapatnya
simpanan N2O dalam jaringan tersebut sehingga tidak
menghalangi pulihnya pasien saat pemberian N2O dihentikan.
N2O tidak atau sedikit mengalami biotransformasi dalam
tubuh, namun telah ditemukan bakteri anaerob yang
memetabolisir N2O dan menghasilkan radikal-radikal bebas
meskipun tidak terdapat bukti bahwa radikal-radikal bebas
tersebut menimbulkan kerusakan organ yang spesifik. N2O
dieliminasi melalui paru-paru dan sebagian kecil diekskresikan
lewat kulit.
Pada saat N2O dihentikan pemberiannya, N2O berdifusi
keluar dari darah dan masuk ke alveoli secepat difusinya ke dalam
darah saat induksi. Jika pasien dibiarkan menghirup udara
atmosfir saja pada saat tersebut akan mengalami hipoksia
difusi. Selama beberapa menit pertama pasien menghirup udara
atmosfir, sejumlah besar volume N2O berdifusi melalui darah ke
dalam paru-paru dan dikeluarkan lewat paru- paru. Kira-kira
sebanyak 1500 ml N2O dikeluarkan pada menit pertama oleh
pasien yang menerima N2O : O2 dengan rasio75% : 25%.
Jumlah tersebut menurun menjadi 1.200 ml pada menit ke dua
dan 1.000 ml pada menit ke tiga. Difusi N2O yang cepat dan
dalam jumlah besar ke dalam alveoli akan menyebabkna

;
pengenceran dan mendesak O2 keluar dari alveoli., sehingga
mudah terjadi hipoksia dan juga menyebabkan terjadinya
pemindahan volume CO2 yang lebih besar dari darah, sehinga
akan menurunkan tekanan CO2 dalam darah dan akan
memperberat hipoksia. Efek hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian 100% O2 selam minimal 3-5 menit pada
akhir operasi.
 Efek Farmakologi

a. Terhadap susunan saraf pusat

Berkhasiat analgesia dan tidak mempunyai khasiat


hipnotik. Khasiat analgesianya relatif lemah akibat
kombinasinya dengan oksigen. Pada konsentrasi 25% N2O
menyebabkan sedasi ringan. Peningkatan konsentrasi
menyebabkan penurunan sensasi perasaan khusus seperti
ketajaman, penglihatan, pendengaran, rasa, bau dan diikuti
penurunan respon sensasi somatik seperti sentuhan,
temperatur, tekanan dan nyeri. Penurunan perasaan
membuat agen ini cocok untuk induksi sebelum pemberian
agen lain yang lebih iritatif. N2O menghasilkan analgesi
sesuai besarrnya dosis. N2O 50% efek analgesinya sama
dengan morfin 10 mg. Bukti menunjukkan bahwa N2O
memiliki efek agonis pada reseptor opioid atau mengaktifkan
sistem opioid endogen. Area pusat muntah pada medula
tidak dipengaruhi oleh N2O kecuali jika terdapat hipoksia.
Nitrous oksida tidak mengikuti klasifikasi stadium
anestesi dari guedel dalam kombinasinya dengan oksigen dan
sangat tidak mungkin mencoba memakai nitrous oksigen
tanpa oksigen hanya karena ingin tahu gambaran stadium
anestesi dari guedel. Efeknya terhadap tekanan intrakranial
sangat kecil bila dibandingkan dengan obat anestesi yang lain.
Dalam konsentrasi lebih dari 60%, N2O dapat
menyebabkan amnesia, walaupun masih diperlukan

;
penelitian yang lebih lanjut. Terhadap susunan saraf otonom,
nitrous oksida merangsang reseptor alfa saraf simpatis, tetapi
tahanan perifer pembuluh darah tidak mengalami perubahan.
b. Terhadap sistem kardiovaskuler

Depresi ringan kontraktilitas miokard terjadi pada rasio


N2O : O2 = 80% : 20%. N2O tidak menyebabkan perubahan
laju jantung dan curah jantung secara langsung. Tekanan
darah tetap stabil dengan sedikit penurunan yang tidak
bermakna.
c. Terhadap sistem respirasi

Pengaruh terhadap sistem pernapasan minimal. N2O tidak


mengiritasi epitel paru sehingga dapat diberikan pada pasien
dengan asma tanpa meningkatkan resiko terjadinya spasme
bronkus. Perubahan laju dan kedalaman pernapasan
(menjadi lebih lambat dan dalam) lebih disebabkan karena
efek sedasi dan hilangnya ketegangan.
d. Terhadap sistem gastrointestinal

N2O tidak mempengaruhi tonus dan motilitas saluran


cerna. Distensi dapat terjadi akibat masuknya N2O ke dalam
lumen usus. Pada gangguan fungsi hepar, N2O tetap dapat
digunakan.
e. Terhadap ginjal

N2O tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada


ginjal maupun pada komposisi urin.
f. Terhadap otot rangka

N2O tidak menyebabkan relaksasi otot rangka. Karena


tonus otot tetap tidak berubah sehingga dalam penggunaannya
mutlak memerlukan obat pelumpuh otot.
g. Terhadap uterus dan kehamilan

Kontraksi uterus tidak terpengaruh baik pada kekuatan


maupun frekuensinya. N2O melewati barrier plasenta dengan
mudah masuk ke dalam sirkulasi fetus yang dapat
;
mengakibatkan konsentrasi O2 di darah fetus turn dengan
drastis bila kurang dari 20% O2 diberikan bersama dengan
N2O. kehamilan bukan merupakan kontra indikasi
penggunaan N2O – O2 sebagai sedasi inhalasi.
h. Terhadap sistem hematopoietik

Dilaporkan pada pemakaian jangka panjang secara


terus menerus lebih dari 24 jam bisa menimbulkan depresi
pada fungsi hemato-poietik. Anemia megaloblastik sebagai
salah satu efek samping pada pemakaian nitrous oksida jangka
lama.
 Penggunaan Klinik

Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai obat dasar


dari anestesia umum inhalasi dan selalu dikombinasikan dengan
oksigen dengan perbandinganN2O : O2 = 70 : 30 (untuk pasien
normal), 60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan
oksigen yang lebih banyak), atau 50 : 50 (untuk pasien yan
gberesiko tinggi). Oleh karena N2O hanya bersifat analgesia
lemah, maka dalam penggunaannya selalu dikombinasikan
degnan obat lain yang berkhasiat sesuai dengan target “trias
anestesia” yang ingin dicapai.
 Efek samping

Walaupun nitrous oksida dikatakan sebagai obat anestetik non


toksik dan mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada
sistem organ seperti tersebut di atas, kadang-kadang terjadi juga
efek samping seperti berikut:
a. Nitrous oksida akan meningkatkan efek depresi nafas dari
obat tiopenton terutama setelah diberikan premedikasi
narkotik.
b. Kehilangan pendengaran pasca anestesia, hal ini
disebabkan adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2
sehingga terjadi perubahan tekanan pada rongga telinga
tengah.

;
c. Pemanjangan proses pemulihan anestesia akibat difusinya ke
rongga tubuh seperti pneumotorak.
d. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum
tulang sehingga menyebabkan anemia aplastik.
e. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada
umur 8 hari – 6 minggu, yang dianggap periode kritis.
f. Hipoksia difusi pasca anestesia. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari sifat difusinya yang luas sehingga proses
evaluasinya terlambat. Oleh karena itu pada akhir
anestesia, oksigenasinya harus diperhatikan.
 Kecelakaan dalam penggunaan N2O

Kecelakaan dalam praktik anestesia mempergunakan N2O


sering kali terjadi. Hal ini disebabkan oleh faktor alat atau mesin
anestesia yang digunakan dan faktor manusianya akibat kelalaian.
Seperti telah diuraikan di atas, pemakaian N2O harus selalu
diberikan bersama-sama dengan oksigen. Kecelakaan bisa terjadi
pada saat induksi, pada saat pemeliharaan atau pada saat akhir
anestesia. Pada saat induksi, petugas anestesia ingin
memberikan oksigen, tetapi yang dialirkan justru N2O. pada
saat pemeliharaan, persediaan oksigen habis dan petugas tidak
waspada. Pada saat akhir anestesia, petugas anestesia
bermaksud memberikan oksigen, tetapi yang dialirkan ternyata
N2O.
Untuk megurangi resiko kecelakaan dalam penggunaan N2O,
dilakukan modifikasi dan penyempurnaan sarana sistem
perpipaan gas di rumah sakit dan mesin anestesia. Kemasan
tabung gas diberi tanda / warna / label tertentu, sistem perpipaan
dilengkapi dengan alat pengaman dan mesin anestesia dibuat
sedemikian rupa sehingga tanpa aliran oksigen, gas N2O tidak
bisa mengalir. 2

;
Perbedaan Anestetik Inhalasi

Anestetik Nitrous
Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Inhalasi Oksida
Berat
44 197 184 184 168 200
Molekul
Titik didih
-68 50-5-,2 56,6 48,5 22,8-23,5 58,5
( C)
0

Tekanan
uap 5200 243-244 174- 238-240 669-673 160-170
(mmHg 174,5
20oC)
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Turunan
Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
eter
Pengawet - Perlu - - - -
Koef.Partisi
0,47 2,4 1,9 1,4 0,42 0,65
darah/gas
Dengan
kapur soda Stabil Tidak Stabil Stabil Stabil Tidak
400C
MAC 370C
usia 30-55
tahun 104- 0,75 163-1,70 1,15-1,20 6,0-6,6 1,80-2,0
(tekanan 105
760
mmHg)
Tabel 2.4 Perbandingan sifat fisik dan kimia anestetik inhalasi

;
2. Kehamilan Ektopik Terganggu

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding
tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik dapat terjadi diluar rahim misalnya dalam tuba,
ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi didalam rahim
misalnya dalam cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk
rudimenter rahim. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu
berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus (Dewi, 2016).
Terjadinya Kehamilan ektopik terganggu dapat terjadi secara tiba-tiba
pada seluruh kasus kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik terganggu
merupakan suatu kegawatdaruratan dalam obstetri yang perlu
penanganan segera. Perlunya diagnosis dini maupun observasi klinis
sangat diperlukan mengingat pentingnya kelangsungan hidup ibu
maupun prognosis reproduksi selanjutnya (Dewi dan Risilwa, 2017).

2.2 Epidemiologi
Kejadian kehamilan ektopik di dunia adalah 0,25-2,0% dari seluruh
kehamilan (Yadav et al., 2017). Di Amerika Utara, kehamilan ektopik
terjadi pada 19,7 kasus dari 1000 kehamilan, dan merupakan penyebab
mortalitas utama pada kehamilan trimester pertama. Angka kasus yang
ada di negara berkembang dipercaya lebih tinggi lagi, namun data yang
mendetail masih belum diketahui pasti. Umumnya di Indonesia, kasus
kejadian kehamilan ektopik berkisar 5-6 perseribu kehamilan (Khairani,
2018).

2.3 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam
bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab
kehamilan ektopik terganggu, yaitu:

;
a. Faktor Mekanis

Hal hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang


dibuahi kedalam kavum uteri, antara lain :
1) Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan
aglutinasi silia mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau
pembentuk kantong-kantong buntu. Berkurangnya silia mukosa
tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan implantasi hasil
zigot tuba falopi.

2) Adhesi Pertubal setelah infeksi paska aborsi / infeksi paska nifas,


apenditis, atau endometriasis, yang mengakibatkan tertekuknya
tuba atau penyempitan lumen.
3) Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium
asoserium dan hipoplasi.
4) Bekas operasi tuba, memperbaiki fungsi tuba atau terkadang
kegagalan usaha untuk memperbaiki potensi tuba pada sterilisasi.
5) Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya
benjolan adneksia.
6) Penggunaan IUD

b. Faktor Fungsional
1) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan
duktus mulleri yang abnormal.
2) Refluk menstruasi
3) Berubahnya motil itas tuba karena perubahan kadar hormone
estrogen dan progesteron.
4) Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang
dibuahi.
5) Hal lain seperti: riwayat KET dan abortus induksi
sebelumnya.

;
2.4 Anatomi dan Fisiologi

A. Anatomi

Gambar 2. 1 Lokasi Kehamilan Ektopik (Cunningham et al., 2014)

B. Fisiologi
Kehamilan ektopik merupakan hasil dari implantasi dan
pematangan konseptus di luar rongga endometrium, yang akhirnya
berakhir dengan kematian janin. Jika tidak didiagnosis dini dan
mendapat perawatan yang tepat waktu, maka kehamilan ektopik dapat
mengancam nyawa. (Abdulkareem dan Eidan, 2017). Kehamilan
ektopik ini dapat terjadi apabila terjadi ketidaknormalan dalam
fisiologi reproduksi manusia yang memungkinkan janin menempel
atau tertanam dan matang di luar endometrium yang akhirnya dapat
menimbulkan kematian pada janin (Soliman dan Salem, 2014).

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya
implantasi dari kehamilan ektopik (Tarigan, 2016), dapat dibedakan
menurut:
A. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap
bagian tuba fallopi. Merupakan bagian-bagian dari jenis
terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling umum atau sering

;
terjadi sekitar 95% dari kejadian kehamilan ektopik.
Kehamilan tuba akan menghasilkan dari ketiga hal ini:
1) Kematian hasil konsepsi dalam stadium dini: hasil konsepsi
ini kemudian bisa di absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal
sebagai mola tuba.
2) Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering
ditemukan, bersama-sama hasil konsepsi (dan kemungkinan
pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk masuk ke
dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum.
3) Ruptura tuba : erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau
hasil konsepsi terus tumbuh hingga melampaui kemampuan
peregangan otot tuba.

B. Kehamilan ovarial merupakan kehamilan pada ovarium,


perdarahan terjadi bukan saja disebabkan oleh pecahnya
kehamilan ovarium tetapi juga rupture tuba korpus luteum,
torsi dan endometriosis. Meskipun daya akomodasi ovarium
terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba,
kehamilan ovarium mengalami ruptur pada trimester awal.

C. Kehamilan uterus merupakan kehamilan pada uterus tidak pada


tempat yang tepat, pada endometrium kavum uteri sebab
implantasi terjadi pada kanalis servikalis (gestasi pada servikal
uteri), diverticulum (gestasi pada invertikulum uteri), kurnua
(gestasi pada kornu uteri), tanduk rudimenter (gestasi pada
tanduk rudimenter).

D. Kehamilan servikal adalah jenis dari kehamilan ektopik yang


jarang terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput lendir serviks.
Dengan tumbuhnya hasil konsepsi, serviks mengembang.
Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu
sehingga umumnya hasil konsepsi masih kecil.

E. Kehamilan Abdominal terbagi menjadi dua yaitu:


1) Primer, dimana impantasi sesudah dibuahi langsung di

;
peritoneum atau cavum abdominal.
2) Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang
lain misalnya didalam saluran telur atau ovarium yang
selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh
karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus
kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau
ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya
kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini
jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum
tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena
pengambilan makanan kurang sempurna.

F. Kehamilan Heterotopik adalah kehamilan intrauterin yang dapat


terjadi dalam waktu berdekatan dengan kehamilan ektopik.
Kehamilan heterotopik dapat di bedakan atas:
1) Kehamilan Kombinasi (Combined Ectopik Pregnancy) yaitu
kehamilan yang dapat berlangsung dalam waktu yang sama
dengan kehamilan intrauterin normal.
2) Kehamilan Ektopik Rangkap (Compound Ectopic
Pregnancy) yaitu terjadinya kehamilan intrauterin setelah
lebih dahulu terjadi kehamilan ektopik yang telah mati atau
pun ruptur dan kehamilan intrauterin yang terjadi kemudian
berkembang seperti biasa.

G. Kehamilan interstisial yaitu implantasi hasil konsepsi terjadi


dalam pars interstitialis tuba. Kehamilan ini juga disebut
sebagai kehamilan kornual (kahamilan intrauterin, tetapi
implantasi plasentanya di daerah kornu, yang kaya akan
pembuluh darah. Karena lapisan miometrium di sini lebih tebal
maka ruptur terjadi lebih lambat kira-kira pada bulan ke 3 atau
ke 4.

H. Kehamilan intraligamenter berasal dari kehamilan ektopik


dalam tuba yang pecah (bagian berada di antara kedua lapisan

;
peritoneum visceral yang membentuk ligamentum latum).

2.6 Faktor Risiko


Faktor risiko utama kehamilan ektopik berbeda di berbagai negara
karena karakteristik budaya dan sosial yang berbeda. Penentuan faktor
risiko utama kehamilan ektopik mengarah pada diagnosis cepat dan
peningkatan strategi untuk pencegahannya. Berbagai faktor risiko
untuk kehamilan ektopik telah diidentifikasi, termasuk kehamilan
ektopik sebelumnya, operasi panggul sebelumnya, penggunaan alat
kontrasepsi (IUD), riwayat penyakit radang panggul (PID), dan
merokok pada saat pembuahan. Wanita yang sudah pernah mengalami
kehamilan ektopik akan mempengaruhi kesuburannya dan itu
meningkatkan risiko untuk mengalami kehamilan ektopik lagi.

Ketika kehamilan ektopik tumbuh dalam tuba fallopii, itu dapat


merusak jaringan tuba sekitarnya. Ini memungkinkan telur akan
terjebak di sana di kehamilan selanjutnya. Tetapi deteksi dan perawatan
dini dapat meminimalkan efek negatif dari kehamilan ektopik. Selain
itu, juga akan dipengaruhi oleh kombinasi faktor risiko lainnya. Operasi
panggul sebelumnya dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik,
dikarenakan hal itu dapat menyebabkan perlengketan. Adhesi akan
terbentuk pada wanita setelah menjalani operasi panggul ginekologis.

Studi menunjukkan bahwa adhesi terbentuk pada 55-100% pasien


yang menjalani operasi panggul, baik terbuka atau laparoskopi.
Meningkatnya jumlah kehamilan ektopik di antara pengguna IUD
diyakini terkait dengan beberapa faktor. IUD dalam rongga rahim dapat
mencegah telur masuk ke dalam rahim, IUD hanya bisa mencegah
kehamilan intrauterin, bukan kehamilan ektopik, dan bakteri yang
dibawa melalui pemasangan IUD dapat menyebabkan infeksi tuba
fallopi, sehingga dapat meningkatkan risiko kehamilan ektopik.

Penyakit radang panggul (PID) merupakan infeksi endometrium,


tuba fallopi dan struktur lainnya yang berdekatan, disebabkan oleh
kenaikan mikroorganisme dari saluran genital bawah. Pada umumnya

;
wanita mengalami PID setelah terkena infeksi menular seksual (IMS),
seperti klamidia, sifilis, atau gonore. Merokok dapat mengubah
pergantian sel epitel tuba dan dikaitkan dengan perubahan struktural
dan fungsional, yang mempengaruhi kejadian dari kehamilan ektopik.
Insiden kehamilan ektopik usia ibu saat pembuahan 1,4% dari semua
kehamilan pada wanita berusia 21 tahun menjadi 6,9% dari kehamilan
pada wanita berusia 44 tahun atau lebih karena kelainan kromosom
pada jaringan trofoblastik. (Abdulkareem dan Eidan, 2017)

2.7 Patofisiologi
Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil
konsepsi (zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa sebab
terjadi gangguan dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut serta
tumbuh dalam tuba. Saluran telur bukan tempat ideal untuk tumbuh
kembang hasil konsepsi. Disamping itu penghancuran pembuluh darah
oleh proses proteolitik jonjot koreon menyebabkan pecahnya pembuluh
darah. Gangguan perjalanan hasil konsepsi sebagian besar karena
infeksi yang menyebabkan perlekatan saluran telur. Pembuluh darah
pecah karena tidak mempunyai kemampuan berkontraksi maka
perdarahan tidak dapat dihentikan dan tertimbun dalam ruang abdomen.
Perdarahan tersebut menyebabkan perdarahan tuba yang dapat mengalir
terus ke rongga peritoneum dan akhirnya terjadi ruptur, nyeri pelvis
yang hebat dan akan menjalar ke bahu. Ruptur bisa terjadi pada dinding
tuba yaitu darah mengalir antara 2 lapisan dari mesosalping dan
kemudian ke ligamentum latum.

Perubahan uterus dapat ditemukan juga pada endometrium. Pada


suatu tempat tertentu pada endometrium terlihat bahwa sel-sel kelenjar
membesar dan hiperskromatik, sitoplasma menunjukkan vaskularisasi
dan batas antara sel-sel kurang jelas. Perubahan ini disebabkan oleh
stimulasi dengan hormon yang berlebihan yang ditemukan dalam
endometrium yang berubah menjadi desidua. Setelah janin mati desidua
mengalami degenerasi dan mengalami pelepasan. Pelepasan desidua ini
disertai dengan perdarahan dan kejadian ini menerangkan gejala
perdarahan pervaginam pada kehamilan ektopik terganggu
;
2.8 Tanda dan Gejala
Gambaran kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun petugas medis biasanya tidak mengetahui adanya
kelainan dalam kehamilan. Pada umumnya penderita menunjukkan
gejala-gejala sebagai berikut:
1) Amenorhoe
2) Nyeri perut bagian bawah
3) Gejala kehamilan muda
4) Level hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) rendah
Perdarahan pervaginam berwarna coklat tua
5) Pada pemeriksaan pervagina terdapat nyeri goyang bila serviks
digoyangkan dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan
darah.

Gejala dan tanda kehamilan ektopik sangat berbeda-beda dari


perdarahan banyak tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya
gejala tidak jelas, sehingga sukar membuat diagnosisnya, gejala dan
tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik, abortus atau ruptur
tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil (Norma dan Mustika, 2018).

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari kehamilan ektopik antara lain:
1) Pada pengobatan konservatif, yaitu jika ruptur tuba telah lama
berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang (recurrent
bledding). Ini merupakan indikasi operasi.
2) Infeksi
3) Sub-ileus karena massa pelvis
4) Sterlitas

2.10 Diagnosa
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat ditegakkan melalui
beberapa pemeriksaan meliputi pengkajian data subjektif seperti

;
anamnesa dan data objektif seperti pemeriksaan umum, pemeriksaan
fisik, kebidanan, dan penunjang
A. Pengkajian Data Subjektif
Biodata: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat istri dan suami (Norma dan Mustika, 2018).
Keluhan utama: amenore dapat disertai dengan tanda-tanda hamil
muda (morning sickness, mual muntah, dan ngidam), adanya nyeri
abdomen (nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen, diafragma, dan
nyeri pada saat buang air besar), dan perdarahan pervaginam khas
berwana kecoklatan (Norma dan Mustika, 2018)
1) Riwayat haid: umur menarche, frekuensi atau siklus menstruasi,
lamanya menstruasi, dismenorrhea atau keluhan saat menstruasi,
dan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) untuk menghitung usia
kehamilan (Norma dan Mustika, 2018)
2) Riwayat pernikahan: ibu menikah berapa kali, lamanya, umur
pertama kali menikah (Norma dan Mustika, 2018).
3) Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya: sering ditemukan
riwayat operasi caesar, riwayat operasi tuba oleh karena riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat abortus berulang
(Suryawinata dkk., 2019)
4) Riwayat kehamilan sekarang: berapa kali periksa dan dimana,
keluhankeluhan dan tanda-tanda bahaya yang dirasakan. (Norma
dan Mustika, 2018)
5) Riwayat penyakit: sering ditemukan riwayat keputihan lama,
infeksi menular seksual seperti clamidya, gonorhoe, dan bakteri
atau virus lainnya, riwayat penyakit radang panggul (Pratiwi,
2019).
6) Riwayat kontrasepsi: jenis kontrasepsi yang dipakai oleh ibu
sebelum hamil, sudah berapa lama ibu menggunakan alat
kontrasepsi tersebut, apa yang ibu keluhkan selama menggunakan
alat kontrasepsi tersebut. Hal tersebut untuk menilai risiko alat
kontrasepsi yang dipakai (Norma dan Mustika, 2018).
7) Kebiasaan berbahaya bagi kehamilan seperti perokok aktif dan
pasif, minum jamu dan obatan terlarang (Pratiwi, 2019).
;
B. Pengkajian data objektif

1) Pemeriksaan Umum: Keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda


vital bervariasi tergantung tingkatan syok, lama dan jumlah
perdarahan (Norma dan Mustika, 2018).

2) Pemeriksaan Fisik: (Norma dan Mustika, 2018)


a. Pada konjungtiva ditemukan pucat tergantung lama dan jumlah
perdarahan.
b. Pada abdomen:
a) Inspeksi: apakah ada luka bekas operasi, apakah abdomen
tampak distensi atau perut tegang.
b) Palpasi: Nyeri tekan pada abdomen, posisi nyeri tekan bisa
lebih keras disatu sisi tergantung lokasi kehamilan ektopik
terganggu

3) Pemeriksaan Kebidanan:
a. Pemeriksaan Inspekulo: tampak perdarahan sedikit sampai
sedang berwarna kecoklatan.
b. Pemeriksaan Dalam: tidak ada pembukaan portio, adanya nyeri
goyang portio, dan kavum douglas menonjol.

4) Pemeriksaan penunjang (Dewi, 2016)


a. Laboratorium: haemoglobin, hematokrit, sel darah putih, dan
tes kehamilan.
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG): tidak adanya kantong
kehamilan dalam kavum uteri, adanya kantung kehamilan
diluar kavum uteri, adanya massa komplek di rongga panggul.
c. Laparoskopi.
d. Laparotomi: harus dilakukan pada kasus kehamilan ektopik
terganggu dengan gangguan hemostasis ( tindakan diagnosis
dan definitif), diagnosa pasti hanya ditegakkan dengan
laparotomi.
e. Kuldosintesis yaitu suatu cara pemeriksaan untuk
;
mengetahui apakah didalam kavum Douglasi terdapat darah.
Teknik Kuldosentesis:
1) Baringkan pasien dalam posisi litotomi
2) Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptik
3) Pasang speculum dan jepit bibir belakang porsio dengan cunam
serviks, lakukan traksi kedepan hingga forniks posterior
tampak.

4) Suntikkan jarum spinal no.18 kekavum Douglasi dan


lakukan pengisapan dengan spuit 10ml.
5) Bila pada pengisapan keluar darah, perhatikan apakah
darahnya berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku
atau berupa bekuan kecil yang merupakan tanda hematokel
retrouterina

2.11 Penatalaksanaan
A. Manajemen nyeri non farmakologi
Pendekatan non farmakologi biasanya menggunakan terapi perilaku
(hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi, akupuntur, terapi
kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik.
Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu dengan yang
lainnya mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam
penanganannya pun kita seringkali menemukan keunikan tersebut, baik
itu yang memang dapat kita terima dengan kajian logika maupun yang
sama sekali tidak bisa kita nalar walaupun kita telah berusaha
memaksakan untuk menalarkannya.

Nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi secara
komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau
bahkan nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan
tanpa penanganan? Apakah ketakutan untuk terjadinya adiksi apabila
mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah.

B. Manajemen nyeri farmakologik


Ada tiga kelompok utama obat yang digunakan untuk menangani
rasa nyeri;

;
1) Analgetika golongan non narkotika
2) Analgetika golongan narkotika
3) Adjuvan

4) Prosedur invasive
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan
memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid
melalui intraspinal, cara ini dapat memberikan efek analgesik yang
kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah
blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy)
teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis.

;
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien dengan nama Ny. Nurhidayati (52 tahun) datang ke IGD RS.Hj. Bunda
Halimah dengan keluhan nyeri perut menjalar hingga ke punggung. Pasien juga
mengeluhkan mual dan badan lemas sebelum masuk rumah sakit. Pasien
direncanakan untuk operasi kolesistektomi pada 2022. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan tanda vital yaitu TD 110/70 mmHg, laju nafas 20 kali/menit, nadi 80
kali/menit, suhu 36,1℃, SpO₂ 100%. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini
adalah pemeriksaan laboratorium darah lengkap, gula darah sewaktu, pemeriksaan
tes antibodi, pemeriksaan USG dengan gambaran kolelitiasis.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, pasien


masuk dalam kategori status fisik ASA III yang artinya pasien gawat darurat
dengan penyakit sistemik berat. Sebelumnya, pasien dipuasakan 6 jam pre operasi
dengan tujuan untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan
muntah. Ketika sudah sampai pada waktu operasi, dilakukan edukasi dan
penjelasan kembali kepada pasien dan keluarga mengenai lembar persetujuan
tindakan anestesi yang akan dilakukan. Ketika sampai di kamar operasi 1, pasien
dibaringkan dan dipasang NIBP dan pulse oxymetri dengan TD 125/72 mmHg,
laju nafas 20 kali/menit, nadi 57 kali/menit, suhu 36,0℃, SpO₂ 100%.

Tindakan anestesi yang digunakan adalah anestesi umum (general anesthesia)


dengan teknik intubasi ETT ukuran 6,5. Pasien diinduksi dengan fentanyl 100
mcg, propofol 100 mg, atracurium 25 mg, Tramadol 100 mg, Paracetamol 1 gram,
, ondansetron 4 mg, Ranitidine 50 mg, Sevofluran 2L, O2 2L, N2O 2L.
Perdarahan pada operasi ini kurang lebih 750 cc. Operasi selesai dilakukan pada
jam 10.30 dengan pemantauan akhir TD 125/86, laju nafas 20 kali/menit, nadi 62
kali/menit, suhu 36,2 ℃, SpO₂ 100%. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan. Adapun instruksi post op adalah puasa 6 jam Post-OP. Bila pasien
kesakitan: PCT 1 gr + Tramadol 100 mg/ 8 jam, bila mual/muntah: Ondasentron 4
mg, IVFD: Rl 20 Tpm, dan monitoring tensi, nadi, nafas setiap 15 menit dalam 2
jam.

;
Daftar Pustaka

1. Veterini, Anna Surgean. Buku Ajar Teknik Anestesi Umum. (2021). Surabaya:
Airlangga University Press

2. Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. (2017). Buku Ajar Ilmu Anestesia
Reanimasi. Jakarta: indeks

3. Rehatta NM, dkk. (2019). Prinsip Kedokteran Perioperatif. Dalam:


Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

4. Sudiono.(2012). Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Pemulihan Pasien Pasca


General Anestesi Di Instalasi Perawatan Intensif RSUD dr. Soediono Madiun.
Jurnal Metabolisme Vol 2 : 1.

5. Jones, M. W., Lopez, R. A., & Deppen, J. G. (2022). Appendicitis. Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing

6. Erianto M, Fitriyani N, Siswandi A, Putri S. A. (2020). Perforasi pada Penderita


Apendisitis Di RSUD DR.H.Abdul Moeloek Lampung. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada Vol 11 : 1.

Anda mungkin juga menyukai