Pembimbing :
Disusun oleh :
PENYAJIAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Akasamania M Donungang
Jenis Kelamin : perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 14 April 1961/ 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Alamat : Taman Mediterania, Batam
Tanggal Masuk RS : 01 Desember 2022
Tanggal Operasi : 02 Desember 2022
Diagnosa : Kehamilan Ektopik Terganggu
Macam Operasi : Laparatomi
Macam Anestesi : General Anesthesia
;
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital
GCS : 15 (E4V5M6)
BB/TB : 49 kg/158 cm
Pernapasan : 20x/menit
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,2 oC
SpO2 : 99 %
C. Diagnosis Akhir
D. Tatalaksana
Laparatomi
;
Pasien telah diberikan Informed Consent
Persiapan operasi :
c. Jumlah cairan
• Output : 400 cc
d. Perdarahan : 5000cc
g. Posisi : Supine
;
h. Anestesi dimulai : 16.55 WIB
G. Monitoring
;
20.10
;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
;
3) Arefleksia (hilangnya refleks–refleks motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien).
4) Relaksasi otot, memudahkan prosedur pembedahan dan
memfasilitasi intubasi trakeal.
5) Amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).1
;
oleh ahli anestesi yang tidak berpengalaman dengan mudah terjadi.
Pada abad ke-20, komunitas anestesi mengembangkan pendekatan yang
sistematis untuk pemantauan. Pada tahun 1937, Dr. Arthur Guedel
menciptakan salah satu sistem keamanan pertama dalam anestesiologi
dengan bagan yang menjelaskan tahapan anestesi dengan kedalaman
yang meningkat mulai dari tahap ke 1 hingga ke 4.
Klasifikasi Guedel masih digunakan meskipun obat anestesi dan
teknik pengiriman lebih baru yang menyebabkan onset lebih cepat dan
pemulihan dari anestesi umum (dan dalam beberapa kasus menghindari
tahap tertentu seluruhnya). Sistem ini dirancang untuk digunakan
dengan agen anestesi inhalasi tunggal (eter) pada pasien yang diberi
pengobatan sebelumnya dengan morfin dan atropin.
Salah satu tujuan anestesi modern adalah memastikan kedalaman
anestesi yang memadai untuk mencegah kesadaran anpa sengaja
membebani pasien dengan obat yang kuat. Salah satu capaian anestesi
modern adalah kemampuannya dalam memantau kedalaman anestesi.
Tabel 2.2 Metode Menilai Kedalaman Anestesi
;
Gambar 2.2 menjelaskan tentang sebagai berikut.
;
delirium, gerakan tidak terkontrol, hilangnya refleks bulu mata,
hipertensi, dan takikardia. Refleks jalan napas tetap utuh selama fase
ini dan sering kali hipersensitif terhadap stimulasi. Manipulasi jalan
napas selama tahap anestesi harus dihindari termasuk penempatan
dan pelepasan tabung endotrakeal dan manuver penyedotan yang
dalam. Pada tahap ini, ada risiko lebih tinggi terjadinya spasme
laring (penutupan pita suara tak disengaja) yang dapat diperburuk
oleh manipulasi saluran napas. Akibatnya, kombinasi gerakan
kejang, muntah, serta pernapasan yang cepat dan tidak teratur yang
dapat mengganggu jalan napas pasien. Agen yang bertindak cepat
dapat membantu mengurangi waktu yang dihabiskan di tahap 2 dan
dapat segera masuk ke tahap 3.
3) Tahap 3-Bedah anestesi
;
meduler. Tahap ini dimulai dengan penghentian pernapasan dan
diakhiri dengan kematian. Pada tahap ini, otot rangka dalam keadaan
lembok serta pupil tetap dan melebar. Tekanan darah jauh lebih
rendah dari biasanya dengan denyut nadi lemah dan sudah berdenyut
karena penekanan pompa jantung dan vasodilatasi di aliran darah
perifer Tahap ini mematikan tanpa ada dukungan kardiovaskular dan
mentransmisikan pasien secepat mungkin ke anestesi stadium/ tahap
3 dan menahannya selama operasi berlangsung.
D. Manajemen Peri-Operatif
1) Periode Pra-Bedah
dentitas pasien.
;
Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pengobatan, riwayat
alergi.
Gaya hidup dan kebiasaan, misalnya kebiasaan merokok,
minum alkohol atau penggunaan obat-obat rekreasional
(misalnya metamfetamin, heroin, kokain).
Riwayat kematian anggota keluarga di atas meja operasi. Hal
ini perlu ditanyakan dengan berhati-hati namun seksama,
terutama pada pasien dewasa muda yang akan menjalani
operasi muskuloskeletal atau memiliki kelainan sistem
muskuloskeletal.
b) Pemeriksaan Fisik
;
dilakukan penjelasan dan pencatatan tentang hal tersebut. Hal ini
penting untuk menghindari masalah medikolegal.
d) Status Fisik
;
perlu dipasang kateter Sebelum pasien masuk dalam kamar
bedah. periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi
izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
e) Puasa
6) Menciptakan amnesia
;
8) Mengurangi reflek yang membahayakan.
1. Obat antikolinergik
2. Obat penenang
3. Mencegah bradikardi
2. Skopolamin
Mekanisme kerja
;
sebelum induksi.
Kontra Indikasi
2. Turunan benzodiazepine
3. Turunan butirofenon
4. Turunan barbiturat
5. Antihistamin
1. Turunan fenothiazin.
Terhadap respirasi.
3. Turunan butirofenon.
;
Efek farmakologi.
4) Anti muntah
5) Suplemen anestesia.
Kemasan.
4. Turunan barbiturat.
v. Tramadol
;
Terhadap sirkulasi.
Kontra Indikasi.
3. Pupil miosis
;
Kemasan.
a. Persiapan Anestesia
;
sebelum anesthesia).
- S : Scope. Yang dimaksud adalah laringoskop dan stetoskop,
Laringoskop harus diperiksa lampunya cukup terang atau
tidak. Stetoskop diperlukan untuk konfirmasi bunyi nafas
paru kanan-kiri setelah intubasi endotrakeal. Stetoskop juga
kadang ditempeikan di dinding dada dekat apeks jantung,
untuk memantau intensitas dan irama denyut jantung.
- T: Tubes. Yang dimaksud adalah endotracheal tube (ETT).
ETT disiapkan dengan ukuran yang sesuai, disertai satu
ukuran di bawahnya dan satu ukuran di atasnya,
- A: Airway. Yang dimaksud dengan airway adalah alat-alat
untuk menahan lidah agar tidak "jatuh", yaitu pipa
orofaringeal Guedel atau pipa nasofaringeal.
- T: Tapes. Tapes adalah pita atau plester yang akan
digunakan untuk memfiksasi ETT nantinya.
- I : Introducer, yaitu kawat atau tongkat kecil yang
dimasukkan ke dalam ETT untuk memudahkan tindakan
intubasi. Alat ini harus cukup fleksibel agar dapat diatur
lengkungnya, namun tidak boleh terlalu lembek karena akan
menjadi tidak berguna.
- C : Connector, yaitu penghubung antara ETT dengan sirkuit
nafas.
- S : Suction. Di samping mesin anestesia harus tersedia mesin
pengisap yang berguna untuk membersihkan jalan nafas
ketika laringoskopi-intubasi, selama anestesia berlangsung
dan menjelang atau sesudah ekstubasi.
Setelah STATICS dan perlengkapan lain siap, barulah
dapat disiapkan obal-obat yang kan digunakan Tidak
dianjurkan menyiapkan obat sebelum persiapan lain. Hal ini
menghindari reaksi obat yang tidak diharapkan pada pasien
sementara anestesiologis bersiap melakukan resusitasi.
b. Pemantauan dan Pencatatan
;
adalah pemantauan yang dilakukan terus menerus, sejak pasien
tiba di ruang operasi hingga keluar dari ruang pulih. Terkadang
pemantauan dilanjutkan Jagi di ICU (Intensive Care Unit) atau
PACU (Post Anesthesia Care Unit), Selama operasi,
pemantauan ditujukan untuk menjaga keselamatan pasien.
3. Periode Pasca Bedah
;
Menurut penelitian Sudiono (2012) menyatakan bahwa pada
aldrete score kurang dari 7, menunjukkan bahwa pengaruh anestesi
masih kuat, sisa obat anestesi belum sepenuhnya hilang dari tubuh,
aldrete score 8-9, menunjukkan bahwa pasien sudah mulai stabil,
efek obat anestesi di dalam tubuh sudah mulai hilang/ berkurang ,dan
aldrete score 10 menunjukkan bahwa kondisi pasien secara umum
sudah mulai pulih.
- Halothan
;
- Trikhloroetilen
- Dietil eter
- Metoksifluran
- Enfluran
- Isofluran
Siklopropan
;
Halotan menimbulkan depresi pada sistem saraf pusat di
semua komponen otak. Depresi di pusat kesadaran akan
menimbulkan efek hipnotik, depresi pada pusat sensorik
menimbulkan khasiat analgesia dan depresi pada pusat
motorik akan menimbulkan relaksasi otot. Tingkat depresinya
tergantung dari dosis yang diberikan.
Terhadap pembuluh darah otak, halotan menyebabkan
vasodilatasi, sehingga aliran darah otak meningkat, yang
sulit dikendalikan dengan teknik hiperventilasi, dan hal ini
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat, dan oleh
karena itu tidak dipilih untuk anestesi pada kraniotomi.
2) Terhadap sistem kardiovaskuler
;
alat penguap (vaporizer) khusus halotan, misalnya fluotec,
halomix, copper kettle, dragger dan lain-lainnya.
Dosis
;
Enfluran
;
Isofluran
Biotransformasi
;
inspirasi adalah 2-3% bersama-sama dengan N2O.
;
Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun,
sehingga tekanan darah sedikit menurun. Pada 1,2-2 MAC
sevofluran menyebabkan penurunan tahanan vaskuler
sistemik kira-kira 20% dan tekanan darah arteri kira-kira
20%-40%. Curah jantung akan menurun 20% pada
pemakaian sevofluran lebih dari 2 MAC. Dibandingkan
dengan isofluran, sevofluran menyebabkan penurunan
tekanan darah lebih sedikit.
Sevofluran tidak atau sedikit meyebabkan perubahan
pada aliran darah koroner. Dilatasi arteri koroner yang
terjadi akibat sevofluran lebih kecil dibanding isofluran dan
tidak menimbulkan efek coronary steal, sehingga sevofluran
aman dipakai untuk penderita penyakit jantung koroner atau
yang mempunyai resiko penyakit jantung iskemik, tetapi
penelitian pada orang tua di atas 60 tahun, disebutkan
bahwa sebaiknya berhati-hati dlaam memberikan sevofluran
konsentrasi tinggi (8%) pada penderita hipertensi dan
riwayat penyakit jantung koroner dan iskemik.
Sevofluran menyebabkan penurunan laju jantung.
Mekanisme ini belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh
karenna penurunan aktifitas simpatis tanpa perubahan
aktifitas parasimpatis. Penelitian-penelitian menyebutkan
bahwa penurunan laju jantung tidak sampai menyebabkan
bradikardi, tetapi kejadian bradikardi pernah dilaporkan pada
bayi.
c. Terhadap sistem respirasi
;
dengan halotan dan pada 1,4 MAC tingkat depresinya lebih
dalam daripada halotan. Sevofluran menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus, tetapi tidak sebaik halotan.
d. Terhadap hepar dan ginjal
;
anak-anak yang tidak kooperatif, sangat baik digunakan untuk
induksi.
Untuk mengubah cairan sevofluran menjadi uap,
diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus sevofluran.
Dosis
;
kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain, meskipun
demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi
yang menarik, yaitu koefisien partisi darah / gas yang rendah, efek
analgesi pada konsentrasi subanestetik, kecilnya efek kardiovaskuler
yang bermakna klinis, toksisitasnya minimal dan tidak
mengiritasi jalan napas sehingga ditoleransi baik untuk induksi
dengan masker.
Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain bersifat additif,
sehingga pemberian N2O dapat secara substansial mengurangi
jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan. Pemberian N2O
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar dari zat
anestesi lain dengan cepat, oleh karana sifat “efek gas kedua” dan
“efek konsentrasi” dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat gas
diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas
diinhalasi, maka semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas
tersebut. Seorang pasien menerima 70-75% N2O akan menyerap
sampai 1.000 ml/menit N2O saat fase awal induksi. Pemindahan
volume N2O dari paru ke darah, menyebabkan aliran gas segar
seperti disedot masuk dari mesin anestesi ke dalam paru-paru,
sehingga meningkatkan laju gas lain. Pasien menerima hanya 10-
25% N2O, pengambilan N2O oleh darah hanya 150 ml/menit, hal ini
tidak menghasilkan perubahan yang signifikan pada laju penyerapan
agen/gas lain. Efek gas kedua terjadi saat agen inhalasi kedua
diberikan bersama dengan N2O. efek ini berkaiatan dengan
pengambilan N2O yang cepat, sekitar 1.000 ml/menit saat induksi
anestesi. Pengambilan cepat volume N2O yang besar, menmbulkan
suat keadaan vakum di alveolus, sehingga memaksa lebih banyak
gas segar (N2O bersama dengan agen inhalasi lain) masuk ke dalam
paru-paru.
MAC bangun N2O adalah 65% diatas konsentrasi tersebut pasien
tidak sadar atau lupa terhadap tindakan pembedahan. Analgesia yang
dihasilakan oleh 50% N2O kira-kira sama dengan 10 mg morfin.
;
Kemasan Dan Sifat Fisik
;
alveolar dan ambilan oleh sirkulasi, seperti koefisien partisi
darah/gas dan aliran darah (curah jantung).
N2O akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.
Konsentrasi di jaringan adalah berbanding lurus dengan perfusi
per unit volume dari jaringan, lamanya paparan dan koefisien
partisi darah / jaringan zat tersebut. Jaringan dengan aliran
darah besar/banyak seperti otak, jantung, hati dan ginjal akan
menerima N2O lebih banyak sehingga akan menyerap volume gas
yang lebih besar. Jaringan lain dengan suplai darah sedikit seperti
jaringan lemak dan otot menyerap hanya sedikit N2O, ambilan
dan penyerapan yang cepat menyebabkan tidak terdapatnya
simpanan N2O dalam jaringan tersebut sehingga tidak
menghalangi pulihnya pasien saat pemberian N2O dihentikan.
N2O tidak atau sedikit mengalami biotransformasi dalam
tubuh, namun telah ditemukan bakteri anaerob yang
memetabolisir N2O dan menghasilkan radikal-radikal bebas
meskipun tidak terdapat bukti bahwa radikal-radikal bebas
tersebut menimbulkan kerusakan organ yang spesifik. N2O
dieliminasi melalui paru-paru dan sebagian kecil diekskresikan
lewat kulit.
Pada saat N2O dihentikan pemberiannya, N2O berdifusi
keluar dari darah dan masuk ke alveoli secepat difusinya ke dalam
darah saat induksi. Jika pasien dibiarkan menghirup udara
atmosfir saja pada saat tersebut akan mengalami hipoksia
difusi. Selama beberapa menit pertama pasien menghirup udara
atmosfir, sejumlah besar volume N2O berdifusi melalui darah ke
dalam paru-paru dan dikeluarkan lewat paru- paru. Kira-kira
sebanyak 1500 ml N2O dikeluarkan pada menit pertama oleh
pasien yang menerima N2O : O2 dengan rasio75% : 25%.
Jumlah tersebut menurun menjadi 1.200 ml pada menit ke dua
dan 1.000 ml pada menit ke tiga. Difusi N2O yang cepat dan
dalam jumlah besar ke dalam alveoli akan menyebabkna
;
pengenceran dan mendesak O2 keluar dari alveoli., sehingga
mudah terjadi hipoksia dan juga menyebabkan terjadinya
pemindahan volume CO2 yang lebih besar dari darah, sehinga
akan menurunkan tekanan CO2 dalam darah dan akan
memperberat hipoksia. Efek hipoksia difusi dapat dicegah
dengan pemberian 100% O2 selam minimal 3-5 menit pada
akhir operasi.
Efek Farmakologi
;
penelitian yang lebih lanjut. Terhadap susunan saraf otonom,
nitrous oksida merangsang reseptor alfa saraf simpatis, tetapi
tahanan perifer pembuluh darah tidak mengalami perubahan.
b. Terhadap sistem kardiovaskuler
;
c. Pemanjangan proses pemulihan anestesia akibat difusinya ke
rongga tubuh seperti pneumotorak.
d. Pemakaian jangka panjang menimbulkan depresi sumsum
tulang sehingga menyebabkan anemia aplastik.
e. Mempunyai efek teratogenik pada embrio terutama pada
umur 8 hari – 6 minggu, yang dianggap periode kritis.
f. Hipoksia difusi pasca anestesia. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari sifat difusinya yang luas sehingga proses
evaluasinya terlambat. Oleh karena itu pada akhir
anestesia, oksigenasinya harus diperhatikan.
Kecelakaan dalam penggunaan N2O
;
Perbedaan Anestetik Inhalasi
Anestetik Nitrous
Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Inhalasi Oksida
Berat
44 197 184 184 168 200
Molekul
Titik didih
-68 50-5-,2 56,6 48,5 22,8-23,5 58,5
( C)
0
Tekanan
uap 5200 243-244 174- 238-240 669-673 160-170
(mmHg 174,5
20oC)
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Turunan
Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
eter
Pengawet - Perlu - - - -
Koef.Partisi
0,47 2,4 1,9 1,4 0,42 0,65
darah/gas
Dengan
kapur soda Stabil Tidak Stabil Stabil Stabil Tidak
400C
MAC 370C
usia 30-55
tahun 104- 0,75 163-1,70 1,15-1,20 6,0-6,6 1,80-2,0
(tekanan 105
760
mmHg)
Tabel 2.4 Perbandingan sifat fisik dan kimia anestetik inhalasi
;
2. Kehamilan Ektopik Terganggu
2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang
dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri.
Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding
tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.
Kehamilan ektopik dapat terjadi diluar rahim misalnya dalam tuba,
ovarium atau rongga perut, tetapi dapat juga terjadi didalam rahim
misalnya dalam cervix, pars interstitialis tuba atau dalam tanduk
rudimenter rahim. Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu
berlokasi di tuba (90%) terutama di ampula dan isthmus (Dewi, 2016).
Terjadinya Kehamilan ektopik terganggu dapat terjadi secara tiba-tiba
pada seluruh kasus kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik terganggu
merupakan suatu kegawatdaruratan dalam obstetri yang perlu
penanganan segera. Perlunya diagnosis dini maupun observasi klinis
sangat diperlukan mengingat pentingnya kelangsungan hidup ibu
maupun prognosis reproduksi selanjutnya (Dewi dan Risilwa, 2017).
2.2 Epidemiologi
Kejadian kehamilan ektopik di dunia adalah 0,25-2,0% dari seluruh
kehamilan (Yadav et al., 2017). Di Amerika Utara, kehamilan ektopik
terjadi pada 19,7 kasus dari 1000 kehamilan, dan merupakan penyebab
mortalitas utama pada kehamilan trimester pertama. Angka kasus yang
ada di negara berkembang dipercaya lebih tinggi lagi, namun data yang
mendetail masih belum diketahui pasti. Umumnya di Indonesia, kasus
kejadian kehamilan ektopik berkisar 5-6 perseribu kehamilan (Khairani,
2018).
2.3 Etiologi
Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam
bukunya menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab
kehamilan ektopik terganggu, yaitu:
;
a. Faktor Mekanis
b. Faktor Fungsional
1) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan
duktus mulleri yang abnormal.
2) Refluk menstruasi
3) Berubahnya motil itas tuba karena perubahan kadar hormone
estrogen dan progesteron.
4) Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang
dibuahi.
5) Hal lain seperti: riwayat KET dan abortus induksi
sebelumnya.
;
2.4 Anatomi dan Fisiologi
A. Anatomi
B. Fisiologi
Kehamilan ektopik merupakan hasil dari implantasi dan
pematangan konseptus di luar rongga endometrium, yang akhirnya
berakhir dengan kematian janin. Jika tidak didiagnosis dini dan
mendapat perawatan yang tepat waktu, maka kehamilan ektopik dapat
mengancam nyawa. (Abdulkareem dan Eidan, 2017). Kehamilan
ektopik ini dapat terjadi apabila terjadi ketidaknormalan dalam
fisiologi reproduksi manusia yang memungkinkan janin menempel
atau tertanam dan matang di luar endometrium yang akhirnya dapat
menimbulkan kematian pada janin (Soliman dan Salem, 2014).
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi kehamilan ektopik berdasarkan tempat terjadinya
implantasi dari kehamilan ektopik (Tarigan, 2016), dapat dibedakan
menurut:
A. Kehamilan tuba merupakan kehamilan ektopik pada setiap
bagian tuba fallopi. Merupakan bagian-bagian dari jenis
terbanyak gestasi ekstra uterin yang paling umum atau sering
;
terjadi sekitar 95% dari kejadian kehamilan ektopik.
Kehamilan tuba akan menghasilkan dari ketiga hal ini:
1) Kematian hasil konsepsi dalam stadium dini: hasil konsepsi
ini kemudian bisa di absorpsi seluruhnya atau tetap tinggal
sebagai mola tuba.
2) Abortus tuba, yaitu hasil akhir yang paling sering
ditemukan, bersama-sama hasil konsepsi (dan kemungkinan
pula darah) akan dikeluarkan dari tuba untuk masuk ke
dalam uterus atau keluar ke dalam kavum peritoneum.
3) Ruptura tuba : erosi dan akhirnya rupture tuba terjadi kalau
hasil konsepsi terus tumbuh hingga melampaui kemampuan
peregangan otot tuba.
;
peritoneum atau cavum abdominal.
2) Sekunder, yaitu pembentukan zigot terjadi ditempat yang
lain misalnya didalam saluran telur atau ovarium yang
selanjutnya berpindah ke dalam rongga abdomen oleh
karena terlepas dari tempat asalnya. Hampir semua kasus
kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik
sekunder akibat rupture atau aborsi kehamilan tuba atau
ovarium ke dalam rongga abdomen. Walaupun ada kalanya
kehamilan abdominal mencapai umur cukup bulan, hal ini
jarang terjadi, yang lazim ialah bahwa janin mati sebelum
tercapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena
pengambilan makanan kurang sempurna.
;
peritoneum visceral yang membentuk ligamentum latum).
;
wanita mengalami PID setelah terkena infeksi menular seksual (IMS),
seperti klamidia, sifilis, atau gonore. Merokok dapat mengubah
pergantian sel epitel tuba dan dikaitkan dengan perubahan struktural
dan fungsional, yang mempengaruhi kejadian dari kehamilan ektopik.
Insiden kehamilan ektopik usia ibu saat pembuahan 1,4% dari semua
kehamilan pada wanita berusia 21 tahun menjadi 6,9% dari kehamilan
pada wanita berusia 44 tahun atau lebih karena kelainan kromosom
pada jaringan trofoblastik. (Abdulkareem dan Eidan, 2017)
2.7 Patofisiologi
Salah satu fungsi saluran telur yaitu untuk membesarkan hasil
konsepsi (zigot) sebelum turun dalam rahim, tetapi oleh beberapa sebab
terjadi gangguan dari perjalanan hasil konsepsi dan tersangkut serta
tumbuh dalam tuba. Saluran telur bukan tempat ideal untuk tumbuh
kembang hasil konsepsi. Disamping itu penghancuran pembuluh darah
oleh proses proteolitik jonjot koreon menyebabkan pecahnya pembuluh
darah. Gangguan perjalanan hasil konsepsi sebagian besar karena
infeksi yang menyebabkan perlekatan saluran telur. Pembuluh darah
pecah karena tidak mempunyai kemampuan berkontraksi maka
perdarahan tidak dapat dihentikan dan tertimbun dalam ruang abdomen.
Perdarahan tersebut menyebabkan perdarahan tuba yang dapat mengalir
terus ke rongga peritoneum dan akhirnya terjadi ruptur, nyeri pelvis
yang hebat dan akan menjalar ke bahu. Ruptur bisa terjadi pada dinding
tuba yaitu darah mengalir antara 2 lapisan dari mesosalping dan
kemudian ke ligamentum latum.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari kehamilan ektopik antara lain:
1) Pada pengobatan konservatif, yaitu jika ruptur tuba telah lama
berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang (recurrent
bledding). Ini merupakan indikasi operasi.
2) Infeksi
3) Sub-ileus karena massa pelvis
4) Sterlitas
2.10 Diagnosa
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat ditegakkan melalui
beberapa pemeriksaan meliputi pengkajian data subjektif seperti
;
anamnesa dan data objektif seperti pemeriksaan umum, pemeriksaan
fisik, kebidanan, dan penunjang
A. Pengkajian Data Subjektif
Biodata: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
penghasilan, alamat istri dan suami (Norma dan Mustika, 2018).
Keluhan utama: amenore dapat disertai dengan tanda-tanda hamil
muda (morning sickness, mual muntah, dan ngidam), adanya nyeri
abdomen (nyeri dapat menjalar ke seluruh abdomen, diafragma, dan
nyeri pada saat buang air besar), dan perdarahan pervaginam khas
berwana kecoklatan (Norma dan Mustika, 2018)
1) Riwayat haid: umur menarche, frekuensi atau siklus menstruasi,
lamanya menstruasi, dismenorrhea atau keluhan saat menstruasi,
dan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) untuk menghitung usia
kehamilan (Norma dan Mustika, 2018)
2) Riwayat pernikahan: ibu menikah berapa kali, lamanya, umur
pertama kali menikah (Norma dan Mustika, 2018).
3) Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya: sering ditemukan
riwayat operasi caesar, riwayat operasi tuba oleh karena riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat abortus berulang
(Suryawinata dkk., 2019)
4) Riwayat kehamilan sekarang: berapa kali periksa dan dimana,
keluhankeluhan dan tanda-tanda bahaya yang dirasakan. (Norma
dan Mustika, 2018)
5) Riwayat penyakit: sering ditemukan riwayat keputihan lama,
infeksi menular seksual seperti clamidya, gonorhoe, dan bakteri
atau virus lainnya, riwayat penyakit radang panggul (Pratiwi,
2019).
6) Riwayat kontrasepsi: jenis kontrasepsi yang dipakai oleh ibu
sebelum hamil, sudah berapa lama ibu menggunakan alat
kontrasepsi tersebut, apa yang ibu keluhkan selama menggunakan
alat kontrasepsi tersebut. Hal tersebut untuk menilai risiko alat
kontrasepsi yang dipakai (Norma dan Mustika, 2018).
7) Kebiasaan berbahaya bagi kehamilan seperti perokok aktif dan
pasif, minum jamu dan obatan terlarang (Pratiwi, 2019).
;
B. Pengkajian data objektif
3) Pemeriksaan Kebidanan:
a. Pemeriksaan Inspekulo: tampak perdarahan sedikit sampai
sedang berwarna kecoklatan.
b. Pemeriksaan Dalam: tidak ada pembukaan portio, adanya nyeri
goyang portio, dan kavum douglas menonjol.
2.11 Penatalaksanaan
A. Manajemen nyeri non farmakologi
Pendekatan non farmakologi biasanya menggunakan terapi perilaku
(hipnotis, biofeedback), pelemas otot/relaksasi, akupuntur, terapi
kognitif (distraksi), restrukturisasi kognisi, imajinasi dan terapi fisik.
Nyeri bukan hanya unik karena sangat berbeda satu dengan yang
lainnya mengingat sifatnya yang individual, termasuk dalam
penanganannya pun kita seringkali menemukan keunikan tersebut, baik
itu yang memang dapat kita terima dengan kajian logika maupun yang
sama sekali tidak bisa kita nalar walaupun kita telah berusaha
memaksakan untuk menalarkannya.
Nyeri itu adalah nyeri ringan, dan itupun harus kita evaluasi secara
komprehensif, karena bisa saja nyeri itu menjadi nyeri sedang atau
bahkan nyeri yang berat, apakah kondisi seperti ini dapat terus dibiarkan
tanpa penanganan? Apakah ketakutan untuk terjadinya adiksi apabila
mendapatkan analgetik dapat menyelesaikan masalah.
;
1) Analgetika golongan non narkotika
2) Analgetika golongan narkotika
3) Adjuvan
4) Prosedur invasive
Prosedur invasif yang biasanya dilakukan adalah dengan
memasukan opioid ke dalam ruang epidural atau subarakhnoid
melalui intraspinal, cara ini dapat memberikan efek analgesik yang
kuat tetapi dosisnya lebih sedikit. Prosedur invasif yang lain adalah
blok saraf, stimulasi spinal, pembedahan (rhizotomy,cordotomy)
teknik stimulasi, stimulasi columna dorsalis.
;
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien dengan nama Ny. Nurhidayati (52 tahun) datang ke IGD RS.Hj. Bunda
Halimah dengan keluhan nyeri perut menjalar hingga ke punggung. Pasien juga
mengeluhkan mual dan badan lemas sebelum masuk rumah sakit. Pasien
direncanakan untuk operasi kolesistektomi pada 2022. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan tanda vital yaitu TD 110/70 mmHg, laju nafas 20 kali/menit, nadi 80
kali/menit, suhu 36,1℃, SpO₂ 100%. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini
adalah pemeriksaan laboratorium darah lengkap, gula darah sewaktu, pemeriksaan
tes antibodi, pemeriksaan USG dengan gambaran kolelitiasis.
;
Daftar Pustaka
1. Veterini, Anna Surgean. Buku Ajar Teknik Anestesi Umum. (2021). Surabaya:
Airlangga University Press
2. Mangku Gde & Senephati, Tjokorda GA. (2017). Buku Ajar Ilmu Anestesia
Reanimasi. Jakarta: indeks