Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU BEDAH CASE REPORT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2022


UNIVERSITAS TADULAKO

Adult Hirschsprung Disease As Acute Intestinal Obstruction: A Case


Report

OLEH :
NURUL ANNSA SAM
N 111 20 067

PEMBIMBING :

dr. Agung Kurniawan Sp.B., Subsp. BD (K)., M.Kes

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Annisa Sam


No. Stambuk : N 111 20 067
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul : Adult Hirschsprung Disease As Acute Intestinal
Obstruction: A Case Report

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Obstetri dan Ginekologi Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako.

Palu, September 2022


Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Agung Kurniawan Sp.B., Subsp. BD (K)., M.Kes Nurul Annisa Sam S.Ked
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit Hirschsprung (HD) pertama kali dijelaskan pada tahun 1691 oleh
Frederik Ruysch, seorang ahli anatomi dan ahli bedah Belanda, sebagai fenomena
yang terkait dengan gangguan usus yang sangat melebar 10. Namun, penyakit ini
dinamai Harald Hirschsprung pada konferensi German Pediatric Society di Berlin
(1886), di mana Hirschsprung mempresentasikan kasus dua bayi yang meninggal
karena komplikasi karena obstruksi usus. Hirschsprung, nama lain untuk
megakolon aganglionik kongenital, adalah kelainan yang ditandai dengan tidak
adanya sel ganglion di pleksus submukosa dan mienterikus di segmen usus, yang
menghasilkan obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal segmen yang terkena.
Sebagian besar kasus Hirschsprung dikenali pada bayi baru lahir, tetapi beberapa
kasus dengan bentuk yang lebih ringan hanya dapat diidentifikasi pada remaja dan
dewasa 11.
Insidens penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5.000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1.400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Mayoritas pasien dengan HCSR adalah
pria, dengan rasio pria-wanita 1,5-2:1. Factor genetik telah terlibat dalam etiologi
HSCR. Diketahui bahwa HCSR terjadi dalam keluarga . insiden kasus keluarga
dalam rektosigmoid HSCR bervariasi dari 3,6% hingga 7,8% dalam seri yang
berbeda2.
Penyakit hirschsprung dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan bedah yang
perlu penanganan segera. Jika tanpa penanganan segera, maka mortalitas dapat
mencapai 80% pada bulan-bulan pertama kehidupan. Dengan penanganan yang
tepat angka kematian dapat di tekan. Menurut Swenson (2002) jika dilakukan
tindakan bedah angka kematian bisa ditekan hingga 2,5%. Di Indonesia,
pemahaman mengenai penyakit hirschsprung masih kurang sehingga pasien sering
terlambat diberikan tatalaksana yang adekuat, yang berdampak pada peningkatan
morbiditas dan mortalitas dan serta biaya pengobatan. Keterlambatan diagnosis dan
terapi akan mengakibatkan pasien yang seharusnya bisa dilakukan operasi definitif
satu tahap menjadi beberapa tahap. Hal ini akan mengakibatkan perawatan yang
lebih lama dan biaya yang lebih besar4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI EMBRIOLOGI

Embriogenesis

Selama perkembangan awal embrio yang normal, sel-sel saraf menginvasi usus
primer ke arah kraniokaudal. Ganglia enterik saling berhubungan untuk
membentuk dua pleksus yang memanjang di sepanjang usus pleksus mienterikus
luar (Auerbach) berjalan melalui seluruh usus, dan pleksus submukosa dalam
(Meissner), hanya ditemukan di usus kecil dan usus besar. Pleksus mienterikus
berkembang pertama kali dan terletak di antara lapisan otot polos longitudinal dan
sirkular. Ini terlibat dalam motilitas usus, sedangkan pleksus submukosa, yang
terbentuk kemudian, mengatur motilitas, aliran darah, dan pengangkutan ion
melintasi epitel usus.18

Motilitas usus dikendalikan oleh mekanisme yang saling bergantung termasuk


neural; seperti ganglia enterik, dan nonneural; seperti sel interstisial Cajal (ICC).
ICC berfungsi sebagai sel alat pacu jantung yang menciptakan dan menyebarkan
gelombang lambat yang menyebabkan kontraksi otot polos di usus.18

Anatomi

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau 3 inchi pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran
kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascemdens,
tranversum, descendens, dan sigmoid. Rektum memiliki 3 buah valvula: superior
kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga
pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen
dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior19.

Gambar diagram rectum dan saluran anal.

Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:

1) Pleksus Auerbach: terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal


2) Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3) Pleksus Meissner: terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut19.

Gambar skema saraf autonom intrinsic usus.

B. DEFINISI
Penyakit Hirschprung (HD) atau megakolon aganglionik kongenital adalah
gangguan motorik usus, yang disebabkan oleh kegagalan neuroblas yang berasal
dari neural crest (prekursor sel ganglion enterik) untuk bermigrasi sepenuhnya
selama perkembangan usus pada 12 minggu pertama kehamilan. Akibatnya,
menunjukkan tidak adanya sel ganglion di pleksus saraf submukosa dan mienterikus
di segmen usus variabel, terutama mempengaruhi segmen rektosigmoid atau rektal,
menyebabkan obstruksi fungsional dan terutama menghasilkan gejala sembelit.
Gejala lain yang mengarah pada kecurigaan awal hirschprung didefinisikan pada
bayi baru lahir sebagai keterlambatan lebih dari 48 jam dalam eliminasi mekonium
yang berhubungan dengan distensi abdomen dan muntah1.
C. EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit Hirschsprung adalah 1 dalam 5.000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1.400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Mayoritas pasien dengan HCSR adalah
pria, dengan rasio pria-wanita 1,5-2:1. Factor genetik telah terlibat dalam etiologi
HSCR. Diketahui bahwa HCSR terjadi dalam keluarga . insiden kasus keluarga
dalam rektosigmoid HSCR bervariasi dari 3,6% hingga 7,8% dalam seri yang
berbeda2.

D. ETIOLOGI
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak
ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal3.

a) Ketiadaan sel-sel ganglion.


Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan
pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda
patologis untuk Hirschsprung's disease. Okamoto dan Ueda
mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi
dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke
5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts
mungkin bisa ada namun gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa
yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu
bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam
lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu
migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin
terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya3.
b) Mutasi pada RET Proto-oncogene.
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom
10q11.2, telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung's disease
segmen panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya
sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan
diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung's
disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada
kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan
pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen
ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment.
Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan
juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat
pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf
enterik. Mutasi pada proto oncogene RET adalah diwariskan dengan pola
dominan autosom dengan 50 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar
50% kasus familial dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen
EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada
5% dari kasus, biasanya yang sporadis3.

c) Kelainan dalam lingkungan


Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat
mencegah migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu
peningkatan bermakna dari antigen major histocompatibility complex
(MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus
pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus
dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme
autoimun pada perkembangan penyakit ini3.
d) Matriks Protein Ekstraseluler.
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel
dan pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins
laminin dan kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam
segmen usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam
usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki
peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease3.

E. PATOFISIOLOGI
Megakolon aganglionik merupakan istilah yang menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submucosa (Meissner) dan myenteric (Auerbach) pada satu segmen kolon
atau lebih. Keadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
peristaltik yang menyebabkan penumpukkan isi usus dan distensi usus yang
berdekatan dengan kerusakan (megacolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus
internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi,
karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan dan gas7.
Kegagalan migrasi kraniokaudal pada precursor sel ganglion sepanjang saluran
gastrointestinal antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12 merupakan penyebab
penyakit hirschprung. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat
distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis
(inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada
bayi atau anak dengan penyakit hirschsprung7.
Klasifikasi
Pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit hirschprung, sel ganglion
Auerbach dan Meissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot
hipertofik. Aganglionis ini mulai dari anus kearah oral. Berdasarkan (Tang & Li,
2018) Panjang segmen yang terkena, penyakit hirschprung dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori8:
• Penyakit hirschprung segmen pendek / short-segment HSCR (80%) segmen
aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 80% dari kasus penyakit
hirschprung dan sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.
• Penyakit hirschprung segmen panjang / long-segment HSCR (15%) daerah
aganglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon
dan sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan.
• Total colonic aganglionosis (5%) bila segmen mengenai seluruh kolon.

F. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti
enterocolitis, perforasi usus, dan sepsis, yang merupakan penyebab kematian
tersering. Penyakit Hirschsprung menekankan bahwa diagnosis penyakit
Hirschsprung dapat ditegakkan pada masa neonatal. Berbagai teknologi tersedia
untuk penegakan diagnosis penyakit Hirschsprung, Namun demikian dengan
melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti, pemeriksaan
radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomic biopsi isap rektum, diagnosis
penyakit Hirschsprung pada seba besar kasus dapat ditegakkan4.
a. Anamnesis
Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan pengeluaran
mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam; adanya muntah bilious
(berwarna hijau); perut kembung; gangguan defekasi/ konstipasi kronis;
konsistensi feses yg encer; gagal tumbuh (pada anak-anak); berat badan tidak
berubah; bahkan cenderung menurun; nafsu makan menurun; ibu mengalami
polyhidramnion; adanya riwayat keluarga5.
b. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang pandang.
Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada dinding
abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus
melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung dapat
pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter anal yang
kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool5.

G. MENIFESTASI KLINIS
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu5:
1. Periode neonates
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen.
Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat
mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious
(hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium
dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami
konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena tingginya kadar laktosa
pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi berair dan dapat
dikeluarkan dengan mudah.
2. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada
beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-
kanak. Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis,
gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada
dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi.
Tanda- tandanya yaitu :
1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi
2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.
3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen
4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan
bau feses dan gas yang busuk.
5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar
umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik utama pada penyakit hirschprung adalah dengan pemeriksaan4 :

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium


merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi penyakit
hirschsprung secara dini pada neonatus. Keberhasilan pemeriksaan radiologi
pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis
radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan
tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakan diagnosis4.

1. Foto polos abdomen


Penyakit hirschsprung pada neonatus cenderung menampilkan gambaran
obstuksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara (Gambar
1). Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan pada penyakit lain
dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk di antaranya enterokolitis
nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis
lain, seperti peritonitis intrauterina atau perforasi gaster. Pada foto polos
abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu
mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan
gambaran massa feses lebih jelas dapat terlihat4.

Gambar 1. Foto polos abdomen pada neonatus dengan penyakit hirschprung

2. Foto Enema Barium


Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai distensi abdomen dan muntah
hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda
obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda-tanda klasik radiografik
yang khas untuk penyakit hirschsprung adalah4:

1) Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.


2) Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
3) Segmen dilatasi.
Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema
barium4;

a. Abrupt, perubahan mendadak.


b. Cone, bentuk seperti corong atau kerucut.
c. Funnel, bentuk seperti cerobong.

Gambar. Pemeriksaan barium enema pada penyakit hirschshprung, tampak


rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi rektum sigmoid dan daerah
transisi yang melebar.

3. Foto Retensi Barium


Retensi barium 24 sampai 48 jam setelah enema merupakan tanda penting
penyakit hirschsprung, khususnya pada masa neonatal. Gambaran barium
tampak membaur dengan feses kearah proksimal di dalam kolon berganglion
normal. Retensi barium pada pasien dengan obstipasi kronik yang bukan
disebabkan penyakit hirschsprung terlihat makin ke distal, menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto
pada waktu enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak
terlihat tanda khas penyakit Hirschsprung4

a) Prosedur pemeriksaan foto enema barium. Pemeriksaan enema barium


sebaiknya dikerjakan oleh spesialis radiologi anak yang berpengalaman
dengan radiografi neonatus. Hasil pemeriksaan enema barium dalam
membantu penegakan diagnosis penyakit hirschsprung sangat bergantung
pada teknik pengerjaannya.
b) Teknik pengerjaan enema barium

1) Kateter lunak dimasukkan ke dalam rektum sampai ujung kateter


terletak persis di atas sfingter anal, tidak lebih dari 2,5 cm. Kateter tidak
dioles dengan pelicin dan difiksasi dengan plester. Pantat saling
dirapatkan dengan plester lebar.
2) Bahan kontras yang dipakai adalah larutan barium dengan pengenceran
30% dengan cairan pelarut NaCl fisiologis. Untuk memasukkan larutan
barium dipakai semprit ukuran kecil, agar volume larutan barium yang
dimasukkan dapat dikontrol, rata-rata 5-10 ml setiap kali memasukkan
ke dalam rektum. Untuk pasien anak yang lebih besar larutan barium
dapat dimasukkan lebih dari 10 ml. Larutan barium lebih dipilih dari
larutan gastrografin, karena kemungkinan masih diperlukan foto retensi
barium, 24 - 48 jam setelah enema.
3) Cara melakukan enema barium: Pasien dalam posisi tengkurap, larutan
barium dimasukkan dengan dikontrol fluoroskopi. Setelah itu posisi
pasien diubah ke posisi lateral atau oblik. Bila kontras telah masuk ke
daerah rektosigmoid dan daerah transisi telah terlihat, maka larutan
barium tidak perlu dimasukkan lagi. Foto dibuat dengan proyeksi lateral
atau oblik. Kateter dilepas dan dibuat foto ulang, disebut sebagai foto
pasca-evakuasi. Pasca-evakuasi rektosigmoid kembali ke bentuk
semula, tidak terpengaruh oleh tekanan larutan barium yang
dimasukkan.
4) Hal-hal yang perlu diketahui: Sewaktu memasukkan larutan barium
harus hati-hati dan perlahan untuk menghindari segmen sempit
aganglion terdilatasi. Pengisian larutan barium yang terlalu banyak dan
dengan tekanan kuat akan mengakibatkan segmen distal kolon teregang
dan menghilangkan gambaran zona transisi yang harus diperlihatan
pada foto. Umumnya foto lebih jelas pada foto pascaevakuasi (lihat
uraian butir 3). Kalau hasil foto dinilai tidak informatif, dapat dibuat
foto ulang 24- 48 jam sesudah enema barium untuk melihat bayangan
sisa barium atau lebih sering disebut retensi barium.

4. Foto CT Scan

Pada orang dewasa yang menderita penyakit hirschsprung, biasanya lesi


hanya terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang
dilakukan pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan
yang dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam
suatu studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan
yang didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada
biopsi rectum
Salah satu gambar CT scan secara transversal pada wanita umur 31
tahun dengan hirschsprung usus melebar karena feses colon ascendens (AC)
dibandingkan usus dengan colon descendens tidak dilatasi (DC) dengan zona
transisi dari proksimal kolon descendens.

Gambar diatas merupakan foto CT Scan dengan kontras dengan


potongan transversal dan tampak dilatasi bagian proksimal rectum serta
bagian rectosigmoid yang terisi massa feses.
Gambar diatas merupakan foto CT Scan dengan kontras dengan
potongan transversal dan tampak zona transisi dan penyempitan di bagian
distal rectum.

Pemeriksaan Histopatologi

1. Biopsi Seluruh Tebal Dinding Rektum

Diagnosis patologi-anatomik penyakit hirschsprung dilakukan


melalui prosedur biopsi yang dilaporkan oleh Swenson pada tahun 1955
dengan eksisi seluruh tebal dinding muskulus rektum, sehingga pleksus
mienterik dapat diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam spesimen biopsi
menyingkirkan diagnosis penyakit hirschsprung, sebaliknya bila tidak
ditemukan sel ganglion membuktikan diagnosis. Biopsi seluruh tebal
dinding rektum mengandung dua lapis muskulus, yaitu lapis muskulus
sirkular dan lapis muskulus longitudinal. Karenanya teknik ini ideal untuk
mendeteksi sel ganglion auerbach berikut serabut sarafnya. Namun
prosedur biopsi ini harus dikerjakan dengan anestesi umum dan terdapat
kemungkinan timbul komplikasi perdarahan, infeksi, dan fibrosis perirektal.
Walaupun hasilnya mempunyai akurasi tinggi, tetapi prosedur ini dinilai
relatif lebih sulit dari biopsi isap karena memerlukan anastesi umum. Biopsi
seluruh tebal dinding rektum dikerjakan bila hasil pemeriksaan klinis,
radiologis, dan biopsi isap diragukan4.

2. Biopsi Isap

Diagnosis histopatologis anatomi merupakan diagnosis pasti dengan


menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin, sehingga dapat mengenali
aganglionosis usus. Asetilkolin esterase merupakan teknik pewarnaan
khusus yang dapat mengenali penyakit hirschsprung secara mudah dan
cepat, biasanya dilakukan pada biopsi hisap dan frozen section. Pewarnaan
asetilkolinesterase sebaiknya digunakan pada pusat pelayanan level III.
Biopsi isap mukosa dan submukosa rektum dengan mempergunakan alat
Rubin atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan dilakukan
tanpa anestesi umum. Pada spesimen biopsi dalam parafin dilakukan
potongan seri dan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Diagnosis ditegakkan
bila tidak ditemukan sel ganglion meissner dan ditemukan penebalan
serabut saraf dimana dilaporkan bahwa akurasi pemeriksaan ini 100%.
Peneliti lain melaporkan pengalaman mereka dengan teknik ini pada 302
pasien berumur kurang dari 1 tahun yang menghasilkan akurasi 100% juga,
tidak terdapat positif ataupun negatif semu, dan 69 di antaranya merupakan
penyandang penyakit hirschsprung. Pendapat lain menyatakan bahwa pada
bayi baru lahir, pleksus persarafan rektum masih imatur dan pleksus
meissner kurang berkembang dibandingkan dengan pleksus auerbach;
penemuan sel ganglion imatur dalam pleksus meissner diartikan
menyingkirkan diagnosis penyakit hirschsprung4.

3. Teknik Pewarnaan Histokimia Asetilkolinesterase

Pada pasien penyakit hirschsprung terdapat kenaikan aktivitas


asetilkolinesterase pada serabut saraf dalam lamina propria dan muskularis
mukosa. Penemuan ini paralel dengan tidak ditemukannya sel ganglion
dengan pewarnaan Kamovsky dan Roots yang mempermudah terlihatnya
penebalan serabut saraf. Pewarnaan untuk asetilkolinesterase dengan teknik
yang sama sangat membantu menemukan sel ganglion di submukosa atau
di lapisan muskularis, khususnya dalam segmen usus dengan
hipoganglionosis, juga dalam menentukan segmen berganglion normal pada
waktu pembedahan. Pada 21 (dua puluh satu) pasien penyakit hirschsprung
yang dilaporkan tidak ditemukan hasil negatif semu pada biopsi isap4.

4. Pemeriksaan Imunohistokimia

Pewarnaan histokimia asetilkolinesterase pada sediaan potong beku


memang membantu penegakan diagnosis, tetapi interpretasinya
memerlukan pengalaman, dan perdarahan mukosa yang mungkin terjadi
dapat mempersulit pemeriksaan. Pewarnaan imunohistokimia potongan
parafin jaringan biopsi isap rektum terhadap enolase spesifik neuron dan
protein S100 dengan teknik peroksidase antiperoksidase dapat
memudahkan penegakan diagnosis penyakit hirschsprung. Dengan
pewarnaan enolase spesifik neuron, sel ganglion imatur dan serabut saraf
yang hipertrofik lebih mudah terlihat. Pewarnaan untuk protein S100
menunjukkan sel ganglion berupa daerah negatif yang dikelilingi oleh
pewarnaan sitoplasma dan nuklei sel-sel schwann. Secara umum cara
imunoperoksidase memudahkan identifikasi sel ganglion imatur pada
neonatus. Pemeriksaan lain yaitu menggunakan pemeriksaan histokimia
calretinin. Calretinin merupakan calcium binding protein yang
diekspresikan secara primer pada system syaraf pusat dan perifer. Protein
ini bekerja pada transport kalsium, dan jika terwarnai (positif) merupakan
bukti adanya ganglion syaraf. Pemeriksaan ini sangat akurat menilai ada
atau tidaknya sel ganglion dengan beberapa keunggulan diantaranya: dapat
dikerjakan pada sediaan paraffin, proses pewarnaan yangsederhana, hanya
terdapat dua hasil yaitu positif dan negatif, relatif lebih murah dan
disarankan untuk kasus hirschsprung’s disease yang meragukan4.
Pemeriksaa Endoskopi

Endoscopic Full-Thikness Resection (EFTR) bermanfaat untuk


mendapatkan diagnosis pada masalah gangguan pencernaan. Didapatkan
salah satu kasus wanita berusia 19 tahun dengan konstipasi kronis sejak
masa kanak-kanak, yang tetap parah, meskipun telah menggunakan obat
pencahar, dan sudah mengubah pola makan dan gaya hidup. Pasien
menjalani beberapa intervensi diagnostik. Kolonoskopi tidak terlihat,
kecuali dilatasi masif dari kolon sigmoid dan desendens dan retensi tinja
meskipun agresif. Histologi yang diperoleh dengan menggunakan teknik
biopsi-on-biopsi tidak terungkap. Baik manometri anorektal dan enema
barium menunjukkan penyakit Hirschsprung. Untuk mendapatkan
diagnosis definitif, sampel jaringan full-thickness diperlukan. Sehingga
Pasien memutuskan untuk menerima penggunaan metode ini dan
menyetujui untuk menjalani Full- Thikness Resection (FTR)
menggunakan cara endoskopi. Berikut gambaran endoskopi pada pasien
yang menunjukkan penyakit Hirschsprung pada pemeriksaan enema
barium21.
Gambar Endoskopi. a) Lesi yang ditandai. b) Jaringan ditarik
kedalam tutup distal transparan. c) Kemudian jaringan ditarik. d) Situs
reseksi dengan klip over-the-scope in situ21.

I. TATALAKSANA

1. Dekompresi.

Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan muntah berwarna


hijau dengan pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa rektum serta
dilakukan irigasi feces dengan menggunakan NaCl 0.9% 10-20 cc/kgBB, bila
irigasi efektif dapat dilanjutkan sampai cairan yang keluar relatif bersih.

2. Perbaikan keadaan umum

1) Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit. Resusitasi cairan melalui


melalui rehidrasi dilakukan dengan menggunakan cairan isotonik.
Koreksi terhadap gangguan elektrolit diberikan setelah dipastikan fungsi
ginjal baik.
2) Antibiotik spektrum luas untuk mencegah sepsis. Pemberian
antibiotik profilaksis untuk mencegah episode berulang penyakit
hirschsprung tidak terbukti mempunyai dampak yang baik dan dapat
meningkatkan risiko terjadinya resistensi. Antibiotik digunakan untuk
menekan overgrowth dan translokasi bakteri-bakteri di usus ke pembuluh
darah melalui dinding usus. Adanya demam dan lekositosis dapat menjadi
dasar untuk memulai pemberian antibiotik. Pasien dengan Penyakit
hirschsprung berat yang dihubungkan dengan enterokolitis atau HAEC
dan sepsis ini membutuhkan penanganan di unit perawatan intensif untuk
mengontrol kondisi hemodinamik, perlu mendapat antibiotik spektrum
luas yang dimulai dengan ampisilin, gentamisin dan metronidazole.
3) Rehabilitasi nutrisi Setelah dekompresi berhasil pasien tidak perlu
dipuasakan dan dapat segera mendapat diet per oral sesuai dengan umur
pasien

3. Tindakan Bedah

Pada dasarnya penyembuhan penyakit hirschsprung hanya dapat


dicapai dengan pembedahan (rekomendasi A), berupa pengangkatan segmen
usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis
hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit
hirschsprung merupakan bedah sementara dan bedah definitif. Sejak
ditemukannya protokol awal oleh Swenson pada tahun 1948 mulai
berkembang teknik pendekatan operasi terbaru seperti Soave, Duhamel dan
lain-lain. Prosedur operasi 1 tahap memungkinkan jika diagnosis dapat
ditegakkan lebih awal sebelum terjadi dilatasi kolon pada hirschsprung’s
disease short segment, sedangkan untuk penyakit hirschsprung long
segment dan total kolon aganglionosis sebaiknya dilakukan dalam 2 tahap.

1. Tindakan Bedah Sementara (pembuatan stoma). Tindakan bedah


sementara dapat merupakan tindakan emergensi atau elektif. Tindakan
emergensi diperlukan bila dekompresi rektum tidak berhasil. Sedangkan
tindakan bedah sementara elektif dilakukan bila tindakan dekomprei berhasil
untuk persiapan operasi definitif.
2. Tindakan Bedah Definitif. Tindakan bedah definitif dapat dikerjakan
dengan atau tanpa melalui tindakan bedah sementara. Tindakan bedah
definitif yang dikerjakan tanpa bedah sementara dilakukan pada penderita
yang berhasil didekompresi dengan menggunakan pipa rektum dengan
penilaian kaliber kolon normal. Irigasi rektum reguler selama waktu tertentu
dapat mengembalikan kaliber kolon yang distensi dan hipertrofi ke kaliber
yang normal sehingga dapat menghindari tindakan pembuatan stoma dan
pasien mempunyai kesempatan mendapatkan operasi satu tahap. Prosedur
operasi saat ini yang dilakukan dapat berupa operasi terbuka atau operasi
dengan bantuan laparaskopi.

a. Prosedur Swenson. Operasi yang dilakukan adalah tarik terobos


(pull-through) rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.
Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata.
Swenson memperbaiki kembali metode operasinya (tahun 1964)
dengan melakukan spinkterektomi posterior, dengan hanya
menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum
posterior.

b. Prosedur Duhamel. Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956


untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik
dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.
c. Prosedur Reihbein. Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior
resection yang diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan
sebagian besar rektum kemudian dilakukan anastomose end to end
antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-
3 cm di atas anal verge), menggunakan jahitan 1 (satu) lapis yang di
kerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Paska operasi, sangat
penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

d. Prosedur Soave. Tujuan utama dari prosedur Soave adalah


membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik
terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.
e. Transanal endorectal pull-through. Prosedur ini mulai
diperkenalkan pada tahun 1998 oleh De La Torre-Mondragon,
Ortega-Salgado, dan Langer. Prosedur ini yang saat ini banyak
disenangi karena menurunkan morbiditas, tanpa kolostomi, tanpa
membuka perut, dan invasif minimal. Pada teknik ini pasien dalam
posisi litotomi kemudian dilakukan mukosektomi distal rektum
melalui anus sampai pada segmen yang normal kemudian
dianastomisis ke anus. Kekurangan prosedur ini tidak bisa dilakukan
pada kasus yang enterocolitis berulang dan segmen panjang. Pada
pasien-pasien segmen panjang hisrchsprung, tindakan ini dilakukan
dengan bantuan laparoskopi.
f. Tindakan definitif pada hirschsprung yang total aganglionik Pada
kasus hirschsprung yang total aganglionik, tindakan operasi defenitif
adalah modifikasi dari teknik-teknik di atas. Antara lain Martin’s
procedure, dan Kimura’s procedure. Studi menunjukkan bahwa
reseksi kolon total dapat menyebabkan penurunan fungsi liver dan
mengharuskan dilakukannya transplantasi hati.
g. Laparoscopic assisted pull through . Pertama kali dilaporkan oleh
Georgeson pada tahun 1995. Prosedur dilakukan dengan
memasukkan kamera 4-5 mm sudut 300 pada kuadran kanan atas
abdomen tepat dibawah batas hepar. Setelah dilakukan pengangkatan
segmen aganglionik kolon dan rektum prosedur dilanjutkan dengan
diseksi transanal mukosa rektum dengan cara yang sama seperti
metode Transanal Endo Rectal Pull Through (TERPT). Keuntungan
utama dari pendekatan laparoscopic adalah memungkinkan untuk
melakukan biopsi seromuskular sebagai penanda kolon dengan
ganglion yang normal. Teknik ini juga memudahkan diseksi distal
aganglionik kolon dan rektum dengan visualisasi secara langsung.
J. KOMPLIKASI
Enterokolitis pada Penyakit Hirschsprung pada neonatus merupakan
komplikasi berat yang dapat terjadi pada periode pra dan pasca operasi. Sekitar 5-
42% bayi dengan penyakit Hirschsprung mengalami enterokolitis. Fistula atau
stenosis dari anastomosis dan enterokolitis adalah komplikasi jangka pendek
utama. Komplikasi jangka panjang termasuk konstipasi kronis (10-15%) dan
kebocoran20.

Masalah pasca operasi

Periode awal pascaoperasi

Kebanyakan anak yang menjalani laparoskopi atau pull-through transanal dapat


segera diberi makan dan dipulangkan dalam 24-48 jam. sering defekasi dan Feses
yang encer sering terjadi setelah operasi, dan sekitar 50% anak mengalami
kerusakan kulit perineum. Oleh karena itu, bokong harus dilindungi dengan hati-
hati dengan krim pelindung sampai masalah membaik, yang terjadi selama
beberapa bulan dalam banyak kasus. Anastomosis harus dikalibrasi dengan jari atau
dilator 2-3 minggu pasca operasi, dan sebagian besar ahli bedah kemudian meminta
orang tua untuk melakukan dilatasi anal setiap hari. Pilihan lain, yang tidak terlalu
membuat stres orang tua dan anak, adalah ahli bedah mengkalibrasi anastomosis
setiap minggu di klinik selama 4-6 minggu.20

Hirschsprung terkait enterokolitis dapat terjadi sebelum dan kapan saja setelah
koreksi bedah. Enterokolitis dapat berkembang sangat cepat dan dapat menjadi
sangat berat, dan merupakan penyebab kematian paling sering pada anak-anak
dengan penyakit Hirschsprung. Keluarga dan dokter perawatan primer perlu
memiliki pengetahuan tentang gejala enterokolitis, yang meliputi demam, distensi
abdomen, diare, dan muntah. Anak harus mendapat perhatian medis segera jika ada
kecurigaan enterokolitis. Dalam banyak kasus, gejala akhirnya berubah menjadi
gastroenteritis sederhana, tetapi lebih baik berhati-hati daripada membiarkan anak
menjadi septik dari enterokolitis yang tidak diobati.20

Gejala obstruktifpascaoperasi

Gejala obstruktif terdiri dari distensi abdomen, muntah, kembung, dan


konstipasi berat yang memerlukan pencahar atau enema. Ada lima alasan utama
untuk gejala obstruktif persisten: (1) obstruksi mekanis; (2) persarafan abnormal
pada tindakan pull-through, biasanya karena kesalahan patologi atau pull-through
zona transisi; (3) motilitas abnormal pada kolon proksimal atau usus halus; (4)
akalasia sfingter ani interna, yang didefinisikan sebagai non-relaksasi sfingter ani
interna; atau (5) konstipasi fungsional yang disebabkan oleh perilaku menahan
tinja. Pendekatan terorganisir diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab masalah
dengan benar, untuk merancang intervensi terapeutik dengan benar.20

Kotoran pascaoperasi

Kotoran setelah pull-through dapat disebabkan oleh inkontinensia fisiologis


sebagai akibat dari fungsi otot yang buruk (biasanya terkait dengan cedera pada
saat pull-through atau sfingterotomi sebelumnya), atau karena sensasi yang buruk
dari rektum penuh hingga hilangnya linea dentata selama pull-through. Kotoran
juga dapat disebabkan oleh "inkontinensia semu" baik yang disebabkan oleh
konstipasi fungsional dengan enkopresis atau hiperperistaltik pada usus yang
ditarik.2

K. PROGNOSIS
Pasien Hirschsprung yang ditatalaksana dengan tepat dapat hidup sebagai
anggota masyarakat yang produktif dengan kualitas hidup yang baik. Pertumbuhan
dan perkembangan pasien Hirschsprung sebagian besar berada dalam parameter
populasi normal dengan fungsi intelektual mendekati normal. Outcome yang buruk
dilaporkan pada sekitar 15-30% kasus, terutama pada mereka yang memiliki
ekspresi fenotipe sindrom lainnya. Outcome fungsional tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk panjang segmen aganglionik, prosedur bedah yang dilakukan, ada
atau tidaknya komplikasi bedah, serta keadaan sosial, dukungan keluarga, dan
anomali terkait. Masalah psikologis diperberat pada mereka dengan dukungan
keluarga yang buruk6
BAB III
LAPORAN KASUS

PASIEN DAN OBSERVASI

INFORMASI PASIEN :

Seorang laki-laki berusia 25 tahun datang ke unit gawat darurat dengan riwayat
distensi abdomen selama tiga hari. Ia juga mengeluhkan flatus dan tidak bisa buang air
besar selama tiga hari

TEMUAN KLINIS :

Pada hasil pemeriksaan klinis didapatkan tanda vital dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik abdomen didapatkan, inspeksi Regio abdomen tampak distensi (+),
kontur usus terlihat, auskultasi bising usus berkurang, dan perkusi didapatkan bunyi
hiperresonansi positif, palpasi didapatkan nyeri perut (+). Pemeriksaan colok dubur
didapatkan menemukan kolong yang kosong.

RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA DAN RIWAYAT KELUARGA :

Pasien mengatakan memiliki riwayat sembelit selama 20 tahun terakhir. Dari


hasil biopsi dan endoskopi saluran cerna bagian bawah, pasien didiagnosis dengan
proktitis non-spesifik. Menurut pasien sembelit yang dirasakan memberat sejak 4 bulan
terakhir ini. Pasien meras lega ketika sudah mengkonsumsi obat pencahar. Pasien
belum pernah menjalani operasi sebelumnya atau hematochezia. Kelurga pasien juga
tidk memiliki riwayat penyakit hirschsprung.

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal adalah leukosit dimana


mengalami sedikit peningkatan yaitu leukosit : 10.600 sel/ml, dengan komposisi
neutrophil 50 %. HbsAg (-). Pada pemeriksaan foto rotgen abdomen menunjukkan
dilatsi kolon dan tidak adanya distribusi udara di rektum dengan banyaknya feses,
menunjukkan volvulus kolon (Gambar 1).

DIAGNOSA :

Kami mendiagnosis pasien dengn obstruksi usus, yang diduga karena volvulus.

INTERVENSI TERAPEUTIK :

Pasien dilakukan laparotomi eksplorasi, setelah itu dilakukan prosedur hertman


dan rectosigmoid.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus jurnal ini melaporkan seorang laki-laki berusia 25 tahun
datang ke UGD dengan distensi abdomen selama 3 hari. BAB tidak ada selama 3
hari. Flatus (+). Dan pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan, inspeksi Regio abdomen tampak
distensi (+), kontur usus terlihat, auskultasi bising usus berkurang, dan perkusi
didapatkan bunyi hiperresonansi positif, palpasi didapatkan nyeri perut (+).
Pemeriksaan colok dubur tidak didapatkan apa-apa. Dan Riwayat penyakit
sebelumnya, pasien pernah mengeluhkan sembelit yang dialami sejak 20 tahun ini dan
didiagnosis degan proctitis. Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan hal yang
serupa. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan para peneliti
mendiagnosis pasien sebagai pasien dengan obstruksi usus.

Pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium


yang abnormal adalah leukosit dimana mengalami sedikit peningkatan yaitu leukosit :
10.600 sel/ml, dengan komposisi neutrophil 50 %. HbsAg (-). Pada pemeriksaan foto
rotgen abdomen menunjukkan dilatsai kolon dan tidak adanya distribusi udara di
rektum dengan banyaknya feses, menunjukkan volvulus kolon. Dari hasil pemeriksaan
penunjang ini maka diagnosis pasien bertambah menjadi pasien dengan obstruksi usus,
yang diduga karena volvulus.

Obstruksi usus merupakan keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa
di salurkan ke anus karena adanya sumbatan atau hambatan yang di sebabkan kelainan
dalam lumen usus, dinding usus atau bagian luar usus yang menekan segmen usus dan
menyebabkan adanya nekrosis pada usus. Beberapa penyebab obstruksi antara lain
henia, adhesi, invaginasi, volvulus, malformasi usus. Pada kasus ini didapatkan
gambaran volvulus kolon dari hasil foto rotgen12.

Pada jurnal ini melaporkan kasus orang dewasa dengan Hirschsprung yang
gejala klinis pertamanya melibatkan tanda-tanda obstruksi usus. Hirschsprung atau
megakolon aganglionik kongenital adalah suatu kondisi yang melibatkan obstruksi
usus fungsional sebagian atau seluruh kolon pada tingkat aganglionik 13. Seperti
yang kita ketahui Hirschsprung ini merupakan penyakit kongenital, tapi pada kasus
ini terjadi pada orang dewasa. Menurut teori insiden Hirschsprung, Insiden
Hirschsprung dewasa hanya 300 kasus sebelum tahun 2016 , dengan laki-laki
mendominasi dibandingkan perempuan (4:1) . Usia pasien Hirschsprung dewasa
berkisar antara 14 hingga 70 tahun, dengan usia rata-rata 23,9 tahun. Mayoritas
kasus melibatkan pasien di bawah usia 30 tahun14.

Pasien dewasa dengan Hirschsprung biasanya datang dengan riwayat konstipasi


kronis/refrakter (73-92%), distensi abdomen (83-86%), massa tinja yang sering teraba
(50-56%), impaksi tinja (25-36%), dan riwayat menggunakan enema secara teratur
untuk buang air besar (73-92%) . Sekitar 5% pasien dengan gejala penyakit minimal
mungkin tidak terdiagnosis sampai awal masa dewasa (pada dekade kedua dan ketiga
kehidupan). Mereka sering salah didiagnosis dengan sembelit kronis. Hirschsprung
mungkin tidak didiagnosis sampai gejala akut dengan komplikasi seperti kolitis
obstruktif atau volvulus sigmoid terjadi. Sebagian besar pasien gejala klinis seperti
distensi abdomen mulai muncul pada usia muda, namun sebagian besar pasien tidak
menjalani pengobatan karena gejalanya ringan. Gejala-gejala ini sering memburuk
seiring bertambahnya usia pasien. Obstruksi usus adalah gejala utama saat ini . Kasus
Hirschsprung pada orang dewasa jarang terjadi, dan ketika ditemukan pada kelompok
15
usia ini, muncul sebagai tipe Hirschsprung segmen ultrashort Kasus ini disajikan
dengan obstruksi usus di rectosigmoid dengan riwayat sembelit kronis yang dimulai
pada usia muda.
Pada pemeriksaan barium enema pada kasus Hirschsprung klasik, dapat
ditemukan megakolon proksimal dan penyempitan anorektal. Pada kasus ini, hasil
histopatologi dari biopsi rektal pada usus distal menunjukkan peningkatan
asetilkolinesterase (AChE) dari serabut saraf dan tidak adanya sel ganglion. Gold
standar untuk diagnosis definitif Hirschsprung adalah biopsi rektal, yang menunjukkan
adanya aganglionik di pleksus mienterikus dan hipertrofi ujung saraf . Diagnosis
Hirschsprung dibuat dengan mempertimbangkan gejala klinis, riwayat penyakit,
pemeriksaan dan laboratorium, histopatologis pemeriksaan 16.

Prosedur bedah dua tahap direkomendasikan sebagai manajemen teraman untuk


mengobati Hirschsprung dewasa. Hal ini karena kelebihan feses yang kronis
menyebabkan dilatasi kolon yang masif dan disparitas lumen usus, yang
mengakibatkan kesulitan melakukan anastomosis usus. Tahap pertama manajemen
bedah melibatkan biopsi bagian beku dan kolostomi, diikuti dengan penarikan perut
beberapa bulan kemudian. Hal ini memungkinkan usus besar untuk secara bertahap
kembali ke kondisi normal dalam interval waktu antara operasi pertama dan kedua dan
juga mengurangi risiko komplikasi pasca operasi. Enam metode bedah dapat digunakan
untuk Hirschsprung dewasa: prosedur Duhamel, prosedur Swenson, prosedur Soave,
miektomi, reseksi anterior rendah (LAR) dikombinasikan dengan miektomi, dan LAR
dikombinasikan dengan kolektomi17. Pada kasus ini dilakukan laparotomi eksplorasi
Setelah dilakukan sayatan dibagian garis tengan, usus besar tampak sangat melebar dan
padat di bagian hulu persimpangan region ileocecal. Adapun terjadi obstruksi pada
rektosigmoid dalah sekitar 50 cm (Gambar 2). Selama eksplorasi bedah tidak
ditemukan adanya tumor atau perlengketan yang ditemukan. Setelah itu dilakukan
prosedur hertman dan rektosigmoid yang direseksikan dikirim ke ahli ptologi.
BAB V

PENUTUPAN

Penyakit Hirschprung (HD) atau megakolon aganglionik kongenital adalah


gangguan motorik usus, yang disebabkan oleh kegagalan neuroblas yang berasal dari
neural crest (prekursor sel ganglion enterik) untuk bermigrasi sepenuhnya selama
perkembangan usus pada 12 minggu pertama kehamilan. Walaupun insiden selalu
terjadi pada neonates, tapi Hirschsprung juga terjadi pada dewasa k a s u s y a n g a d a
hanya 300 kasus sebelum tahun 2016 , dengan laki-laki mendominasi dibandingkan
perempuan (4:1). Usia pasien Hirschsprung dewasa berkisar antara 14 hingga 70
tahun, dengan usia rata-rata 23,9 tahun. Mayoritas kasus melibatkan pasien di
bawah usia 30 tahun

Pasien Hirschsprung dewasa yang tidak diobati sebagian besar berisiko tinggi
mengalami kematian akibat komplikasi seperti perforasi, obstruksi usus, enterokolitis,
malnutrisi, dan dehidrasi. Komplikasi yang timbul pada orang dewasa yang telah
menjalani operasi Hirschsprung adalah dehiscence anastomosis, enterokolitis, fistula-
inano, retraksi kolon, abses panggul, impotensi, striktur anastomosis, anemia, abses
perianal, emboli paru, dan iskemia pada tempat anastomosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Suleiman L., Philip O., Juseph B. Case Report Late Diagnosis Of Hirschsprung’s
Diseasa. 2017 :70-73. http://doi:10.4103/ssajm.ssajm
2. Puri P. Hirschsprung’s Disease And Allied Discorders. Cham : Springer
International Publishing. 2019. http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-
3. Wibowo N, R. Hirschsprung’s Disease. Kedokteran Bedah. 2017.
http://id.scribd.com/94777316
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Penyakit Hirschsprung. 2017.
5. Surya, P, A, I., Dharmajaya, I. Gejala dan Diagnosis Penyakit Hirschsprung. 2015.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/8099/6103/
6. Agustina. K., Margiani. N., Mahastuti. N. M. Constipation that needs attention :
Late Hirschsprung disease. http://isainsmedis.id
7. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/8702/4/Chapter%202.pdf
8. Tang and Li. Identification of Genes Associated With Hirschsprung Disease,
Based on Whole-Genome Sequence Analysis, and Potential Effects on Enteric
Nervous System Development. Gastroenterology. 2018 Dec.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30217742/
9. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 4 Vol (3). 2019. Jakarta : EGC
10. Skaba R. Historic milestones of Hirschsprung's disease (commemorating the 90th
anniversary of Professor Harald Hirschsprung's death). J Pediatr Surg. 2007;42(1):
249-251. PubMed| Google Scholar
11. Berger M, Muensterer O, Harmon CM. Tales from previous times: important
eponyms in pediatric surgery. Pediatr Surg Int. 2014 Jan;30(1): 1-10. PubMed|
Google Scholar
12. Pau, P. Simarmata, Y.Restiati, N. M. Penanganan Obstruksi Usus. Jurnal
Veteriner. 2021. Vol 9(1).
13. Mariana N, Asadul Isl A, Hatta M, Fransiscus H. IL23 mRNA expression in
Hirschsprungassociated enterocolitis. J Med Sci. 2020;20: 39- 43.
14. Miyamoto M, Egami K, Maeda S, Ohkawa K, Tanaka N, Uchida E et al.
Hirschsprung's disease in adults: report of a case and review of the literature. J
Nippon Med Sch. 2005 Apr;72(2): 113-20. PubMed| Google Scholar
15. Martins MR, dos Santos CHM, Falcão GR. Late diagnosis of Hirschsprung's
disease. J Coloproctology. 2015;35(3): 178-181. Google Scholar
16. Zhang M, Ding K. Adult congenital megacolon with acute fecal obstruction and
diabetic nephropathy: a case report. Exp Ther Med. 2019 Oct;18(4): 2726-2730.
PubMed| Google Scholar
17. Patandianan YT, Nurmantu F, Mariana N, Miskad UA, Zainuddin AA,
Ahmadwirawan et al. Relationship of nerve diameter using S-100
immunohistochemistry with Hirschsprungassociated enterocolitis degrees. Med
Clínica Práctica. 2021;4: 100227. Google Scholar
18. Lusine Ambartsumyan, Caitlin Smith Michael,dkk, 2020.Department of
Gastroenterology, Seattle Children’s Hospital andUniversity of Washington,
Seattle, Washington
19. Michael D. Levin, 2021. Diagnosis and pathophysiology of Hirschsprung’s
disease. Department of Pediatric Radiology of the 1st State Hospital, Minsk,
Belarus
20. Olga M. Gorbatyuk. current approaches to diagnosis and treatment of
hirschsprung disease in newborns and infants (literature review and first-hand
experience).Shupyk National Healthcare University Of Ukraine, Kyiv, Ukraine :
2022
21. Alvaro, M. A., Endoscopic Full-Thickness Resection For Diagnosis of
Hirschsprung Disease. 2018 ; 50. E281- 283.

Anda mungkin juga menyukai