GANGGUAN SOMATOFORM
Pembimbing:
i
LEMBAR PENGESAHAN
GANGGUAN SOMATOFORM
Oleh:
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II ISI................................................................................................................2
2.4 Hipokondriasis.............................................................................................
iv
2.5 Gangguan Dismorfik Tubuh........................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ISI
2
selama 6 bulan atau lebih.
2. Gangguan somatoform yang tidak ditentukan (NOS: not otherwise
specified) adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak
memenuhi diagnosis gangguan somatoform yang sebelumnya
disebutkan.1
Pasien yang sudah terdiagnosis gangguan somatoform oleh dokter
terkadang datang kembali kedokter dengan keluhan gejala sebelumnya.
Dengan adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berkali-kali dan tidak ada
hasil bahwa dia terkena kelainan fisik bisa disimpulkan merupakan ciri
khas gangguan somatoform.2
3
menanyakan tentang lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab
sepanjang hidupnya.3
Prevalensi seumur hidup menderita gangguan somatisasi pada populasi
umum diperkirakan adalah 0,1 sampai 0,2%, walaupun beberapa kelompok
penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5%.
Gangguan berhubungan terbalik dengan posisi sosial, terjadi paling sering
pada pasien dengan pendidikan rendah dan miskin.1
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi
seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Kira-kira dua
pertiga dari semua pasien dengan gangguan somatisasi memiliki gejala
psikiatrik yang dapat diidentifikasi dan sebanyak separuh pasien dengan
gangguan somatisasi memiliki gangguan mental lainnya. Gangguan
kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri
penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri, dan obsesif-kompulsif.
Dua gangguan yang tidak lebih sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan somatosasi dibandingkan dengan populasi umum adalah gangguan
bipolar dan penyalahgunaan zat.1
2.2.3 Etiologi
1. Faktor Psikososial
Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan
interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya
adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh, mengerjakan ke
pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai
contoh, kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan
suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh, nyeri pada usus
seseorang). Interpretasi psikoanalitik yang ketat tentang gejala terletak
pada hipotesis bahwa gejala adalah substitusi untuk impuls instinktual
yang direpresi.1
Pandangan perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa
pengajaran parental, contoh parental, dan etika moral mungkin
mengajarkan anak-anak untuk bersomatisasi dibandingkan anak lain.
4
Disamping itu beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal
dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik.
Faktor sosial, kultural, dan etnik mungkin juga terlibat didalam
perkembangan gejala gangguan somatisasi.1
2. Faktor Biologis
Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk
gangguan somatisasi. Penelitian tersebut mengajukan bahwa pasien
memiliki gangguan perhatian dan karakteristik yang dapat
menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan
somatosensorik. Gangguan yang dilaporkan adalah distraktibilitas
yang berlebihan, ketidakmampuan untuk membiasakan terhadap
stimulus yang berulang, pengelompokan knnstruksi kognitif atas dasar
impresionistik, asosiasi parsial dan sirkumstansial, dan tidak adanya
selektivitas seperti yang dinyatakan oleh beberapa penelitin potensial
cetusan. Sejumlah terbatas penelitian pencitraan otak telah
melaporkan penurunan metabolisme di lobus frontalis dan pada
hemisfer nondominan.1
Data genetika menyatakan bahwa sekurang-kurangnya pada
beberapa keluarga transmisi gangguan somatisasi memiliki suatu
komponen genetika. Data menyatakan bahwa gangguan somatisasi
cenderung berjalan didalam keluarga terjadi pada 10-20% anak
saudara wanita derajat pertama dari pasien dengan gangguan
somatisasi. Didalam keluarga tersebut sanak saudara laki-laki derajat
pertama adalah rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan
kepribadian anti sosial. Satu penelitian juga melaporkan angka
kesesuaian pada 29% kembar monozigotik dan 10% kembar dizigotik,
jadi menyatakan suatu efek genetika.1
Satu bidang baru riset neuroilmiah dasar yang mungkin relevan
dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lainnya
mempermasalahkan sitokin. Beberapa percobaan awal menyatakab
bahwa sitokin dapat membantu menyebabkan suatu gejala non
5
spesifik dari penyakit, khususnya infeksi, seperti hipersomnia,
anoreksia, kelelahan dan depresi. Walaupun data belum mendukung
hipotesis, regulasi abnormal sistem sitokin mungkin menyebabkan
beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.1
2.2.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IV:
a. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan terapi
yang dicari atau gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lain.
b. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala,
perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala
gastroinstestinal selain dari nyeri (mual, kembung, muntah selain
dari kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis
makanan).
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau
reproduktif selain dari nyeri (indiferensi seksual, disfungsi erektil
atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdarahan
menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala
atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit
menelan atau benjolan ditenggorokan, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda,
6
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau
hilangnya kesadaran selain pingsan).
c. Salah satu atau dua:
1. Setelah penelitian yang diperluak, tiap gejala dalam kriteria B
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis
umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat (efek
cedera, medikasi; obat, atau alkohol).
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang dtimbulkannya adalah melebihi apa
yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaa, fisik atau
temuan laboratorium.
d. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat.1
2.2.5 Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi mengeluhkan banyak gejala somatik
dan memiliki riwayat medik yang panjang, kompleks. Mual muntah (di luar
kehamilan), sulit menelan, nyeri pada lengan dan tungkai, nafas pendek
tidak berhubungan dengan aktivitas fisik, amnesia, dan komplikasi pada
kehamilan atau menstruasi adalah gejala yang paling sering didapat. Pasien
biasanya percaya bahwa mereka sakit hampir sepanjang masa hidupnya.1
Distres psikologis dan masalah interpersonal menonjol; cemas dan
depresi adalah kondisi psikiatri yang paling sering ditemukan. Ancaman
bunuh diri sering terjadi, namun bunuh diri yang benar-benar terjadi jarang
ditemukan, biasanya berkaitan dengan penyalahgunaan zat. Riwayat medik
pasien seringkali tidak jelas, tidak tepat, inkonsisten, dan disorganisasi.
Pasien menggambarkan keluhannya secara dramatis, emosional, dan
melebih-lebihkan, dengan bersemangat; mereka keliru dengan urutan waktu
dan tidak dapat membedakan dengna tepat gejala saat ini dengan gejala
sebelumnya. Pasien dapat merasa bergantung, egosentris, haus akan pujian
atau rasa bangga, dan manipulatif.1
Gangguan somatisasi biasanya berhubungan dengan gangguan mental
lainnya, termasuk gangguan depresi mayor, gangguan kepribadian,
7
gangguan akibat penggunaan zat, gangguan cemas generalisata, dan fobia.
Kombinasi dari gangguan ini dan gejala yang kronis mengakibatkan
peningkatan insidensi masalah perkawinan, pekerjaan, dan sosial.1
2.2.6 Diagnosis Banding
8
2.2.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
2.2.8 Terapi
9
Psikoterapi baik individual atau kelompok menurunkan biaya perawatan
kesehatan penderita gangguan somatisasi sebesar 50%, sebagian besar
karena penurunan jumlah perawatan dirumah sakit. Dalam lingkungan
psikoterapeutik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk
mengekspresikan emosia yang mendasari, dan untu mengembangkan
strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.1
10
DSM-III secara resmi memasukkan keluhan somatik polisimptomatik
didalam kategori gangguan konversi. Walaupun DSM-III-R memasukkan
gejala non neurologis dalam kategori diagnosis konversi, DSM-IV kembali
kepada keyakinan untuk membatasi diagnosis pada satu gejala neurologis
yang terlibat.1
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi beberapa gejala gangguan konversi yang tidak cukup parah
untuk memerlukan diagnosis dapat terjadi pada sebanyak seperitga populasi
umum pada suatu waktu selama kehidupannya. Satu survei masyarakat
menemukan bahwa insidensi tahunan gangguan konversi adalah 22 per
100.000 orang. Diantara populasi spesifik, kejadian gangguan konversi
mungkin lebih tinggi dari angka tersebut, kemungkinan menyebabkan
gangguan konversi menjadi gangguan somatoform yang sering ditemukan
pada beberapa populasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa 5-
15% konsultasi psikiatrik disuatu rumah sakit umum dan 25-30%
perawatan dirumah sakit Veterans Affair melibatkan pasien dengan
diagnosis konversi.1
Rasio wanita terhadap laki-laki pada pasien dewasa adalah sekurangnya 2
berbanding 1 dan sebanyaknya 3 berbanding 1; anak-anak memiliki
penonjolan pada perempuan yang bahkan lebih tinggi. Laki-laki dengan
gangguan konversi seringkali terlibat didalam kecelakaan pekerjaan atau
militer. Gangguan konversi dapat memiliki onset pada setiap usia, dari
masa anak-anak sampai lanut usia. Data menyatakan bahwa gangguan
kardioversi paling sering di populasi pedesaan , orang dengan pendidikan
rendah, mereka dengan nilai inteligensia yang rendah, dan anggota militer
yang mengalami situasi peperangan. Gangguan konversi seringkali disertai
dengan diagnosis komorbid gangguan depresif berat, gangguan kecemasan,
dan skizofrenia.1
2.3.3 Etiologi
1. Faktor Psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi adalah disebabkan
11
oleh represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan
kedalam suatu gejala fisik. Konflik adalah antara impuls instinktual
(sebagai contoh, agresif dan seksual) dan penghalangan terhadap
ekspresinya. Gejala memungkinkan ekspresi sebagian keinginan atau
dorongan yang dilarang tetapi tersembunyi, sehingga pasien tidak
perlu secara sadar berhadapan dengan impuls mereka yang tidak dapat
diterima; yaitu gejala gangguan konversi yang memiliki hubungan
simbolik dengan konflik bawah sadar. Gejala gangguan konversi juga
memungkinkan pasien mengkomunikasikan bahwa mereka
membutuhkan perhatian khusus dan pengobatan khusus. Gejala
tersebut dapat berfungsi sebagai cara non verbal untuk mengendalikan
atau memanipulasi orang lain.1
2. Faktor Biologis
Semakin banyak data yang melibatkan faktor biologis dan
neuropsikologis dalam perkembangan gejala gangguan konversi.
Penelitian pencitraan otak awal telah menemukan hipometabolisme di
hemisfer non dominan dan telah melibatkan gangguan komunikasi
hemisferik didalam penyebab gangguan konversi. Gejala mungkin
disebabkan oleh kesadaran kortikal yang berlebihan yang mematikan
loop umpan balik negatif antara korteks serebral dan formasi
retikularis batang otak. Peningkatan tingkat keluaran fortikugal,
sebaliknya menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, dimana
beberapa pasien gangguan konversi dapat menjelaskan defisit sensorik
yang diamati. Pada beberapa pasien gangguan konversi, uji
neuropsikologis menemukan gangguan serebral yang samar-samar
dalam komunikasi verbal, daya ingat, kewaspadaan, ketidaksesuaian
afek dan perhatian.1
2.3.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IV:
12
a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik
volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis
atau kondisi medis lain.
b. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau
defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah
didahului oleh konflik atau stresor lain.
c. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
d. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,
dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek
langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang
diterima secara kultural.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lain.1
2.3.5 Gambaran Klinis
Paralisis, kebutaan dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang
paling sering. Gangguan konversi mungkin paling sering berhubungan
dengan gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan
historionik. Gejala gangguan depresif dan kecemasan seringkali dapat
menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien yang terkena berada dalam
resiko untuk bunuh diri.1
a. Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parestesia adalah sering
ditemukan, khususnya pada anggota gerak. Semua modalitas
sensorik dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak
konsisten dengan yang ditemukan pada penyakit neurologis sentral
13
atau perifer. Jadi dokter dapat menemukan anestesia “stocking and
glove” yang karakteristik pada tangan atau kaki atau hemianestesia
pada tubuh yang tepat dimulai dari garis tengah.1
Gejala gangguan konversi mungkin melibatkan organ indera
spesifik, yang menyebabkan ketulian, kebutaan dan penglihatan
terowongan (tunnel vision). Gejala tersebut mungkin unilateral atau
bilateral. Tetapi pemeriksaan neurologis menemukan jalur sensorik
yang utuh. Pada kebutaan gangguan konversi, sebagai contoh, pasien
berjalan berkeliling tanpa bertabrakan atau mencederai diri sendiri,
pupilnya bereaksi terhadap cahaya dan potesial cetusan kortikal
mereka adalah normal.1
b. Gejala Motorik
Gejala motorik adalah kelainan pergerakan, cara berjalan,
kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmikal yang jelas, gerakan
koreiform, tik, dan sentakan-sentakan mungkin ditemukan.
Pergerakan biasanya memburuk jika diberikan perhatian padanya.
Satu gangguan gaya berjalan yang ditemukan pada gangguan
konversi adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat
ataksik dan sempoyongan yang disertai oleh gerakan batang tubuh
yang menyentak, iregular, kasar dan gerakan lengan yang
menggelepar dan bergelombang. Pasien dengan gejala jarang
terjatuh; jika mereka terjatuh, mereka biasanya tidak mengalami
cidera.1
Gangguan motorik lain yang sering adalah paralisis atau paresis
yang mengenai satu, dua atau keempat anggota gerak, walaupun
distribusi otot yang terlibat tidak sesuai dengan jalur neural. Refleks
tetap normal; pasien tidak memiliki fasikulasi atau atrofi otot
(kecuali setelah paralisis konversi yang lama); temuan
elektromiografi adalah normal.1
c. Gejala Kejang
Kejang semu (pseudoseizure) adalah gejala lain pada gangguan
14
konversi. Klinisi mungkin akan merasa sulit dengan pengamatan
klinis saja untuk membedakan kejang semu dari kejang yang
sesungguhnya. Selain itu, kira-kira sepertiga pasien yang memiliki
kejang semu juga memiliki gangguan epileptik yang menyertai.
Menggigit lidah, inkontinensia urin dan cidera setelah terjatuh dapat
terjadi pada kejang semu, walaupun gejala tersebut biasanya tidak
ditemukan. Refleks pupil dan batuk adalah dipertahankan setelah
kejang semu, dan pasien tidak memiliki peningkatan konsentrasi
prolaktin pasca kejang.1
d. Ciri Penyerta Lain
Beberapa gejala psikologis juga telah dihubungkan dengan
gangguan konversi.1
Tujuan Primer
Pasien mendapatkan tujuan primer dengan
mempertahankan konflik internal diluar kesadaran mereka.
Gejala memiliki nilai simbolik yang mewakili konfliks
psikologis bawah sadar.1
Tujuan Sekunder
Pasien mendapatkan keuntungan yang nyata akibat
mereka sakit, seperti dimaafkan dari kewajiban dan situasi
kehidupan yang sukar, mendapatkan bantuan dan bantuan
yang mungkin tidak didapatkannya pada keadaan lain, dan
mengendalikan perilaku orang lain.1
La Belle Indifference
La Belle Indifference adalah sikap sombong pasien
yang tidak sesuai terhadap gejala serius; yaitu, pasien
tampaknya tidak memperhatikan apa yang tampaknya
merupakan gangguan berat. Ketidakacuhan lunak tersebut
mungkin tidak ditemukan pada beberapa pasien gangguan
konversi; keadaan ini juga ditemukan pada beberapa pasien
penyakit medis yang serius yang mengembangkan sikap
15
pandai menahan sikap. Ada atau tidaknya la belle
indifference adalah tidak akurat untuk menemukan apakah
pasien menderita gangguan konversi.1
Identifikasi
Pasien gangguan konversi mungkin secara tidak
disadari membentuk gejalanya pada seseorang yang penting
bagi mereka. Sebagai contoh, orang tua atau orang yang
baru saja meninggal mungkin berperan sebagai model untuk
gangguan konversi. Keadaan ini sering terjadi pada reaksi
dukacita patologis dimana orang yang kehilangan memiliki
gejala orang yang telah menibggal.1
2.3.6 Diagnosis Banding
16
gangguan konversi ditemukan pada skizofrenia, gangguan depresif, dan
gangguan kecemasan; tetapi gangguan lain tersebut adalah disertai oleh
gejala jelas mereka sendiri yang akhirnya memungkinkan diagnosis
banding.1
17
kondisi medis nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem saraf pusat.
Dengan demikian, pasien dengan gangguan konversi harus mendapatkan
pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap pada saat diagnosis.1
2.3.8 Terapi
Pemulihan gejala gangguan konversi biasanya spontan, walaupun
pemulihan kemungkinan dipermudah oleh terapi suportif beorientasi
tilikan atau terapi perilaku; ciri yang paling penting dari terapi adalah
hubungan terapeutik yang merawat dan menguasai. Pada pasien yang
kebal terhadap ide psikoterapi, dokter dapat menganjurkan bahwa
psikoterapi dipusatkan pada masalah stres dan mengatasinya.
Menceritakan pada pasien tersebut bahwa gejalanya adalah tidak nyata
dapat menyebabkan gejala lebih memburuk, bukannya menjadi lebih
baik. Hipnosis ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku adalah efektif
pada beberapa kasus. Amobarbital atau lorazepam parenteral mungkin
menbantu dalam mendapatkan infromasi riwayat penyakit tambahan,
khususnya jika baru saja dialami suatu peristiwa traumatik. Pendekatan
psikodinamika termasuk psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi
tilikan, dimana pasien menggali konflik intraspikis dan simbolisme dari
gejala gangguan konversi. Psikoterapi jangka singkat bentuk langsung
dan singkat juga telah digunakan untuk mengobat gangguan konversi.
Semakin lama pasien gangguan konversi berada dalam peranan sakit dan
semakin mereka teregresi, semakin sulit pengobatannya.1
Sumber :
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri:
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua.
Jakarta: Bina Rupa Aksara. 2010.
RP Dzikra, K Sri, Sistem Pendukung Keputusan Untuk
Diagnosis Banding Gangguan Somatoform Berbasis
PPDGJ III: Jurnal Fasilkom. 2020:10(2); 113-121
18
Andri A. Konsep Biopsikososial dan Keluhan
Psikosomatik: J Indon Med Assoc. 2011;61:9
19
20