Anda di halaman 1dari 25

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / Juli 2022


** Pembimbing / dr. Susiati, M.Ked, Sp.KJ

GANGGUAN SOMATOFORM

Ikhlas Amal Al Makhaddani,


S.Ked*
Gumaya Indriana Utami, S.Ked*
Wulan Rizky Amelia, S.Ked*

Pembimbing:

dr. Susiati, M.Ked, Sp.KJ**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU


KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI
JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

GANGGUAN SOMATOFORM

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSJD Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
2022

Oleh:

Ikhlas Amal Al Makhaddani, S.Ked G1A221114


Gumaya Indriana Utami, S.Ked G1A221118
Wulan Rizky Amelia, S. Ked G1A221044

Laporan ini Telah Diterima dan Dipresentasikan


Jambi, Juli 2022

Pembimbing

dr. Susiati, M.Ked, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Clinical Science Session
(CSS) pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Jambi yang berjudul “Gangguan Somatoform”.

Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik


Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa RSJD Provinsi Jambi. Penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Susiati, M.Ked, Sp.KJ
selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan
Clinical Science Session ini dapat terselesaikan dengan baik, serta kepada
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Clinical Science Session
ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
laporan ini. Semoga kiranya laporan ini dapat bermanfaat dan
diimplementasikan dalam kehidupan klinik.

Jambi, Juli 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................iii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II ISI................................................................................................................2

2.1 Gangguan Somatoform..............................................................................2

2.2 Gangguan Somatisasi................................................................................3


2.2.1 Definisi....................................................................................................3
2.2.2 Epidemiologi............................................................................................3
2.2.3 Etiologi....................................................................................................4
2.2.4 Diagnosis.................................................................................................6
2.2.5 Gambaran Klinis......................................................................................7
2.2.6 Diagnosis Banding...................................................................................8
2.2.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis..........................................................9
2.2.8 Terapi.......................................................................................................9

2.3 Gangguan Konversi.................................................................................10


2.3.1 Definisi..................................................................................................10
2.3.2 Epidemiologi..........................................................................................11
2.3.3 Etiologi..................................................................................................11
2.3.4 Diagnosis...............................................................................................12
2.3.5 Gambaran Klinis....................................................................................13
2.3.6 Diagnosis Banding.................................................................................16
2.3.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis........................................................17
2.3.8 Diagnosis Banding.................................................................................18

2.4 Hipokondriasis.............................................................................................

iv
2.5 Gangguan Dismorfik Tubuh........................................................................

2.6 Gangguan Nyeri..........................................................................................

BAB III KESIMPULAN............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

v
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok yang memiliki gejala fisik


(seperti nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik cukup serius untuk
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi didalam peranan sosial
atau pekerjaan. Suatu gangguan diagnosis somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar
untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak
disebabkan pura-pura yang disadari ataupun gangguan buatan.1
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat
(DSM-IV) mempertahankan sebagian besar diagnosis yang dituliskan
didalam edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R). Lima gangguan somatoform
spesifik adalah dikenali, diantaranya: (1) Gangguan somatisasi, (2)
gangguan konversi, (3) hipokondriasis, (4) gangguan dismorfik tubuh, (5)
gangguan nyeri.1
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan
somatoform diantaranya: (1) Gangguan somatoform yang tidak dibedakan
(undiferentiated), (2) gangguan somatoform yang tidak ditentukan (NOS:
not otherwise specified).1
Pasien yang sudah terdiagnosis gangguan somatoform oleh dokter
terkadang datang kembali kedokter dengan keluhan gejala sebelumnya.
Dengan adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berkali-kali dan tidak ada
hasil bahwa dia terkena kelainan fisik bisa disimpulkan merupakan ciri khas
gangguan somatoform.2

1
BAB II
ISI

2.1 Gangguan Somatoform


Gangguan somatoform adalah suatu kelompok yang memiliki gejala fisik
(seperti nyeri, mual, dan pusing) dimana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik cukup serius untuk
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi didalam peranan sosial
atau pekerjaan. Suatu gangguan diagnosis somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar
untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform tidak
disebabkan pura-pura yang disadari ataupun gangguan buatan.1
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat
(DSM-IV) mempertahankan sebagian besar diagnosis yang dituliskan
didalam edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R). Lima gangguan somatoform
spesifik adalah dikenali, diantaranya:
1. Gangguan somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang
mengenai banyak sistem organ.
2. Gangguan konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3. Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan daripada
kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.
4. Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau
persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5. Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna
diseksaserbasi oleh faktor psikologis.1
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan
somatoform diantaranya:
1. Gangguan somatoform yang tidak dibedakan (undiferentiated)
termasuk gangguan somatoform yang tidak dijelaskan lain, yang ada

2
selama 6 bulan atau lebih.
2. Gangguan somatoform yang tidak ditentukan (NOS: not otherwise
specified) adalah kategori untuk gejala somatoform yang tidak
memenuhi diagnosis gangguan somatoform yang sebelumnya
disebutkan.1
Pasien yang sudah terdiagnosis gangguan somatoform oleh dokter
terkadang datang kembali kedokter dengan keluhan gejala sebelumnya.
Dengan adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berkali-kali dan tidak ada
hasil bahwa dia terkena kelainan fisik bisa disimpulkan merupakan ciri
khas gangguan somatoform.2

2.2 Gangguan Somatisasi


2.2.1 Definisi
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik
yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai
banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari
gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan
sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis).
Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa
tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan
psikologis yang bermakna, seperti gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan
perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.1
2.2.2 Epidemiologi
Menurut literatur dari negara-negara barat, gangguan somatisasi lebih
banyak terjadi pada perempuan, namun pada praktiknya sering ditemukan
sama banyak antara perempuan dan laki-laki. Kepribadian pasien yang
biasanya erat kaitannya dengan gangguan somatisasi adalah kepribadian
histrionik. Pasien dengan gangguan tersebut secara dramatis
memperlihatkan kebutuhan yang berlebihan untuk mencari pertolongan,
terkadang tanpa berpikir panjang menyetuju semua pertolongan yang
ditawarkan untuk mengatasi penyakitnya. Dalam wawancara yang

3
menanyakan tentang lamanya keluhan pasien, biasanya mereka menjawab
sepanjang hidupnya.3
Prevalensi seumur hidup menderita gangguan somatisasi pada populasi
umum diperkirakan adalah 0,1 sampai 0,2%, walaupun beberapa kelompok
penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5%.
Gangguan berhubungan terbalik dengan posisi sosial, terjadi paling sering
pada pasien dengan pendidikan rendah dan miskin.1
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa gangguan somatisasi
seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Kira-kira dua
pertiga dari semua pasien dengan gangguan somatisasi memiliki gejala
psikiatrik yang dapat diidentifikasi dan sebanyak separuh pasien dengan
gangguan somatisasi memiliki gangguan mental lainnya. Gangguan
kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri
penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri, dan obsesif-kompulsif.
Dua gangguan yang tidak lebih sering ditemukan pada pasien dengan
gangguan somatosasi dibandingkan dengan populasi umum adalah gangguan
bipolar dan penyalahgunaan zat.1
2.2.3 Etiologi
1. Faktor Psikososial
Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan
interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial, hasilnya
adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh, mengerjakan ke
pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai
contoh, kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan
suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh, nyeri pada usus
seseorang). Interpretasi psikoanalitik yang ketat tentang gejala terletak
pada hipotesis bahwa gejala adalah substitusi untuk impuls instinktual
yang direpresi.1
Pandangan perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa
pengajaran parental, contoh parental, dan etika moral mungkin
mengajarkan anak-anak untuk bersomatisasi dibandingkan anak lain.

4
Disamping itu beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal
dari rumah yang tidak stabil dan telah mengalami penyiksaan fisik.
Faktor sosial, kultural, dan etnik mungkin juga terlibat didalam
perkembangan gejala gangguan somatisasi.1
2. Faktor Biologis
Beberapa penelitian mengarah pada dasar neuropsikologis untuk
gangguan somatisasi. Penelitian tersebut mengajukan bahwa pasien
memiliki gangguan perhatian dan karakteristik yang dapat
menyebabkan persepsi dan penilaian yang salah terhadap masukan
somatosensorik. Gangguan yang dilaporkan adalah distraktibilitas
yang berlebihan, ketidakmampuan untuk membiasakan terhadap
stimulus yang berulang, pengelompokan knnstruksi kognitif atas dasar
impresionistik, asosiasi parsial dan sirkumstansial, dan tidak adanya
selektivitas seperti yang dinyatakan oleh beberapa penelitin potensial
cetusan. Sejumlah terbatas penelitian pencitraan otak telah
melaporkan penurunan metabolisme di lobus frontalis dan pada
hemisfer nondominan.1
Data genetika menyatakan bahwa sekurang-kurangnya pada
beberapa keluarga transmisi gangguan somatisasi memiliki suatu
komponen genetika. Data menyatakan bahwa gangguan somatisasi
cenderung berjalan didalam keluarga terjadi pada 10-20% anak
saudara wanita derajat pertama dari pasien dengan gangguan
somatisasi. Didalam keluarga tersebut sanak saudara laki-laki derajat
pertama adalah rentan terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan
kepribadian anti sosial. Satu penelitian juga melaporkan angka
kesesuaian pada 29% kembar monozigotik dan 10% kembar dizigotik,
jadi menyatakan suatu efek genetika.1
Satu bidang baru riset neuroilmiah dasar yang mungkin relevan
dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lainnya
mempermasalahkan sitokin. Beberapa percobaan awal menyatakab
bahwa sitokin dapat membantu menyebabkan suatu gejala non

5
spesifik dari penyakit, khususnya infeksi, seperti hipersomnia,
anoreksia, kelelahan dan depresi. Walaupun data belum mendukung
hipotesis, regulasi abnormal sistem sitokin mungkin menyebabkan
beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatoform.1
2.2.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IV:
a. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun
yang terjadi selama periode beberapa tahun dan menyebabkan terapi
yang dicari atau gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lain.
b. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan dengan gejala individual
yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan
sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala,
perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama
menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama miksi).
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala
gastroinstestinal selain dari nyeri (mual, kembung, muntah selain
dari kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis
makanan).
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau
reproduktif selain dari nyeri (indiferensi seksual, disfungsi erektil
atau ejakulasi, menstruasi yang tidak teratur, perdarahan
menstruasi yang berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala
atau defisit yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak
terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi
atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit
menelan atau benjolan ditenggorokan, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda,

6
kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau
hilangnya kesadaran selain pingsan).
c. Salah satu atau dua:
1. Setelah penelitian yang diperluak, tiap gejala dalam kriteria B
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis
umum yang dikenal atau efek langsung dari suatu zat (efek
cedera, medikasi; obat, atau alkohol).
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang dtimbulkannya adalah melebihi apa
yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaa, fisik atau
temuan laboratorium.
d. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat.1
2.2.5 Gambaran Klinis
Pasien dengan gangguan somatisasi mengeluhkan banyak gejala somatik
dan memiliki riwayat medik yang panjang, kompleks. Mual muntah (di luar
kehamilan), sulit menelan, nyeri pada lengan dan tungkai, nafas pendek
tidak berhubungan dengan aktivitas fisik, amnesia, dan komplikasi pada
kehamilan atau menstruasi adalah gejala yang paling sering didapat. Pasien
biasanya percaya bahwa mereka sakit hampir sepanjang masa hidupnya.1
Distres psikologis dan masalah interpersonal menonjol; cemas dan
depresi adalah kondisi psikiatri yang paling sering ditemukan. Ancaman
bunuh diri sering terjadi, namun bunuh diri yang benar-benar terjadi jarang
ditemukan, biasanya berkaitan dengan penyalahgunaan zat. Riwayat medik
pasien seringkali tidak jelas, tidak tepat, inkonsisten, dan disorganisasi.
Pasien menggambarkan keluhannya secara dramatis, emosional, dan
melebih-lebihkan, dengan bersemangat; mereka keliru dengan urutan waktu
dan tidak dapat membedakan dengna tepat gejala saat ini dengan gejala
sebelumnya. Pasien dapat merasa bergantung, egosentris, haus akan pujian
atau rasa bangga, dan manipulatif.1
Gangguan somatisasi biasanya berhubungan dengan gangguan mental
lainnya, termasuk gangguan depresi mayor, gangguan kepribadian,

7
gangguan akibat penggunaan zat, gangguan cemas generalisata, dan fobia.
Kombinasi dari gangguan ini dan gejala yang kronis mengakibatkan
peningkatan insidensi masalah perkawinan, pekerjaan, dan sosial.1
2.2.6 Diagnosis Banding

Sejumlah gangguan medis seringkali tampak dengan kelainan yang


nonspesifik dan sementara dalam kelompok usia yang sama. Gangguan
medis tersebut adalah sklerosis multipel, miastenia gravis, lupus
eritematosus sistemik, sindrom nodefisiensi didapat (AIDS), porfiria
intermiten akut, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, dan infeksi sistemik
kronis. Onset gejala somatik multipel pada seorang pasien yang berusia
lebih dari 40 tahun harus dianggap disebabkan oleh kondisi medis
nonpsikiatrik sampai pemeriksaan medis yang luas telah dilakukan.1

Banyak gangguan mental yang dipertimbangkan dalam diagnosis


banding, yang dipersulit oleh pengamatan bahwa sekurangnya 50% pasien
dengan gangguan somatisasi menderita gangguan medis yang menyertai.
Gangguan depresfi berat, gangguan kecemasan umum dan skizofrenia
semuanya dapat tampak dengan keluhan utama yang berpusat pada gejala
somatik. Tetapi pada semua gangguan tersebut, gejala depresi, kecemasan
atau psikosis akhirnya menonjol diatas keluhan somatik. Walaupun pasien
dengan gangguan somatik mungkin mengeluh banyak gejala somatik yang
berhubungan dengan serangan paniknya, pasien tersebut tidak terganggu
oleh gejala somatik diantara serangan panik.1

Diantara gangguan somatoform lainnya, hipokondriasis, gangguan


konversi, dan gangguan nyeri perlu dibedakan dari gangguan somatisasi.
Hipokondriasis ditandai oleh keyakinan palsu bahwa seseorang menderita
penyakit spesifik, berbeda dengan gangguan somatisasi yang ditandai oleh
permasalahan dengan banyak gejala. Gejala gangguan konversi adalah
terbatas pada satu atau dua gejala neurologis, bukannya berbagai gejala dari
gangguan somatisasi. Gangguan nyeri adalah terbatas apada satu atau dua
keluhan gejala nyeri.1

8
2.2.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Gangguan somatisasi adalah suatu gangguan yang kronis dan sering


menyebabkan ketidakmampuan. Menurut definisinya, gejala harus mulai
ada sebelum usia 30 tahun dan ada selama beberapa tahun. Episode
peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru
diperkirakan berlangsung selama 6-9 bulan dan dapat dipisahkan oleh
periode yang kurang simptomatik yang berlangsung 9-12 bulan. Tetapi,
jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari 1
tahun tanpa mencari suatu perhatian medis. Seringkali terdapat hubungan
antara periode peningkatan stres atau stres baru dan seksaserbasi gejala
somatik.1

2.2.8 Terapi

Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka


memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan utamanya. Jika
terlibat lebih dari satu klinisi, pasien memiliki banyak kesempatan untuk
mengekspresikan keluhan somatik. Klinisi primer harus memeriksa pasien
selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval satu
bulan. Kunjungan harus relatif singkat walaupun pemeriksaan fisik
sebagian harus dilakukan dengan respon terhadap masing-masing keluhan
somatik yang baru, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik tambahan
biasanya harus dihindari. Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, maka
dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional, bukan sebagai keluhan medis. Tetapi pasien
dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik. Dengan
demikian dokter harus selalu menggunakan penimbangannya mengenai
gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana. Strategi luas
yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran
pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat didalam
gejala sampai pasien mau mengunjungi klinisi kesehatan mental,
kemungkinan seorang dokter psikiatrik secara teratur.1

9
Psikoterapi baik individual atau kelompok menurunkan biaya perawatan
kesehatan penderita gangguan somatisasi sebesar 50%, sebagian besar
karena penurunan jumlah perawatan dirumah sakit. Dalam lingkungan
psikoterapeutik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk
mengekspresikan emosia yang mendasari, dan untu mengembangkan
strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.1

Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi disertai


dengan gangguan mood atau kecemasan selalu memiliki resiko, tetapi
pengobatan psikofarmakologi dan juga pengobatan psikoterapeutik
diindikasikan pada gangguan penyerta. Medikasi harus dimonitor karena
pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara
berlebihan dan tidak dapat dipercaya. Pada pasien tanpa gangguan mental
penyerta, sedikit data yang menyatakan bahwa terapi farmakologis efektif.1

2.3 Gangguan Konversi


2.3.1 Definisi
DSM-IV mendefinisikan gangguan konversi sebagai suatu gangguan
yang ditandai dengan adanya satu atau lebih gejala neurologis (sebagai
contoh, paralisis, kebutaan dan parestesia) yang tidak dapat dijelaskan oleh
gangguan neurologis atau medis yang tidak diketahui. Disamping itu,
diagnosis mengharuskan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan
awal atau eksaserbasi gejala.1
Sindrom yang sekarang ini dikenal sebagai gangguan konversi awalnya
dikombinasikan dengan sindrom yang sekarang dikenal sebagai gangguan
somatisasi dan pada umumnya dinamakan histeria, reaksi konversi, atau
reaksi disosiatif. Briquet dan Jean Martin Charcot berperan dalam
mengembangkan konsep gangguan konversi dengan menyatakan pengaruh
herediter pada gejalan dan seringnya hubungan dengan peristiwa traumatik.
Istilah “konversi” diperkenalkan oleh Sigmund Freud yang
menghipotesiskan berdasarkan penelitiannya pada Anna O, bahwa gejala
gangguan konversi mencerminkan konflik bawah sadar. Pada tahun 1980

10
DSM-III secara resmi memasukkan keluhan somatik polisimptomatik
didalam kategori gangguan konversi. Walaupun DSM-III-R memasukkan
gejala non neurologis dalam kategori diagnosis konversi, DSM-IV kembali
kepada keyakinan untuk membatasi diagnosis pada satu gejala neurologis
yang terlibat.1
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi beberapa gejala gangguan konversi yang tidak cukup parah
untuk memerlukan diagnosis dapat terjadi pada sebanyak seperitga populasi
umum pada suatu waktu selama kehidupannya. Satu survei masyarakat
menemukan bahwa insidensi tahunan gangguan konversi adalah 22 per
100.000 orang. Diantara populasi spesifik, kejadian gangguan konversi
mungkin lebih tinggi dari angka tersebut, kemungkinan menyebabkan
gangguan konversi menjadi gangguan somatoform yang sering ditemukan
pada beberapa populasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa 5-
15% konsultasi psikiatrik disuatu rumah sakit umum dan 25-30%
perawatan dirumah sakit Veterans Affair melibatkan pasien dengan
diagnosis konversi.1
Rasio wanita terhadap laki-laki pada pasien dewasa adalah sekurangnya 2
berbanding 1 dan sebanyaknya 3 berbanding 1; anak-anak memiliki
penonjolan pada perempuan yang bahkan lebih tinggi. Laki-laki dengan
gangguan konversi seringkali terlibat didalam kecelakaan pekerjaan atau
militer. Gangguan konversi dapat memiliki onset pada setiap usia, dari
masa anak-anak sampai lanut usia. Data menyatakan bahwa gangguan
kardioversi paling sering di populasi pedesaan , orang dengan pendidikan
rendah, mereka dengan nilai inteligensia yang rendah, dan anggota militer
yang mengalami situasi peperangan. Gangguan konversi seringkali disertai
dengan diagnosis komorbid gangguan depresif berat, gangguan kecemasan,
dan skizofrenia.1
2.3.3 Etiologi
1. Faktor Psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik, gangguan konversi adalah disebabkan

11
oleh represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan
kedalam suatu gejala fisik. Konflik adalah antara impuls instinktual
(sebagai contoh, agresif dan seksual) dan penghalangan terhadap
ekspresinya. Gejala memungkinkan ekspresi sebagian keinginan atau
dorongan yang dilarang tetapi tersembunyi, sehingga pasien tidak
perlu secara sadar berhadapan dengan impuls mereka yang tidak dapat
diterima; yaitu gejala gangguan konversi yang memiliki hubungan
simbolik dengan konflik bawah sadar. Gejala gangguan konversi juga
memungkinkan pasien mengkomunikasikan bahwa mereka
membutuhkan perhatian khusus dan pengobatan khusus. Gejala
tersebut dapat berfungsi sebagai cara non verbal untuk mengendalikan
atau memanipulasi orang lain.1
2. Faktor Biologis
Semakin banyak data yang melibatkan faktor biologis dan
neuropsikologis dalam perkembangan gejala gangguan konversi.
Penelitian pencitraan otak awal telah menemukan hipometabolisme di
hemisfer non dominan dan telah melibatkan gangguan komunikasi
hemisferik didalam penyebab gangguan konversi. Gejala mungkin
disebabkan oleh kesadaran kortikal yang berlebihan yang mematikan
loop umpan balik negatif antara korteks serebral dan formasi
retikularis batang otak. Peningkatan tingkat keluaran fortikugal,
sebaliknya menghambat kesadaran pasien akan sensasi tubuh, dimana
beberapa pasien gangguan konversi dapat menjelaskan defisit sensorik
yang diamati. Pada beberapa pasien gangguan konversi, uji
neuropsikologis menemukan gangguan serebral yang samar-samar
dalam komunikasi verbal, daya ingat, kewaspadaan, ketidaksesuaian
afek dan perhatian.1
2.3.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis berdasarkan DSM IV:

12
a. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik
volunter atau sensorik yang mengarahkan pada kondisi neurologis
atau kondisi medis lain.
b. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau
defisit karena awal atau eksaserbasi gejala atau defisit adalah
didahului oleh konflik atau stresor lain.
c. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat
(seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
d. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan,
dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum, atau oleh efek
langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang
diterima secara kultural.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental
lain.1
2.3.5 Gambaran Klinis
Paralisis, kebutaan dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang
paling sering. Gangguan konversi mungkin paling sering berhubungan
dengan gangguan kepribadian pasif-agresif, dependen, antisosial, dan
historionik. Gejala gangguan depresif dan kecemasan seringkali dapat
menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien yang terkena berada dalam
resiko untuk bunuh diri.1
a. Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parestesia adalah sering
ditemukan, khususnya pada anggota gerak. Semua modalitas
sensorik dapat terlibat dan distribusi gangguan biasanya tidak
konsisten dengan yang ditemukan pada penyakit neurologis sentral

13
atau perifer. Jadi dokter dapat menemukan anestesia “stocking and
glove” yang karakteristik pada tangan atau kaki atau hemianestesia
pada tubuh yang tepat dimulai dari garis tengah.1
Gejala gangguan konversi mungkin melibatkan organ indera
spesifik, yang menyebabkan ketulian, kebutaan dan penglihatan
terowongan (tunnel vision). Gejala tersebut mungkin unilateral atau
bilateral. Tetapi pemeriksaan neurologis menemukan jalur sensorik
yang utuh. Pada kebutaan gangguan konversi, sebagai contoh, pasien
berjalan berkeliling tanpa bertabrakan atau mencederai diri sendiri,
pupilnya bereaksi terhadap cahaya dan potesial cetusan kortikal
mereka adalah normal.1
b. Gejala Motorik
Gejala motorik adalah kelainan pergerakan, cara berjalan,
kelemahan, dan paralisis. Tremor ritmikal yang jelas, gerakan
koreiform, tik, dan sentakan-sentakan mungkin ditemukan.
Pergerakan biasanya memburuk jika diberikan perhatian padanya.
Satu gangguan gaya berjalan yang ditemukan pada gangguan
konversi adalah astasia-abasia, yaitu gaya berjalan yang sangat
ataksik dan sempoyongan yang disertai oleh gerakan batang tubuh
yang menyentak, iregular, kasar dan gerakan lengan yang
menggelepar dan bergelombang. Pasien dengan gejala jarang
terjatuh; jika mereka terjatuh, mereka biasanya tidak mengalami
cidera.1
Gangguan motorik lain yang sering adalah paralisis atau paresis
yang mengenai satu, dua atau keempat anggota gerak, walaupun
distribusi otot yang terlibat tidak sesuai dengan jalur neural. Refleks
tetap normal; pasien tidak memiliki fasikulasi atau atrofi otot
(kecuali setelah paralisis konversi yang lama); temuan
elektromiografi adalah normal.1
c. Gejala Kejang
Kejang semu (pseudoseizure) adalah gejala lain pada gangguan

14
konversi. Klinisi mungkin akan merasa sulit dengan pengamatan
klinis saja untuk membedakan kejang semu dari kejang yang
sesungguhnya. Selain itu, kira-kira sepertiga pasien yang memiliki
kejang semu juga memiliki gangguan epileptik yang menyertai.
Menggigit lidah, inkontinensia urin dan cidera setelah terjatuh dapat
terjadi pada kejang semu, walaupun gejala tersebut biasanya tidak
ditemukan. Refleks pupil dan batuk adalah dipertahankan setelah
kejang semu, dan pasien tidak memiliki peningkatan konsentrasi
prolaktin pasca kejang.1
d. Ciri Penyerta Lain
Beberapa gejala psikologis juga telah dihubungkan dengan
gangguan konversi.1
 Tujuan Primer
Pasien mendapatkan tujuan primer dengan
mempertahankan konflik internal diluar kesadaran mereka.
Gejala memiliki nilai simbolik yang mewakili konfliks
psikologis bawah sadar.1
 Tujuan Sekunder
Pasien mendapatkan keuntungan yang nyata akibat
mereka sakit, seperti dimaafkan dari kewajiban dan situasi
kehidupan yang sukar, mendapatkan bantuan dan bantuan
yang mungkin tidak didapatkannya pada keadaan lain, dan
mengendalikan perilaku orang lain.1
 La Belle Indifference
La Belle Indifference adalah sikap sombong pasien
yang tidak sesuai terhadap gejala serius; yaitu, pasien
tampaknya tidak memperhatikan apa yang tampaknya
merupakan gangguan berat. Ketidakacuhan lunak tersebut
mungkin tidak ditemukan pada beberapa pasien gangguan
konversi; keadaan ini juga ditemukan pada beberapa pasien
penyakit medis yang serius yang mengembangkan sikap

15
pandai menahan sikap. Ada atau tidaknya la belle
indifference adalah tidak akurat untuk menemukan apakah
pasien menderita gangguan konversi.1
 Identifikasi
Pasien gangguan konversi mungkin secara tidak
disadari membentuk gejalanya pada seseorang yang penting
bagi mereka. Sebagai contoh, orang tua atau orang yang
baru saja meninggal mungkin berperan sebagai model untuk
gangguan konversi. Keadaan ini sering terjadi pada reaksi
dukacita patologis dimana orang yang kehilangan memiliki
gejala orang yang telah menibggal.1
2.3.6 Diagnosis Banding

Satu masalah utama dalam membedakan gangguan konversi adalah


kesulitannya untuk secara pasti menyingkirkan gangguan medis. Gangguan
medis non psikiatrik yang menyertai adalah sering ditemukan pada pasien
yang dirawat dirumah sakit dengan gangguan konversi, dan bukti-bukti
gangguan neurologis sekarang atau sebelumnya atau gangguan medis non
psikologis yang dapat menyebabkan gejala awal mereka. Dengan demikian,
pemeriksaan medis dan neurologis yang menyeluruh adalah penting pada
semua kasus. Jika gejala dapat dihilangkan oleh sugesti, hipnosis atau
amobarbital (Amytal) atau lorazepam (Ativan) parenteral, maka gejala
kemungkinan merupakan akibat dari gangguan konversi.1

Gangguan neurologis (seperti demensia dan penyakit degeneratif


lainnya), tumor otak, dan penyakit ganglia basalis harus dipertimbangkan
didalam diagnosis banding. Sebagai contoh, kelemahan dapat dikacaukan
dengan miastenia gravis, polimiositis, miopati didapat, atau sklerosis
multipel. Neurotis optik mungkin keliru didiagnosis sebagai kebutaan
gangguan konversi. Penyakit lain yang dapat menyebabkan gejala yang
membingungkan adalah sindrom Guillain-Barre, penyakit Creutz-Jacob,
paralisis periodik, dan manifestasi neurologis awal dari AIDS. Gejala

16
gangguan konversi ditemukan pada skizofrenia, gangguan depresif, dan
gangguan kecemasan; tetapi gangguan lain tersebut adalah disertai oleh
gejala jelas mereka sendiri yang akhirnya memungkinkan diagnosis
banding.1

Gejala sensorimotorik juga terjadi pada gangguan somatisasi. Tetapi


gangguan somatisasi adalah penyakit kronis yang mulai pada awal
kehidupan dan memasukkan gejala banyak sistem organ lain. Pada
hipokondriasis pasien tidak mengalami kehilangan atau distorsi fungsi yang
sesungguhnya; keluhan somatik adalah kronis dan tidak terbatas pada
gejala neurologis, dan sikap dan keyakinan hipokondriakal karakteristik
ditemukan, jika gejala pasien terbatas pada rasa nyeri, gangguan nyeri dapat
didiagnosis. Pasien yang keluhannya adalah terbatas pada disfungsi seksual
diklasifikasikan sebagai menderita disfungsi seksual, bukannya gangguan
konversi.1

Pada pura-pura dan gangguan buatan, gejala adalah dibawah kendali


sadar dan volunter. Riwayat orang yang berpura-pura biasanya lebih tidak
konsisten dan tidak cocok dibandingkan dengan riwayat pasien gangguan
konversi, perilaku curang orang yang berpura-pura adalah jelas diarahkan
untuk mencapai suatu tujuan.1
2.3.7 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Sebagian besar pasien, kemungkinan 90-100% dengan gangguan


konversi mengalami pemulihan gejala pertamanya dalam beberapa hari atau
kurang dari 1 bulan. Dilaporkan 75% pasien mungkin tidak mengalami
episode lain, tetapi 25% pasien mungkin mengalami episode tambahan
selama periode stres. Berhubungan dengan prognosis yang baik adalah
onset yang tiba-tiba, stresor yang mudah dikenali, penyesuaian pramorbid
yang baik, tidak ada gangguan psikiatrik atau medis komorbid, dan tidak
ada tuntutan yang terus menerus. Semakin lama terdapat gejala gangguan
konversi, semakin buruk prognosisnya. Seperti yang dinyatakan diatas, 25-
50% pasien mungkin selanjutnya menderita suatu gangguan neurologis atau

17
kondisi medis nonpsikiatrik yang mempengaruhi sistem saraf pusat.
Dengan demikian, pasien dengan gangguan konversi harus mendapatkan
pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap pada saat diagnosis.1
2.3.8 Terapi
Pemulihan gejala gangguan konversi biasanya spontan, walaupun
pemulihan kemungkinan dipermudah oleh terapi suportif beorientasi
tilikan atau terapi perilaku; ciri yang paling penting dari terapi adalah
hubungan terapeutik yang merawat dan menguasai. Pada pasien yang
kebal terhadap ide psikoterapi, dokter dapat menganjurkan bahwa
psikoterapi dipusatkan pada masalah stres dan mengatasinya.
Menceritakan pada pasien tersebut bahwa gejalanya adalah tidak nyata
dapat menyebabkan gejala lebih memburuk, bukannya menjadi lebih
baik. Hipnosis ansiolitik, dan latihan relaksasi perilaku adalah efektif
pada beberapa kasus. Amobarbital atau lorazepam parenteral mungkin
menbantu dalam mendapatkan infromasi riwayat penyakit tambahan,
khususnya jika baru saja dialami suatu peristiwa traumatik. Pendekatan
psikodinamika termasuk psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi
tilikan, dimana pasien menggali konflik intraspikis dan simbolisme dari
gejala gangguan konversi. Psikoterapi jangka singkat bentuk langsung
dan singkat juga telah digunakan untuk mengobat gangguan konversi.
Semakin lama pasien gangguan konversi berada dalam peranan sakit dan
semakin mereka teregresi, semakin sulit pengobatannya.1

Sumber :
 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri:
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid Dua.
Jakarta: Bina Rupa Aksara. 2010.
 RP Dzikra, K Sri, Sistem Pendukung Keputusan Untuk
Diagnosis Banding Gangguan Somatoform Berbasis
PPDGJ III: Jurnal Fasilkom. 2020:10(2); 113-121

18
 Andri A. Konsep Biopsikososial dan Keluhan
Psikosomatik: J Indon Med Assoc. 2011;61:9

19
20

Anda mungkin juga menyukai