Secara etimologis kata spiritualitas berasal dari kata bahasa Latin spiritus yang berarti roh, nafas hidup, semangat, keberanian, sikap, jiwa. Berdasarkan asal kata tersebut spiritualitas dapat diartikan sebagai keadaan di mana seseorang memiliki roh, semangat, nafas hidup, keberanian, sikap dan jiwa. Dalam Alkitab, spirit ditulis dalam bahasa asli: ruakh (Ibrani) dan pneuma (Yunani). Arti kata ruakh atau pneuma dalam Alkitab adalah “nafas atau udara yang menggerakkan dan menghidupkan”. Pengertian ini sama dengan pengertian spirit yang sering kita pakai sehari-hari, yaitu ‘semangat’. Semangat atau spirit yang kita butuhkan untuk bergerak dan hidup. semangat atau spirit ini hanya kita miliki di dalam Holy Spirit (Roh Kudus). Jadi, dari kata itu sendiri, spiritualitas dapat dipahami sebagai sumber semangat untuk hidup, bertumbuh, dan berkembang dalam semua bidang kehidupan di dunia ini, baik secara pribadi maupun bersama orang lain, yang kita peroleh di dalam perjumpaan dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Sejajar dengan pengertian tadi, ada beberapa penjelasan tentang spiritualitas yang dapat saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita, antara lain: Spiritualitas adalah kualitas hidup seseorang sebagai hasil dari kedalaman pemahamannya tentang Allah secara utuh. Spiritualitas juga adalah gaya hidup sehari- hari yang merupakan buah dari hubungan kita dengan Yesus, kedekatan atau keakraban hubungan kita dengan Yesus, yang ditampakkan dalam sikap hidup kita terhadap orang- orang di sekitar kita sebagai perwujudan kehadiran Yesus. Spiritualitas sebagai totalitas keberadaan manusia yang menyatakan diri di dalam cara- cara hidup, model-model berpikir, pola tindakan dan tingkah laku serta sikap-sikap manusia di hadapan Sang Misteri yaitu Allah sendiri yang hadir di dunia kita dan mengarahkan kita kepada Yang Tertinggi melebihi segala yang tinggi, Yang Terdalam di bawah segala yang terdalam dan kepada Sang Terang yang melebihi segala terang” (C.S. Song, teolog Asia dari Taiwan). Dalam Injil kita mendengar totalitas kehidupan manusia itu melalui sabda Yesus, “Carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33). Mencari Kerajaan Allah berarti hidup secara total dalam perjumpaan dengan Allah yang menjadi “Raja”, Yang Tertinggi, Yang Terdalam, Sang Terang itu sendiri. Dengan demikian, kita tidak dimangsa oleh sikap untuk menjadikan hal-hal yang sebenarnya hanya “tambahan” menjadi yang utama dalam kehidupan kita. “Spiritualitas adalah bentuk dari unsur yang kreatif dari eksistensi kekristenan. Kreatifitasnya terletak pada hubungan antara manusia sebagai umat dengan Allahnya” (Karl Rahner dalam Encyclopedia of Theology). Jadi, spiritualitas tidak hanya berkaitan dengan penghayatan rohani orang Kristen, tetapi menyangkut totalitas kehidupan orang Kristen. “Spiritualitas adalah proses “pergi dan pulang” (Henry Nouwen). Pergi untuk berjumpa dengan Allah dan pulang ke dunia untuk berjumpa dengan manusia (diri sendiri atau orang lain) dengan segala pergumulannya. Spiritualitas semacam ini dengan jelas dapat dilihat dalam pribadi Yesus dan seharusnya juga nampak dalam pribadi setiap pengikut- Nya. Karena spiritualitas bersumber dalam perjumpaan dengan atau di hadapan Allah, maka spiritualitas itu nampak dalam bentuk atau tindakan yang nyata, yaitu: doa, persekutuan/persaudaraan, dan keheningan. Tindakan ini tidak mendorong manusia untuk meninggalkan atau melarikan diri dari kenyataan dunia ini, melainkan justru berani hidup dengan penuh makna di tengah-tengah dunia ini. Oleh karena itu, spiritualitas digambarkan sebagai suatu gerakan pergi-pulang. Yang dimaksud dengan pergi ialah pergi dari tengah-tengah kehidupan yang ramai, menarik diri, mencari keheningan dan hadirat Tuhan. Kemudian yang dimaksudkan dengan pulang ialah kembali ke tengah- tengah kehidupan yang ramai untuk melaksanakan tugas panggilan kita: ikut menderita bersama-Nya di dunia ini. Dalam pengalaman spiritualitas “pergi-pulang” itu Yesus melakukan pelayanan-Nya dan dengan kata lain, hanya dengan spiritualitas “pergi- pulang” Yesus tetap mencintai dunia, menderita bersama dunia yang menderita dan dengan begitu Yesus melayani dunia.
2.2. Spiritualitas Pelayanan Santu Paulus.
2.2.1. Spiritualitas Santu Paulus Bagi St. Paulus kata spiritus (Latin) atau pneuma (Yunani) dipertentangkan dengan kata Latin caro (Yunani: sarx) yang berarti daging. Pembedaan tersebut nampak jelas dalam deskripsi Santu Paulus tentang dua tipe manusia, yakni manusia yang hidup menurut Roh dan manusia yang hidup menurut daging. Manusia yang hidup menurut Roh adalah mereka yang menghasilkan buah-buah Roh seperti ditulis dalam Galatia 5: 22-23, yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Sedangkan manusia yang hidup menurut daging atau perbuatan daging adalah percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora (Galatia 5: 19-21). Berdasarkan paparan singkat di atas, maka spiritualitas menurut Santu Paulus adalah keadaan seseorang yang hidupnya dituntun oleh Roh dan karenanya menghasilkan buah-buah roh dan menjauhkan perbuatan daging. Pandangan Santu Paulus yang mempertentangkan roh dan daging adalah logika berpikir yang dikembangkan untuk menegaskan pilihan manusia, yakni agar manusia memilih yang baik. Pandangan tersebut memiliki kelemahan karena memahami manusia sebagai dua hal yang bertentangan dan terpisah, yakni roh dan tubuh, jiwa dan badan. Sesungguhnya manusia bukanlah makhluk yang demikian. Ia adalah keutuhan jiwa dan badan, kesatuan roh dan tubuh. Manusia adalah makhluk jasmani rohani. Ia adalah badan rohaniah dan roh badaniah. Manusia sebagai keutuhan jiwa badan itu dapat terarah kepada yang baik, dapat pula tertuju kepada yang jahat. Kejahatan tidak hanya terkait tubuhnya dan kebaikan tidak hanya terkait dengan jiwanya. Allah tidak hanya hadir dalam jiwa, tetapi juga tubuh (Leteng, 2003: 5-6). St. Ireneus berkata: “Allah tidur pada sebuah batu, bermimpi pada setangkai bunga, bergerak pada seekor binatang dan berjaga pada diri manusia” (Leteng, 2003: 5). Allah hadir secara istimewa dalam hati nurani (GS 16). Menurut Santu Fransiskus dari Sales: “Allah tidak hanya berada pada tempat engkau berada, tetapi secara sangat istimewa berada dalam hatimu dan pada pusat rohmu atau jiwamu.” Berdasarkan tanggapan kritis terhadap pandangan Santu Paulus, maka spiritualitas dapat dipahami sebagai keadaan manusia yang utuh jiwa raganya dan dalam keadaan demikian ia mewujudkan dirinya dengan berani dan penuh semangat untuk memperjuangkan nilai- nilai kehidupan sejati, cinta kasih, keadilan, dan perdamaian. Pertanyaan penuntun: 1. Jelaskan pengertian etimologis spiritualitas! 2. Jelaskan maksud “spiritualitas pergi dan pulang” dari Henri Nowen! 3. Apa pengertian Spiritualitas menurut Santu Paulus?