Anda di halaman 1dari 7

BIOEKOLOGI KERANG LOLA

(Trochus niloticus Linn.)


 
 

1.    Pendahuluan
Hewan moluska khusunya dari jenis gastropoda yang di Indonesia dikenal sebagai
siput, atau juga kerang-kerangan telah lama dikenal oleh masyarakat dengan beragam
kegunaan. Seperti di Irian pada jaman dahulu, masyarakat pegunungan menggunakan
cangkang siput sebagai mata uang. Jenis cangkang siput yang digunakan terutama dari jenis
Cyprea annulus dan Cyprea meneta yang berukuran besar. Nilainya cukup tinggi jika
dibandingkan dengan mata uang sekarang, satu keping bisa ditukrkan dengan seekor babi.
Bahkan menurut informasi dibeberapa tempat masih digunakan disamping mata uang lain.
Pemanfaatan kerang oleh manusia selain cangkangnya juga dagingnya yang memiliki
nilai gizi yang tinggi karena proteinnya yang tinggi. Pemanfaatan cangkang kerang yang
beraneka ragam membuat penelitian-penelitian dari berbagai aspek hewan ini telah mulai
berkembang sejak dulu. Beberapa jenis kerang-kerangan yang memiliki nilai ekonomi yang
cukup tinggi khususmya digunakan sebagai perhiasan adalah tiram mutiara Pinctada maxima,
Pinctara margaritifera dan species lain yang mengahasilkan mutiara. Selain itu juga siput dari
jenis Trochus niloticus yang memiliki lapisan mutiara pada cangkangnya yang dikenal sebagai
“Mother of pearl” yang pemanfaatannya sangat beragam.
Kerang Lola (Trochus niloticus) merupakan hewan moluska dari kelas Gastropoda
yang hidup di rataan terumbu karang. Kerang ini memiliki manfaat ekologis di ekosistem
terumbu karang sebagai herbivora yang mengontrol populasi makroalga. Terutama sebagai
bahan makananya. (Asano,1944, Paonganan 2000). Selain itu kerang ini juga memiliki potensi
ekonomis yang cukup tinggi karena memiliki cangkang dengan lapisan mutiara yang bermutu
tinggi. Cangkangnya dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai jenis industri seperti cat,
kancing , perhiasan dan lain-lain (Morehouse, 1932; Rao,1937).
Kerang lola hidup pada perairan laut, terutama pada ekosistem terumbu karang. Hidup
sebagai pengeruk alga (grazer) yang menempel pada karang-karang mati. Berdasarkan
penelitian beberapa ahli menyatakan bahwa distribusi vertikal lola pada suatu perairan
berdasarakan diameter cangkang. Lola dengan cangkang yang berdiameter kecil ditemukan
pada perairan dangkal, semakin besar diameter cangkang maka semakin dalam habitatnya.
(Mc.Gowan, 1958; Gail, 1957; Paonganan 1997; Paonganan 2000)
Penelitian tentang kemungkinan pemanfaatan kerang Lola serta segal aspek
kehidupannya telah dimulai sejak tahun 1912 di New Caledonia. Berbagai kajian dari aspek
bilogi dan ekologi juga telah dilakukan terutama dalam upaya budi daya, baik itu di Indonesia
maupun di berbagai negara. Indosesia sebagai salah satu wilayah yang merupakan habitat lola
sejak dahulu telah dilakukan penangkapan secara tradisional. Kegiatan tersebut semakin
meningkat dengan berkembangnya berbagai industri yang memakai cangkang lola sebagai
bahan baku. Dengan menurunnya populasi lola khususnya di perairan Indonesia, maka
Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No.12 tahun
1987 yang menyatakan bahwa lola adalah salah satu hewan yang dilindungi.
 
2.              Biologi Lola
Lola (Trochus niloticus Linn.) untuk pertama kali di deskripsi oleh Linnaeus pada
tahun 1767. Hasil deskripsi tersebut menyebutkan bahwa lola merupakan kerang berukuran
besar, cangkngnya berbentuk kerucut dengan 10 sampai 12 buah ulir (suture). Perputaran seluk
(whorl) berbentuk spiral yang jelas. Beberapa seluk permulaan memiliki tonjolan-tonjolan
kecil. Seluk akhir (body whorl) berbentuk lingkaran yang cembung dan membesar.
Kolumellanya tipis yang ujungnya memiliki tonjolan seperti gigi. Cangkngnya berwarna dasar
krem keputihan dengan corak bergaris merah lembayung, sementara dasar cangkangnya
berbintik merah muda. Berdasarkan deskripsi tersebut maka klasifikasi kerang lola adalah
sebagai berikut (Springsteen and Leobrera, 1986):
 
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Sub Kelas : Prosobranchia
Ordo : Archaeogastropoda
Super Famili : Trochacea
Famili : Trochidae
Genus : Trochus
Spesies : Trochus niloticus Linn.
 
Anatomi lola untuk pertama kali diteliti oleh Robert pada tahun 1900 (Moorehouse,
1932). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di bagian kepalanya terdapat sepasang tentakel,
sepasang bintik mata dan sebuah tonjolan yang disebut “proboscis” pendek dan tidak aktif
digerakkan. Mulutnya terletak di bagain ujung kepala dengan dua buah bibir lateral. Didalam
rongga mulutnya terdapat banyak gigi radula mulai dari bagian atas hingga bagian bawah
mulut dan berakhir di bagian depan mulut dekat bibir. Antara mulut dan cangkang terdapat
juntaian dari bagian mantel berbentuk cerobong.

Gambar 1. Morfologi Kerang Lola (Trochus niloticus Linn.)


 
  Secara histologi, Pradina dan Arafin (1993) mengamatinya dengan hasil bahwa system
organnya tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan gastropoda umumnya. Struktur
anatomi dan fungsi faal tubuhnya tersusun dan didukung oleh jaringan-jaringan dasar berupa
epitel, jaringan ikat dan sebabut-serabut otot. Memiliki matel yang tipis dan liat, Insangnya
terdapat dalam ruang mantel yang berupa lembaran-lembaran menyerupai sisir berwarna abu-
abu muda, kadang-kadang dilapisi silum ditengahnya. Alat pencernaannya terdiri atas rongga
mulut, osefagus, kelenjar ludah, tembolok, lambung, kelenjar pencernaan (hati dan pancreas)
serta usus, rectum dan anus. Dinding saluran pencernaannya tersusun atas lapisan mukosa,
lapisan muskularis serta lapisan serosa. Dari hasil penelitian diketahui bahwa jenis makanan
lola berupa alga dari jenis Cyanophyta, Phaeophyta, Rhodophyta serta Clorophyta dan
beberapa jenis foraminifera, pasir dan detritus ( Asano 1944,; Soekendarsi et al., 1988).

 
3. Reproduksi Kerang Lola.
Kerang lola merupakan hewan diesius yang masing-masing individu memiliki kelamin
tunggal. Berdasarkan morfologi sulit diketahui perbedaan jenis kelamin karena tidak adanya
cirri-ciri kelamin sekunder yang membedakannya. Metode klasik yang diperkenalkan oleh
Amirthalingan (1932) untuk melihat jenis kelamin lola adalah dengan memotong bagian apeks
secara longitudinal. Dari sit dapat dilihat adanya perbedaan warna dari gonad jantan dan
betina. Gonad jantan berwarna krem keputihan sedangkan gonad betina berwana hijau tua.
Namun metode ini sangat merugikan karena harus mengorbankan hewan tersebut. Penelitian
yang dilakukan oleh Dobson and Lee (1996) dan Paonganan (2000) menyebutkan bahwa ada
kecenderungan yang besar untukmembedakan jenis kelamin lola dari penampakan morfologi
lola. Lola betina meiliki cangkang dengan perbandingan diameternya lebih besar dibandingkan
dengan tinggi cangkang, sementara yang jantan sebaliknya.
Menurut Pradina dan Dwiono (1994), proses perkembangan gonad lola dogolongkan
manjadi empat tahap perkembangan, yaitu:
1.                  Proliferasi ; gonad hanya meiliki ovum dalam jumlah sedikit, dari tingkat kepadatan
rendah hingga tinggi.
2.                  Perkembangan awal ; diameter ovum meningkat dan beberapa oosit sudah diselimuti
dengan lapisan jeli (selaput yang berlubang) disekelilingnya. Lapisan jeli tersebut bisa jadi
indicator kematangan ovum. Tahap ini didominasi oleh ovum muda dan berdiameter kecil.
3.                  Perkembangan lanjut; pada tahap ini ditandai dengan semakin banyaknya ovum yang
diselimuti dengan lapisan jeli pada bagaian luarnya.
4.                  Matang gonad; ovum matang mendominasi ovarium, pada tahap ini kadang dijumpai
ovum yang berdiameter kecil.
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa pangamatan secara mikroscopis belum ditemukan
adanya gonad pada lola dengan diameter antara 40 – 59 mm, hanya terlihat adanya lapisan
gonad yang tipis dengan sedikit trabekula yang menunjukkan belum terbentuknya gonad.
Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi dalam air.
Selanjutnya telur yang telah dibuahi akan melekat pada “red coralline algae” pada dasar
substrat perairan. Larva yang terbentuk berupa larva trokofor yang bersifat planktonik yang
berenang bebeas menggunakan velum yang bersilium. Setelah itu akan berkembang menjadi
“veliger lecithotrophic”, lalu setelah beberapa hari akan mengendap mencari substrat yang
sesuai (Heslingan dan Hilaman, 1981; Nash, 1985).
5.           Ekologi Kerang Lola
Menurut Mc.Gowan (1958), penyebaran lola terbatas pada ekosistem terumbu karang.
Hampir seluruh laut di Indo-Pasifik bahkan hingga ke perairan Indo-Australia memiliki
ekosistem yang cocok sebagai habitat lola. Namun berdasarkan penelitian tersebutternyata
bahwa di sekitar Kepulauan Yap, Palau dan Atoll Helen merupakan lokasi yang paling cocok
untuk pertumbuhan lola. Pada awal tahun 1927 diadakan pemindahan besar-besaran kerang
lola dari tempat tersebut ke Turk, Saipan, Guam, Ponope, Marshal dan Ngulu oleh orang-orang
Jepang. Upaya tersebut memberikan hasil yang menggembirakan mereka, bahkan hingga saat
ini masih bertahan hidup, walaupun pertumbuhannya lambat disbanding tempat asalnya.
Di perairan Indonesia, khususnya di Maluku, penyebaran lola terkonsentrasi dari
Maluku Tenggara, Utara dan Tengah. Yang paling tiggi kepadatannya ditemukan di Pulau Kei
Besar (Arafin, 1993). Di Sulawesi Selatan dan Tenggara, lola ditemukan dikepulauan
sembilan, Perairan pantai Bira, Spermonde dan Kepulauan Pangkep, Perairan Barru dan Pulau
Liukan Loe. (Ali et al., 1992; Soekendarsi dan Paonganan, 1996; Paonganan, 1997; Paonganan
2000).
Menurut Risamasu et al.(1995) lola juga ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur
seperti di Sumba Timur, Alor dan perairan Kupang. Di pesisir Kupang ditemukan di
Tablolong, Tanjung Kulit Kima, Slupri, Air Cina, Pulau Semau, Pulau Rote dan Pulau Landu.
Kerang lola yang masih muda akan ditemukan pada daerah pasang surut, hidup
menempel pada lembaran daun lamun atau pada tallus makroalga serta pecahan karang mati.
Sedangkan lola dewasa dapat ditemukan didaerah terumbu karang pada kedalaman 0,5 meter
hingga pada kedalaman sekitar 10 meter. Bahkan pada suatu kasus tertentu dapat ditemukan
pada kedalaman 24 meter (McGowan, 1958; Arafin. 1993; Gail, 1957, Paonganan 1997,;
Paonganan 2000). Hasil penelitian itu juga mencatat bahwa distribusi lola berdasarkan
kedalaman diikuti oleh bertambahnya ukuran diameter cangkang lola, semakin dalam perairan
maka lola yang hidup memiliki diameter yang relatif lebih besar dibandingkan dengan perairan
dangkal. Paonganan (1997) menemukan lola dengan diameter rata-rata 40,2 mm pada
kedalaman 0,1 – 3 meter, diameter rata-rata 81,3 mm pada kedalaman >3 – 5 meter, rata-rata
diameter 100,4 mm pada kedalaman >5 - 8 meter serta diameter rata-rata 117,8 mm diperoleh
pada kedalaman >8 – 11 meter.
Menurut Rao (1937) bahwa kadang-kadang dalam suatu titik tertentu didaerah tubir
pada saat surut terendah, lola ditemukan berkumpul dengan ukuran diameter yang beragam
dibawah pecahan karang mati. Hal ini terjadi karena kebiasaan lola yang hidup berkelompok
untuk mencari makan sehingga dalam suatu titik tertentu ditemukan sebanyak 15 individu.
Selain itu lola bukan hewan yang hidup menetap tetapi selalu bergerak atau berpindah tempat.
Kepadatan populasi tertinggi dapat ditemukan di tepian terumbu karang yang
terekspose langsung terhadap ombak yang didominasi lola muda, sedangkan yang dewasa
banyak dijumpai di daerah tubir (McGowan, 1958), sementara menurut Heslingan (1981) dan
Hahn (1989), kepadatan tinggi lola dapat ditemukan pada daerah yang bersubstrat pecahan
karang mati berukuran besar yang ditumbuhi oleh “filamnentous algae”, diatomae dan
foraminifera.
Yi dan Lee (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu
factor yang menunjang kehidupan lola, terutama dalam mengkonsumsi oksigen. Pada suhu
31oC merupakan suhu optimal untuk proses tersebut. Menurut Heslinga (1981) bahwa
perbedaan suhu juga berpengaruh tehadap pertumbuhan lola terutama dalam kaitannya dengan
kelimpahan dan kualitas makanan alaminya. Toleransi suhu terhadap kehidupan lola berkisar
antara 28 – 34oC. Lola sebagai hewan yang hidup di air laut memiliki toleransi terhadapa
perubahan salinitas dengan kisaran 31 – 37 %o.
 
6.           Penutup
Kerang lola sebagai salah satu sumberdaya pada ekosistem terumbu karang memiliki
potensi yang cukup besar. Namun dengan adanya eksploitasi yang cenderung berlebihan
sehingga saat ini populasinya sudah menurun drastic. Hal membuat pemerintah mengeluarkan
keputusan yang menyatakan bahwa lola m,enrupakan hewan yang dilindungi. Hal ini tentunya
mendorong peneliti untuk melakukan berbagai peneleitian dalam rangka upaya budi daya.
Upaya-upaya ke arah budi daya kerang lola telah dilakukan diberbagai tempat, seperti
di Kepulauan Marshal, Pulau Barrang Lompo serta di Australia Utara. Namun pada
implementasi di lapangan banyak kendala yang dihadapi terutama investasi dan waktu yang
relatif sangat lama untuk memperoleh hasil. Hal initerkait dengan hasil penelitian Rao (1936)
bahwa pertumbuhan lola untuk mencapai umkuran 25 – 30 mm dibutuhkan waktu sekitar dua
tahun, 50 – 60 mm waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran tersebut sekitar tiga tahun.
Selain upaya budidaya tentunya hal ini juga terkait dengan upaya konservasi,
khususnya ekosistem terumbu karang sebagai habitat lola. Lola sebagai hewan herbivora
sangat besar peranannya pada ekosistem tersebut terutama dalam mengontro populasi
makroalga yang merupakan salah satu ancaman bagi keberadaan kewan karang. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan meningkatnya kegiatan manusia disekitar pesisir yang tentunya akan
berdampak pengayaan nutrien ke ekosistem trumbu karang dan akan memacu peningkatan
populasi makroalaga. Akankah hal ini akan dibiarkan terjadi?.
 
Referensi
 
Ali, S.S.,M.N.Nessa, dan A.Rahman, 1992. Rangkuman beberapa hasil penelitian Lola
Trochus niloticus spp. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya Kekerangan
Sulawesi Selatan dan Tenggara. 102 – 108
Amirthalingan, C. 1932. Correlation of sex and shell structure in Mollucs Trochus niloticus
Linn. Current Science (1): 72 –73
 
Asano, N. 1939. On the spawning saeason of top shell. Journal of Fisheries vol 34(1): 36-38
_______, 1944. On the food of top shell from Palau Island. Journal of fisheries 35(4): 8p
Arafin, Z. 1993, Geographical distribution, habitat and fishery of top shel (Trochus niloticus)
in Maluku. Perairan Maluku dan Sekitarnya, Ambon : 93 – 101
Dharma, B. 1988, Siput dan kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha,
Jakarta :135 hal
Dobson, G., and C.J.Lee, 1996., Improved method of determining the sex of the marine top
shell (Trochus niloticus) (Mollucs: Gastropoda) for spawning. Aquaculture (139):329 –
331.
Eddy Soekendarsi,M Iqbal Djawal and Y.Paonganan.2001. Growth rate of Trochus niloticus
L.fed on four species of benthic marine macroalgae. Phuket marine biological center
special publication 25(1):135-137
Gail, R. 1957, Trochus fishery. Pasific Commisioner Quarternary. Bulletin VII (1): 48 –
49
Hahn, K.O., 1989. Culture of the tropical top shell, Trochus niloticus, In: CRC Handbook of
culture of aboalone and other marine gastropod. CRC Press, Boca Raton: 301- 315
Heslinga, G.A. 1981. Growth and maturity of Trochus niloticus in the laboratory. Proceeding
of the fourth International Coral Reef Symposium (1):39– 45
Heslinga, G.A., and A. Hilaman, 1981. Hatchery culture of the commercial top snail Trochus
niloticus in Palau, Caroline Island. Aquaculture (22) 35 – 43
McGowan, J.A., 1958. The Trochus fishery of the Trust Territory of the Pacific Island. Report
to the Commisioner, U.S. Trust Territory of the Pasific Island. Saipan: 46 p
Moorehouse, F.W. 1932. Notes on Trochus niloticus. Great Barrier Reef Expedition Scientific
Report 1928 – 1929. Nature 3 (5):154 – 155
Nash, N. 1985. Aspect of the biology of Trochus niloticus (Gastropoda:Trochidae) and its
fishery in the Great Barrier Reef region. Report to the Queensland Departement of
Primary Industries, and to the Great Barrier Reef Marine Park Autority: 20 p.
Paonganan, Y. 1997. Hubungan antara lebar, panjang, berat total, berat cangkang dan berta
daging dengan berat isi perut dari Trochus niloticus Linn dikaitkan dengan kedalaman
dan habitatnya di periranan Pulau Liukang Loe Sulawesi Selatan. Skripsi, Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang: 80 hal
Paonganan, Y. 2000. Korelasi fase perkembangan gonad lola (Trochus niloticus Linn.) dengan
aspek biofisik lingkungan perairan Pulau Baki, Sulawesi Selatan, Thesis PPs-IPB
Bogor: 86 hal.
Paonganan, Y, Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001. Size distribution of male and female
top shell Trochus niloticus Linne in relation to the depth and substrate.Phuket marine
biological center special publication 25(1):89-90
Paonganan, Y., Tjahjo Winanto and E.Soekendarsi. 2001. Biometrics of male and female top
shell Trochus niloticus Linne. Phuket marine biological center special publication
25(1):87-88
Pradina dan Z.Arafin. 1993, Struktur jaringan beberapa organ dalam Trochus niloticus
L.Balitbang Sumberdaya Laut Puslitbang LIPI Ambon: 81 – 90
Pradina, dan S.A.P. Dwiono, 1994, Karakteristik tahapan perkembangan gonad Trochus
niloticus (moluska :gastropoda). Perairan Maluku dan Sekitarnya, Ambon (8): 15 –
22
Risamasu, F. Yahya dan N.Dohoklory, 1995. Studi tentang daerah penyebaran Trochus
niloticus di perairan pesisir Nusa Tenggara Timur. Universitas Nusa Cendana: 86hal.
Soekendarsi, E. dan Y,Paonganan, 1996. Studi pendahuluan tentang siput Lola (Trochus
niloticus L. 1767) di Pulau Kapoposang (Kab.Pangkep) dan Pualau Kambing (Kab.
Bulukumba). Laporan LPPM Unhas Ujung Pandang: 37 hal
Soekendarsi, E. A. Palinggi dan Slamet S.1998. Stomach content in relation to shell length,
width, and weigth of the gastropod Trochus niloticus L. Phuket marine biological
center special publication 18(1):73 – 76
Springsteen, F.J., and F.M. Leobrera., 1986. Shell ofPhilippines. Carlos B. Leobrera, Manila:
32 p
Yi, S.K. and C.J.Lee, 1997. Effect of temperature and salinity on the oxygen consumption and
survival of Hathcery-reared juvenile top shell Trochus niloticus (Mollucs:Gastropoda).
ACIAR Proceedings (79): 69 – 75.
 
Antara mulut dan cangkang terdapat juntaian dari bagian mantel berbentuk cerobong.
 

Anda mungkin juga menyukai