Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL PENELITIAN

Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Dengan Kasus


Perceraian Pada Remaja Yang Menikah Usia Dini Di Kabupaten
Lamongan

Oleh:
6A Keperawatan Kelompok 5

Farikhatun Nadhifa 2002012953


Dewi Cahyani 2002012956
M Angga Kurniawan 2002012958
Nurul Azimatun Naimah 2002012963
Renata Febrianti Wibowo 2002012970
Mareta Putri Nurcahayani 2002012978
Lailatul Purwati Saputri 2002012981
Nur Fadhilah Ramadhan 2002012992
Ajeng Maysita Agsari 2002013124

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2023
LEMBAR KONSULTASI DAN PENGESAHAN

PROPOSAL PENELITIAN

Topik Saran
NO Tanggal Tanda Tangan
Pembahasan Pembimbing

1. 14 Maret 2023 Judul - Penentuan judul


yang diminati
- ACC judul
- Lanjut BAB 1

- Revisi bab 1
2. 8 Mei 2023

Lamongan, …………...2023

Dosen Pembimbing

(…………………………….)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat allah SWT yang selalu memberi
rahmat yang tidak terhingga kepada hamba-hambanya. Dalam menyusun proposal
penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga dengan
Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia Dini di Lamongan” yang ditulis dengan
bahasa yang jelas dan mempermudah untuk memahami.
Penulisan proposal penelitian ini bertujuan untuk memenuhi syarat salah satu
tugas Mata Kuliah Metodelogi Penelitian, Program study S1 Keperawatan, Fakultas
Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Lamongan.
Dalam pembuatan proposal penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Bapak Dr. Abdul Aziz Alimul Hidayat, S.Kep., Ns., M.Kes. Selaku Rektor
Universitas Muhammadiyah Lamongan
2. Bapak Arifal Aris, S.Kep., Ns., M.Kes. Selaku Dekan Universitas
Muhammadiyah Lamongan.
3. Ibu Suratmi S.Kep., Ns., M.Kep. Selaku Kaprodi Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Lamongan.
4. Ibu Suhariyati. S.Kep., Ns., M.Kep Selaku Pembimbing Mata Kuliah
Metodelogi Penelitian.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan dari
kesempurnaan baik mengenai isi maupun hal-hal yang berkaitan dengan penyusunan,
meskipun kelompok kami telah berusaha semaksimal mungkin.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.
Lamongan , 15 Maret 2023

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa atau sudah
dalam kondisi ideal untuk menikah, namun seiring perkembangan zaman masih
ditemukan pernikahan usia dini. Pada tahun 2018 perempuan yang menikah
sebelum berusia 18 tahun diperkirakan mencapai sekitar 1.220.900 orang dan
angka ini menempatkan Indonesia pada 10 negara dengan angka absolut
perkawinan anak tertinggi di dunia (UNICEF, 2020). Menurut Undang-undang
Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 1 tahun
1974 usia yang diperbolehkan menikah yaitu laki-laki dan perempuan adalah 19
tahun namun berdasarkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN, 2014) umur ideal untuk menikah bagi perempuan minimal
21 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun. Telah ditetapkannya peraturan
perundang-undangan mengenai batasan usia menikah untuk mendorong
penurunan angka pernikahan dini namun masih dijumpai perempuan yang
menikah di bawah usia 18 tahun, hal tersebut disebabkan oleh beberapa alasan
yang bisa menyebabkan orang memilih menikah atau dinikahkan pada usia yang
sangat muda.
Menurut UNICEF (2020) anak perempuan di daerah pedesaan dua kali
lebih mungkin untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan anak
perempuan dari daerah perkotaan. Berdasarkan data Badan Peradilan Agama,
terdapat 50.673 dispensasi perkawinan yang diputus. Jumlah tersebut lebih
rendah 17,54% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 61.449 kasus.  Melihat
trennya, dispensasi perkawinan di Indonesia melonjak drastis pada 2020, seiring
munculnya pandemi Covid-19. Kemudian dari Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis sepanjang tahun 2022,
sebanyak 15.212 pengajuan dispensasi nikah di Jawa Timur. Dari 15.212
pengajuan dispensasi nikah di Jawa Timur, 80 % di antaranya hamil duluan.
Sedangkan Angka dispensasi pernikahan dini di Kabupaten Lamongan
pada akhir tahun 2022 mencapai 50%. ( Mazir,2022)
Berdasarkan observasi yang dilakukan di Kabupaten Lamongan
terhadap remaja, maka dari 10 remaja didapatkan 5 remaja yang menikah diusia
16 tahun dan 5 Remaja yang menikah di usia 20 Tahun, sehingga masih banyak
remaja yang menikah usia dini di Kabupaten Lamongan.
Faktor – Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini yang
sering dijumpai di kalangan masyarakat yaitu karena faktor kesejahteraan
keluarga khususnya pada ekonomi/kemiskinan, pernikahan usia muda juga
terjadi karena hidup dibawah garis kemiskinan sehingga untuk meringankan
beban orang tuan maka anaknya dinikahkan dengan orang yang dianggap
mampu untuk memenuhi kebutuhan anaknya, faktor pendidikan, rendahnya
tingkat pendidikan dan juga pengetahuan orangtua, anak, dan juga masyarakat
menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anaknya yang masih dibawah
umur, faktor orang tua, orang tua khawatir terkena aib karena anak
perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat dekat sehingga
berkeinginan segera menikahkan anaknya, faktor media massa dan internet,
gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
Permisif terhadap seks, faktor adat istiadat, perkawinan usia muda terjadi karena
orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan,
dan faktor hamil diluar nikah terjadi karena mudahnya mengakses video-video
porno dan pergaulan bebas sehingga remaja merasa penasaran.(Ika
Syarifatunisa, 2017). Kasus perceraian yang dihadapi pasangan yang menikah
muda di awal pernikahannya dapat dilatar belakangi oleh beberapa factor,
dimana pada awal pernikahan membutuhkan banyak pengenalan dan
penyesuaian pada kebiasaan dari pasangan masing-masing.Dalam hal ini
dibutuhkan tingkat kematangan pribadi yang baik pada keduanya utnuk
menghindari adanya pertengkaran. Karna pada usia muda gejolak emosi dan
hasrat masing-masing passangan masih sangat tinggi sehingga akan mudah
terjadi pertengkaran ketika emosi tidak dapat dikontrol dengan baik.Selain
konflik yang berujung perceraian, juga dampak pada anak muda Indonesia yang
menikah dan putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan ditingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama, pada umumnya cenderung berpenghasilan rendah.
Serta kekerasan dalam rumah tangga juga tidak bisa di pungkiri, dimana
penelitian yang dilakukan UNICEF pada tahun 2005 mengangkat soal kekerasan
kekerasan yang tinggi dialami anak-anak yang dinikahkan pada usia muda
sebanyak 67 persen anak-anak yang dipaksa menikah mengalami kekerasan
dalam rumah tangga(KDRT) dibandingkan 47 persen perempuan dewasa yang
menikah.(Juhaeriyah, 2017)
Pernikahan dini berdampak pada terbentuknya keluarga yang tidak
harmonis. Perkawinan pada umur yang masih muda akan banyak mengundang
masalah yang tidak diharapkan karena segi psikologisnya belum matang. Tidak
jarang pasangan yang mengalami keruntuhan dalam rumah tangga karena
perkawinan yang masih terlalu muda. Memang keharmonisan dalam keluarga
tidak semata-mata dipatok oleh umur, karena semuanya dikembalikan kepada
pribadi masing-masing. Tetapi umur biasanya mempengaruhi cara berpikir dan
tindakan seseorang. Umur yang masih muda cenderung masih labil dalam
menghadapi masalah serta menyebabkan seringnya terjadi konflik dan
percekcokan yang berujung pada perceraian. Selain itu, Pernikahan dini banyak
berdampak negatif dibandingkan positif seperti mudahnya terjadi perceraian,
hilangnya kesempatan untuk mendapat pendidikan, angka kelahiran meningkat,
pemaksaan akan kematangan dan kedewasaan cara berpikir anak, dari segi
ekonomi belum mampu dibebani tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan
hidup keluarga kecilnya, dan khususnya untuk perempuan yang menikah dini
dapat menimbulkan dampak medis bagi kandungan dan kebidanannya.
Pernikahan di bawah umur berhubungan erat dengan rendahnya tingkat
pendidikan, kemampuan finansial dan kesiapan mental antara pihak laki-laki
maupun perempuan. Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap cara didik
orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya dan
keharmonisan rumah tangga yang berujung pada perceraian. Oleh karena itu,
angka pernikahan diri harus ditekan guna menurunkan angka perceraian yang
terjadi. Selain perceraian, pernikahan dini menimbulkan dampak lain seperti
pernikahan tidak harmonis, gangguan kesehatan hingga risiko bayi lahir dengan
stunting. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah pernikahan
dini yaitu penyuluhan atau sosialisasi tentang bahaya pernikahan dini kepada
masyarakat, pendidikan seksual usia dini untuk mencegah perilaku menyimpang
dan pemerataan tingkat pendidikan di tengah masyarakat. Pengawasan dan
bimbingan dari orang tua juga merupakan hal yang terpenting karena orang tua
berperan sebagai pihak terdekat bagi anak di rumah.
Pentingnya Penelitian ini dilakukan karna seperti yang kita ketahui
bersama bahwa di Wilayah Jawa Timur khususnya di Kabupaten Lamongan
tingkat pernikahan dibawah umur sangat sering terjadi bahkan setiap tahun hal
demikian terjadi, maka dari itu penelitian pernikaha usia dini ini sangat penting
untuk diteliti karna selain untuk menambah pengetahuan bagi peneliti juga dapat
memperluas wawasan terkait factor dan dampak yang terjadi setelah
melaksanakan pernikahan usia dini, peneiliti juga bisa langsung memberikan
sedikit arahan atauppun masukan untuk para remaja yang berada didaerah
Sukorame, memberikan sedikit arahan dan motivasi seperti menjelaskna atau
memberikan sedikit pemahaman kepada mereka bahwa pernikahan usia dini
tidaklah baik bagi diri sendiri terutama bagi kesehatan janin dan juga bagi
keutuhan rumah tangga. Seperti yang dilansir dari CNN Indonesia Transvision
(2020) bahwa tingkat pernikahan dini dan tingkat perceraian yang terjadi
Kabupaten Lamonganhampir setara, Maka dari itu penelitian ini sangat penting
dilakukan peneliti untuk mengetahui apa saja yang melatar belakangi tingginya
tingkat pernikahan usia dini di Kabupaten Lamongan. Adapun solusi untuk
mengurangi angka pernikahan dini antara lain banyak program penanganan
pernikahan dini yang telah dilaksanakan di berbagai negara, namun berikut
beberapa program pencegahan pernikahan yang telah disampaikan.
1. Memberdayakan anak dengan informasi, ketrampilan, dan jaringan
pendukung.
2. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas.
3. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak.
4. Menawarkan dukungan ekonomi dan pemberian insentif pada anak dan
keluarganya
5. Membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini.
Dari penjelasan di atas, kita semua dapat mengetahui bahwa kedewasaan itu
diperlukan baik secara fisik maupun mental, karena akan mempengaruhi
kehidupan anak-anaknya di masa depan. Sangatlah penting untuk memperhatikan
usia anak yang akan menikah. Oleh karena itu, dalam perkawinan di bawah umur,
tidak perlu mempertahankan amanah dan tanggung jawab sebagai suami istri, dan
suami istri sebenarnya menyadari dengan merasakan bagaimana mereka
mengemban amanah karena amanah adalah tanggung jawab kepada orang-orang
yang dipimpinnya. Dan dari pembahasan diatas peneliti tertarik untuk
mengangkat judul “Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga dengan
Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia Dini di Kabupaten Lamongan “

1.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan
Kasus Perceraian terhadap Pernikahan Usia Dini Pada Remaja di Kabupaten
Lamongan?
1.2 Tujuan Penelitian
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga dan Kasus Perceraian
terhadap Pernikahan Usia Dini pada Remaja di Kabupaten Lamongan?
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Tingkat Kesejahteraan Keluarga pada Remaja
yang Menikah Usia Dini di Kabupaten Lamongan
2. Mengidentifikasi Kejadian Perceraian pada Remeja yang Menikah
Usian Dini di Kabupaten Lamongan
3. Menganalisis Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Dengan
Kasus Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia Dini di
Kabupaten Lamongan
1.3 Manfaat Penelitian
1.3.1 Bagi Peneliti
Peneliti dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman langsung
dari teori yang telah dipelajari dengan kenyataan yang didapatkan dalam
penelitian.
1.3.2 Manfaat Bagi Institut Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat menambah referensi di perpustakaan


Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Lamongan
khususnya bagian Kesehatan dan juga dapat meningkatkan, memperluas,
mengembangkan, pengalaman dalam pengembangan ilmu pengetahuan
secara langsung khususnya mengenai Hubungan Kesejahteraan Keluarga
dengan Kasus Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia Dini di
Kabupaten Lamongan.

1.3.3 Manfaat Bagi Masyarakat


Penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman wawasan kepada
masyarakat tentang penyebab terjadinya pernikahan usia dini serta apa
saja yang melatar belakangi sehingga seringnya terjadi pernikahan anak
dibawah umur dikalangan remaja di Kabupaten Lamongan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pernikahan


2.1.1 Definisi Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan manusia dan mendapatkan keturunan. Dengan melakukan proses
pernikahan, manusia dapat memenuhi dorongan seksualnya yaitu dorongan
untuk mengembankan keturunannya. Pernikahan bersifat jangka panjang
tergantung bagaimana manusia itu menjalaninya untuk mendapat kehidupan
yang nyaman, tentram dan tentunya bahagia. Dengan melakukan pernikahan
manusia dapat memenuhi hak-haknya atas keagungan Tuhan Yang Maha Esa
yaitu menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan juga sebagai
pemenuhan bahwa hakikat manusia adalah mahkluk sosial. Pernikahan
dilangsungkan yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan.
Melalui ikatan pernikahan, manusia disajikan wadah oleh Sang Pencipta untuk
beribadah dan berketurunan sesuai dengan aturan dan tuntutan agama
(Hardianti & Nurwati, 2021).
Dengan hal ini, dalam pernikahan harus memperhatikan aturan dan
ketentuan baik dari segi agama maupun negara. Dalam melakukan proses
pernikahan, tidak hanya didasarkan atas niat tetapi juga dengan didasari atas
tujuan dari pernikahan itu. Tidak sedikit manusia memandang bahwa
penikahan merupakan tolak ukur hidup untuk menjalani kehidupan yang lebih
baik (Hardianti & Nurwati, 2021).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dijelaskan dalam Pasal (1), Bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal (2) ayat 1, Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Salah satu syarat pernikahan yaitu batasan usia baik laki-
laki maupun perempuan. Batasan usia tersebut merupakan kebijakan
pemerintah yang tertuang dalam UU RI Nomor 1 tahun 1974 Pasal (7) ayat 1,
pada pasal tersebut dijelaskan bahwa, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Dengan demikian, seseorang bisa melakukan pernikahan bila sudah
mencapai usia tersebut dan harus sudah matang secara fisik, psikologis untuk
bertanggungjawab atas pernikahan tersebut.

2.1.2 Tujuan Pernikahan


M. Ali Hasan (2006: 13) dalam (Lubis, 2016), mengemukakan ada
beberapa tujuan dari pernikahan, diantaranya yaitu menentramkan jiwa,
melestarikan keturunan, memenuhi kebutuhan biologis (Hardianti & Nurwati,
2021).
Sedangkan menurut Soemiyati (2000: 84) dalam (Lubis, 2016),
mengemukakan bahwa tujuan pernikahan adalah tujuan yang pokok dari
perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah, untuk memenuhi
kebutuhan naluri, menjaga manusia atau pasangan dari segala bahaya,
membentuk sebuah rumah tangga yang didasari atas rasa cinta dan sayang
yang memperkokoh ikatan pernikahan, memperbesar rasa tanggung jawab
dalam rumah tangga dengan mencari rezeki atau nafkah yang halal (Hardianti
& Nurwati, 2021).
Menurut Adiputra (2000: 2) dalam (Lubis, 2016), tujuan dari perkawinan
yaitu “mengatur perlakuan manusia yang berkenaan dengan kehidupan
seksnya, terutama bersenggama dengan wanita atau laki-laki diluar
pernikahan; untuk memberikan ketentuan hak, kewajiban serta perlindungan
kepada hasil senggama yaitu anak-anak; untuk memenuhi kebutuhan manusia
atau teman hidup; untuk pemenuhan akan harta, gengsi dan status tertentu
dalam masyarakat; dan untuk memenuhi kebutuhan baik antara kelompok-
kelompok kerabat tertentu (Hardianti & Nurwati, 2021).
2.1.3 Rukun dan Syarat Pernikahan dalam Islam
M. Idris (2004: 48) mengemukakan dalam (Lubis, 2016), terdapat
beberapa rukun dan syarat nikah dalam islam, diantaranya yaitu Pertama,
adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan. Kedua, kedua calon
pengantin ini (laki-laki dan perempuan) harus sudah berakal yakni sudah
baligh. Ketiga, tidak ada paksaan dari kedua mempelai. Keempat, bagi calon
perempuan harus ada wali yang akan menikahkan. Kelima, harus ada mas
kawin (mahar) yang diberikan dari calon pengantin laki-laki setelah akad
kepada pengantin perempuannya yang telah resmi menjadi pasangan suami
istri. Keenam, harus ada saksi (dua orang) laki-laki islam yang adil dan
merdeka. Ketujuh, harus ada upacara ijab dan kabul (Hardianti & Nurwati,
2021).

2.2 Konsep Pernikahan Dini


2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini
Pernikahan dini merupakan pernikahan yang terjadi sebelum usia
seseorang itu mencapai usia yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Pernikahan dini tidak hanya melihat dari segi usia saja, tetapi bagaimana
seseorang itu apakah sudah siap secara fisik, psikologis dan tanggungjawabnya
(Hardianti & Nurwati, 2021).
Umur mempengaruhi kematangan berpikir seseorang, semakin
bertambahnya umur seseorang dan dengan pengalaman yang didapat maka
pengetahuan pun akan semakin banyak. Di Indonesia angka pernikahan dini
masih terbilang cukup tinggi dan umumnya terjadi di desa-desa pelosok.
Pernikaahan dini tidak hanya terjadi di desa saja, di perkotaan pun masih
terjadi tetapi angkanya cukup minim dengan beragam latar belakang. Di desa
pernikahan dini terjadi pada perempuan, karena disebabkan oleh beberapa
faktor. Bahkan di desa pernikahan dini terjadi jika anak perempuan itu sudah
baligh (Hardianti & Nurwati, 2021).
Remaja yang menikah dibawah umur masih belum cukup matang secara
fisik, fisiologis dan psikologis untuk menjalani kehidupan berumah tangga.
Hal tersebut akan memberikan dampak dan permasalahan dalam pernikahan
dini. Bila semakin banyak terjadinya pernikahan dini, maka hal ini akan
menjadi sebuah masalah sosial (Hardianti & Nurwati, 2021).
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN),
Penikahan Dini memiliki definisi secara umum, adalah pernikahan dengan
cara perjodohan yang melibatkan satu atau dua pihak, sebelum salah satu
pihak mampu secara fisik, fisiologis, dan psikologi untuk bertanggungjawab
atas pernikahannya dan memiliki anak, dengan batasan umur yaitu dibawah 18
tahun (Hardianti & Nurwati, 2021).

2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Dini


1. Faktor Budaya dan Adat Istiadat
Faktor pertama yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja yaitu
karena budaya dan adat istiadat setempat. Budaya maksudnya disini bisa
terjadi karena orang tuanya dulu menikah pada usia dini, sehingga ini
terjadi juga pada anaknya dan jika hal tersebut terus terjadi maka akan
menjadi sebuah budaya terus menerus. Hal ini bisa juga karena adat istiadat
setempat bahwa jika ada laki-laki yang ingin meminang, maka orang tua
tidak boleh menolak pinangan itu walaupun anak gadisnya masih berusia
sangat muda. Dan ada juga adat dimana jika anak gadis sudah terlihat besar
(sudah baligh) maka harus segera dinikahkan, hal tersebut biasanya terjadi
di desa. Selain itu, faktor lingkungan dimana remaja perempuan melihat
teman sebayanya sudah menikah maka dia ada keinginan untuk mengikuti
jejak temannya itu (Hardianti & Nurwati, 2021).

2. Faktor Orang Tua


Faktor orang tua pun bisa menjadi faktor terjadinya pernikahan dini.
Dimana ada orang tua yang menjodohkan anaknya dengan pilihannya dan
biasanya dijodohkan dengan anak saudaranya walaupun anak masih berusia
muda atau baru saja lulus sekolah, dengan tujuan supaya memperikat
kekerabatan dan harta yang dimiliki tidak jatuh ke tangan orang lain. Ada
orang tua yang memaksa anaknya untuk menikah dengan alasan anaknya
sudah besar dan memiliki kekasih dan supaya tidak terjerumus ke hal yang
negatif yang nantinya akan memalukan keluarga. Dan terakhir, ada orang
tua yang malu ketika anak gadisnya belum menikah saat memasuki usia 20
tahun karena takut anak perempuannya itu di bilang perawan tua. Bagi para
anak perempuan berasumsi bahwa menuruti keinginan orang tua itu
merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Maka ketika keinginan orangtua
menikahkan anak gadisnya, maka mereka mau tidak mau harus menuruti
keinginan orang tuanya. Peneliti juga berpendapat bahwa rendahnya
pengetahuan orang tua tentang pernikahan dini juga menjadi factor yang
berpengaruh. Orang tua yang tidak memiliki pemahaman tentang kesehatan
reproduksi dan lain-lain tentunya akan dengan gampangnya menikahkan
anaknya pada usia yang masih dini (Hardianti & Nurwati, 2021).

3. Faktor Ekonomi
Rendahnya status ekonomi dikeluarga bisa menjadi faktor remaja
menikah diusia dini, misalnya pada remaja perempuan. Remaja perempuan
yang menikah dini umumnya terjadi pada kelompok keluarga miskin,
dimana keluarga kurang mampu membiayai kehidupan anaknya sehingga
memilih untuk menikahkan anaknya supaya dapat mengurangi beban
ekonomi keluarga. Dimana setelah menikah anak perempuan itu bukan lagi
tanggung jawab keluarganya melainkan segala kebutuhannya ditanggung
oleh suaminya. Selain itu, keluarga beranggapan bahwa dengan menikahkan
anaknya bisa membantu ekonomi keluarga, misalnya memberi uang setiap
bulan kepada keluarganya atau membantu membiayai sekolah adiknya.
Tetapi pada kenyataanya, kondisi ekonomi anak setelah menikah tidak jauh
beda dengan kondisi ekonomi orangtuanya, sehingga harapan-harapan
orangtua tidak tercapai dan malah akan meningkatkan angka kemiskinan di
Indonesia (Hardianti & Nurwati, 2021).

4. Faktor Pendidikan
Remaja yang menikah di usia dini, rata-rata mereka yang pendidikannya
rendah, seperti setara lulusan SD atau SMP. Banyak remaja yang tidak bisa
melanjutkan pendidikannya karena faktor ekonomi juga. Orang tua tidak
mampu membiayai sekolah anaknya sehingga mereka lebih memilih
menikahkan anaknya dan beranggapan bahwa anaknya tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena kelak hanya akan mengurus rumah tangga dan biaya
hidupnya ditanggung oleh suaminya. Pada dasarnya tugas anak adalah
bertanggung jawab atas sekolahnya dan pendidikan merupakan sesuatu
yang penting. Tingginya tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir
seseorang khususnya perempuan dalam menghadapi masalah kehidupan,
dan perempuan yang memiliki pengetahuan yang tinggi akan lebih dihargai.
Sebaliknya, rendahnya pengetahuan dan pendidikan remaja perempuan
dapat mempengaruhi pola pikirnya, remaja akan memikirkan hal yang tidak
harus dipikirkan dalam hidupnya pada usia itu. Remaja perempuan yang
memiliki pengetahuan rendah, akan lebih memfokuskan dirinya untuk
menikah muda (Hardianti & Nurwati, 2021).

5. Faktor dari Individu Sendiri


Menikah muda bisa juga disebabkan oleh individu itu sendiri. Faktor
yang muncul dari dalam diri remaja wanita itu seperti kematangan fisik,
psikis, keinginan memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti pakaian dan
seksual atau masa puber dan karena kebutuhan inilah mendorong remaja
wanita melakukan pernikahan walaupun usianya masih sangat muda. Selain
itu, yang menjadi permasalahan wanita melakukan pernikahan dini yaitu
pengalaman seksual di usia kurang dari 18 tahun alias sudah melakukan
hubungan seperti suami-istri diluar nikah. Hal tersebut jelas saja remaja
tersebut melakukan tuna susila akibat dari pergaulan bebas dan kurang
perhatian dari orang tuanya. Pergaulan bebas yang dilakukan oleh remaja
bisa menyebabkan kecelakaan (hamil diluar nikah), hal tersebut memaksa
remaja harus melakukan pernikahan walaupun usianya masih muda
(Hardianti & Nurwati, 2021).

2.2.3 Dampak Terjadinya Pernikahan Dini


Pernikahan dini yang dilakukan sering memunculkan banyak masalah
salah satunya yaitu pada perceraian yang diakibatkan oleh belum matangnya
dalam bertanggung jawab atas rumah tangganya. Pernikahan yang dilakukan
pada saat usia masih muda dan disertai dengan kehamilan, cenderung
keturunannya pun kurang berkualitas. Karena bila usia wanita dibawah 18
tahun sudah menikah ini akan memberikan dampak bagi anak yang
dilahirkannya. Kedewasaan emosi seorang ibu akan berpengaruh pada pola
asuh yang diterapkan dalam mengurus anaknya. Jika anak yang sudah
melakukan pernikahan serta sudah menjadi seorang istri dan ibu tidak disertai
dengan keterampilan dalam mengurus rumah tangga maka akan berakibat pada
pengasuhan yang salah. Sehingga anak pun akan cenderung pada perilaku
yang tidak sesuai, bahkan bisa juga terjadinya penelantaran pada anak.
Menikah di usia muda sering dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk
mengatasi masalah-masalah dalam kehidupan, seperti menghindari pergaulan
bebas, keinginan untuk memperbaiki status ekonomi, dan lain-lain (Hardianti
& Nurwati, 2021).
Dampak pernikahan dini bagi pelaku atau bagi individu diantaranya :
a. Berdampak pada Kesehatan Reproduksi. Dimana jika remaja semakin muda
usia ia melakukan hubungan intim, maka semakin besar cenderung
penularan penyakit menular seksual dan infeksi HIV. Selain itu wanita yang
mengalami kehamilan di usia kurang dari 18 tahun, dua kali lipat
berdampak pada kematian bayi dan kesakitan Ibu. Anak yang dilahirkan
pun cenderung memiliki berat badan yang kurang dan akan sulit
berkembang.
b. Kesulitan mendapat peluang kerja yang luas dan kehilangan kesempatan
mengecap pendidikan yang tinggi. Semakin muda seseorang melakukan
pernikahan, maka semakin rendah pula pendidikan yang dicapai.
Rendahnya pendidikan membuat individu kesulitan dalam mendapat
pekerjaan, karena perusahaan akan menerima karyawan yang
pendidikannya tinggi dan masih single.
c. Pernikahan muda pada remaja akan berdampak pada kekerasan. Karena
pernikahan dini merupakan pernikahan anak dan anak cenderung kurang
bisa menyuarakan pendapatnya mengenai rumah tangganya, maka akan
berakibat pada kekerasan.
Dampak pernikahan dini bagi keluarga diantaranya :
a. Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga. Dimana jika rumah tangga yang
dibina mempunyai status ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan ekonomi
keluarganya maka menikah muda tidak lagi menjadi solusi memperbaiki
status ekonomi yang ada hanya meningkatkan angka kemiskinan.
b. Karena anak kurang bisa menyuarakan pendapat, maka akan terjadi
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut bisa berakibat pada
keluarga yang tidak utuh (perceraian).
c. Menjadi orang tua yang tidak didasari oleh keterampilan dalam mengurus
rumah tangga, mengurus anak dan menerapkan pola asuh, maka akan
berakibat pada penerapan pola asuh yang salah bahkan bisa terjadi
penelantaran pada anak. Bagi Masyarakat atau Negara Selain berdampak
pada individu yang menjalani dan keluarganya. Berdampak juga bagi
negara yaitu semakin banyak penikahan dini yang terjadi dan disertai
dengan kelahiran anak , maka angka fertilitas di Negara pun semakin tinggi.
Hal tersebut jika tidak dibarengi dengan status ekonomi yang cukup akan
berdampak pula pada kemiskinan yang semakin banyak. Selain itu, jika
rumah tangga yang dijalani tidak bertahan lama maka berdampak pula pada
angka perceraian

2.3 Konsep Keluarga


2.3.1 Pengertian Keluarga
Menurut UU RI Nomor 52 Tahun 2009, tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari : Suami-isteri, atau Suami, isteri, dan
anaknya, atau Ayah dan anaknya, atau Ibu dan anaknya. Keluarga merupakan
pilar pembangunan bangsa. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan “asah,
asih, dan asuh“. Keluarga merupakan tumpuan untuk menumbuh kembangkan
dan menyalurkan potensi setiap anggota keluarga. Asuh yakni memenuhi
kebutuhan nutrisi dan gizi, imunisasi, kebersihan diri dan lingkungan,
pengobatan, bermain. Asih menciptakan rasa aman, nyaman, mendapatkan
perlindungan dari pengaruh yang kurang baik dan tindak kekerasan. Dan asah
yakni melakukan stimulasi (rangsangan dini) pada semua aspek perkembangan
(Jannah, 2018).
Definisi keluarga menurut Mattessich da Hill, adalah suatu kelompok
yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, dan hubungan
emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal yaitu hubungan
intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi
dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan memelihara
tugas-tugas keluarga (Jannah, 2018).
Menurut UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, mendefinisikan
keluarga sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang
merupakan landasan dari semua institusi, yang merupakan kelompok primer
yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi
interpersonal, hubungan darah dan adopsi (Jannah, 2018).

2.3.2 Struktur Fungsional Keluarga


Para sosiologi ternama seperti William F Ogburn dan Talcott Parsons
mengemukakan pentingnya pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan
keluarga saat ini, karena pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi yang sesuai
dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Newman dan
Grauerholz (2002), mengatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional
dapat digunakan untuk menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi
dengan baik dan menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Macionis (1995),
mengatakan pendekatan teori struktural fungsional juga menganalisis adanya
penyimpangan, misalnya penyimpangan nilai-nilai budaya dan norma,
kemudian memperhitungkan seberapa besar penyimpangan dapat
berkontribusi pada stabilitas atau perubahan sosial (Jannah, 2018).
Konsep teori struktural fungsional antara lain :
1. Setiap subsistem, elemen atau individu dalam sebuah sistem mempunyai
peran dan kontribusi kepada sebuah sistem secara keseluruhan.
2. Adanya saling keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dalam
sebuah sistem (Interdepedensi).
3. Keterkaitan antar subsistem, elemen atau individu dicapai melalui
konsensus daripada konflik.
4. Untuk mencapai keseimbangan diperlukan ketaraturan atau integrasi antar
subsistem, elemen atau individu.
5. Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan adanya perubahan secara
evolusioner.
Teori struktural fungsional menjadi keharusan yang harus ada agar
keseimbangan sistem tercapai baik pada tingkat masyarakat maupun pada
tingkat keluarga. Adanya struktur dalam keluarga dimana masing-masing
individu mengetahui dimana posisinya, dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur dapat menciptakan ketertiban sosial. Ada tiga elemen
utama dalam struktur internal keluarga, yaitu:
1. Berdasarkan status sosial, keluarga inti biasanya mencakup tiga struktur
utama, yaitu bapak/suami (penc, ibu/istri (ibu rumahtangga), dan anak-
anak (balita, sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar
individu dengan status sosial berbeda.
2. Konsep peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu
menurut status sosialnya dalam sebuah sistem. Ketidakseimbangan antara
peran instrumental (oleh suami/bapak) dan eksprensif (oleh istri/ibu) dalam
keluarga akan membuat keluarga tidak seimbang.
3. Norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertindak atau bertingkah laku dalam kehidupan
sosialnya. Norma sosial berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang
merupakan bagian dari kebudayaan. Setiap keluarga dapat mempunyai
norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial
dalam hal pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian
dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota dalam
keluarga.
2.3.3 Fungsi Keluarga
Menurut BKKBN (1997), fungsi keluarga secara umum diarahkan sebagai
berikut :
1. Fungsi Keagamaan, keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh
anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insan-insan
agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang
beraneka ragam dalam satu kesatuan.
3. Fungsi Cinta Kasih, keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir
dan bathin.
4. Fungsi Melindungi, dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan
kehangatan.
5. Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan
yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di
dunia yang penuh iman dan takwa.
6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupan di masa depan.
7. Fungsi Ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga.
8. Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras dan dan seimbang
sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah.
2.4 Konsep Kesejahteraan Keluarga
2.4.1 Pengertian Kesejahteraan Keluarga
Kesejateraan keluarga merupakan permasalahan yang fundamental dan
krusial mengingat tingkat kemiskinan yang cukup tinggi di Indonesia.
Terdapat banyak keluarga miskin di Indonesia yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar didalam hidupnya, seperti banyaknya jumlah anak telantar,
anak putus sekolah, seseorang yang tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan
karena ketiadaan biaya, bahkan ada pula keluarga yang tidak dapat makan
dengan baik meskipun persentasi ini sangat kecil (Rianto et al., 2022).
Kesejahteraan keluarga saat ini dianggap penting dan merupakan pondasi
dari kesehatan mental individu. Kesejahteraan (well-being) seringkali
dikaitkan dengan subjective well-being, psychological well-being, kualitas
hidup, kepuasan hidup dan kebahagiaan. Individu yang mengalami
kebahagiaan menunjukkan kondisi kesehatan yang baik, kepuasaan hidup yang
tinggi, dan emosi positif yang dominan, kepuasaan perkawinan, serta fungsi
keseharian individu yang optimal. Sedangkan bagi anak-anak, kesejahteraan
dalam keluarga membawa manfaat bagi penyesuaian yang baik terhadap
lingkungan, serta tingginya keinginan berbakti pada orangtua (filial piety) di
keluarga berlatar belakang budaya kolektif. Sebaliknya, kesejahteraan yang
rendah dalam keluarga dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan mental
individu maupun keberfungsian keluarga tersebut (Dewi & Ginanjar, 2019).
Tingkat kesejahteraan keluarga yang rendah memberikan dampak negatif
pada anak, yaitu tingginya risiko putus sekolah, penyalahgunaan alkohol dan
obat-obatan terlarang, keterlibatan pada kriminalitas, kurangnya empati, dan
kegagalan dalam menjalin relasi interpersonal. Kesejahteraan keluarga
dikaitkan dengan penyesuaian diri yang tinggi pada anak-anak, kesehatan
mental anak seperti tidak mengalami depresi atau problem psikologis lainnya,
kepuasaan perkawinan pada orangtua, dan fungsi yang optimal pada individu.
Rendahnya kesejahteraan keluarga juga dianggap sebagai indikator
ketidakberfungsian keluarga tersebut dalam menyelesaikan tuntutan internal
maupun eksternal keluarga, yang berkaitan dengan konflik, kualitas
komunikasi, disharmoni dan relasi yang patologis dalam keluarga (Dewi &
Ginanjar, 2019).
Kesejahteraan keluarga sebagai konsep multidimensional yang
mengandung unsur “fungsi’ dan pemenuhan “kebutuhan”, yang di dalamnya
tergabung berbagai tipe kesejahteraan, seperti fisik, sosial, ekonomi, dan
psikologis, serta tersirat adanya kriteria “sejahtera” dan “tidak sejahtera”.
Kesejahteraan keluarga sering dikonseptualisasikan sebagai "kepuasan hidup
keluarga”, "rasa kesejahteraan," dan "fungsi keluarga" (Dewi & Ginanjar,
2019).
Keluarga yang sejahtera memiliki fungsi yang optimal sehingga keluarga
tersebut dapat mengakomodasi adanya kebutuhan dasar dan coping
anggotanya, serta mampu melakukan penyesuaian terhadap tuntutan diri dan
lingkungan. Pada negara-negara dengan budaya kolektif (seperti Korea,
Jepang, Hong Kong, dan Indonesia), harmoni sosial dan keterikatan dengan
keluarga merupakan sumber tercapainya kebahagiaan individu. Oleh karena
itu, pada masyarakat Timur peran kelompok sosial, seperti keluarga sangatlah
penting dalam pencapaian kebahagiaan individu. Kesejahteraan keluarga
dipahami sebagai suatu kondisi keluarga yang dirasakan dan diyakini oleh
anggotanya berfungsi dengan optimal dan luas, sehingga dianggap
memberikan kepuasaan baik secara relasi, kestabilan finansial, maupun
kesehatan (Dewi & Ginanjar, 2019).
Menurut BKKBN (1997), keluarga yang sejahtera diartikan sebagai
keluarga yang dibentuk berdasarkan atas ikatan perkawinan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang
antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan
lingkungannya. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang meliputi
pendidikan, agama, kesehatan dan lain sebagainya (Jannah, 2018).

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Keluarga


1. Faktor Interaksional
Merupakan faktor yang didalamnya memuat berbagai indikator interaksi
internal antar anggota keluarga, maupun interaksi eksternal dengan
lingkungan sosialnya. Adapun faktor interaksional mencakup rasa saling
percaya antara orangtua dan anak, melakukan ritual bersama dalam
keluarga, ekspresi kasih sayang dan penerimaan orang tua kepada anaknya,
kerja sama ayah dan ibu dalam pengasuhan, memiliki kesamaan tujuan
dalam keluarga, serta dukungan dari extended family dan lingkungan
sekitar yang diterima keluarga (Dewi & Ginanjar, 2019).
1. Faktor Non-Interaksional
Mencakup faktor spiritualitas, struktur keluarga, modalitas individu,
kepastian mengenai sistem yang berjalan dengan baik, serta ketersediaan
media komunikasi untuk menunjang kesempatan berkomunikasi dan
kualitas komunikasi yang baik (Dewi & Ginanjar, 2019).

2.4.3 Indikator Keluarga Sejahtera


Terciptanya suatu keluarga sejahtera memang tidak terlepas dari peranan
orang tua (suami dan istri) dalam memandu keluarganya, mengendalikan
kehidupan keluarga. Peranan suami istri dalam membina dan mengarahkan
kesejahteraan keluarga mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bukan
saja terhadap setiap anggota keluarganya tetapi sekaligus sebagai contoh yang
harus ditiru oleh anggota keluarganya (Arisandi et al., 2016).
Aspek keluarga sejahtera diklasifikasikan keluarga dalam tahapan dengan
indikator-indikator tertentu, yaitu :
a. Keluarga Pra-Sejahtera
Keluarga Pra-Sejahtera yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya. Adapun indikatornya yaitu ada salah satu
atau lebih dari indikator Keluarga Sejahtera I (KS I) yang belum terpenuhi.
b. Keluarga Sejahtera Tingkat I (KS I)
Keluarga Sejahtera I (KS I) adalah keluarga yang sudah dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya dalam hal sandang, pangan, papan, dan
pelayanan kesehatan yang sangat dasar. Indikatornya adalah sebagai
berikut :
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah
2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau
lebih.
3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk di rumah.
bekerja/sekolah, dan bepergian.
4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
5. Bila anak sakit dibawa ke sarana/petugas kesehatan atau diberi
pengobatan modern.

c. Keluarga Sejahtera Tingkat II (KS II)


Keluarga Sejahtera II (KS II) adalah keluarga yang selain dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya, juga dapat memenuhi kebutuhan social
psikologisnya, namun belum dapat memenuhi kebutuhan
pengembangannya. Indikator yang digunakan adalah lima indikator
pertama pada indikator Keluarga Sejahtera I (indikator 1-5), serta ditambah
indikator sebagai berikut :
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur teratur menurut
agama yang dianutnya masing-masing.
2. Paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur
sebagai lauk pauk.
3. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel pakaian
baru setahun terakhir.
4. Luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni
rumah
5. Seluruh anggota keluarga dalam satu bulan terakhir dalam keadaan
sehat sehingga dapat melaksanakan tugasnya masing-masing
6. Paling kurang satu anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas
telah memiliki pekerjaan tetap.
7. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-16 tahun telah mampu
membaca tulisan latin.
8. Seluruh anak yang berusia 6-15 tahun sedang bersekolah saat ini
9. Anak hidup paling banyak 2 orang, atau bila anak lebih dari 2 orang
maka keluarga yang masih merupakan pasangan usia subur (PUS)
sedang menggunakan kontrasepsi saat ini.

d. Keluarga Sejahtera Tingkat III (KS III)


Keluarga Sejahtera III (KS III) adalah keluarga yang dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimum, kebutuhan sosial psikologisnya, dan sekaligus
juga dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, namun belum aktif
dalam usaha kemasyarakatan dalam lingkungan desa atau wilayahnya.
Apapun indikator yang harus dipenuhi yaitu indikator 1-14 pada Keluarga
Sejahtera II serta ditambah indikator sebagai berikut :
1. Upaya keluarga untuk meningkatkan pengetahuan agama.
2. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan
keluarga.
3. Keluarga biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari.
4. Keluarga biasanya ikut seraya dalam kegiatan masyarakat dalam
lingkungan tepat tinggal.
5. Keluarga mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang
sekali dalam tiga bulan.
6. Keluarga dapat memperoleh berita dari surat kabar/radio/majalah.
7. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang
sesuai dengan kondisi daerah setempat

e. Keluarga Sejahtera Tingkat III Plus (KS III Plus)


Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus) adalah keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimum, kebutuhan dasar psikologis,
kebutuhan pengembangan, dan sekaligus secara teratur ikut menyumbang
dalam kegiatan sosial dan aktif mengikuti gerakan semacam itu. Adapun
syarat agar dapat dikatakan sebagai Keluarga Sejahtera III Plus adalah
mampu memenuhi indikator 1-21 ditambah indikator sebagai berikut :
1. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan
sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
2. Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus
perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.

a. Kerangka Konsep
Konsep adalah abstraksi dari landasan teori agar dapat dikemukakan dan
membentuk suatu teori yang menjelaskan suatu variabel (baik variabel yang diteliti
maupun yang tidak diteliti) (Nursalam, 2014).
Kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut :

Pernikahan Dini

Dampak Pernikahan Dini :


1. Kematian ibu
2. Kematian bayi
Faktor Penyebab : 3.
1. Tingkat kesejahteraan keluarga Perceraian
4. Kekerasan dalam rumah
2. Sosial tangga
3. Tingkat pendidikan orang tua 5. Kemisikinan
4. Tingkat ekonomi

: Variabel yang diteliti


: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 : Kerangka konsep Hubungan Tingkat Kesejahteraan Keluarga dengan
Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia Dini di Kabupaten
Lamongan
Penjelasan : Dari kerangka konsep di atas dampak pernikahan dini meliputi 1)
kematian ibu 2) kematian bayi 3) perceraian 4) kekerasan dalam rumah tangga 5)
Kemiskinan. Dampak dari pernikahan dini tersebut dipengaruhi oleh keempat faktor
tersebut (Yanti et al., 2018).
Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah “Hubungan Tingkat
Kesejahteraan Keluarga dengan Kasus Perceraian pada Remaja yang Menikah Usia
Dini di Kabupaten Lamongan”.

b. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
peneliti (Nursalam, 2014).
HI : Ada hubungan tingkat kesejahteraan keluarga dengan angka perceraian di
Sukorame.
BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas dan diuraikan tentang konsep : 1) Desain Penelitian 2) Waktu
dan Tempat Penelitian, 3) Kerangka Kerja 4) Identifikasi Variabel 5) Definisi
Operasional6) Populasi, SampelSampling 7) Pengumpulan dari Analisa Data8) Etika
Penelitian.

3.1 Desain Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk


mendapatkan data dengan tujuan dan keguanaan tertentu. Dalam melakukan
penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian survei. Menurut Prasetyo
dan Jannah (2010, hlm. 144) “metode penelitian survei ialah suatu penelitian
kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan tersrtuktur atau sistematis yang
sama kepada banyak orang, untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh
peneliti dicatat, diolah dan dianalisis. Pertanyaan terstruktur atau sistematis
dikenal dengan istilah kuisioner.”
Sedangkan pendapat Purwanto (2012, hlm.174) metode penelitian survei
ialah penelitian yang hanya dilakukan atas sampel. Sampel adalah sebagian
populasi yang mempunyai karakteristik yang sama dengan populasi, sehingga
sampel dapat menjadi reprentasi populasi. Peneliti mengambil metode penelitian
survei karena ingin mengetahui seberapa besar pengaruh Hubungan tingkat
kesejahteraan keluarga dengan perceraian pada remaja yang menikah usia dini di
Kabupaten Lamongan dengan menggunakan angket atau kuisoner yang diisi
oleh remaja desa Kabupaten Lamongan. Dengan metode penelitian suvei ini
maka peneliti akan lebih jelas medapat gambaran umum dari pengaruh
Hubungan tingkat kesejahteraan keluarga dengan perceraian pada remaja yang
menikah usia dini di Kabupaten Lamongan, karena mendapatkan data secara
akurat melalui kuisioner tersebut.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lamongan, karena di


Kabupaten Lamongan itu sendiri banyak terjadi pernikahan dini yang mana
lokasi yang dipilih untuk dilakukan penelitian adalah tempat peneliti tinggal.
Jadi memudahkan mencari informasi, untuk penelitian yang dimulai tanggal 10
juni 2023 sampai tanggal 12 juni 2023 dimana survey awal akan dilaksanakan
pada tanggal 08 juni 2023 di balai desa sukorame. Penelitian ini dilakukan di
desa tersebut dengan harapan penelitian ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa dan
masyarakat setempat.

3.3 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan langkah-langkah dalam aktifitas ilmiah mulai


dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak awal
penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2018). Berdasarkan judul penelitian
mengenai pernikihan dini di desa Sukorame, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut

Variabel Bebas Variabel Terikat

Risiko yang terjadi akibat pernikahan


dini:
a. Timbulnya KDRT
Pernikahan dini
b. Kasus perceraian yang tinggi
3.4 Sampling Desain

3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau


subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan (Sugiyono, 2018). Populasi dalam penelitian ini yaitu remaja
yang menikah di usia 16 tahun dan 20 tahun di Kabupaten Lamongan.
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, populasi dalam penelitian ini
yaitu remaja yang menikah dini di usia 16 tahun sebanyak 5 orang dan usia
20 tahun sebanyak 5 orang sehingga total populasi 10 remaja.

3.4.2 Sampel Penelitian

3.4.3 Teknik Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah


sebagai berikut :
1) Library Research
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data
dari perpustakaan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh teori-
teori dari ahli terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang ada.
2) Field Research
Penelitian dilakukan dengan meninjau dan mengamati
secara langsung obyek penelitian, dengan menggunakan metode
kuesioner memberi daftar pertanyaan yang telah disusun dan
dipersiapkan untuk diisi oleh responden.
3.5 Identifikasi Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda


terhadap sesuatu (benda, manusiadan lain-lain) (Nursalam, 2018).
Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu:

3.5.1 Variabel Bebas atau Independen

Variabel bebas atau variabel independen adalah yang nilainya


menentukan variabel lain Suatu kegiatan stimulan yang
dimanipulasi oleh peneliti menciptakan dampak pada variabel
dependen (Nursalam, 2018). Pada penelitian ini yang menjadi
variabel independen adalah Perceraian.

3.5.2 Variabel Terikat atau Dependen

Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang nilainnya


ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2018). Pada penelitian ini
yang menjadi variabel dependen adalah pernikahan usia dini.

3.6 Definisi Oprasional Variabel

Definisi operasional menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan variabel


yang diteliti pada penelitian ini. Diantaranya menjelaskan definisi, cara ukur,
alat ukur, hasil ukur dan skala. Sedangkan variabel yang dijelaskan adalah
variabel dependen dan independen disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.6 Definisi Oprasional

Variabel Definisi Alat Hasil Ukur Skala


Oprasional Ukur
Variabel Bebas
Perceraian Adalah
terputusnya kuisioner 1. Ya Nominal
hubungan 2. Tidak
suami istri
Variabel Terikat
Pernikahan usia Pernikahan
dini yang
dilakukan Kuisioner 1. Ya Nominal
oleh orang 2. Tidak
dibawah usia
produktif
(<20 th)

3.7 Pengumpulan dan Analisa Data

3.7.1 Instrumen atau Alat Ukur


Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya bisa diukur (Nursalam, 2014). Alat ukur
yang dapat digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitian
adalah kuisioner, tes, dan wawancara.
Jenis instrumen yang digunakan pada variabel independen yaitu
kuisioner dan variabel dependen juga menggunakan kuisioner. Kuisioner
diberikan secara langsung yaitu dengan mengisi lembar yang telah
diberikan secara langsung.
3.7.2 Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer. Pengumpulan
data dilakukan dengan pengisian inform consent dan kuesioner oleh
responden secara langsung.

3.7.3 Pengolahan Data

1) Setelah responden selesai mengisi kuesioner, maka peneliti


mengumpulkan kuesioner dan menghitung banyaknya lembaran
daftar pertanyaan yang telah diisi untuk mengetahui apakah sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan.
2) Setelah kuesioner terkumpul maka selanjutnya dilakukan
pemberian skor terhadap jawaban responden pada kuesioner.
Pemberian skor atas kuesioner adalah bila pernyataan benar diberi
skor = 1, salah diberi skor = 0. Skor dicantumkan di sebelah kanan
pernyataan sesuai dengan jawaban responden.

3.7.4 Analisa Data

Analisis karakteristik responden bertujuan menjelaskan atau


mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui
distribusi frekuensi. Dalam penelitian ini adalah persentase pengetahuan
remaja tentang pernikahan dini.

Skor persentase = Kategori tingkat pengetahuan dibagi menjadi tiga :


Baik = 76% - 100% Cukup = 56% - 75% Kurang = < 56%. Selanjutnya
masing-masing parameter tingkat pengetahuan dilakukan analisis
kuantitatif yang dinyatakan dengan persentase dengan rumus : P =
Persentase f = Jumlah subyek dalam tingkat pengetahuan tertentu N =
Jumlah seluruh subyek Jumlah persentase yang paling tinggi menunjukkan
tingkat pengetahuan tentang pernikahan dini pada remaja di Kecamatan
Sukorame.

3.8 Etika Penelitian

Pelaku penelitian atau peneliti dalam menjalankan tugas meneliti atau


melakukan penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah serta
berpegang teguh pada etika penelitian. Dalam menjalankan sebuah penelitian
ada prinsip yang harus dipegang teguh. (Notoatmodjo, 2015)

3.8.1. Menghormati harkat dan martabat manusia


Peneliti mempersiapkan inform consent (lembar persetujuan
untuk menjadi responden) sehingga tidak dilakukan pemaksaan
untuk menjadi responden penelitian.
3.8.2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian
Peneliti meminta responden hanya menuliskan inisial nama
pada lembar kuesioner dan peneliti akan merahasiakan jawaban
dari masing-masing responden pada saat pengolahan data.
3.8.3. Keadilan dan keterbukaan
Dalam penelitian ini semua responden mendapatkan
penjelasan yang sama tentang tujuan penelitian dan prosedur
pengisian kuesioner yang dibagikan.
3.8.4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan Dalam
penelitian ini tidak menimbulkan kerugian yang berarti.

Anda mungkin juga menyukai