Makalah
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktek Ibadah
Oleh:
BELLA SUSANTI
NIM. 20011341
Dosen Pengampu
MUKLIS MUHDI, M.A
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah swt., Tuhan Yang Maha
Segalanya, karena atas kehendak-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah
ini dengan baik serta tepat pada waktunya dengan bahasan mengenai “Tata Cara
Shalat Jama’ dan Qashar”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad Saw., para keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dengan berbagai
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan
hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun kami. Konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan Makalah kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada Dosen pembimbing mata kuliah Praktek Ibadah yang telah membimbing
dalam menulis makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat adalah ibadah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu
pelaksanaannya oleh Allah Swt. Dalam hal beribadah, terutama shalat seorang
muslim haruslah mempelajari semua yang terkait dengan hukum shalat sehingga
ia menunaikan ibadah secara benar. Oleh karena itu shalat tidak sah bila dilakukan
tidak sesuai dengan tata cara dan waktu yang ditentukan. Namun demikian dalam
kondisi-kondisi tertentu Allah memberikan rukhshah (keringanan) bagi orang-
orang yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan shalat sesuai dengan
ketentuan dasar tersebut. Tujuan Allah memberikan rukhshah (keringanan) adalah
untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Bentuk keringanan itu adalah
diperbolehkannya menjama’ dan mengqashar shalat.
Dalam kitab-kitab fikih klasik dijelaskan bahwa alasan dibolehkannya
menjama’ dan mengqashar shalat adalah perjalanan jauh. Namun dalam kenyataan
kehidupan sekarang banyak ditemukan keadaan-keadaan yang lebih menyulitkan
dibandingkan perjalanan jauh. Untuk memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf
dharuriyat (kebutuhan esensial), menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang
bekerja sepenuh waktu, sebagai supir taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja
bengkel, pilot dan co pilot, dokter dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan
lainnya yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan
kewajiban shalat pada waktunya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan shalat Jama’ dan shalat Qashar?
2. Apa yang menyebabkan dibolehkannya Jama’?
3. Apa yang menyebabkan dibolehkannya Qashar dan berakhirnya?
4. Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat Jama’?
5. Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat Qashar?
6. Bagaimana Shalat Jama’ diatas Kendaraan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian shalat Jama’ dan shalat Qashar.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab dibolehkannya Jama’.
1
3. Untuk mengetahui sebab-sebab dibolehkannya Qashar dan berakhirnya.
4. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan shalat Jama’.
5. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan shalat Qashar.
6. Untuk Mengetahu Shalat Jama’ diatas Kendaraan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat Jama’ dan Shalat Qashar
Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang artinya “doa”. Doa
yang dimaksudkan di sini adalah doa dalam hal kebaikan. Dari arti secara bahasa
dapat dipahami bahwa bacaan-bacaan dalam ibadah shalat merupakan rangkaian
doa seorang muslim kepada Allah Swt. Sementara itu, menurut syariat Islam
pengertian shalat adalah ibadah kepada Allah Swt yang berupa perkataan dan
perbuatan dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan, yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Berdasarkan pengertian shalat
menurut syariat, seseorang yang mendirikan shalat harus tunduk kepada syarat
dan rukun yang telah ditentukan.
Adapun kata jama’, secara bahasa berarti menggabungkan, menyatukan
ataupun mengumpulkan. Maksudnya ialah mengumpulkan dua shalat yang
dikerjakan pada satu waktu. Shalat jama’ ada dua macam, yaitu jamak taqdim dan
jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan
sekaligus di waktu shalat yang lebih awal, seperti mengumpulkan shalat Zuhur
dan Ashar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau mengumpulkan shalat Maghrib
dan Isya’ yang dikerjakan di waktu Maghrib. Sedangkan jama’ takhir ialah
mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan sekaligus di waktu shalat yang
terakhir, seperti mengumpulkan shalat zuhur dan ashar yang dikerjakan di waktu
Ashar atau mengumpulkan shalat maghrib dan isya yang dikerjakan di waktu Isya.
Shalat yang boleh dijama’ hanyalah yang waktunya berdekatan dan ditentukan,
yaitu shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’. 1
Di sisi lain, makna kata qashar secara bahasa adalah mengurangi,
memperpendek atau meringkas. Shalat qashar artinya memendekkan shalat wajib
yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musafir. Shalat qashar
merupakan salah satu keringanan yang diberikan Allah Swt. kepada hamba-Nya
yang sedang musafir dalam melaksanakan kewajiban shalat.2 Shalat yang bisa
dipendekkan menurut kesepakatan ulama yaitu shalat yang berjumlah empat
rakaat saja, seperti Zuhur, Ashar, dan Isya’. Bukan shalat Subuh dan Maghrib,
1
E nsiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006), Jilid 4, hlm. 1572.
2
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1591.
3
karena jika shalat subuh dipendekkan maka rakaat yang tersisa hanya satu rakaat
saja dan itu tidak ada dalam shalat fardhu. Sedangkan jika shalat Maghrib
dipendekkan yang merupakan shalat ganjil di sore hari maka akan hilang jumlah
ganjilnya. 3
B. Sebab-Sebab Dibolehkannya Jama’
Seluruh ulama sepakat bahwa menjama' shalat itu memang disyariatkan
dalam agama. Namun mereka berbeda pendapat tentang sebab-sebab yang
membolehkan dua shalat dijama' menjadi satu. Perbedaan pendapat ini terjadi
lantaran perbedaan cara menerima dalil. Sebagian ulama ada yang agak ketat
dalam menerima dalil, sehingga bila dalil tidak benar-benar qath'i, maka dalil itu
akan ditolaknya. Adapun sebagian lainnya agak memudahkan, sehingga walaupun
dalilnya masih bersifat asumsi, tetap diterima.
Sebut saja misalnya mazhab Asy-syafi'iyah yang terbilang agak ketat
dalam menerima dalil kebolehan menjama' shalat. Hal itu karena dalam
pandangan mazhab ini, dalil-dalil yang menyebutkan bahwa shalat harus
dikerjakan pada waktunya adalah dalil yang amat kuat dan qath'i, sehingga tidak
bisa digeser atau dikalahkan hanya dengan dalil-dalil yang lemah. Di antara
sebab-sebab yang membolehkan jama' dan disepakati ulama adalah haji dan safar.
Sedangkan sebab lainnya seperti sakit, haji, hujan, takut atau tanpa sebab yang
pasti, hukumnya masih menjadi diperdebatkan para ulama. 4
Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjama’ shalat dibolehkan
karena enam hal yaitu pertama, dalam perjalanan; kedua, hujan; ketiga, sakit;
keempat, wukuf di Arafah; kelima, berada di Muzdalifah; dan keenam, berada
dalam keadaan yang sangat gelap. Menjama’ shalat dalam perjalanan dibolehkan
secara mutlak, baik perjalanan yang panjang (jauh) maupun dekat. Orang sakit
boleh melakukan jama’ shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau
merasa khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang
akal. Adapun dalam keadaan hujan lebat, musim dingin atau salju, atau hari yang
sangat gelap, yang dibolehkan hanya jama’ taqdim. Untuk melakukan shalat jama’
3
Beni Firdaus, “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Qashar dan Jamak Shalat”,
Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam, Vol. 2 (2), 2017, hlm. 170.
4
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing: 2018), hlm.
35.
4
taqdim dalam perjalanan menurut ulama mazhab Maliki disyaratkan dua hal,
yakni tergelincir atau condongnya matahari ke arah Barat pertanda masuknya
waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu Ashar. Shalat jamak dilakukan
dengan satu kali azan dan iqamah bagi setiap shalat.5
Dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa boleh
untuk menjamak shalat Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya`, baik taqdim maupun
takhir, jika berada dalam kondisi berikut ini: 6
a. Jama`ah haji yang sedang berada di Arafah dan Muzdalifah. Para ulama
sepakatbahwa ketika berada di Arafah hendaklah menjamak shalat Zuhur
dan Ashar dengan jamak taqdim, sedangkan ketika berada di Muzdalifah
hendaklah menjamak shalat Maghrib dan Isya dengan jamak takhir. Hal
ini merupakan sunnah Rasulullah saw.
b. Ketika dalam perjalanan (safar). Menjamak shalat baik taqdim maupun
takhir bagi musafir hukumnya boleh (jaiz).
c. Pada saat hujan lebat. Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu
Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw.
menjama’ shalat Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat.
d. Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama mazhab Hanbali kebolehan
bagi orang sakit untuk menjamak shalat karena kondisi sakit itu pada
hakikatnya lebih dahsyat dari pada kondisi hujan lebat. Kemudian yang
termasuk kategori uzur diantaranya orang yang menyusui anak karena sulit
membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak pada setiap
waktu shalat, wanita yang istihadhah, sering keluar mazi (lendir yang
keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering
keluar air kencing, sehingga sulit untuk bersuci, juga orang yang khawatir
terhadap keselamatan diri, harta, dan kehormatan, atau juga pekerja berat
yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat akan
membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya.
5
Arisman, “Jamak dan Qadha Shalat bagi Pengantin Kajian Fiqh Kontemporer”, Hukum
Islam, Vol. 16(1), 2014, hlm. 3.
6
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid 1, (Kairo: Dar
al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1998 M), hlm. 204-209.
5
e. Karena ada keperluan (hajat) yang mendesak. Keperluan (hajat) yang
dimaksud adalah keperluan yang jika tidak dilakukan maka akan berakibat
pada keadaan yang lebih buruk.
Dasar hukum bolehnya menjama’ shalat terdapat dalam Hadits Nabi. saw.
di antara hadis yang menjelaskan tentang menjama’ shalat adalah sebagai berikut.
6
safar, seperti sakit, hujan, dan lainnya. 8 Masalah jama’ dan qashar shalat terdapat
dalam Alquran dan hadits. Di antara ayat Alquran yang mnejelaskan terkait qashar
yaitu sebagai berikut:
8
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, hlm. 26.
9
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, hlm. 27.
10
Beni Firdaus, “Kemacetan dan Kesibukan sebagai Alasan Qashar dan Jama’ Shalat”,
hlm. 171.
7
perjalanan dalam rangka perniagaan, berburu dan lain sebagainya. Kebolehan
mengqashar shalat ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang
mudah dan Allah swt. Juga menginginkan kemudahan bagi manusia dan tidak
menginginkan kesulitan. 11
Adapun beberapa hal yang menyebabkan safar yang dilakukan oleh
seseorang berakhir secara sah, antara lain dengan tiba kembali di rumah atau di
tempat tinggal asli, atau dengan niat bermukim, atau tinggal sementara tetapi
melewati batas waktu. Maka bisa kita simpulkan bahwa ketika seseorang berstatus
musafir, maka dia boleh mengqashar shalat. Sebaliknya, bila statusnya sebagai
musafir sudah berakhir, atau malah belum menyandang status musafr, maka
qashar tidak diperkenankan.12
D. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jama’
1. Praktik Shalat Jama’ Taqdim
a). Shalat dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu dhuhur :
1) Dimulai dengan niat ketika takbiratul ihram. Niat dapat dilafalkan sebagai
berikut :
11
Beni Firdaus, “Kemacetan dan Kesibukan sebagai Alasan Qashar dan Jama’ Shalat”,
hlm. 171.
12
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, hlm. 27.
8
8) Setelah itu berdiri kembali untuk melaksanakan rakaat kedua yang gerakan
dan bacaannya sama persis dengan rakaat pertama,
9) Setelah sujud kedua pada rakaat kedua maka disunatkan membaca tahiyat
awal.
10) Setelah selesai membaca tahiyat awal, gerakan selanjutnya langsung
berdiri untuk melaksanakan rakaat ketiga dan dilanjutkan dengan rakaat
keempat, dan membaca tahiyat akhir setelah sujud keduapada rakaat
keempat, kemudian salam. Dengan demikian slesailah shalat dhuhur.
Sesudah shalat dhuhur tidak ada dzikir, do‟a, atau shalat sunat, tetapi
boleh dilakukan iqamat terlebih dahulu dan dilanjutkan shalat sahar.
Bacaan dan gerakan shalatnya sama (persis) seperti waktu shalat dhuhur
tersebut sampai selesai empat rakaat. Hanya niatnya saja berbeda. Adapun
niat shalat ashar jama‟ takdim yang apabila dilafalkan, maka bunyinya
adalah sebagai berikut :
ُّ عا إِلَى
الظ ْه ِر ٍ ص ِرا َ ْربَ َع َر ْكعَا
ً ت َم ْج ُم ْو ْ َض الع َ ص ِلِّى فَ ْر َ ُا
ِ ُم ْست َ ْق ِب َل ْال ِق ْبلَ ِة ِ ه
ّلِل تَعَالَى
Artinya: Saya sengaja (niat) shalat fardhu Ashar empat rakaat jama’
takdim bersama Dzuhur karena Allah Ta’ala.
Itulah praktik (tata cara) shalat jama‟ takdim antara shalat dzuhur dan
ashar yang dikerjakan pada waktu dhuhur. Setelah selesai shalat dhuhur dan sahar
baru boleh melakukan dzikir, do’a, atau shalat sunah
b). Shalat maghrib dan isya‟ dikerjakan pada waktu maghrib
Tata cara pelaksanaannya sama seperti jama’ taqdim shalat zuhur dan
ashar, hanya saja niatnya yang berbeda. Adapun nitnya yang apabila dilafalkan
adalah sebagai berikut :
1) Niat Shalat Maghrib jama’ taqdim yaitu :
9
Artinya: Saya sengaja (niat) shalat fardhu Isya’ empat rakaat jama’
takdim beserta Maghrib karena Allah Ta’ala.
2. Praktik Shalat Jama’ Ta’khir
a). Shalat Dzuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu Ashar.
Cara melaksanakan shalat jama’ ta’khir sama dengan cara melaksanakan
pada shalat jama’ taqdim namun ada sedikit perbedaannya :
1) Untuk melaksanakan shalat jama‟ takhir antara dzhuhur dan ashar, maka
shalat asharnya yang harus dikerjakan terlebih dahulu, kemudian baru
mengerjakan shalat dzuhur.
2) Niat shalatnya :
a. Niat shalat Zuhur jama’ ta’khir sebagaimana berikut:
10
E. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Qashar
Cara melaksanakan shalat qashar sama dengan tata cara pelaksanaan
shalat-shalat wajib yang biasa, bacaan dan gerakannya, namun ada sedikit
perbedaanya, yaitu pada niatnya dan dalam shalat-shalat wajib (Dhuhur, Ashar,
dan Isya) ada tahiyat awal dan tahiyat akhir, sedangkan dalam shalat qasar hanya
ada tahiyat akhir saja (tidak ada tahiyat awal). Adapun praktiknya adalah sebagai
berikut :
1. Praktik shalat qasar dhuhur, yaitu :
a) Niat shalat qasar dhuhur ketika takbiratul ihram, dan apabila dilafalkan
(diucapkan) sebagai berikut :
11
هلل تَ َعالَى ْ َض ْالع
ْ َص ِر َر ْك َعتَي ِْن ق
ِ ِ ص ًرا َ ص ِِّلى فَ ْر
َ ُا
Artinya: Saya sengaja (niat) shalat fardhu Ashar dua rakaat dengan qasar karena
Allah Ta’ala.
13
Ali Abu Al Bashal, Ruksah Dalam Shalat (Solo: PT Aqwam Media Profetika. 2009), hlm.109-
110
14
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Fikih Shalat (Yogyakarta: Media Grafika Utama. 2010), hal.266
12
beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)
Dari jabir ra berkata: Rasulullah saw pernah megutusku untuk sebuah
kepentingan lalu aku mendatangi Rasulullah saw dan beliau sedang shalat
diatas kendaraannya menghadap ke arah timur (ka’bah) dan sujudnya lebih
randah dari pada rukuknya (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Dari beberapa penjelasan hadits diatas maka para ulama sepakat bahwa
boleh hukumnya shalat sunnah diatas kendaraan, namun apakah shalat wajib
boleh dikerjakan diatas kendaraan dalam hal ini para ulama berbeda
pandangan. Sementara ini dari data-data yang penulis dapatkan setidaknya ada
satu pendapat para ulama disini yaitu Pendapat Mazhab Hanafi ia mengatakan
Boleh melaksanakan shalat wajib diatas kendaraan jika sedang dalam
perjalanan dan tidak bisa turun dengan alasan; khawatir dibunuh oleh musuh,
khawatir dimangsa binatang buas, atau karena alasan tanah becek dan diseputar
itu tidak ada tanah kering, atau alasan lain yang sangat susah untuk turun dari
kendaraan, maka dalam hal ini boleh shalat duduk diatas kendaraan tanpa ruku’
dan sujud sempurna yang hanya dengan cara menundukkan kepala saja. 15
2. Jika orang yang shalat di atas kendaraan tidak mampu memenuhi syarat dan
rukunnya, kecuali jika dia harus turun dari kendaraan tersebut maka dia wajib
turun dari kendaraan. Namun demikian, Islam memberikan rukhsah bolehnya
shalat di atas binatang tunggangan dan kendaraan dengan adanya uzur berat
yang menuntut pemeberian rukhsah tersebut.
Berikut ini penjelasan uzur-uzur tersebut berikut sikap para ulama’
menegenainya
a) Ketakutan yang besar ketika perang berkecamuk
Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat dalam kondisi seperti ini
diperbolehkan untuk mendirikan shalat dengan tata cara yang dia mampu.
Misalnya dengan berjalan atau berkendara, bergerak atau berhenti, dan
menghadap kiblat atau berpaling darinya.Dia boleh rukuk dan sujud dengan
berisyarat, yaitu menggerakan kepalanya.Dan jika demikian, hendaklah dia
menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyaratnya untuk rukuk.
b) Hujan lebat dan tanah berlumpur
15
Muhammad Sayyid Mahadhir, Shalat Musafir,(Jakarta:Perpustakaan Nasional,2018), hlm.12-15
13
Jika tanah berlumpur atau hujan lebat sehingga seseorang tidak mungkin
turun dan bersujud di atas tanah kecuali badan dan pakaiannya akan belepotan
lumpur dan basah kuyup, maka dia boleh shalat di atas binatang
tunggangannya atau yang semisalnya. Hendaklah dia berisyarat untuk rukuk
dan sujudnya.Dia tidak wajib turun dan bersujud di atas tanah.Inilah pendapat
jumhur ulama, yaitu para ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
c) Sakit dan uzur lain
Jumhur ulama, yakni para ulama madzab Hnafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali menyatakan bahwa orang sakit yang tidk bisa turun dari
kendaraannya kecuali dengan kesulitan yang berlebih, atau jika dia turun maka
dia tidak bisa menaiki lagi, dan uzur-uzur lain yang semisal dengan itu maka
diperbolehkan mendirikan shalat di atas kendaraan.
Di dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj disebutkan bahwa jiak dengan turun
dari kendaraan, seseorang mengkhawatirkan dirinya atau hartanya meskipun
sedikit, atau khawatir tertinggal rombongan dan takut sendirian meskipun hal itu
tidak mendatangakan bahaya, atau khwatir terjadinya kecelakaan lantaran
posisinya di tempat yan terjal , atau binatang tungganganya sakit, ata dia
membutuhkan orang lain untuk menaikinya lagi ke atas binatang tunggangan
tersebut jika dia harus turun, padahal dalam perjalanan itu dia sendiriran dan da
tidak mendapati orang lain yang dapat dimintai tolong maka dalam semua
keadaan tersebut dia boleh mendirikan shalat fardhu di atas binatang tunggangan
yang yang tengah berjalan kea rah tujuannya. Dia boleh berisyarat.Tetapi, dia
harus mengulang shalatnya itu sesampainya di tempat tujuan.
An-Nawawi menulis, para sahabat kita menyatakan, jika waktu shalat
fardhu telah tiba, sementara mereka sedang berjalan dan khawatir akan tertinggal
rombongan jika harus turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat,
atau mengkhawatirkan dirirnya atau hartanya, sedangkan dia tidak boleh
meninggalkan shalat dan mendirikan di luar waktunya maka dia wajib
mendirikannya di atas kendaraan demi kehormatan waktu shalat. Tetapi, dia wajib
mengulangnya (sesampainya di tempat tujuan).
Para ulama mazhab Syafi’I menyatakan bahwa tidak ada ruskhsah bagi
orang yang berkendaraan untuk mendirikan shalat fardhu di atas kendaraan,
14
kecuali jika dia khawatir kehabisan waktu.Sebab, meninggalakan shalat dan
mendirikannya di luar waktunya tidak diperbolehkan.Tetapi, hendaklah
mendirikan di atas kendaraan demi kehormatan waktu shalat dan wajib diulang,
ini karena uzur yang menyebabkan hal itu jarang terjadi. 16
16
Ali Abu Al Bashal, Ruksah Dalam Shalat (Solo: PT Aqwam Media Profetika. 2009), hlm.109-
110
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat tidak sah bila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara dan waktu yang
ditentukan. Namun demikian dalam kondisi-kondisi tertentu Allah memberikan
rukhshah (keringanan) bagi orang-orang yang mengalami kesulitan untuk
mengerjakan shalat sesuai dengan ketentuan dasar tersebut. Tujuan Allah
memberikan rukhshah (keringanan) adalah untuk menghilangkan kesulitan dan
kesusahan. Bentuk keringanan itu adalah diperbolehkannya menjama’ dan
mengqashar shalat.
Seluruh ulama sepakat bahwa menjama' shalat itu memang disyariatkan
dalam agama. Namun mereka berbeda pendapat tentang sebab-sebab yang
membolehkan dua shalat dijama' menjadi satu. Perbedaan pendapat ini terjadi
lantaran perbedaan cara menerima dalil. Sebagian ulama ada yang agak ketat
dalam menerima dalil, sehingga bila dalil tidak benar-benar qath'i, maka dalil itu
akan ditolaknya. Adapun sebagian lainnya agak memudahkan, sehingga walaupun
dalilnya masih bersifat asumsi, tetap diterima.
Para ulama umumnya sepakat bahwa mengqashar shalat itu hanya boleh
dilakukan karena satu sebab saja, yaitu safar atau perjalanan. Di luar perjalanan,
maka tidak ada keringanan atau kebolehan untuk mengerjakan shalat dengan cara
dikurangi rakaatnya dari empat menjadi tinggal dua rakaat. Perbedaan antara
qashar dengan jama' adalah bahwa safar adalah satu-satunya penyebab
dibolehkannya qashar. Sedangkan jama' masih punya penyebab yang lain di luar
safar, seperti sakit, hujan, dan lainnya
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena
terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh
hubungannya dengan makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat. Shalat Qashar Jama’. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing: 2018.
Arisman, “Jamak dan Qadha Shalat bagi Pengantin Kajian Fiqh Kontemporer”,
Hukum Islam, Vol. 16(1), 2014: 1-12.
Ali Abu Al Bashal, Ruksah Dalam Shalat Solo: PT Aqwam Media Profetika.
2009.
Beni Firdaus. “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Qashar dan Jamak
Shalat”. Alhurriyah: Jurnal Hukum Islam, Vol. 2 (2), 2017: 169-178.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 4. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006.
Sayyid Sabiq. Fiqih al-Sunnah, Bab al-Jam`u Baina Shalatain, Jilid 1. Kairo: Dar
al-Fath lil-I`lam al-`Arabi, 1998 M.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Fikih Shalat, Yogyakarta: Media Grafika Utama. 2010.
Muhammad Sayyid Mahadhir, Shalat Musafir, Jakarta: Perpustakaan
Nasional,2018.
17