Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN MANAJEMEN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MASALAH


DIAGNOSA MEDIK CHRONIC KIDNEY DISEASE ON
HEMODIALISIS

Disusun oleh
Nama : Jariska
NIM : P2104033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS WIYATA
HUSADA SAMARINDA
2021/2022
Laporan Pendahuluan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Masalah Diagnosa Medik Chronic Kidney Disease
On Hemodialisis

A. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease


1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal
kronik merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah tidak mampu
mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang biasanya di
eliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan
ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik,
cairan, elektrolit, serta asam basa (Black, J & Hawks, J, 2014). CKD ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau
tingkatan yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis
atau transplantasi ginjal (Ermawardani & Permatasari, 2021).

2. Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a. Infeksi, misalnya pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan, misalnya glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler, misalnya hipertensi
Hipertensi pada pasien gagal ginjal dapat terjadi karena adanya
penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh penumpukan lemak
di dalam pembuluh darah akibat dari tingginya kadar natrium dan cairan
yang tidak seimbang, jika hal tersebut terjadi pada pembuluh darah ginjal
maka ginjal akan mengalami kerusakan yang berakibat pada gagal ginjal,
selain itu ginjal memproduksi enzim renin angiotensin yang diubah
menjadi angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah mengkerut
dan mengeras, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik
(SLE), poli arteri nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f. Penyakit metabolik, seperti diabetes melitus, gout, hiper-paratiroidisme
amiloidosis.
g. Nefrotik toksik, misalnya penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
i. Saluran kemih bagian atas, kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal
dan saluran kemih bagian bawah, hipertrofi prostate, struktur uretra.

3. Manifestasi klinis
a. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema
periorbital, friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kussmaul.
d. Napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi atau diare, perdarahan saluran gastrointestinal.
e. Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku.
f. Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop.
g. Amenore dan atrofi testikuler.

4. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dan kehilangan
darah selama hemodialisa.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolik.
g. Osteodistropi ginjal.
h. Sepsis.
i. Neuropati perifer.
j. Hiperuremia.

5. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi renal
menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin
berat.
a. Gangguan klirens ginjal
1. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut
filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin
akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar
nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh
penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
(jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi cairan dan ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan
kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
c. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
d. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun
dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
2. Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan
fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
f. Penyakit tulang uremik
Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon.

6. Penatalaksanaan medik
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai
tahun. Tujuan terapi konservatif yaitu mencegah memburuknya fungsi
ginjal secara profresi, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksi asotemia, mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara
optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Prinsip
terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal terutama hati-hati dalam
pemberian obat yang bersifat nefrotoksik, hindari keadaan yang
menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
Kemudian hindari gangguan keseimbangan elektrolit, hindari
pembatasan ketat konsumsi protein hewani, hindari proses
kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi, hindari instrumentasi
dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat dan hindari
pemeriksaan radiologi dengan kontras yang kuat tanpa indikasi
medis yang kuat.
2) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat,
kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular, kendalikan
terapi ISK, diet protein yang proporsional, kendalikan
hiperfosfatemia, terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg
%, terapi hiperfosfatemia, terapi keadaan asidosis metabolik,
kendalikan keadaan hiperglikemia.
3) Terapi alleviative gejala asotemia, pembatasan konsumsi protein
hewani, terapi keluhan gatal-gatal, terapi keluhan gastrointestinal,
terapi keluhan neuromuskuler, terapi keluhan tulang dan sendi, terapi
anemia, terapi setiap infeksi.
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik, jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat
meningkatkan serum K+ (hiperkalemia) yaitu suplemen alkali dengan
pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari dan terapi alkali dengan
sodium bikarbonat IV, bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.
2) Anemia
a) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor).
Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U/kg BB.
b) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan
adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis.
c) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi
pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia,
tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif,
murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal adalah HCT ≤ 20
%, Hb ≤ 7 mg, pasien dengan keluhan: angina pektoris, gejala
umum anemia dan high output heart failure. Komplikasi tranfusi
darah: hemosiderosis, supresi sumsum tulang, bahaya
overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia bahaya infeksi hepatitis
virus dan CMV, pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah,
penting untuk rencana transplantasi ginjal.
3) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan gagal ginjal berupa: volum
dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya.
Program terapinya meliputi: Restriksi garam dapur, diuresis dan
ultrafiltrasi, obat-obat antihipertensi.

c. Terapi pengganti (Hemodialis)


Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien CHD yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Secara khusus, indikasi HD adalah pasien yang memerlukan hemodialisa adalah
pasien CHD dan CAD untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih, pasien-
pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:
Hiperkalemia > 17 mg/lt, asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2, kegagalan
terapi konservatif, kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien uremia,
asidosis metabolik berat, hiperkalemia, perikarditis, efusi, edema paru ringan
atau berat atau kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin > 100 mg %,
kelebihan cairan, mual dan muntah hebat, BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x
nilai ureum), preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah), sindrom kelebihan air
dan intoksidasi obat jenis barbiturat.

B. Konsep Dasar Hemodialisis


1. Definisi
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Hemodialisis
adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat beracun lainnya,
dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membran yang selektif-
permeabel dimana melalui membran tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki
terjadi. Hemodialisa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa bentuk
keracunan. Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh
penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer.
Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan
ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena (fistula
arteriovenosa) melalui pembedahan.
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat. Hemodialisis
berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialysis yang berarti pemisahan atau
filtrasi, melalui membrane semi-permeabel. Jadi hemodialisa adalah proses
pemisahan atau filtrasi zat-zat tertentu dari darah melalui membran semi-
permeabel.

2. Tujuan
Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu
a. Membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
3. Prinsip
a. Akses Vaskuler
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara.
Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable.
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien
konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan
pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan
akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam
cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai
ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk
tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:
1) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat
cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh
tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir
balik ke fistula tekanan positif “mendorong” cairan menyeberangi
membran.
2) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membran oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan
negatif “menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan
yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan
tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik
cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang
menyebabkan membrane permeable terhadap air.

4. Peralatan Hemodialisa
a. Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari tubing
akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai
dengan warna merah.
b. Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari dialiser
dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai
dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. priming
volume adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser. Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah
konektor, ujung runcing, segmen pump,tubing arterial/venouse
pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set, port biru
obat ,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
c. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2 ruang atau
kompartemen, yaitu:
1) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
2) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat. Kedua
kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
d. Dialiser
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah
dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
e. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan
air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment”
sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of
Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu session
hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
f. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi
tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan
dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa
macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain.
Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu
dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada
yang bentuk cair (siap pakai).
g. Mesin Haemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya.
Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan
dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat
circuit dan bebagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan
komponen tambahan seperti heparin pump, tombol bicarbonate, control
ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.

5. Pengguna
Cuci darah dilakukan pada penderita gagal ginjal, baik gagal ginjal akut
maupun gagal ginjal kronis. Secara umum, gagal ginjal dapat dikenali dengan
gejala-gejala berikut ini:
1. Munculnya gejala uremia, seperti gatal-gatal, mual, muntah, kehilangan
nafsu makan, dan kelelahan
2. Tingginya kadar asam dalam darah (asidosis)
3. Terjadinya pembengkakan pada bagian-bagian tubuh akibat ginjal tidak
dapat membuang kelebihan cairan
4. Tingginya kadar kalium dalam darah (hiperkalemia)
Gagal ginjal kronis umumnya disebabkan oleh beberapa kondisi di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Diabetes
3. Peradangan pada ginjal (glomerulonefritis)
4. Peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis)
5. Penyakit ginjal polikistik
Sedangkan gagal ginjal akut dapat terjadi akibat komplikasi setelah
pembedahan, serangan jantung, dan dehidrasi.

6. Persiapan
Persiapan cuci darah dilakukan beberapa minggu sebelum prosedur ini
dilaksanakan. Pasien perlu dibuatkan akses pembuluh darah agar
memudahkan proses cuci darah. Terdapat tiga jenis akses pembuluh darah
yang bisa dibuat oleh dokter bedah vaskuler, yaitu:
1. Fistula arteri-vena (cimino)
Fistula arteri-vena atau cimino adalah saluran buatan yang
menghubungkan arteri dan vena. Akses ini merupakan akses pembuluh
darah yang paling sering disarankan karena keamanan dan efektivitasnya
lebih baik dibandingkan dengan jenis akses lainnya.
2. Cangkok arteri-vena
Cangkok arteri vena dilakukan dengan menyambungkan arteri dan vena
dengan menambahkan selang sintetis yang fleksibel. Metode akses ini
dilakukan jika pembuluh darah pasien terlalu kecil sehingga sulit untuk
dibentuk fistula.
3. Kateter
Akses pembuluh darah menggunakan kateter biasanya menjadi pilihan
terakhir dan digunakan dalam jangka waktu tertentu. Terdapat dua jenis
kateter yang dapat digunakan sebagai akses, yaitu:
a. Kateter non-cuffed
Kateter non-cuffed atau kateter double lumen adalah akses yang
dibuat bagi pasien yang membutuhkan cuci darah dalam keadaan
darurat. Pada prosesnya, dokter akan memasukkan kateter ke dalam
vena besar di leher atau di lipat paha.
Kateter biasanya hanya bersifat sementara, yaitu kurang dari 3
minggu, dan akan diangkat ketika pasien sudah tidak diharuskan
menjalani cuci darah atau sudah memiliki akses yang lebih
permanen, seperti cimino.
b. Kateter cuffed (tunnelling)
Kateter cuffed atau tunnelling adalah kateter yang ditempatkan di
bawah kulit lalu dihubungkan ke vena besar. Tunnelling dapat
bertahan hingga lebih dari 3 minggu. Hal ini dilakukan bila cimino
atau cangkok arteri-vena tidak dapat dilakukan atau belum siap
digunakan.
Infeksi pada akses pembuluh darah dapat mengganggu prosedur cuci
darah. Oleh karena itu, jaga kebersihan akses pembuluh darah guna mencegah
terjadinya infeksi dan komplikasi lainnya.

7. Indikasi
a. Indikasi Segera
Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer, hiperkalemi,
hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru, oliguri berat atau anuria.
b. Indikasi Dini
Gejala uremia, mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan seks dan perubahan kulitas hidup,
laboratorium abnormal, asidosis, azotemia (kreatinin 8-12 mg %) dan Blood
Urea Nitrogen (BUN) : 100 – 120 mg %, TKK : 5 ml/menit
c. Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang
tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3
kali/minggu.
d. Program dialisa dikatakan berhasil jika:
1. Penderita kembali menjalani hidup normal
2. Penderita kembali menjalani diet yang normal
3. Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
4. Tekanan darah normal5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang
progresif.
8. Komplikasi
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang
cepatberpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradien osmotic diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia
berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.
h. Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

9. Proses
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di
dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8
liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada
di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses
agar darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian
kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV)
fistula, AV graft dan central venous catheter. AV fistula adalah akses
vaskular yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan
juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD),
perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk memastikan apakah
pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan
timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang harus
dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien
ke mesin cuci darah dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke
akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan
akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang
maka proses terapi hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa,
darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin HD, melainkan hanya melalui
selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari
komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi untuk mengatur
dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan informasi
jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya. Mesin HD juga
mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut
membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam
mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan
mengembalikan kembali ke dalam tubuh

10. Penatalaksanaan
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien
yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal
yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme,
substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan
tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk,
lebih berat gejala yang timbul. Diet rendah protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala.
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian, pembatasan cairan
juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian
atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan.
Berkaitan dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus
memiliki nilai biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial
untuk mencegah penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan
keseimbangan nitrogen yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis
yang tinggi adalah telur, daging, susu dan ikan.
Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan
merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak
disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan
minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering
merasa disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena hanya
ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika pembatasan
ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti
hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi.
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau
sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat
glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau
dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh karena
itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang
terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran
metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya.
Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya
harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui kapan minum
obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi
diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek
hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah
rendah yang berbahaya

11. Pengkajian Keperawatan


1. Keluhan utama
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual,
muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar
serum yang meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal). (Brunner &
Suddarth, 2001: 1398)
3. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan
bagian dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu contoh di mana
komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang
berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan
menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari
yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat
terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang
berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1401)
4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi
penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah
financial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual
yang menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis dan
ketakutan terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2001: 1402)
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang
pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)
5. ADL (Activity Day Life)
a. Nutrisi
Pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan
masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang
dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru,
pembatasan pada asupan protein akan mengurangi penumpukan
limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual
muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1400)
b. Eliminasi
Oliguri dan anuria untuk gagal ginjal
c. Aktivitas
Dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu
yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang
tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan
konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas dalam menjalani
aktivitas sehai-hari.
6. Pemeriksaan fisik
a. Berat Badan
Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
b. TTV
Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan
tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur
kembali pada saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra
dan sesudah prosedur. (Muttaqin, 2011: 268)
c. B2
hipotensi, turgor kulit menurun
d. Keadaan umum klien
Data subjektif : lemah badan, cepat lelah, melayang.
Data objektif : nampak sakit, pucat keabu-abuan, kurus, kadang
– kadang disertai edema ekstremitas, napas terengah- engah.
e. Kepala
1) Retinopati
2) Konjunktiva anemis
3) Sclera ikteric dan kadang – kadang disertai mata merah (red eye
syndrome).
4) Rambut rontok
5) Muka tampak sembab
6) Bau mulut amoniak
f. Leher
1) Vena jugularis meningkat/tidak
2) Pembesaran kelenjar/tidak
g. Dada
1) Gerakkan napas kanan/kiri seimbang/simetris
2) Ronckhi basah/kering
3) Edema paru
h. Abdomen
1) Ketegangan
2) Ascites (perhatikan penambahan lingkar perut pada kunjungan
berikutnya).
3) Kram perut
4) Mual/muntah
i. Kulit
1) Gatal-gatal
2) Mudah sekali berdarah (easy bruishing)
3) Kulit kering dan bersisik
4) Keringat dingin, lembab
5) Perubahan turgor kulit
j. Ekstremitas
1) Kelemahan gerak
2) Kram
3) Edema (ekstremitas atas/bawah)
4) Ekstremitas atas : sudahkah operasi untuk akses vaskuler

12. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


NO SDKI SLKI SIKI
1. Perubahan Pola Setelah dilakukan a. Kaji fungsi pernapasan klien,
Nafas Berhubungan tindakan 3 x 24 jam catat kecepatan, adanya
Dengan keperawatan klien gerak, dispnea, sianosis, dan
Hiperventilasi Paru, menunjukkan pola perubahan tanda vital.
Edema Paru Ditandai nafas efektif Rasional: Distres pernapasan
Dengan Adanya Kriteria hasil: dan perubahan pada vital
Sianosis dan a. Tidak ada dapat terjadi sebagai akibat
Dispnea, Penurunan dispnea, dari patofisiologi dan nyeri.
Bunyi Nafas. b. Bunyi nafas tidak b. Catat pengembangan dada
mengalami dan posisi trakea
penurunan, Rasional: Pengembangan
c. Tidak ada dada atau ekspansi paru dapat
penggunaan otot menurunkan apabila terjadi
bantu pernafasan, asietas atau edema pulmoner.
d. RR16-24 x/menit. c. Kaji klien adanya keluhan
nyeri bila batuk atau nafas
dalam.
Rasional: Sokongan terhadap
dada dan otot abdominal
membuat batuk lebih efektif
dan dapat mengurangi
trauma.
d. Pertahankan posisi nyaman
misalnya posisi semi fowler
Rasional: Meningkatkan
ekspansi paru.
e. Kolaborasikan pemeriksaan
laboratorium (elektrolit)
Rasional:Untuk mengetahui
elektrolit sebagai indicator
keadaan status cairan.
f. Kolaborasikan pemberian
oksigen
Rasional: Menghilangkan
distress respirasi dan sianosis.

2. Gangguan Pertukaran Setelah dilakukan a. Kaji fungsi pernapasan klien,


Gas Berhubungan tindakan keperawatan catat kecepatan, adanya
Dengan Penurunan 3 x 24 jam pasien gerak, yspnea, sianosis, dan
Ekspansi Paru menunjukkan perubahan tanda vital.
Sekunder Terhadap pertukaran gas Rasional: Distress
Adanya Edema efektif. pernapasan dan perubahan
Pulmoner. Kriteria hasil: pada vital dapat terjadi
a. Analisa gas darah sebagai akibat dari
dalam rentang patofisiologi dan nyeri.
normal, b. Auskultasibunyi nafas
b. Tidak ada tanda Rasional: Untuk mengetahui
sianosis maupun keadaan paru.
hipoksia, c. Catat pengembangan dada
c. Taktil fremitus dan posisi trakea
positif kanan dan Rasional: Pengembangan
kiri, dada atau ekspansi paru
d. Bunyi nafas tidak dapat menurunkan apabila
mengalami terjadi asietas atau edema
penurunan, pulmoner.
e. Auskultasi paru d. Kaji taktil fremitus
sonor, Rasional: Taktil fremitus
f. Ttv dalam batas dapat negative pada klien
normal: rr16-24 dengan edema pulmoner.
x/menit e. Kaji klien adanya keluhan
nyeri bila batuk atau nafas
dalam.
Rasional : Sokongan
terhadap dada dan otot
abdominal membuat batuk
lebih efektif dan dapat
mengurangi trauma.
f. Pertahankan posisi nyaman
misalnya posisi semi fowler
Rasional: Meningkatkan
ekspansi paru.
g. Kolaborasikan pemeriksaan
laboratorium (elektrolit)
Rasional : Untuk mengetahui
elektrolit sebagai indicator
keadaan status cairan.
h. Kolaborasikan pemeriksaan
analisagas darah danfoto
thoraks.
Rasional: Mengkaji status
pertukaran gas dan ventilasi
serta evaluasi dari
implementasi.
i. Kolaborasikan pemeriksaan
oksigen
Rasional : Menghilangkan
distress respirasi dan sianosis

3. Gangguan Perfusi Setelah dilakukan a. Awasi tanda-tanda vital, kaji


Jaringan tindakan keperawatan pengisian kapiler, warna kulit
Berhubungan 3 x 24 jam perfusi dan dasar kuku.
Dengan Penurunan jaringan adekuat Rasional: Memberikan
Suplai O2 Dan Kriteria hasil: informasi tentang derajat
Nutrisi Ke Jaringan a. Membran atau keadekuatan perfusi
Sekunder Terhadap mukosa warna jaringan dan membantu
Penurunan HB merah muda, menentukan kebutuhan
b. Kesadaran intervensi
kompos mentis, b. Tinggikan kepala tempat tidur
c. Tidak ada sesuai toleransi.
keluhan sakit Rasional: Meningkatkan
kepala, ekspansi paru dan
d. Tidak ada tanda memaksimalkan oksigenasi
sianosis ataupun untuk kebutuhan seluler,
hipoksia, vasokonstrisi (ke organ vital)
e. Capillaryrefill menurunkan sirkulasi perifer.
kurang dari 3 c. Catat keluhan rasa dingin,
detik, pertahankan suhu
f. Nilai lingkungan dan tubuh hangat
laboratorium sesuai dengan indikasi.
dalam batas Rasional : Kenyamanan klien
normal (Hb12- atau kebutuhan rasa hangat
15gr%), harus seimbang dengan
g. Konjungtiva kebutuhan untuk menghindari
tidak anemis, panas berlebihan pencetus
h. Tanda-tanda vital vasodilatasi (penurunan
stabil: TD: perfusi organ).
120/80 mmhg, d. Kolaborasi untuk pemberian
nadi: O2
60-80x/menit. Rasional: Memaksimalkan
transport oksigen kejaringan.
e. Kolaborasikan pemeriksaan
laboratorium (hemoglobin).
Rasional : Mengetahui status
transport O2
f. Kolaborasikan pemberian
terapi untuk peningkatan
Hb (Eritropoetin Stimulating
Agen)
Rasional: untuk
meningkatkan kadar HB
dalam tubuh
4. Kelebihan Volume Setelah dilakukan a. Kaji status cairan seperti
Cairan Berhubungan tindakan keperawatan timbang berat badan harian,
Dengan Penurunan 3 x 24 jam kelebihan keseimbangan masukan dan
Haluaran Urine, cairan tidak terjadi. haluaran, turgor kulit dan
Retensi Cairan Dan Kriteria hasil : adanya edema, tekanan darah,
Natrium Ditandai a. Turgor kulit denyut dan irama nadi.
Dengan Peningkatan normal tanpa Rasional: pengkajian
Berat Badan Cepat edema, merupakan dasar
(Edema), Distensi b. Tanda-tanda vital berkelanjutan untuk
Abdomen (Asites) normal 120/80 memantau perubahan dan
mmhg, mengevaluasi intervensi.
c. Tidak ada asites, b. Batasi masukan cairan dan
d. Tidak ada garam
kenaikan BB. Rasional : pembatasan
cairan akan menentukan berat
tubuh ideal, haluaran urine
dan respons terhadap terapi.
c. Identifikasi berpotensial
cairan, medikasi dan cairan
yang digunakan untuk
pengobatan, oral dan
intravena serta makanan.
Rasional: sumber kelebihan
cairan yang tidak diketahui
dapat diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentang pembatasan
cairan.
Rasional: pemahaman
meningkatkan kerja sama
pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
e. Bantu pasien dalam
menghadapai
ketidaknyamanan akibat
pembatasan cairan.
Rasional: kenyamanan pasien
meningkatkan kepatuhan
terhadap pembatasan diet.
f. Timbang berat badan harian
Rasional : untuk memantau
status cairan dan nutrisi.
g. Kolaborasikan dialisis
Rasional : untuk mengurangi
penumpukan cairan dalam
tubuh.
h. Ajarkan management rasa
haus, oral higiene.
Rasional : untuk mengurangi
rasa haus
5. Risiko Penurunan Setelah dilakukan a. Auskultasi bunyi jantung dan
Curah Jantung tindakan keperawatan paru, evaluasi adanya edema
Berhubungan 3 x 24 jam curah perifer atau kongesti vaskuler
Dengan jantung dapat dan keluhan dispnea, awasi
Ketidakseimbangan dipertahankan tekanan darah, perhatikan
Cairan Kriteria hasil : postural misalnya: duduk,
Mempengaruhi a. Tanda-tanda vital berbaring dan berdiri.
Sirkulasi, dalam batas Rasional : Mengkaji adanya
Peningkatan Kerja normal: tekanan takikardi, takipnea, dispnea,
Miokardial Dan darah: 120/80 gemerisik, mengi dan edema.
Tahanan Vaskuler mmhg, b. Selidiki keluhan nyeri dada,
Sistemik, Gangguan b. Nadi 60-80 perhatikan lokasi dan
Frekuensi, Irama, x/menit, kuat, beratnya.
Konduksi Jantung teratur, Rasional: Hipertensi
(Ketidak Seimbangan c. Akral hangat, ortostatic dapat terjadi
Elektrolit). d. Capillary refill sehubungan dengan defisit
kurang dari 3 cairan.
detik, c. Evaluasi bunyi jantung akan
e. Nilai terjadi frictionrub, tekanan
laboratorium darah, nadi perifer, pengisisan
dalam batas kapiler, kongesti vaskuler,
normal (kalium suhu tubuh dan mental.
3,5-5,1mmol/L, Rasional : Mengkaji adanya
urea15-39 mg/dl) kedaruratan medik.
d. Kaji tingkat aktivitas dan
respon terhadap aktivitas.
Rasional : Kelelahan dapat
menyertai gagal jantung
kongestif juga anemia.
e. Kolaborasikan pemeriksaan
laboratorium yaitu kalium.
Rasional:
Ketidakseimbangan dapat
mengganggu kondisi dan
fungsi jantung.
f. Batasi makanan tinggi kalium
Rasional : menghindari
terjadinya hiperkalemia
dalam tubuh
g. Berikan obat anti hipertensi
sesuai dengan indikasi.
Rasional : Menurunkan
tahanan vaskuler sistemik.

6. Perubahan Nutrisi Setelah dilakukan a. Kaji status nutrisi seperti


Kurang Dari tindakan keperawatan perubahan berat badan,
Kebutuhan Tubuh 3 x 24 jam nutrisi pengukuran antropometrik,
Berhubungan adekuat nilai laboratorium (elektrolit,
Dengan Intake Kriteria hasil : serum, BUN, kreatinin,
Inadekuat, Mual, a. Pengukuran protein, transferin dan
Muntah, Anoreksia antropometri
Ditandai Dengan dalam batas kadarbesi).
Penurunan Berat normal, Rasional : menyediakan data
Badan (Malnutrisi), b. Perlambatan atau dasar untuk memantau
Distensi Abdomen / penurunan berat perubahan dan mengevaluasi
Asites badan yang cepat intervensi.
tidak terjadi, b. Kaji pola diet dan nutrisi
c. Pengukuran pasien seperti riwayat diet,
biokimis dalam makanan kesukaan, hitung
batas normal kalori.
(albumin, Rasional : pola diet sekarang
kadarelektrolit), dan dahulu dapat
d. Pemeriksaan dipertimbangkan dalam
laboratorium menyusun menu.
klinis dalam c. Kaji faktor-faktor yang dapat
batas normal, merubah masukan nutrisi
e. Pematuhan seperti Anoreksia, mual,
makanan dalam muntah, diet yang tidak
pembatasan diet menyenangkan bagi pasien,
dan medikasi kurang memahami diet
sesuai jadwal Rasional : menyediakan
untuk mengatasi informasi mengenai faktor
anoreksia lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk
meningkatkan masukan diet.
d. Menyediakan makanan
kesukaan pasien dalam batas-
batas diet.
Rasional : mendorong
peningkatan masukan diet
e. Tingkatkan masukan protein
yang mengandung nilai
biologis tinggi : telur, produk
susu, daging.
Rasional : protein lengkap
diberikan untuk mencapai
keseimbangan nitrogen yang
diperlukan untuk
pertumbuhan dan
penyembuhan.
f. Anjurkan camilan tinggi
kalori,rendah protein, rendah
natrium, diantara waktu
makan.
Rasional : mengurangi
makanan dan protein yang
dibatasi dan menyediakan
kalori untuk energi, membagi
protein untuk pertumbuhan
dan penyembuhan jaringan.
g. Ubah jadwal medikasi
sehingga medikasi ini tidak
segera diberikan sebelum
makan
Rasional : ingesti medikasi
sebelum makan
menyebabkan anoreksia dan
rasa kenyang.
h. Jelaskan rasional pembatasan
diet dan hubunganya dengan
penyakit ginjal dan
peningkatan urea dan kadar
kreatinin.
Rasional : meningkatkan
pemahaman pasien tentang
hubungan antara diet, urea,
kadar kreatinin dengan
penyakit renal.
i. Sediakan daftar makanan
yang dianjurkan secara
tertulis dan anjurkan untuk
memperbaiki rasa tanpa
menggunakan natrium atau
kalium.
Rasional : daftar yang dibuat
menyediakan pendekatan
positif terhadap pembatasan
diet dan merupakan referensi
untuk pasien dan keluarga
yang dapat digunakan
dirumah.
j. Ciptakan lingkungan yang
menyenangkan selama waktu
makan.
Rasional : faktor yang tidak
menyenangkan yang berperan
dalam menimbulkan
anoreksia dihilangkan.

7. Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan a. Kaji faktor yang


Berhubungan tindakan keperawatan menyebabkan keletihan
Dengan Keletihan, 3 x 24 jam seperti anemia, ketidak
Anemia, Retensi Berpartisipasi dalam seimbangan cairan dan
Produk Sampah Dan aktivitas yang dapat elektrolit, retensi produk
Prosedur Dialisisdi ditoleransi sampah, dan depresi.
Tandai Dengan Kriteria hasil : Rasional : Menyediakan
Kelemahan Otot, a. Berpartisipasi informasi tentang indikasi
Penurunan Rentang dalam tingkat keletihan
Gerak. meningkatkan b. Tingkatkan kemandirian
tingkat aktivitas dalam aktivitas perawatan diri
dan latihan, yang dapat ditoleransi, bantu
b. Melaporkan
peningkatan rasa jika keletihan terjadi.
sejahtera, Rasional : Meningkatkan
c. Melakukan aktivitas ringan/sedang dan
istirahat dan memperbaiki harga diri.
aktivitas secara c. Anjurkan aktivitas alternative
bergantian, sambil istirahat.
d. Berpartisipasi Rasional : Mendorong latihan
dalam aktivitas dan aktivitas dalam batas-
perawatan batas yang dapat ditoleransi
mandiri yang dan istirahat yang adekuat
dipilih d. Anjurkan untuk beristirahat
setelah dialisis.
Rasional : Dianjurkan setelah
dialisis, bagi banyak pasien
sangat melelahkan.
PATHWAY CK ON HD

Gagal ginjal kronis

Penurunan fungsi ginjal

Tidak mampu Tidak mampu


Penurunan Sekresi renin Kadar serum
mengeluarkan mengonsen-
fungsi filtrasi unstabil tinggi
ureum trasi urin

Penurunan Kadar ureum Aktivasi aksis Retensi


suplai O2 tinggi RAA natrium

Penurunan Ureum Peningkatan Cairan masuk


HB bersifat asam TD IV ke jar,

GGN Edema
PERFUSI
JARINGAN

Jaringan Pulmoner
Perikarditis Esenfalopati
GGN
Afterload
PERTUKARAN
GAS
RISIKO
PENURUNAN
CURAH Sesak
JANTUNG

POLA NAPAS
TIDAK EFEKTIF

Indikasi terapi HD

Pre HD Intra HD Post HD

Kurang Cemas Prosedur Posisi Penggan- Bekas luka


diam saat tian cairan tusakan AV
informasi heparinis dg cepat Shunt
HD
ANSIETAS
Sekresi HCL
Post de enty
RISIKO GGN masuk m.o
DEFISIT
PERDA- RASA
PENGETAHUAN RAHAN NYAMAN Mual
RISIKO
NAUSEA INFEKSI
DAFTAR PUSTAKA

Barader Mary. 2018. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: Penerbit Buku


KedokteranEGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mutaqin Arif. 2015. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Nursalam. 2016. Sistem Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. 2015. Patofisiologi Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai