Disusun oleh
Nama : Jariska
NIM : P2104033
2. Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim
ginjal difus dan bilateral.
a. Infeksi, misalnya pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan, misalnya glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler, misalnya hipertensi
Hipertensi pada pasien gagal ginjal dapat terjadi karena adanya
penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh penumpukan lemak
di dalam pembuluh darah akibat dari tingginya kadar natrium dan cairan
yang tidak seimbang, jika hal tersebut terjadi pada pembuluh darah ginjal
maka ginjal akan mengalami kerusakan yang berakibat pada gagal ginjal,
selain itu ginjal memproduksi enzim renin angiotensin yang diubah
menjadi angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah mengkerut
dan mengeras, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik
(SLE), poli arteri nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
f. Penyakit metabolik, seperti diabetes melitus, gout, hiper-paratiroidisme
amiloidosis.
g. Nefrotik toksik, misalnya penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
i. Saluran kemih bagian atas, kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal
dan saluran kemih bagian bawah, hipertrofi prostate, struktur uretra.
3. Manifestasi klinis
a. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema
periorbital, friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan kussmaul.
d. Napas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi atau diare, perdarahan saluran gastrointestinal.
e. Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku.
f. Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop.
g. Amenore dan atrofi testikuler.
4. Komplikasi
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dan kehilangan
darah selama hemodialisa.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolik.
g. Osteodistropi ginjal.
h. Sepsis.
i. Neuropati perifer.
j. Hiperuremia.
5. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin
clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. Fungsi renal
menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan
ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin
berat.
a. Gangguan klirens ginjal
1. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat
dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut
filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin
akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar
nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum
merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh
penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
(jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
b. Retensi cairan dan ureum
Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan
urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan
resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiotensin dan
kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
c. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia
(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan
ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi.
d. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun
dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
2. Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan
fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun.
f. Penyakit tulang uremik
Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon.
6. Penatalaksanaan medik
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal
Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai
tahun. Tujuan terapi konservatif yaitu mencegah memburuknya fungsi
ginjal secara profresi, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksi asotemia, mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara
optimal, dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Prinsip
terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal terutama hati-hati dalam
pemberian obat yang bersifat nefrotoksik, hindari keadaan yang
menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
Kemudian hindari gangguan keseimbangan elektrolit, hindari
pembatasan ketat konsumsi protein hewani, hindari proses
kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi, hindari instrumentasi
dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat dan hindari
pemeriksaan radiologi dengan kontras yang kuat tanpa indikasi
medis yang kuat.
2) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat,
kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular, kendalikan
terapi ISK, diet protein yang proporsional, kendalikan
hiperfosfatemia, terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg
%, terapi hiperfosfatemia, terapi keadaan asidosis metabolik,
kendalikan keadaan hiperglikemia.
3) Terapi alleviative gejala asotemia, pembatasan konsumsi protein
hewani, terapi keluhan gatal-gatal, terapi keluhan gastrointestinal,
terapi keluhan neuromuskuler, terapi keluhan tulang dan sendi, terapi
anemia, terapi setiap infeksi.
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik, jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat
meningkatkan serum K+ (hiperkalemia) yaitu suplemen alkali dengan
pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari dan terapi alkali dengan
sodium bikarbonat IV, bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20
mEq/L.
2) Anemia
a) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor).
Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U/kg BB.
b) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan
adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis.
c) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi
pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia,
tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif,
murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal adalah HCT ≤ 20
%, Hb ≤ 7 mg, pasien dengan keluhan: angina pektoris, gejala
umum anemia dan high output heart failure. Komplikasi tranfusi
darah: hemosiderosis, supresi sumsum tulang, bahaya
overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia bahaya infeksi hepatitis
virus dan CMV, pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah,
penting untuk rencana transplantasi ginjal.
3) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan gagal ginjal berupa: volum
dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya.
Program terapinya meliputi: Restriksi garam dapur, diuresis dan
ultrafiltrasi, obat-obat antihipertensi.
2. Tujuan
Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu
a. Membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
3. Prinsip
a. Akses Vaskuler
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara.
Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable.
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien
konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan
pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang
dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan
akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam
cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai
ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk
tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membran:
1) Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat
cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh
tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir
balik ke fistula tekanan positif “mendorong” cairan menyeberangi
membran.
2) Tekanan negatif merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar
membran oleh pompa pada sisi dialisat dari membran tekanan
negatif “menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan
yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan
tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik
cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang
menyebabkan membrane permeable terhadap air.
4. Peralatan Hemodialisa
a. Arterial Blood Line (ABL)
Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari tubing
akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai
dengan warna merah.
b. Venouse Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari dialiser
dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai
dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. priming
volume adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser. Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah
konektor, ujung runcing, segmen pump,tubing arterial/venouse
pressure,tubing udara,bubble trap,tubing infuse/transfuse set, port biru
obat ,port darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
c. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2 ruang atau
kompartemen, yaitu:
1) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
2) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat. Kedua
kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.
d. Dialiser
Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah
dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
e. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan
air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment”
sehingga memenuhi standar AAMI (Association for the Advancement of
Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu session
hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 Liter.
f. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi
tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan
dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa
macam yaitu jenis standart, free potassium, low calsium dan lain-lain.
Bentuk bicarbonate ada yang powder, sehingga sebelum dipakai perlu
dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada
yang bentuk cair (siap pakai).
g. Mesin Haemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya.
Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan
dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat
circuit dan bebagai monitor sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan
komponen tambahan seperti heparin pump, tombol bicarbonate, control
ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume monitor.
5. Pengguna
Cuci darah dilakukan pada penderita gagal ginjal, baik gagal ginjal akut
maupun gagal ginjal kronis. Secara umum, gagal ginjal dapat dikenali dengan
gejala-gejala berikut ini:
1. Munculnya gejala uremia, seperti gatal-gatal, mual, muntah, kehilangan
nafsu makan, dan kelelahan
2. Tingginya kadar asam dalam darah (asidosis)
3. Terjadinya pembengkakan pada bagian-bagian tubuh akibat ginjal tidak
dapat membuang kelebihan cairan
4. Tingginya kadar kalium dalam darah (hiperkalemia)
Gagal ginjal kronis umumnya disebabkan oleh beberapa kondisi di bawah ini:
1. Hipertensi
2. Diabetes
3. Peradangan pada ginjal (glomerulonefritis)
4. Peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis)
5. Penyakit ginjal polikistik
Sedangkan gagal ginjal akut dapat terjadi akibat komplikasi setelah
pembedahan, serangan jantung, dan dehidrasi.
6. Persiapan
Persiapan cuci darah dilakukan beberapa minggu sebelum prosedur ini
dilaksanakan. Pasien perlu dibuatkan akses pembuluh darah agar
memudahkan proses cuci darah. Terdapat tiga jenis akses pembuluh darah
yang bisa dibuat oleh dokter bedah vaskuler, yaitu:
1. Fistula arteri-vena (cimino)
Fistula arteri-vena atau cimino adalah saluran buatan yang
menghubungkan arteri dan vena. Akses ini merupakan akses pembuluh
darah yang paling sering disarankan karena keamanan dan efektivitasnya
lebih baik dibandingkan dengan jenis akses lainnya.
2. Cangkok arteri-vena
Cangkok arteri vena dilakukan dengan menyambungkan arteri dan vena
dengan menambahkan selang sintetis yang fleksibel. Metode akses ini
dilakukan jika pembuluh darah pasien terlalu kecil sehingga sulit untuk
dibentuk fistula.
3. Kateter
Akses pembuluh darah menggunakan kateter biasanya menjadi pilihan
terakhir dan digunakan dalam jangka waktu tertentu. Terdapat dua jenis
kateter yang dapat digunakan sebagai akses, yaitu:
a. Kateter non-cuffed
Kateter non-cuffed atau kateter double lumen adalah akses yang
dibuat bagi pasien yang membutuhkan cuci darah dalam keadaan
darurat. Pada prosesnya, dokter akan memasukkan kateter ke dalam
vena besar di leher atau di lipat paha.
Kateter biasanya hanya bersifat sementara, yaitu kurang dari 3
minggu, dan akan diangkat ketika pasien sudah tidak diharuskan
menjalani cuci darah atau sudah memiliki akses yang lebih
permanen, seperti cimino.
b. Kateter cuffed (tunnelling)
Kateter cuffed atau tunnelling adalah kateter yang ditempatkan di
bawah kulit lalu dihubungkan ke vena besar. Tunnelling dapat
bertahan hingga lebih dari 3 minggu. Hal ini dilakukan bila cimino
atau cangkok arteri-vena tidak dapat dilakukan atau belum siap
digunakan.
Infeksi pada akses pembuluh darah dapat mengganggu prosedur cuci
darah. Oleh karena itu, jaga kebersihan akses pembuluh darah guna mencegah
terjadinya infeksi dan komplikasi lainnya.
7. Indikasi
a. Indikasi Segera
Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer, hiperkalemi,
hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru, oliguri berat atau anuria.
b. Indikasi Dini
Gejala uremia, mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang, gangguan
pertumbuhan dan perkembangan seks dan perubahan kulitas hidup,
laboratorium abnormal, asidosis, azotemia (kreatinin 8-12 mg %) dan Blood
Urea Nitrogen (BUN) : 100 – 120 mg %, TKK : 5 ml/menit
c. Frekuensi Hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang
tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3
kali/minggu.
d. Program dialisa dikatakan berhasil jika:
1. Penderita kembali menjalani hidup normal
2. Penderita kembali menjalani diet yang normal
3. Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
4. Tekanan darah normal5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang
progresif.
8. Komplikasi
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang
cepatberpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradien osmotic diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia
berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.
h. Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
9. Proses
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di
dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8
liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada
di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses
agar darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian
kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV)
fistula, AV graft dan central venous catheter. AV fistula adalah akses
vaskular yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan
juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD),
perawat akan memeriksa tanda – tanda vital pasien untuk memastikan apakah
pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien melakukan
timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang harus
dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan pasien
ke mesin cuci darah dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum ke
akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan
akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang
maka proses terapi hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa,
darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin HD, melainkan hanya melalui
selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari
komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi untuk mengatur
dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan informasi
jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya. Mesin HD juga
mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut
membantu mengumpulkan racun – racun dari darah. Pompa yang ada dalam
mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialyzer dan
mengembalikan kembali ke dalam tubuh
10. Penatalaksanaan
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien
yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal
yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme,
substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan
bekerja sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan
tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk,
lebih berat gejala yang timbul. Diet rendah protein akan mengurangi
penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala.
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian, pembatasan cairan
juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian
atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan.
Berkaitan dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus
memiliki nilai biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial
untuk mencegah penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan
keseimbangan nitrogen yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis
yang tinggi adalah telur, daging, susu dan ikan.
Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan
merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak
disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan
minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering
merasa disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena hanya
ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika pembatasan
ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti
hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi.
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau
sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat
glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau
dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh karena
itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang
terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran
metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya.
Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya
harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui kapan minum
obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi
diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek
hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah
rendah yang berbahaya
GGN Edema
PERFUSI
JARINGAN
Jaringan Pulmoner
Perikarditis Esenfalopati
GGN
Afterload
PERTUKARAN
GAS
RISIKO
PENURUNAN
CURAH Sesak
JANTUNG
POLA NAPAS
TIDAK EFEKTIF
Indikasi terapi HD