Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“APLIKASI HUKUM MENDEL I DAN II PADA FENOMENA INTERAKSI GEN”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Genetika


Dosen Pengampu: Ayu Lestari, S.Pd., M.Pd.

Anggota Kelompok 5:

Syahid Ma’ruf Amir 2110303030


Alya Rana Zulfa 2140303102
Aminah 2140303108
Rifa Zahida Listiani 2140303110

HALAMAN UTAMA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN UTAMA .......................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 3
A. Latar belakang................................................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
A. Atavisme ........................................................................................................................................ 5
B. Kriptomeri ...................................................................................................................................... 8
C. Polimeri .......................................................................................................................................... 9
D. Epistatis – Hipostatis ....................................................................................................................12
E. Komplementer .............................................................................................................................15
BAB III PENUTUP ..........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan ..........................................................................................................................................17
B. Saran ....................................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum Mendel I dan II adalah prinsip dasar dalam pemahaman pewarisan sifat
pada organisme hidup. Namun, sifat pewarisan pada organisme hidup tidak selalu
sederhana dan dapat melibatkan berbagai interaksi genetik yang lebih kompleks seperti
atavisme, kriptometri, polimeri, epistasis-hipostasis, dan komplementer.
Fenomena atavisme adalah munculnya kembali sifat-sifat yang telah hilang pada
nenek moyang organisme tersebut. Misalnya, pada manusia, terdapat kasus-kasus kelainan
genetik yang menyebabkan tumbuhnya gigi tambahan, yang merupakan sifat yang hilang
pada evolusi manusia. Sementara itu, kriptometri adalah fenomena di mana suatu gen tidak
tampak tetapi tetap mempengaruhi sifat organisme. Polimeri adalah fenomena di mana
beberapa gen bekerja sama dalam membentuk sifat tertentu pada organisme. Sedangkan
epistasis-hipostasis dan komplementer adalah fenomena interaksi genetik di mana gen satu
mempengaruhi ekspresi gen lainnya.
Studi tentang aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
tersebut sangat penting karena dapat membantu memahami bagaimana kompleksitas sifat
pewarisan terjadi pada organisme hidup. Misalnya, dengan memahami fenomena
kriptometri, para peneliti dapat memahami bagaimana gen yang tidak terlihat tetap
mempengaruhi sifat organisme. Sementara itu, dengan memahami fenomena epistasis-
hipostasis dan komplementer, para peneliti dapat memahami bagaimana interaksi antara
gen dapat membentuk sifat-sifat yang kompleks pada organisme.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik atavisme?
2. Bagaimana aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
kriptometri?
3. Bagaimana aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik polimeri?
4. Bagaimana aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik epistasis-
hipostasis?

3
5. Bagaimana aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
komplementer?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
atavisme
2. Untuk mengetahui aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
kriptometri
3. Untuk mengetahui aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
polimeri
4. Untuk mengetahui aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
epistasis-hipostasis
5. Untuk mengetahui aplikasi hukum Mendel I dan II pada fenomena interaksi genetik
komplementer

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Atavisme
Pada persilangan dihibrid hukum Mendel, kedua alel yang terlibat memberikan kontribusi
pada fenotip keturunannya secara bebas (independent). Ketika Mendel menyilangkan tanaman
kacang ercis homozigot round-yellow (RRYY) dengan tanaman homozigot wrinkle-hijau
(rryy) dan dilanjutkan dengan menyilangkan sesamanya keturunan F1 nya maka didapat
keturuna F2 dengan proporsi (Effendi, 2020).

Pada contoh tersebut, kedua alel yakni alel Y dan alel R, keduanya memperikan efek
pengaruhnya secara terpisah dan bebas. Artinya alel Y akan memberikan efek hanya ke warna
biji ercis saja yakni kuning atau hijau tergantung dari komposisi zigositas alal tersebut, begitu
juga alel R hanya memberikan efek permukaan biji kacang ercis apakah halus atau keriput,
tanpa memberikan kontribusi efek ke sifat warna biji kacang ercisnya. Hal ini yang disebut
dengan marna independent pada hukum mendel yang terungkap pada persilangan dihibrid.
Namun dalam kenyataannya di alam banyak terdapat kasus dimana dua alel atau lebih yang
berbeda saling memberikan pengaruh dan beriteraksi sehingga memunculkan efek kombinasi
fenotip yang berbeda dengan induknya. Fenomena ini yang disebut dengan interaksi gen atau
atavisme.
Salah satu contoh fenomena atavisme adalah interaksi bentuk pada pial (jengger) ayam
yang pertama kali di perkenalkan oleh W. Bateson dan R.C. Punnet. Karakter jengger tidak
hanya diatur oleh satu gen, tetapi oleh dua gen yang berinteraksi. Pada beberapa jenis ayam,
gen R mengatur jengger untuk bentuk ros, gen P untuk fenotip pea, gen R dan gen P jika
bertemumembentuk fenotip walnut. Adapun gen r bertemu p menimbulkan fenotip single
(Wirjosoemarto, 2016).

5
Berdasarkan hasil persilangan tersebut, kita mendapatkan rasio fenotip 9 Walnut : 3 Ros :
3 Pea : 1 Single. Berbeda dengan persilangan yang dilakukan oleh Mendel dengan kacang
ercisnya maka sifat dua buah bentuk jengger dalam satu ayam sangatlah ganjil. Dengan
adanya interaksi antara dua gen dominan dan gen resesif seluruhnya akan menghasilkan
variasi fenotip baru, yakni ros dan pea. Gen dominan R yang berinteraksi dengan gen dominan
P akan menghasilkan bentuk jengger pea. Perbedaan bentuk jengger ayam ini dinamakan
dengan atavisme.
Pada peternakan ayam diketahui adanya macam-macam bentuk jengger atau jawer ayam.
Macam bentuk jawer ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:

1. Bentuk tunggal (single), terdapat pada ayam Leghorn.


2. Bentuk mawar (ros), terdapat pada ayam Wyandotte.
3. Bentuk kacang (pea), terdapat pada ayam Brahma.
4. Bentuk biji (walnut), terdapat pada ayam Malaya.
Pembastaran antara ayam jawer mawar dengan jawer tunggal menghasilkan turunan F1
yang semuanya mempunyai jawer mawar. Ini berarti bahwa jawer mawar mempunyai sifat
dominan terhadap jawer tunggal. Gen R adalah gen untuk timbulnya jawer mawar dan gen r
untuk timbulnya jawer tunggal. Pada turunan F2 akan diperoleh 3 mawar dan 1 tunggal seperti
gambar di bawah:

6
Yang selanjutnya terjadi pembastaran seperti gambar di bawah:

Dari pembastaran diperoleh jenis bentuk jawer baru, yaitu jawer biji. Selain itu, pada
turunan F2 akan diperoleh 16 kemungkinan macam turunan dengan perbandingan = 9:3:3:1,
yang terdiri dari 9 jawer biji, 3 jawer mawar, 3 jawer kacang, dan 1 jawer tunggal. Ini berarti
pada pembastaran jawer kacang dengan jawer mawar terlihat dua sifat beda atau dihibrida,
yaitu dengan diperoleh turunan pada F2 dengan perbandingan 9:3:3:1. Dengan demikian,
jawer tunggal timbul karena adanya interaksi dari dua gen resesif yang berbeda, yaitu r dan p.
Untuk penjelasan lebih lanjut yaitu:
1. Jawer tunggal terjadi sebagai hasil interaksi antara dua gen resesif, yaitu gen p dan r.
Genotip jawer tunggal ialah pprr.

7
2. Jawer mawar diperoleh apabila hewan itu homozigot atau heterozigot untuk gen R,
dan homozigot untuk gen p. Sehingga genotip jawer mawar ialah ppRR dan ppRr.
Genotip ppRR, artinya homozigot untuk gen p dan heterozigot untuk gen R. Homozigot,
artinya genotip suatu individu yang mempunyai pasangan gen yang sama. Pasangan gen
ini dapat berupa pasangan gen yang dominan (misal PP dan RR), dan disebut sebagai
homozigot dominan atau berupa pasangan gen yang resesif (misal pada pp dan rr), dan
disebut sebagai homozigot resesif, sedangkan arti heterozigot ialah genotip suatu individu
yang mempunyai pasangan gen yang beda. Misalnya, individu dengan genotip Pp dan Rr.
3. Jawer kacang diperoleh apabila hewan itu homozigot atau heterozigot untuk gen P
dan homozigot untuk gen r. Jadi, genotip jawer kacang ialah PPrr dan Pprr. Genotip
PPrr, artinya homozigot untuk gen P dan homozigot untuk gen r, sedangkan genotip Pprr,
artinya ialah heterozigot untuk gen P dan homozigot untuk gen r.
4. Jawer biji akan muncul apabila terdapat paling sedikit ada satu gen P besama-sama
dengan paling sedikit satu gen R. Jadi genotip jawer biji ialah PPRR, PPRr, PpRR,
PpRr.

B. Kriptomeri
Kriptomeri kali pertama diungkapkan oleh Corens pada saat menyilangkan bunga Linaria
marrocana galur murni warna merah dan putih. Generasi F1 hasil persilangan didapatkan
semua bunga berwarna ungu. Kemudian bunga tersebut disilangkan dengan sesamanya
menghasilkan generasi F2. Hasilnya, didapatkan fenotip bunga ungu, merah, dan putih dengan
perbandingan 9:3:4. Dari hasil tersebut diduga kuat bahwa persilangan tersebut merupakan
persilangan dihibrida. Berdasarkan penelitian Correns, gen pembentuk antosianin dominan
terhadap gen tanpa antosianin. Pigmen antosianin berwarna merah jika berada dalam
sitoplasma sel yang bersifat asam. Jika sitoplasma bersifat basa, pigmen berwarna ungu. Sifat
asam basa sitoplasma ini dipengaruhi oleh gen lain. Gen penyebab sitoplasma basa ini bersifat
dominan.

8
Persilangan Kriptomeri
Gen C adalah gen untuk timbulnya warna. Gen P adalah gen untuk enzim yang dapat
menimbulkan warna, sedangkan gen p adalah gen yang tidak dapat membuat enzim. Enzim
dapat terjadi kalau ada gen P. Warna bunga (yaitu ungu) dapat timbul apabila suatu tanaman
mempunyai gen untuk warna (gen C) dan gen untuk enzim (gen P). Sehingga bila pada
tanaman terdapat gen C dan gen P maka tanaman tersebut menjadi berwarna (ungu). Kalau
hanya ada gen C, tetapi tidak ada gen P (misal hanya ada gen p), warna bunga akan menjadi
putih. Apabila pada genotip tanaman hanya terdapat gen C atau gen P saja maka tidak akan
timbul warna (ungu). Di sini dikatakan bahwa tanaman akan berbunga ungu apabila gen P
berada bersama gen C atau dapat pula dikatakan bahwa gen P akan mempunyai pengaruh
dalam pembentukan warna apabila berada bersama dengan gen C, Dikatakan di sini bahwa
gen P itu tersembunyi atau disebut kriptomer (kriptos = tersembunyi).
Turunan pada F2 yang berbunga putih, bila tanaman itu hanya memiliki gen C saja atau
gen P saja, dan tidak dalam keadaan bersama antara gen C dan P. Pada pembastaran tersebut
di atas seolah-olah hasil turunan F2 menyimpang dari temuan Mendel, yaitu bukan 9:3:3:1,
melainkan 9:7 karena adanya peristiwa bahwa apabila dua gen yang dominan bertemu (gen C
dan P), akan mempengaruhi sifat suatu individu (dalam hal ini warna ungu bunga kacang
buncis).

C. Polimeri
Polimeri adalah interaksi antar gen-gen berbeda alel yang memunculkan satu fenotip dan
bersifat kumulatif (saling menambah). Polimeri adalah pembastaran heterozigot dengan

9
banyak sifat beda yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi mempengaruhi bagian yang sama pada
suatu organisme. Polimeri memiliki ciri-ciri makin banyak gen dominan, maka sifat
karakternya makin kuat. Peristiwa polimeri pertama kali dilaporkan oleh Nelson-Ehle, melalui
percobaan persilangan antara gandum berbiji merah dengan gandum berbiji putih. Dari
persilangan yang dilakukan oleh Nelson Ehle pada gandum berbiji merah dengan gen dan
berbiji putih, ia menemukan variasi warna yang dihasilkan oleh keturunannya. Salah satu
tujuan dari persilangan adalah menghasilkan varietas yang diinginkan atau hadirnya varietas
baru. Peristiwa tersebut mirip dengan persilangan dihibrid tidak dominan sempurna yang
menghasilkan warna peralihan seperti merah muda. Warna yang dihasilkan ini tidak hanya
dikontrol oleh satu pasang gen saja melainkan oleh dua gen yang berbeda lokus, namun masih
berpengaruh terhadap sifat yang sama.
Contohnya adalah warna merah pada biji gandum yang ditentukan oleh dua gen yaitu M1
dan M2 sehingga apabila kedua gen tersebut bertemu maka ekspresi warna merahnya akan
semakin kuat.Semakin banyak gen M yang dimiliki, maka warna merah dari Gandum akan
semakin gelap. (sumber: world grain)

Misalkan, akan dilakukan persilangan antara gandum berbiji merah dengan gandum berbiji
putih sebagai berikut:

10
Persilangan gandum merah dan putih

Perbandingan Pola Genotip Pola Fenotip

9 M1_M2_ Merah

3 M1_m2m2 Merah

3 m1m1M2_ Merah

1 m1m1m2m2 Putih

Tabel perbandingan pola genotip dan fenotip


Hasil persilangan di atas menghasilkan perbandingan fenotipe 15 kulit biji berwarna merah
dan hanya satu kulit biji berwarna putih. Warna merah dihasilkan oleh gen dominan yang
terkandung di dalam gandum tersebut, baik M1 maupun M2. Pada kenyataannya, warna
merah yang dihasilkan sangat bervariasi, mulai dari warna merah tua, merah sedang, merah
muda, hingga merah pudar mendekati putih. Semakin banyak gen dominan yang
menyusunnya, semakin merah juga warna kulit gandum tersebut. Peristiwa polimeri ini
melibatkan beberapa gen yang berada di dalam lokus berbeda namun memengaruhi satu sifat
yang sama. Pada kasus warna kulit biji gandum ini, efek dari hadirnya gen dominan bersifat
akumulatif terhadap penampakan warna merah. Jadi, semakin banyak gen dominan pada
organisme, akan semakin merah juga dihasilkan warna kulit biji gandumnya.

11
Berdasarkan hasil generasi F2 dapat diketahui bahwa fenotipe merah akan selalu muncul
jika mendapatkan gen dominan M berapapun jumlahnya. Fenotipe putih hanya akan muncul
jika tidak terdapat gen dominan M. Semakin banyak jumlah gen dominan maka sifat yang
muncul akan semakin kuat. Jadi, satu ciri dipengaruhi oleh banyak gen dan terjadi secara
akumulatif. Contoh polimeri yang lain adalah warna kulit dan warna iris pada mata manusia.

D. Epistatis – Hipostatis
Epistasis-Hipostasis merupakan peristiwa ketika gen yang bersifat dominan akan menutupi
pengaruh gen dominan lain yang bukan alelnya. Secara lengkap, epistasis adalah suatu
peristiwa yang terjadi karena suatu faktor gen dominan yang menutup gen dominan lainnya.
Hipostasis adalah suatu peristiwa yang terjadi karena suatu faktor gen ditutupi oleh gen lain
yang bukan alelnya.
Pada peristiwa epistasis, gen yang bersifat epistasis tidak akan menutupi gen yang menjadi
pasangannya, tetapi akan menutupi gen lain yang bukan pasangannya. Peristiwa epistasis
dibedakan menjadi epistasis dominan dan epistasis resesif.
1. Epistasis Domain
Epistasis dominan dapat ditemukan pada pembentukan warna biji tanaman sejenis
gandum dan pembentukan warna kulit labu (Cucurbita pepo). Epistasis dominan terlihat
pada interaksi 2 lokus yang menentukan warna buah pada labu yang umumnya ditemukan
salah satu dari 3 warna labu: kuning, putih atau hijau. Ketika tanamn homozigot warna
putih disilangkan dengan tanaman homozigot hijau, pada F1 dihasilkan tanaman dengan
buah berwarna putih semua. Dan persilangan sesama tanaman F1 dihasilkan kombinasi
sebagai berikut:

12
Fenomena epistasis dominan ada persilangan labu

Pada persilangan tersebut dihasilkan perbandingan 12 : 3 : 1 (putih : kuning : Hijau),


hasil ini menunjukkan bahwa sifat warm kulit buah labu ditentukan oleh 2 alel berbeda
seperti halnya pesilangan dihibrid hukum Mendel. Namun perbandingan fenotip
keturunanan F2 tidak lagi 9 : 3 : 3 : 1. Penjelasannya adalah karena salah satu dari alel
bersifat menutupi efek dari alel lainnya dalam jalur biokimia pembentukan zat warna.
Contoh ilustrasi sederhananya sebagai berikut, misalnya alel W mewakili alel dominan
yang menghambat proses pembentukan zat warna yang dikode oleh alel Y. Kedua alel
berada dalam satu jalur biokimia pembentukan zat warna buah labu. Ilustrasinya
ditunjukan sebagai berikut:

Jalur biokimia pembentukan zat warna pada buah labu yang melibatkan 2 alel (W dan Y)

13
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa warna hijau akan muncul hanya jika alel
ww yang ada pada tanaman labu. Begitu juga untuk warna kuning hanya akan muncul jika
alel Y dimiliki oleh tanaman labu dan alel ww resesif homozogot. Namun jika tanaman
memilik alel W dominan, maka warna labu akan menjadi putih tanpa melihat kondisi alel
Y. Pada fenomena ini, alel W bersifat epistasis dominan terhadap alel Y_ maupun yy.
H. Nilson dan Ehle (1873-1949) menyelidiki peristiwa epistasis domain pada
persilangan jenis gandum berkulit biji hitam dengan gandum berkulit biji kuning yang
keduanya bergalur murni. Peristiwa epistasis dan hipostasis di atas dapat digambarkan
seperti contoh di bawah ini :

Jadi dalam persilangan ini didapatkan keturunan dengan perbandingan fenotip = 12 : 3 : 1


Maka terlihat bahwa genotip yang mengandung H selalu berwarna hitam,
sedangkan genotip yang mengandung K tanpa disertai H selalu berwarna kuning jadi dapat
disimpulkan bahwa:
H epistasis terhadap K
K hipostasis terhadap H

2. Epistasis Resesif
Selain epistasis dominan, terdapat fenomena epistasis lainnya yang dikategorikan
epistasis resesif. Penentuan warna cangkang pada siput air Physa heterostroha misalnya,
ketika siput berwarna (pigmented) disilangkan dengan siput berwarna albino, keturunan F1
dihasilkan semua keturunan mempunyai warna cangkang berwarna (pigmented). Namun

14
ketika sesama keturunan F1 disilangkan, dihasilkan 9/16 keturunan pigmented dan 7/16
albino. Fenomena ini menunjukkan adanya penyimpangan dari persilangan dihibrid 9 : 3 :
3 : 1.
Rekonstruksi persilangan yang melibatkan 2 alel dominan tersebut dapat dijelaskan
pada Gambar berikut.

Epistasis resesif pada penentuan warna cangkang siput air (Physa heterostroha)

Penyimpangan 9 : 7 dapat dijelaskan ketika salah satu dari alel bersifat epistasis
untuk semua kondisi alel lainnya ketika alel tersebut berada dalam kondisi resesif. Pada
Gambar, alel aa mupun bb bersifat epistasis untuk alel pasangannya B_ maupun A_.

E. Komplementer
Gen komplementer kali pertama diamati oleh Bateson dan R.C. Punnet saat mengamati
persilangan bunga Lathyrus odoratus. Gen komplementer adalah peristiwa dimana gen-gen
dominan yang berinteraksi dan saling melengkapi dalam mengekspresikan suatu sifat .
Kehadiran gen-gen dominan tersebut secara bersama-sama akan bekerjasama saling
melengkapi untuk memunculkan suatu karakter (fenotip) tertentu. Sebaliknya, jika salah satu
gen tidak muncul maka pemunculan karakter (fenotip) tersebut akan terhalang atau tidak
sempurna. Jadi, gen yang satu melengkapi gen yang lain dan jika masing-masing gen berada
sendirian, pengaruhnya tidak dapat terlihat. Rasio fenotipe F2 pada peristiwa gen-gen
komplementer adalah 9 : 7.

15
Contoh komplementer dapat ditemukan pada kasus persilangan bunga Lathyrus odoratus.
Pada bunga Lathyrus odoratus, terdapat dua gen yang saling berinteraksi dalam memunculkan
pigmen pada bunga.
Gen C : membentuk pigmen warna
Gen c : tidak membentuk pigmen warna
Gen P : membentuk enzim pengaktif pigmen
Gen p : tidak membentuk enzim pengaktif pigmen
Berdasarkan gen-gen tersebut, warna pada bunga hanya akan timbul jika kedua gen,
penghasil pigmen (C) dan penghasil enzim pengaktif pigmen (P), muncul. Jika salah satu atau
kedua gen tidak muncul, bunga tidak berwarna (putih). Perhatikan persilangan yang
menunjukkan adanya gen komplementer antara individu CCpp (putih) dengan individu ccPP
(putih).

Gambar persilangan bunga Lathyrus odoratus


Berdasarkan hasil persilangan, generasi F2 menghasilkan perbandingan fenotipe ungu dan
putih sebesar 9:7. Sepintas, tampak hal tersebut tidak sesuai hukum Mendel. Akan tetapi,
sebenarnya perbandingan 9:7 tersebut hanya modifikasi dari perbandingan 9 : (3+3+1). Hal
tersebut terjadi karena adanya interaksi gen yang saling melengkapi.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa interaksi antara gen dapat mempengaruhi pewarisan sifat
pada organisme. Fenomena atavisme, misalnya, terjadi ketika individu memperlihatkan
sifat-sifat yang telah hilang pada generasi sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh alel resesif
yang muncul kembali setelah tersembunyi dalam beberapa generasi. Kriptometri terjadi
ketika alel dominan yang tampak mengalahkan alel resesif, tetapi sebenarnya alel resesif
masih ada di dalam individu. Polimeri terjadi ketika alel memiliki lebih dari dua jenis dan
memiliki efek kumulatif pada fenotipe. Epistasis-hipostasis terjadi ketika satu pasangan
gen mempengaruhi ekspresi gen yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini menyebabkan pengaruh dari alel-alel yang berbeda tidak berfungsi secara mandiri.
Komplementer terjadi ketika ada dua gen yang masing-masing menghasilkan produk yang
dibutuhkan untuk mengekspresikan suatu sifat. Jika salah satu dari dua gen tersebut hilang,
maka sifat tersebut tidak akan ditampilkan.

B. Saran
Dalam mempelajari dan menganalisis materi ini, memerlukan ketelitian dan pikiran
yang fokus. Materi yang ada dalam makalah ini masih kurang dari kata baik. Diharapkan
agar dapat menerapkan dan lebih banyak mengkaji berbagai sumber lain agar tidak hanya
terpacu dalam malakah ini saja. Namun, dengan adanya pembahasan tentang materi
“Aplikasi Hukum Mendel I dan II pada Fenomena Interaksi Gen” ini, diharapkan pembaca
dapat memahami lebih lanjut dan menambah wawasan. Kami menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk membenarkan dan menyempurnakan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Deden. (2008). Biologi Kelompok Pertanian Dan Kesehatan. Bandung : Grafindo
Media Pratama.
Effendi, Y. (2020). Buku Ajar Genetika Dasar. In Pustaka Rumah C1nta.
Nusantari, E. (2014). GENETIKA Belajar Genetika dengan Mudah & Komprehensif. Yogyakarta:
Deepublish:
Wirjosoemarto, K. (2016). Hukum mendel dan pewarisan sifat. Genetika, 1–56.
http://repository.ut.ac.id/4302/3/PEBI4311-M1.pdf
Ida Bagus Made Artanda, W. D. (2018). Dasar-Dasar Genetika Mendel dan Pengembangannya.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

18

Anda mungkin juga menyukai