MAKALAH
Disusun oleh :
Kelompok 1
Kelas 3 MD A
FAKULTAS DAKWAH
2023
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan ini
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami beri judul “Asal
Muasal Budaya Organisasi”
Adapun makalah tentang “Asal Muasal Budaya Organisasi” ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat
memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Dan penyusun mengharapkan semoga dari makalah tentang “Asala Muasal Budaya
Organisasi ” ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembaca.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii
A. Kesimpulan............................................................................................................... 12
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, dunia pendidikan bersaing semakin ketat. Berbagai
universitas atau institusi pendidikan tinggi hadir dengan berbagai penawaran menarik,
mulai dari segi biaya, hingga lama perkuliahan. Belum lagi, kehadiran berbagai institusi
pendidikan baru yang berafiliasi dengan isntitusi pendidikan tinggi di luar negeri. Dalam
era globalisasi ini, berbagai penawaran perkuliahan di luar negri terdengar lebih menarik
jika dibandingkan dengan penawaran dari dalam negeri. Ditambah dengan tantangan dari
Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang mendorong tiap calon mahasiswa untuk memilih
tujuan institusi pendidikan tingginya kelak dengan lebih selektif.
Tidak berbeda dengan perusahaan atau organisasi, institusi pendidikan tinggi juga
dirasaperlu untuk memiliki sebuah nilai-nilai budaya orgnaisasi yang digunakan sebagai
pembentuk identitas dan karakter. Kedua unsur tersebut digunakan sebagai tonggak dalam
menhadapi persaingan yang datang dari luar. Nilai-nilai budaya tersebut merupakan alat
untuk membangun dan menyeragamkan pikiran dan perilaku secara global. Dalam proses
penanaman nilai-nilai budaya organisasi ini dibutuhkan sebuah komunikai organisasi
yang baik pula. Permasalahan yang dihadapi, proses penanaman nilai budaya organisasi
diraa belum maksimal
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan materi ini, agar tersusun secara sistematis dan efisien maka
timbulah beberapa rumusan masalah diantaranya :
C. Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Organisasi
Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat.
Budaya organisasi dapat didefinisikan sebgai perangkat sistem niali-nilai (values),
keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi, atau norma norma yang telah lama
berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasinya. Menurut
Wood, Wallce, Zeffana(2001:391) Budaya Organisasi adalah sistem yang
dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Sedangkan menurut Tosi, Rizzo, Carrol
seperti yang dikutip oleh Munadar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara
berpikir, berpersaan dan bereaksi berdaarkan pola-pola tertentu yang ada dalam
organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. Menurut Schein
(1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi
untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai
suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang
dihadapi.
5
B. Pembentukan Budaya Organisasi
Budaya dalam sebuah organisasi tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi ada proses
yang harus dilalui budaya itu hingga akhirnya menjadi budaya organisasi. Riani (2011)
dalam Bukhori (2014) menjelaskan bahwa untuk membentuk budaya organisasi,
prosesnya dimulai dari tahap pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya organisasi.
Schein (1985) dalam Bukhori (2014) menyatakan bahwa pembentukan budaya
organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi.
Selain itu, Robbins (2013) menjelaskan bahwa para pendiri organisasi biasanya
mempunyai dampak besar pada budaya awal organisasi tersebut. Robbins (2003)
memaparkan proses pembentukan budaya organisasi dilakukan melalui tiga cara, yaitu
Pertama, pendiri hanya merekrut dan menjaga pekerja yang berfikir dan merasa dengan
cara yang sama untuk melakukannya. Kedua, mendoktrinasi dan mensosialisasi pekerja
dalam cara berfikir dan merasakan sesuatu. Ketiga, Perilaku pendiri sendiri bertindak
sebagai model peran yang mendorong pekerja mengidentifikasi dengan mereka dan
kemudian menginternalisasi keyakinan, nilai dan asumsi. Ketika organisasi berhasil,
visi pendiri menjadi terlihat sebagai determinan utama keberhasilan. Dapat dipahami
bahwa pendiri sekaligus bertindak sebagai pemimpin pada tahap awal organisasi
menginginkan bawahannya dapat menjalankan apa yang menjadi tujuannya dengan
berdasar pada filosofi dan pola pikir yang dipandangnya benar berdasarkan
pengalamannya.
6
perubahan-perubahan baru dari budaya organisasi awal menuju budaya organisasi yang
diharapkan oleh organisasi.
7. Identitas, seberapa kuat jati diri social organisasi dalam diri pegawai.
10. Pola komunikasi, seberapa jauh komunikasi yang dibangun organisasi hirarki
secara formal.
7
2. Perhatian terhadap detail, yaitu sejauh mana organisasi mengharapkan pegawai
memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
5. Berorientasi pada tim, yaitu sejauh mana penekanan diberikan pada kerja tim
dibandingkan dengan kerja individual.
6. Agresivitas, yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan
kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.
7. Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai
kontras dari pertumbuhan. Masing-masing karakteristik ini berada dalam suatu
kesatuan, dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu
organisasi dengan menggunakan tujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran
mengenai budaya organisasi tersebut. Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar
untuk perasaan saling memahami yang dimiliki anggota organisasi mengenai organisasi
mereka, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama tersebut,
dan cara-cara anggota organisasi seharusnya bersikap (Robbins, 2003).
8
D. Dimensi Budaya Organisasi
Dimensi budaya mewakili preferensi independen untuk satu keadaan di atas keadaan
lain yang membedakan negara (bukan individu) satu dengan negara yang lain. Nilai
sebuah negara pada satu dimensi bersifat relatif, karena penelitian berdasarkan manusia
yang mana satu dengan yang lain memilikikeunikan yang berbeda. Dengan kata lain,
budaya hanya bisa digunakan secara bermakna dengan perbandingan. Keenam kultur
tersebut adalah : Dimensi budaya Hofstede terdiri dari enam dimensi, yaitu Jarak
Kekuasaan (power distance), Individualisme – Kolektivisme, Maskulinitas –
Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), Pragmatism, dan
Indulgence. Dalam konteks ini, hanya akan diambil lima dimensi yaitu Jarak
Kekuasaan (power distance), Individualisme –Kolektivisme, Maskulinitas –
Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), dan Pragmatism,
yang dirasa sesuai dengan konteks orientasi berwirausaha. Dimensi budaya mewakili
preferensi independen untuk satu keadaan di atas negara lain yang membedakan negara
(bukan individu) satu sama lain. Nilai negara pada dimensi relatif, karena kita semua
manusia dan sekaligus kita semua unik. Dengan kata lain, budaya hanya bisa dimaknai
penggunaannyasecara perbandingan. Model budaya terdiri dari dimensi berikut:
9
3. Maskulinitas – Feminimitas Maskulinitas – feminimitas merujuk kepada fakta
mendasar yang mana setiap masyarakat mengatasi sesuatu dengan cara yang berbeda
pula.Definisi dari sisi maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi masyarakat
untuk suatu prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan materi untuk sukses.
Masyarakat dalam arti luas lebih kompetitif di dimensi ini. merupakan tingkatan
dimana kultur lebih menyukai peranperan maskulin tradisional seperti pencapaian,
kekuatan, dan pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki
posisi sejajar. Penilaian maskulinitas yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran
yang terpisah untuk pria dan waniya, dengan pria yang mendominasi
masyarakat.Berlawanan dengan dimensi maskulin, dimensi femininitas menyinggung
mengenai preferensi untuk kerja sama, kerendahan hati, menjaga yang lemah, dan
kualitas hidup. Masyarakat luas di dimensi femininitas ini lebih berorientasi kepada
konsensus atau permufakatan bersama (Hofstede, 2001). Hofstede telah
mengkarakteristikkan dimensi feminin sebagai semua orang seharusnya sopan, simpati
untuk yang lemah, dan resolusi konflik dilakukan dengan kompromi dan perundingan.
Selain itu pada dimensi ini lebih mengutamakan solidaritas antar sesama serta
pentingnya menjalin hubungan yang hangat terhadap sesama. Sedangkan pada budaya
maskulinitas dikarakteristikkan sebagai seorang yang tegas, ambisius, tangguh, dan
simpati untuk yang kuat. Dalam menghadapi konflik sebisa mungkin resolusi konflik
dilakukan dengan memerangi mereka, terjadinya kompetisi di antara rekan kerja, dan
uang merupakan hal yang penting.
Menurut Robert (2003: 80) ada beberapa factor yang mempengaruhi budaya
organisasi dalam sebuah perusahaan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Nilai.
2. Kepercayaan.
6. Perilaku
Pendapat tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan oleh Panuju (2002: 26),
menurutnya ada 5 faktor yang mempengaruhi budaya organisasi dalam sebuah
perusahaan, yaitu sebagai berikut:
11
4. Iklim organisasi meliputi tentang, Iklim komunikasi, Dukungan, Keikutsertaan dalam
proses keputusan, Kejujuran, Percaya diri dan keandalan, Terbuka dan tulus, Tujuan
kinerja yang tinggi
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk
bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus
diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam
mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
Dimensi budaya Hofstede terdiri dari enam dimensi, yaitu Jarak Kekuasaan (power
distance), Individualisme – Kolektivisme, Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari
Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), Pragmatism, dan Indulgence. Dalam konteks ini,
hanya akan diambil lima dimensi yaitu Jarak Kekuasaan (power distance), Individualisme –
Kolektivisme, Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty
Avoidance), dan Pragmatism, yang dirasa sesuai dengan konteks orientasi berwirausaha.
Dimensi budaya mewakili preferensi independen untuk satu keadaan di atas negara lain yang
membedakan negara (bukan individu) satu sama lain. Nilai negara pada dimensi relatif,
karena kita semua manusia dan sekaligus kita semua unik.
12
DAFTAR PUSTAKA
13