Anda di halaman 1dari 13

ASAL MUASAL BUDAYA ORGANISASI

MAKALAH

Makalah Ini disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Budaya Organisasi

Dosen Pengampu: Bapak Nawawi

Disusun oleh :

Kelompok 1

1. Ana Fajria Anjali 224110103005


2. Afrizal Maula Putra 224110103001
3. Dwi Estriana 224110103010
4. Umar Abdul Aziz 224110103042

Kelas 3 MD A

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. KH. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2023

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang, dengan ini
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami beri judul “Asal
Muasal Budaya Organisasi”

Adapun makalah tentang “Asal Muasal Budaya Organisasi” ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat
memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Dan penyusun mengharapkan semoga dari makalah tentang “Asala Muasal Budaya
Organisasi ” ini dapat diambil manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembaca.

Purwokerto, 5 September 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 5

A. Definisi Organisasi .................................................................................................. 5


B. Pembentukan Budaya Organisasi............................................................................ 6
C. Karakteristik Budaya Organisasi............................................................................ 7
D. Dimensi Budaya Organisasi….................................................................................. 9
E. Faktor Faktor yang mempengaruhi Budaya Organisasi..................................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 12

A. Kesimpulan............................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 13

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa tahun belakangan ini, dunia pendidikan bersaing semakin ketat. Berbagai
universitas atau institusi pendidikan tinggi hadir dengan berbagai penawaran menarik,
mulai dari segi biaya, hingga lama perkuliahan. Belum lagi, kehadiran berbagai institusi
pendidikan baru yang berafiliasi dengan isntitusi pendidikan tinggi di luar negeri. Dalam
era globalisasi ini, berbagai penawaran perkuliahan di luar negri terdengar lebih menarik
jika dibandingkan dengan penawaran dari dalam negeri. Ditambah dengan tantangan dari
Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang mendorong tiap calon mahasiswa untuk memilih
tujuan institusi pendidikan tingginya kelak dengan lebih selektif.

Tidak berbeda dengan perusahaan atau organisasi, institusi pendidikan tinggi juga
dirasaperlu untuk memiliki sebuah nilai-nilai budaya orgnaisasi yang digunakan sebagai
pembentuk identitas dan karakter. Kedua unsur tersebut digunakan sebagai tonggak dalam
menhadapi persaingan yang datang dari luar. Nilai-nilai budaya tersebut merupakan alat
untuk membangun dan menyeragamkan pikiran dan perilaku secara global. Dalam proses
penanaman nilai-nilai budaya organisasi ini dibutuhkan sebuah komunikai organisasi
yang baik pula. Permasalahan yang dihadapi, proses penanaman nilai budaya organisasi
diraa belum maksimal

B. Rumusan Masalah

Dalam pembahasan materi ini, agar tersusun secara sistematis dan efisien maka
timbulah beberapa rumusan masalah diantaranya :

1. Apa yang dimaksud dengan Organisasi?


2. Bagaimana pembentukan budaya organisasi?
3. Bagaimana karakteristik budaya organisasi?
4. Bagaimana dimensi budaya organisasi?
5. Apa saja hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi?

C. Tujuan Penulisan

1. Agar mengetahui definisi organisasi


2. Agar mengetahui pembentukan budaya organisasi
3. Agar mengetahui karakteristik budaya organisasi
4. Agar mengetahui dimensi budaya organisasi
5. Agar mengetahui hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Organisasi

Organisasi berasal dari kata organon dalam bahasa Yunani yang berarti alat.
Budaya organisasi dapat didefinisikan sebgai perangkat sistem niali-nilai (values),
keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi, atau norma norma yang telah lama
berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasinya. Menurut
Wood, Wallce, Zeffana(2001:391) Budaya Organisasi adalah sistem yang
dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Sedangkan menurut Tosi, Rizzo, Carrol
seperti yang dikutip oleh Munadar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara
berpikir, berpersaan dan bereaksi berdaarkan pola-pola tertentu yang ada dalam
organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. Menurut Schein
(1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi
untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi.
Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai
suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang
dihadapi.

Budaya organisasi yang kuat mendudkung tujuan-tujuan perusahaan,


sebaliknya yang lemah atau negatif menghambat atau bertentangan dengan tujuan-
tujuan perusahaan. Dalam suatu perusahaan yang budaya organisasinya kuat, nilai-
nilai bersama dipahami secara mendalam, dianut, dan diperjuangkan oleh sebagian
besar para anggota organisasi. Budaya yang kuat dan positif sangat berpengaruh
terhadap perilaku dan efektifitas kinerja perusahaan.

Edgar Schein mendefenisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari


asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, dikembangkan oleh kelompok tertentu
saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integritas internal yang
telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid dan oleh karena itu, untuk diajarkan
pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berfikir dan
berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya (Jhon 2006: 44).
Budaya organisasi adalah nilai-nilai dan norma yang dianut dan dijalankan oleh
sebuah organisasi terkait dengan lingkungan dimana organisasi tersebut menjalakan
kegiatannya (Erni 2006: 71). Sedangkan menurut Kreitner Budaya organisasi
adalah satu wujud anggapan yang dimiliki, yang diterima secara implicit oleh
kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan
bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner Robert 2005: 79).

5
B. Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya dalam sebuah organisasi tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi ada proses
yang harus dilalui budaya itu hingga akhirnya menjadi budaya organisasi. Riani (2011)
dalam Bukhori (2014) menjelaskan bahwa untuk membentuk budaya organisasi,
prosesnya dimulai dari tahap pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya organisasi.
Schein (1985) dalam Bukhori (2014) menyatakan bahwa pembentukan budaya
organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi.

Selain itu, Robbins (2013) menjelaskan bahwa para pendiri organisasi biasanya
mempunyai dampak besar pada budaya awal organisasi tersebut. Robbins (2003)
memaparkan proses pembentukan budaya organisasi dilakukan melalui tiga cara, yaitu
Pertama, pendiri hanya merekrut dan menjaga pekerja yang berfikir dan merasa dengan
cara yang sama untuk melakukannya. Kedua, mendoktrinasi dan mensosialisasi pekerja
dalam cara berfikir dan merasakan sesuatu. Ketiga, Perilaku pendiri sendiri bertindak
sebagai model peran yang mendorong pekerja mengidentifikasi dengan mereka dan
kemudian menginternalisasi keyakinan, nilai dan asumsi. Ketika organisasi berhasil,
visi pendiri menjadi terlihat sebagai determinan utama keberhasilan. Dapat dipahami
bahwa pendiri sekaligus bertindak sebagai pemimpin pada tahap awal organisasi
menginginkan bawahannya dapat menjalankan apa yang menjadi tujuannya dengan
berdasar pada filosofi dan pola pikir yang dipandangnya benar berdasarkan
pengalamannya.

Schein (1985) dalam Bukhori (2014) menyatakan proses terbentuknya budaya


organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Proses pembentukan
budaya organisasi sendiri mengikuti beberapa alur, pertama para pendiri dan pemimpin
lainnya membawa serta satu set asumsi dasar, nilai, perspektif, artefak ke dalam
organisasi dan menanamkan kepada karyawan. Lalu budaya muncul ketika para
anggota organisasi berinteraksi satu sama lain untuk memecahkan masalah-masalah
pokok organisasi, yakni masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Setelah itu
secara perorangan, masing-masing anggota organisasi boleh jadi seorang pencipta
budaya baru dengan mengembangkan berbagai cara untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan individual seperti persoalan identitas diri, kontrol, dan pemenuhan kebutuhan
serta bagaimana agar bisa diterima oleh lingkungan organisasi yang diajarkan kepada
generasi penerus. Manajemen puncak Filsafat dari pendiri organisasi Kriteria seleksi
Sosialisasi Budaya organisasi Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para pendiri
memegang peranan yang penting dalam membentuk budaya organisasi awal. Dalam
perjalanannya setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi dalam
menuangkan ide untuk membentuk organisasi, menyediakan segala sumber sarana dan
prasarana yang dibutuhkan, juga bertindak sebagai peletak dasar ideologi organisasi
yang bertujuan untuk mengembangkan budaya organisasi seiring dari konflik-konflik
yang terjadi dalam organisasi, sehingga budaya organisasi mengalami pergeseran atau

6
perubahan-perubahan baru dari budaya organisasi awal menuju budaya organisasi yang
diharapkan oleh organisasi.

C. Karakteristik Budaya Organisasi

Untuk memberikan pengertian yang sangat mudah, terdapat 10 (sepuluh)


karakteristik penting yang dapat dipakai sebagai acuan dalam memahami serta
mengukur keberadaaan budaya organisasi menurut (Robbins 2001: 36)

1. Inisiatif individu, tingkat tanggung jawab, kebebasan dan kemandirian yang


dimiliki individu.

2. Toleransi resiko, tingkat pengembalian resiko, inovasi dan keberanian individu.

3. Arahan, kemampuan organisasi dalam menciptakan kreasi terhadap sasaran dan


harapan kinerja.

4. Integritas, kemampuan organisasi dalam melakukan koordinasi semua unit


menjadi satu kesatuan gerak.

5. Dukungan manajemen, kemampuan jajaran dalam proses komunikasi,


pembimbingan dan memberikan dukungan terhadap bawahan.

6. Control, seberapa besar aturan, arahan, supervise mengontrol kerja bawahan.

7. Identitas, seberapa kuat jati diri social organisasi dalam diri pegawai.

8. System imbalan, sejauh mana alokasi imbalan didasarkan atas kinerja.

9. Toleransi konflik, kesempatan pegawai untuk dapat meningkatkan konflik secara


terbuka.

10. Pola komunikasi, seberapa jauh komunikasi yang dibangun organisasi hirarki
secara formal.

Karakter utama yang semuanya menjadi elemen-elemen penting suatu budaya


organisasi (Robbins 2002: 279). Terdapat tujuh karateristik penting yang dipakai
sebagai acuan esensial dalam memahami serta mengukur keberadaan budaya organisasi
(Robbins, 2013):

1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko, yaitu sejauh mana organisasi


mendorong para pegawai untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko serta
bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan resiko oleh pegawai dan
membangkitkan ide pegawai.

7
2. Perhatian terhadap detail, yaitu sejauh mana organisasi mengharapkan pegawai
memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.

3. Berorientasi pada hasil, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan perhatian


pada hasil dibandingkan perhatian terhadap teknik dan proses yang digunakan untuk
meraih hasil tersebut.

4. Berorientasi pada manusia, yaitu sejauh mana keputusan manajemen


memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi.

5. Berorientasi pada tim, yaitu sejauh mana penekanan diberikan pada kerja tim
dibandingkan dengan kerja individual.

6. Agresivitas, yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan
kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.

7. Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo sebagai
kontras dari pertumbuhan. Masing-masing karakteristik ini berada dalam suatu
kesatuan, dari tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu
organisasi dengan menggunakan tujuh karakter ini akan menghasilkan gambaran
mengenai budaya organisasi tersebut. Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar
untuk perasaan saling memahami yang dimiliki anggota organisasi mengenai organisasi
mereka, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama tersebut,
dan cara-cara anggota organisasi seharusnya bersikap (Robbins, 2003).

8
D. Dimensi Budaya Organisasi

Dimensi budaya mewakili preferensi independen untuk satu keadaan di atas keadaan
lain yang membedakan negara (bukan individu) satu dengan negara yang lain. Nilai
sebuah negara pada satu dimensi bersifat relatif, karena penelitian berdasarkan manusia
yang mana satu dengan yang lain memilikikeunikan yang berbeda. Dengan kata lain,
budaya hanya bisa digunakan secara bermakna dengan perbandingan. Keenam kultur
tersebut adalah : Dimensi budaya Hofstede terdiri dari enam dimensi, yaitu Jarak
Kekuasaan (power distance), Individualisme – Kolektivisme, Maskulinitas –
Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), Pragmatism, dan
Indulgence. Dalam konteks ini, hanya akan diambil lima dimensi yaitu Jarak
Kekuasaan (power distance), Individualisme –Kolektivisme, Maskulinitas –
Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), dan Pragmatism,
yang dirasa sesuai dengan konteks orientasi berwirausaha. Dimensi budaya mewakili
preferensi independen untuk satu keadaan di atas negara lain yang membedakan negara
(bukan individu) satu sama lain. Nilai negara pada dimensi relatif, karena kita semua
manusia dan sekaligus kita semua unik. Dengan kata lain, budaya hanya bisa dimaknai
penggunaannyasecara perbandingan. Model budaya terdiri dari dimensi berikut:

1. Jarak Kekuasaan (Power Distance) Jarak kekuasaan merupakan sifat kultur


nasional yang mendeskripsikan tingkatan dimana masyarakat menerima kekuatan
dalam institusi dan organisasi didistribusikan tidak sama. Dimensi ini mengungkapkan
sejauh mana anggota masyarakat yang bukan pemangku kepentingan (less powerful)
menerima dan memperkirakan bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata.
Masalah mendasar di sini adalah bagaimana masyarakat menangani ketidaksetaraan di
antara mereka. Orang-orang di masyarakat yang hidup dalam sebuah negara dengan
power distance yang tinggi menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang memiliki
tempat dan tidak memerlukan justifikasi lebih lanjut, sedangkan orang-orang di
masyarakat yang hidup dalam negara dengan power distance rendah berusaha untuk
mendapatkan persamaan distribusi kekuatan dan meminta pengakuan terhadap
ketidaksetaraan kekuasaan.

2. Individualisme/Kolektivisme. Individualisme merupakan sifat kultur nasional


yang mendeskripsikan tingkatan dimana orang lebih suka bertindak sebagai individu
daripada sebagai kelompok. Hubungan antara satu individu dengan individu lain tidak
terlalu mengikat atau longgar. Setiap individu menjaga diri sendiri dan keluarga
langsung mereka saja, seperti keluarga inti atau yang memiliki hubungan darah.
Sedangkan kolektivisme menunjukkan sifat kultur nasional yang mendeskripsikan
kerangka sosial yang kuat dimana individu mengharap orang lain dalam kelompok
mereka untuk menjaga dan melindungi mereka. Individu dari lahir terus terintegrasi
dengan kuat, bersatu didalam kelompok, yang mana sepanjang hidup anggota
masyarakat terus melindungi satu sama lain dengan kesetiaan yang tidak diragukan
lagi. Hofstede menyatakan bahwa citra seseorang dalam masyarakat di dalam dimensi
ini tercermin dalam kata “Saya” (individualisme) atau “Kami” (kolektivisme).

9
3. Maskulinitas – Feminimitas Maskulinitas – feminimitas merujuk kepada fakta
mendasar yang mana setiap masyarakat mengatasi sesuatu dengan cara yang berbeda
pula.Definisi dari sisi maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi masyarakat
untuk suatu prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan materi untuk sukses.
Masyarakat dalam arti luas lebih kompetitif di dimensi ini. merupakan tingkatan
dimana kultur lebih menyukai peranperan maskulin tradisional seperti pencapaian,
kekuatan, dan pengendalian versus kultur yang memandang pria dan wanita memiliki
posisi sejajar. Penilaian maskulinitas yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat peran
yang terpisah untuk pria dan waniya, dengan pria yang mendominasi
masyarakat.Berlawanan dengan dimensi maskulin, dimensi femininitas menyinggung
mengenai preferensi untuk kerja sama, kerendahan hati, menjaga yang lemah, dan
kualitas hidup. Masyarakat luas di dimensi femininitas ini lebih berorientasi kepada
konsensus atau permufakatan bersama (Hofstede, 2001). Hofstede telah
mengkarakteristikkan dimensi feminin sebagai semua orang seharusnya sopan, simpati
untuk yang lemah, dan resolusi konflik dilakukan dengan kompromi dan perundingan.
Selain itu pada dimensi ini lebih mengutamakan solidaritas antar sesama serta
pentingnya menjalin hubungan yang hangat terhadap sesama. Sedangkan pada budaya
maskulinitas dikarakteristikkan sebagai seorang yang tegas, ambisius, tangguh, dan
simpati untuk yang kuat. Dalam menghadapi konflik sebisa mungkin resolusi konflik
dilakukan dengan memerangi mereka, terjadinya kompetisi di antara rekan kerja, dan
uang merupakan hal yang penting.

4. Penghindaran Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance) Penghindaran


ketidakpastian mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat merasa tidak nyaman
dengan ketidakpastian dan ambiguitas 13 (Hofstede, 2001). Individu dengan budaya
penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki karakteristik toleran terhadap
aturan atau hal yang tabu. Individu tersebut lebih menyukai inovasi dan ide-ide maupun
perilaku yang menyimpang serta memiliki ketertarikan terhadap suatu hal yang
berbeda. Selain itu, bagi individu dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah
memiliki agresi dan emosi yang tidak diperlihatkan. Individu akan lebih di motivasi
oleh suatu prestasi dan harga diri (Hofstede, 2005).Sebaliknya, karakteristik seseorang
dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi antara lain takut terhadap
sesuatu yang tidak pasti atau ambigu dan tidak menyukai ide-ide serta perilaku yang
menyimpang atau berbeda. Individu akan lebih menerima resiko yang sudah
dikenalnya. Selain itu mereka jarang melakukan inovasi dikarenakan bagi mereka
sesuatu yang baru merupakan hal yang ditakuti. Individu akan lebih dimotivasi oleh
harga diri dan keamanan. Mereka memiliki prinsip yakni waktu adalah uang atau ‘time
is money’ (Hofstede, 2005).

5. Orientasi jangka panjang (Long Term Orientation – Pragmatic) vs Orientasi


Jangka Pendek (Short Term Orientation – Normative) merupakan tipologi terbaru dari
Hofstede. Poin ini berfokus pada tingkatan ketaatan jangka panjang masyarakat
terhadap nilai-nilai tradisional. Individu dalam kultur orientasi jangka panjang melihat
bahwa ke masa depan dan menghargai penghematan, ketekunan dan tradisi. Setiap
masyarakat harus memelihara beberapa hal terkait dengan masa lalunya saat
menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Masyarakat memprioritaskan dua
tujuan eksistensial ini secara berbeda. Masyarakat yang memiliki nilai rendah pada
10
dimensi ini, misalnya, lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan norma yang
dianggap memiliki nilai yang terhormat. Pada saat yang sama, masyarakat ini juga
memandang perubahan sosial dengan rasa curiga. Sedangkan untuk masyarakat dengan
nilai dimensi yang tinggi mengambil pendekatan yang lebih pragmatis: mereka
mendorong pemakaian sumberdaya secara bijak dan berupaya mendorong pendidikan
dengan cara modern sebagai cara untuk mempersiapkan masa depan. Dalam konteks
bisnis, dimensi ini terkait dengan istilah normatif, yang bisa didefinisikan bertindak
sesuai dengan kaidah atau norma yang berlaku (berorientasi jangka pendek) versus
pragmatis, yang bisa didefinisikan bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan
kegunaan (berorientasi jangka panjang).

E. Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Organisasi

Menurut Robert (2003: 80) ada beberapa factor yang mempengaruhi budaya
organisasi dalam sebuah perusahaan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Nilai.

2. Kepercayaan.

3. Perilaku yang dikehendaki.

4. Keadaan yang amat penting.

5. Pedoman menyeleksi atau mengevaluasi kejadian.

6. Perilaku

Sedangkan menurut Veithzal, (2003: 81) faktor-faktor yang mempengaruhi budaya


organisasi dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan adalah
dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu sebagai berikut: 1. Pola-pola yang dipandu oleh norma,
Nilai-nilai, Kepercayaan yang ada dalam diri individu.

Pendapat tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan oleh Panuju (2002: 26),
menurutnya ada 5 faktor yang mempengaruhi budaya organisasi dalam sebuah
perusahaan, yaitu sebagai berikut:

1. Nilai, meliputi Waktu, Efisiensi, Diri, Tindakan dan Kerja

2.Kepercayaan, meliputi tentang Karyawan, Pelanggan, Produksi, Manajemen,


Mayarakat dan Laba

3.Efektifitas organisasi tentang: Efisiensi, Kepemimpinanan, Motivasi, Kinerja,


Komitmen dan Kepuasan

11
4. Iklim organisasi meliputi tentang, Iklim komunikasi, Dukungan, Keikutsertaan dalam
proses keputusan, Kejujuran, Percaya diri dan keandalan, Terbuka dan tulus, Tujuan
kinerja yang tinggi

BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk
bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus
diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam
mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

Masing-masing karakteristik yang dipaparkan diatas berdalam satu kesatuan, dari


tingkat yang rendah menuju tingkat yang lebih tinggi. Menilai suatu organisasi menggunakan
tujuh karakteristik ini menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut.
Gambaran tersebut kemudian menjadi dasar untuk perasaan saling memahami yang dimiliki
setiap anggota organisasi mengenai organisasi mereka. Mengenai bagaimana 18 sesuatu
dikerjakan berdasarkan pengertian bersama dan cara anggota organisasi seharusnya bersikap

Dimensi budaya Hofstede terdiri dari enam dimensi, yaitu Jarak Kekuasaan (power
distance), Individualisme – Kolektivisme, Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari
Ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), Pragmatism, dan Indulgence. Dalam konteks ini,
hanya akan diambil lima dimensi yaitu Jarak Kekuasaan (power distance), Individualisme –
Kolektivisme, Maskulinitas – Feminimisme, Menghindari Ketidakpastian (Uncertainty
Avoidance), dan Pragmatism, yang dirasa sesuai dengan konteks orientasi berwirausaha.
Dimensi budaya mewakili preferensi independen untuk satu keadaan di atas negara lain yang
membedakan negara (bukan individu) satu sama lain. Nilai negara pada dimensi relatif,
karena kita semua manusia dan sekaligus kita semua unik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Edy Sustrisno, Budaya Organisasi, Jakarta, Prenadamedia, 2018. hal-10


Hari Sulaksono, Budaya Oragnisasi dan Kinerja, CV Budi , 2019. hal1-10
Winardi, J, 2004, Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Prenadamedia
Armia Chairumam, 2022, Pengaruh Budaya Terhadap Efektifitas Organisasi:
Dimensi Budaya Hofstede

13

Anda mungkin juga menyukai