Anda di halaman 1dari 26

FIQIH THAHARAH

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fikih Ibadah
pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Alauddin Makassar

Oleh: Kelompok 1
A.M. Afwieq Jayanda
NIM : 20100122001
Nur Alia
NIM : 20100122006
Dodi Agustian
NIM : 20100122011
Rosmini
NIM : 20100122020
Nurfadila
NIM : 20100122025
Nur Rezki Amanda
NIM : 20100122026
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

i
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2023

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah swt. Tuhan semesta alam yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, serta kenikmatan berupa nikmat kesehatan,
nikmat kesempatan, dan nikmat waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Salawat teriring salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah
Muhammad saw., para sahabatnya, serta orang-orang yang senantiasa berjuang di
jalan-Nya.

Penulis menyusun makalah yang berjudul “Fiqih Thaharah” yang


diberikan oleh Dosen Dr. Besse Ruhaya M.Pd. Pada hal ini penulis menyadari
bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan,
arahan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak yang terlibat dalam
penyusunan makalah ini, maka dari itu saya ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.

Dalam proses pembuatan makalah ini bila ada kesalahan atau kekeliruan, saya
selaku penulis menerima segala bentuk perbaikan dari para pembaca demi
pelebaran ilmu pengetahuan yang saya miliki.

Akhir kata, penulis mengharapkan tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan terlebih lagi yang menyusun makalah. Mudah-mudahan Allah Yang
Maha Kuasa tetap Mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Gowa, 11 April 2023

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1-

A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................

A. Adab Buang Air......................................................................................................


B. Istinja......................................................................................................................
C. Mandi......................................................................................................................
D. Wudhu.....................................................................................................................
E. Mashu Al-Khuffain.................................................................................................
F. Tayammum.............................................................................................................

BAB III PENUTUP............................................................................................................

A. Kesimpulan.............................................................................................................
B. Saran.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut ajaran Islam, thaharah menduduki masalah penting. Boleh


dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT
tidak akan diterima. Kesucian itu sebagian dari iman. Rasulullah SAW
telah menyatakan bahwa urusan kesucian itu sangat terkait dengan nilai
dan derajat keimanan seseorang.

Istinja dalam syari’at islam dihukumi sebagai suatu hal wajib, para
imam madzhab juga sepakat akan hukum istinja ini. Tuntunan beristinja
dalam islam sangat keras. Oleh karena itu setiap muslim dan Muslimah
harus selalu memperhatikan dan sangat memelihara adab-adab yang telah
di tetapkan oleh syari’at agama.

Salah satu syarat agar shalatnya sah adalah suci dari hadast, baik
hadast kecil maupun hadast besar. Apabila orang muslim berhadast besar
maka ia wajib bersuci, yaitu dengan mandi.

Setiap kegitan ibadah umat islam pasti melakukan membersihkan


(thaharah) terlebih dahulu mulai dari wudhu. Wudhu adalah sebuah syariat
kesucian yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan kepada kaum muslimin.
Sebagai pendahuluan bagi shalat dan ibadah lainnya.

Ketika kita tidak bisa bersuci dari hadast dengan berwudhu atau
mandi karena sebab atau keadaan darurat, maka kita masih dapat
menghilangkan hadast dengan cara tayammum. Tayammum ini adalah
bentuk kecintaan Allah kepada umat islam dengan memberikan
keringanan dalam beribadah menurut kemampuan masing-masing.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan


masalah berikut yakni :

 Bagaimana adab-adab buang air?

 Apa itu Istinja, Mandi, Wudhu, Mashu Al-khuffain dan


Tayammum?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka tujuan


penulisan sebagai berikut :

Mengetahui adab-adab buang air, Istinja, Mandi, Wudhu, Mashu


Al-khuffain dan Tayammum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. ADAB BUANG AIR

 Buang Air di Tempat Tertutup (Wc)

1. Ketika hendak masuk ( di depan pintu Toilet ) membaca doa.

2. Mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk ke Toilet.

3. Tidak boleh membuka aurat sebelum menutup diri dari penglihatan


manusia.

4. Tidak boleh menjawab salam dan adzan. Jika bersin, bacalah


Hamdalah dalam hati.

5. Jangan membawa sesuatu yang di dalamnya ada nama-nama Allah.

6. Tidak menghadap kiblat saat buang air dan juga tidak


membelakanginya.

7. Tidak boleh melihat aurat dan jangan pula melihat kotoran yang
keluar.

8. Menyiram air dengan tangan kanan di atas kemaluannya, lalu


mencucinya dengan tangan kiri, dimulai pertama kali di kemaluan
depan.

9. Membasuh Kedua tangan tiga kali.

10. Menutup aurat sebelum berdiri tegak.

11. Keluar Toilet dengan mendahulukan kaki yang kanan, seraya


membaca doa

 Buang Air di Tempat Terbuka (Bukan di Wc)

1. Memilih tempat yang jauh dari keramaian dan menghindari sebisa


mungkin dari kemungkinan dilihat orang.

2. Menutupi aurat ketika sedang buang air

3. Tidak menghadap kiblat saat buang air dan juga tidak


membelakanginya.
4. Jangan berbicara ketika sedang buang air.

5. Tidak buang air di tempat-tempat sebagai berikut:

a. Air yang menggenang (diam, tidak mengalir)

b. Di bawah pohon yang berbuah

c. Pada batu

d. Tanah yang basah

e. Tempat di mana angin bertiup kencang

6. Tidak boleh kencing dengan berdiri kecuali dalam kondisi darurat.

7. Menggunakan batu atau tisu yang disusul kemudian dengan air


dalam beristinja (cebok). Jika harus memilih maka pilihlah air sebagai
alat istinja. Namun jikalau memilih batu atau tisu sebagai alat
pembersih maka pakailah batu atau tisu dengan agak banyak.

8. Gunakanlah tangan kiri saat membersihkan kemaluan dari kotoran.

B. ISTINJA

1. Pengertian Istinja

Secara etimologi, istinja' berarti mencuci tempat keluar


kotoran darisalah satu jalan qubul (depan) dan dubur (belakang), atau
mengusap dengan batu dan semisalnya.

Sedangkan menurut terminologi syara', istinjâ' berarti


menghilangkan najis yang ada di atas dua jalan qubul (alat kelamin)
dan dubur (anus) dengan air, dan minimal dengan batu. Definisi ini
merujuk pada hadis yang menceritakan, “Bahwasanya Nabi melewati
salah satu tembok di Madinah, lalu beliau dengar suara dua orang
manusia yang tengah disiksa di dalam kubur mereka. Keduanya
disiksa, dan bukan karena dosa besar. Salah satunya (karena) tidak
membersihkan diri secara sempurna dari kencing, sementara yang lain
suka berjalan menyebar provokasi (namîmah).

2. Syarat syarat istinja'

1. Kotoran atau sesuatu yang keluar baik dari qubul maupu dubul
tersebut belum kering.
2. Kotoran tersebut tidak berpindah dari tempat keluarnya.

3. Tidak bercampur dengan najis yang lain.

3. Sunah - sunah istinja

a. Menggunakan tangan kiri dan dimakruhkan dengan tangan


kanan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا ال ُيْمِس َكَّن َأَح ُد ُك ْم َذ َك َر ُه ِبَيِم يِنِه َو ُهَو َيُبوُل َو ال َيَتَم َّسْح‬: ‫َأِبي َقَتاَد َة َقاَل‬ ‫َع ْن‬
‫َاْلَخَالِء ِبَيِم يِنِه َو ال َيَتَنَّفْس ِفي َاِإل َناِء ُم َّتَفٌق َع َلْيِه َو الَّلْفُظ ِلُم ْس ِلم‬ ‫ِم ْن‬

“Dari Abi Qatadah ra berkata bahwa Rasulullah SAW


bersabda,"Bila kamu kencing maka jangan menyentuh
kemaluannya dengan tangan kanan. Bila buang air besar jangan
cebok dengan tangan kanan. Dan jangan minum dengan sekali
nafas".(HR. Muttafaq ‘alaihi).

b. Istitar atau memakai tabir penghalang agar tidak terlihat orang


lain. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

"Bila kamu buang air hendaklah beristitar (menutup tabir). Bila


tidak ada tabir maka menghadaplah ke belakang”. (HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah).

c. Tidak membaca tulisan yang mengandung nama Allah SWT


Atau nama yang diagungkan seperti nama para malaikat. Atau
nama nabi SAW. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW bila masuk ke tempat buang hajat, beliau
mencopot cincinnya. Sebab di cincin itu terukir kata
"Muhammad Rasulullah".

‫ َك اَن َر ُسوُل ِهَّللَا‬: ‫ َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َقاَل‬s ‫ِإَذ ا َد َخ َل َاْلَخ الَء َو َض َع َخاَتَم ُه َأْخ َرَج ُه َاَألْر َبَع ُة‬

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Rasulullah SAW bila


masuk ke WC meletakkan cincinnya. (HR. Arba’ah)

d. Masuk tempat buang air dengan kaki kiri dan keluar dengan
kaki kanan. Dan disunnahkan ketika masuk membaca doa :

‫الَّلُهَّم إِّني َأُعوُذ ِبك من اْلُخ ْبِث َو اْلَخ َباِئِث‬

Maknanya : Dengan nama Allah, aku berlindung kepada-Mu


dari syetan laki dan syetan perempuan.
e. Ketika keluar disunnahkan untuk membaca lafaz :

‫ُغ ْفَر اَنَك اْلَح ْم ُدِ ِهلل اَّلِذ ْى َاْذ َهَب َع ّنى ْاَالَذ ى َو َعاَفاِنْى‬

Ghufraanaka, alhamdulillahillazi azhaba `anni al-aza wa


`aafaani". Maknanya : Mohon ampunanmu, segala puji bagi
Allah yang telah menghilangkan penyakit dariku dan
menyembuhkanku.

C. MANDI

1. Pengertian Mandi wajib

Salah satu cara untuk menjaga kebersihan juga kesucian diri


dengan berwudhu serta mandi. Akan tetapi, dalam islam dikenal dengan
sebutan mandi wajib. Mandi wajib ini merupakan sebuah aturan dari
Allah untuk para umat muslim seketika dalam kondisi tertentu dan syarat
tertentu.

Dalam bahasa arab, mandi berasal dari Al-Ghuslu, yang artinya


mengalirkan air ke pada sesuatu. Istilah lainnya, Al-Ghuslu adalah
menuangkan air ke semua bagian badan dengan tata cara yang khusus
bertujuan untuk membersihkan hadast besar. Mandi wajib dalam islam
menjadi sebuah cara untuk membersihkan diri serta mensucikan diri dari
segala najis kotoran yang menempel pada tubuh. Maka, mandi wajib
diharuskan sesuai yang tertulis pada Ayat diatas.

2. Kondisi yang Mensyaratkan Mandi Wajib dalam Islam

Dalam hukum Islam, ada situasi tertentu dimana seorang


muslim atau muslimah diwajibkan untuk melaksanakan mandi wajib.
Dalam hal tersebut mengakibatkan seseorang terhalang untuk menjalani
shalat, memasuki masjid, dan serta melaksanakan ibadah lainnya karena
dalam kondisi yang tidak suci.

a. Keluarnya Air Mani (Setelah Junub)

‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْقَر ُبوا الَّص ٰل وَة َو َا ْنـُتْم ُس َك ا ٰر ى َح ّٰت ى َتْع َلُم ْو ا َم ا َتُقْو ُلْو َن َو اَل ُج ُنًبا ِااَّل َعا ِبِر ْي‬
‫ٰۤض‬
‫َس ِبْيٍل َح ّٰت ى َتْغ َتِس ُلْو اۗ  َوِا ْن ُكْنُتْم َّم ْر ى َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ٓاَء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغٓاِئِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم‬
‫الِّنَس ٓاَء َفَلْم َتِج ُد ْو ا َم ٓاًء َفَتَيَّمُم ْو ا َصِع ْيًدا َطِّيًبا َفا ْمَس ُحْو ا ِبُوُجْو ِهُك ْم َو َا ْيِد ْيُك ْم ۗ  ِاَّن َهّٰللا َك ا َن َع ُفًّو ا َغ ُفْو ًر‬

Artinya : “Hai untuk kalian orang-orang yang beriman, janganlah untuk


kamu shalat dalam keadaan mabuk, hingga kamu mengerti apa yang telah
kamu ucapkan, dan jangan datangi masjid sedangkan kamu dalam keadaan
yang junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (QS :
An-Nisa : 43)

Sesuai yang tertulis pada ayat diatas ditunjukkan bahwa setelah


berjunub (berhubungan suami dan istri), yang mana antara laki-laki
ataupun perempuan akan mengeluarkan cairan dari kemaluannya, maka
wajib hukum ia untuk menjalankan mandi wajib setelahnya. Sedangkan
jika tidak, ia tidak bisa shalat serta masuk masjid, dan jika dilalaikan akan
berdosa.

 Jika seseorang yang bermimpi namun tidak mengeluarkan air mani


maka tidak wajib baginya untuk mandi, sesuai yang dikatakan
Ibnul Mundzir.

 Jika seseorang melihat mani pada kainnya dan tidak mengetahui


waktu keluarnya juga kebetulan telah menjalankan shalat maka ia
wajib mengulang lagi sholatnya dari waktu tidurnya terakhir
apabila seseorang keadaan sadar atau tidak tidur dan mengeluarkan
mani namun ia tidak ingat dengan mimpinya, ketika dia benar
meyakini bahwa itu adalah mani maka wajib mandi, karena secara
dhohir bahwa air mani itu keluar walaupun ia lupa mimpinya.
Namun, jika ia ragu-ragu juga tidak mengetahui apakah air itu
mani atau bukan, maka ia wajib mandi untuk menjaga kesucian.

 Jika seseorang telah merasakan keluar mani saat melonjaknya


syahwat namun dia tahan kemaluannya sampai air mani itu tidak
keluar, maka tidak wajib mandi.

 Jika air mani keluar tanpa syahwat,namun disebabkan sakit atau


cuaca dingin, maka ia tidak perlu wajib mandi

b. Bertemunya atau Bersentuhannya Alat Kelamin Laki-Laki dan Wanita,


Walaupun Tidak Keluar Mani

Diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah saw berkata,”Apabila


seseorang duduk diantara bagian tubuh perempuan yang empat, diantara
dua tangan serta dua kakinya kemudian menyetubuhinya maka wajib
untuk mandi, walaupun mani itu keluar atau tidak.” (HR. Muslim).

Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa ketika pasangan suami-


istri yang telah berhubungan badan, walaupun tidak mengeluarkan
mani, sedangkan telah bertemunya kemaluan, maka dari itu wajib
keduanya untuk menjalankan mandi wajib untuk mensucikan serta
membersihkan diri.

c. Haid dan Nifas

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫َو َيْســَئُلْو َنَك َع ِن اْلَم ِح ْيِضۙ  ُقْل ُهَو َاًذ ى َفا ْعَتِز ُلْو ا الِّنَس ٓاَء ِفى اْلَم ِح ْيِضۙ  َو اَل َتْقَر ُبْو ُهَّن َح ّٰت ى‬
‫َيْطُهْر َن ۚ  َفِا َذ ا َتَطَّهْر َن َفْأُتْو ُهَّن ِم ْن َح ْيُث َاَم َر ُك ُم ُهّٰللاۗ  ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب الَّتَّوا ِبْيَن َو ُيِح ُّب اْلُم َتَطِّهِر ْيَن‬

“Dan Mereka menanyakan kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid


merupakan suatu kotoran”. Maka dari itu, hendaklah kamu menjauhkan
diri dari perempuan di waktu haid dan janganlah kamu untuk mendekati
mereka sebelum mereka telah suci. Apabila mereka telah suci, Maka
berbaurlah dengan mereka itu di tempat yang sesuai perintah Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah akan menyukai orang-orang yang telah
bertaubat dan menyukai orang yang telah mensucikan diri” (QS : Al-
Baqarah : 222).

3. Rukun dan Cara Pelaksanaan Mandi Wajib

Untuk proses cara mandi dalam islam telah disampaikan teknisnya


oleh Rasulullah SAW, untuk menjelaskan cara mensucikan yang benar.
Untuk menjalankan mandi wajib, berikut merupakan caranya yang
diambil dari HR Muslim dan Bukhari, serta mengenai bab tata cara
pelaksanaan mandi wajib.

1).Niat untuk Mengangkat Hadas Besar

Semua sesuatu tentu berasal dari niatnya. Maka dari itu, termasuk
pada pelaksanaan mandi wajib pun wajib diawali dari niat. Untuk
bacaan niatnya adalah “Aku berniat untuk mengangkat hadas besar
kerana Allah Taala”.

Setelah itu bisa kita membaca bismillah, sebagai memulai untuk


mensucikan diri. Hal tersebut disebabkan ada banyak “bismillah” jika
dibacakan seorang muslim dalam aktivitasnya.

2). Niat Mandi Wajib Setelah Berhubungan Intim

‫َنَو ْيُتاْلُغ ْس َلِلَر ْفِع ْالَح َد ِثْاَألْك َبِرِم َنْاِلجَناَبِةَفْر ًضاِللِهَتَع اَلى‬
“Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari minal janabati fardhan lillahi
ta’ala.”

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah aku berniat mandi untuk


membersihkan hadas besar dari jinabah, fardu karena Allah Ta’ala.”

3). Niat Mandi Wajib Setelah Nifas dan Haid

Jika hadas besar pada perempuan sebabkan karena keluarnya darah


dari organ intim setelah melahirkan atau nifas, sehingga niat mandi
wajib yang harus dibaca ialah sebagai berikut:

‫َنَو ْيُت اْلُغ ْس َل ِلَر ْفِع اْلَح َد ِث ْاَالْك َبِر ِم َن الَح ْيِض َفْر ًضاِ ِهلل َتَع اَلى‬

“Nawaitu ghusla liraf’il hadatsil akbar minan nifasi fardhan lillahi


ta’ala.”

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah aku niat mandi untuk


menghilangkan hadas besar dari nifas, fardu karena Allah Ta’ala.”

Setelah mengucap niat, dilanjutkan tata cara mandi wajib ataupun


junub. Langkahnya sama baik untuk laki-laki serta perempuan.

4). Membasuh Seluruh Anggota Badan yang Zahir.

“Ummu Salama RA, aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang


bagaimana cara mandi, lalu beliau berkata, “Mandilah engkau ambil
tiga raup air ke arah kepala. Kemudian ratakannya seluruh badan. Maka
dengan cara itu, sucilah engkau” (HR Muslim)

Membasuh seluruh anggota badan termasuk kulit ataupun rambut


dengan air serta meratakan air pada rambut hingga ke pangkalnya.
Selain itu pun wajib membasahi ke seluruh bagian badan termasuk
rambut, bulu yang ada pada seluruh tubuh, telinga, juga kemaluan pada
bagian belakang ataupun depan.

5). Rambut dalam Kondisi Terurai/Tidak Terikat

Untuk mandi besar, maka pada bagian rambut perlu dalam


kondisi yang terurai atau tidak terikat. Hal itu untuk mensucikan seluruh
badan, sedangkan jika terikat maka tidak sempurna untuk kebersihan
mandinya.

Dikhawatirkan tidak semua bagian dibasuh atau basah terkena air. Selain
itu, juga selepas dalam kondisi haidh bagi wanita mencukur bulu
kemaluan. Memangkas bulu kemaluan dalam pandangan islam adalah
suatu yang juga sangat disarankan mencukur bulu kemaluan pria dalam
islam pun sangat dianjurkan. Hal tersebut bisa menambah kebersihan,
serta tidak banyak kotoran yang tersisa yang masih menempel dalam
bulu di badan.

6). Memberikan Wewangian bagi Wanita yang Setelah Haid

“Ambillah sedikit kasturi kemudian bersihkan dengannya” Hal ini


sifatnya tidak wajib atau bersifat sunah saja. Untuk para wanita, maka
bisa memberikan berbagai wewangian ataupun sari-sari bunga yang bisa
membersihkan dan memberi wangi kemaluannya, dimana yang telah
terkena darah haid selama periodenya.

Pada zaman Rasulullah diberikan bunga kasturi, sedangkan untuk zaman


sekarang ada banyak sari-sari bunga ataupun hal lainnya yang lebih
mensucikan, membersihkan, dan membuat wangi.

D. WUDHU

1. Pengertian Wudhu

Menurut bahasa, wudhu berasal dari kata wadha’ah yang berarti


kebersihan dan baik. Sederhananya wudhu adalah salah satu cara
menyucikan anggota tubuh dengan air. Hal ini berkaitan dengan seorang
muslim diwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan salat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wudhu adalah


menyucikan diri (sebelum salat) dengan membasuh muka, tangan,
kepala, dan kaki. Sementara itu, dilansir dari Wikimuslim, Wudhu secara
istilah adalah menggunakan air yang dapat mensucikan pada empat
anggota tubuh (Wajah, tangan, kepala, kaki) dengan sifat yang khusus
menurut syariat.

Pengertian wudhu merupakan tindakan yang wajib dilakukan oleh


umat Muslim, terumata ketika hendak melakukan ibadah salat, thawaf di
kakbah dan menyentuh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW bersabda,

‫َ اَل َيۡق َبُل ُهللا َص اَل َة َأَحِد ُك ۡم ِإَذ ا َأۡح َد َث َح َّتى َيَتَو َّضأ‬
Yang artinya: "Allah tidak menerima salat salah seorang di antara
kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu terlebih dahulu." (H.R
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dari sabda Nabi Muhammad SAW tersebut, telah jelaslah betapa


pentingnya berwudhu dalam ibadah.

Berikut ada ayat Al-Qur’an yang mewajibkan seorang Muslim untuk


berwudu sebelum hendak melakukan salat.

QS. Al-Maidah : 6 ALLAH SWT berfirman:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى ٱلَّص َلٰو ِة َفٱْغ ِس ُلو۟ا ُوُجوَهُك ْم َو َأْيِدَيُك ْم ِإَلى‬
‫۟ا‬
‫ٱْلَم َر اِفِق َو ٱْمَس ُحو ِبُر ُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم ِإَلى ٱْلَك ْع َبْيِن‬
Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu
sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki”.

2. Rukun dan sunnah wudhu

Pengertia wudhu tentu harus diikuti dengan pemahaman rukun-


rukunnya. Rukun wudhu sendiri sebenarnya ada enam, yaitu niat,
membasuh wajah, membasuh tangan sampai siku, mengusap sebagian
kepala, membasuh kaki sampai mata kaki, dan tertib atau menurut
susunan yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Maidah:6).

Keenam perkara dari rukun wudhu ini harus dilaksanakan dengan


berurutan dan tenang. Tidak boleh meninggalkan salah satunya jika
ingin ibadah salat kamu sah. Selain rukun wudhu, ada juga beberapa
sunah yang bisa dilakukan agar mendapatkan pahala berlimpah.

Berikut beberapa sunah berwudhu yang telah dicontohkan


oleh Rasulullah SAW:

 Membaca basmalah

 Membasuh kedua telapak tangan.


 Menggosok gigi dengan siwak dan berkumur.

 Memasukkan air ke dalam hidung.

 Menyapu air ke seluruh kepala.

 Membasuh kedua telinga (bagian dan luar).

 Mendahulukan yang kanan.

 Menggosok celah-celah jari tangan, kaki, dan janggut jika


panjang.

 Melakukan sebanyak 3 kali.

 Berturut-turut, yaitu bersambung dari awal sampai akhir tanpa


jeda.

3. Tata Cara Wudhu

Wudhu memiliki tata cara dan bacaan tertentu saat melakukannya.


Kamu di anjurkan menjalankannya sesuai sunah Nabi SAW. Utsman
bin Affan radiyallahu'anhu berkata: "Barang siapa berwudhu seperti
yang dicontohkan Rasulullah SAW, niscaya akan diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan sholatnya
sebagai tambahan pahala baginya." (HR. Muslim)

a. Mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan dengan


bersih (3x) serta melafadzkan ‫الَّرْح ٰم ِن الَّر ِح ْيم ِهللا ِبْس ِم‬

b. Berkumur-kumur 3 kali sembari membersihkan gigi

c. Menghirup air ke hidung 3 kali

d. Membasuh muka 3 kali mulai dari jidat (tempat tumbuhnya


rambut) samapi dagu dan dari telinga kanan samapi ke telinga
kiri, sembari membaca niat wudhu :

‫َنَو ْيُت اْلُوُضْو َء ِلَر ْفِع اْلَح َد ِث ْاَالْص َغ ِر َفْر ًضاِ ِهلل َتَع اَلى‬

e. Membasuh kedua belah tangan kanan dan kiri sampai ke siku 3


kali

f. Menyapu rambut, boleh hanya di bagian depan rambut dan


boleh juga seluruh rambut kepala dari depan hingga belakan

g. Membasuh kedua belah telinga kanan dan kiri 3 kali


h. Mencuci kedua kaki kanan dan kiri 3 kali sampai mata kaki

i. Membaca do’a sesudah wudhu :

‫ َالّٰل ُهَّم اْج َع ْلِنْى ِم َن‬.‫َاْش َهُد َاْن اَل ِاٰل َه ِااَّل ُهللا َو ْح َد ُه َالَش ِرْيَك َلُه َو َاْش َهُد َاَّن ُمَحَّم ًد اَع ْبُد ُه َو َر ُسْو ُلُه‬
‫ َو ْج َع ْلِنْي ِم ْن ِعَباِد َك الَّصاِلِح ْيَن‬، ‫الَّتَّواِبْيَن َو اْج َع ْلِنْى ِم َن اْلُم َتَطِّهِرْيَن‬

4. Hal-hal yang membatalkan wudhu:

 Keluarnya sesuatu dari 2 jalan kubul dan dubur

 Tidur pulas yang menghilangkan kesadaran

 Hilang akal,baik karena gila, epilepsy, mabuk, atau dikarenakan


mengomsumsi obat-obatan

 Memegang kemaluan tanpa penghalang

Hal-hal yang di makruhkan dalam berwudhu

 Berlebih-lebihan (boros) dalam enggunakan air


 Terlalu irit menggunakan air hingga bisa meninggalkan perkara
yang di sunnahkan
 Berkumur dan mengisap air ke dalam hidung secara berlebihan
bagi orang yang sedang berpuasa.
E. MASHU AL-KHUFFAIN

1. Pengertian

Menurut etimologi bahasa Arab, mengusap khuffain artinya


menelusur khuffain dengan tangan. Dari itu, jika seseorang membuat
tangannya berjalan di atas khuffain maka ia disebut sedang mengusap
khuffain. Adapun menurut terminologi para ulama Islam, mengusap
khuffain artinya memberi pembasahan pada sepatu khusus yang disebut
dengan khuffain pada waktu waktu tertentu.

2. Hukum mengusap khuffain

Maka Hukumnya Adalah boleh. Syariat membolehkan bagi kaum


pria atau perempuan untuk mengusap sepatu khuffain mereka, baik
ketika bepergian ataupun saat bermukim. Hukum ini merupakan rukhsah
yang diberikan syariat Islam kepada para penanggung kewajiban shalat.
Menurut bahasa, rukhshah artinya keringanan. Namun hukum mengusap
khuffain ini bisa jadi terkadang menjadi wajib, yaitu ketika seseorang
merasa khawatir akan berakhirnya waktu shalat apabila ia melepaskan
sepatunya itu terlebih dulu untuk membasuh kedua kakinya.

3. Ciri-ciri Khuffain

Sepatu khuffain yang boleh diusap sebagai rukhsah adalah sepatu


yang dikenakan seseorang untuk menutup kedua kakinya dari
pergelangan kaki hingga telapaknya, baik itu terbuat dari kulit, bulu
domba (wol), rambut, bulu unta, rami (seperti karung goni), ataupun
sejenisnya. Adapun penutup kaki yang tidak terbuat dari kulit biasanya
disebut dengan kaus kaki. Dari kaus kaki ini tidak termasuk yang
dibolehkan, karena kaus kaki berbeda dengan sepatu. Kecuali jika kaus
kaki itu mencakup tiga hal :

1) Tebal, sehingga air tidak dapat merembes


masuk ke bagian dalamnya.

2) Merekat pada kedua kaki dengan sendirinya tanpa perlu pengikat.

3) Tidak transparan sehingga dapat terlihat bagian yang ditutupi.

Karena itu, jika seseorang mengenakan kaus kaki yang tebal dan
merekat pada kedua kakinya, namun terbuat dari bahan yang transparan
maka kaus kaki itu tidak dapat disebut dengan khuffain dan tidak
termasuk dalam rukhsah. Tetapi apabila ada kaus kaki yang memenuhi
ketiga kriteria tersebut, maka kaus kaki itu dapat disebut dengan
khuffain sebagaimana khuffain yang terbuat dari kulit, dan mendapatkan
rukhsah yang sama.

4. Syarat-syarat Mengusap Khuffain

Ada beberapa syarat dalam mengusap khuffain yaitu :

1) Khuffain tersebut harus menutupi kaki, dari bagian telapak hingga


dua mata kaki. Adapun bagian atas dua mata kaki bagi laki-laki tidak
perlu ditutupi dan tidak perlu juga tertutup oleh khuffain. Daru tidak
diharuskan pula khuffain itu tertutup rapat sejak pembuatary namun
boleh dalam keadaan terbuka bagian atasnya misalnya lalu kemudian
dapat ditutup dengan kancing tarik (risleting) ataupun kancing model
lainnya yang dapat menutup sepatu dengan rapat. Karena, syarat
yang harus dipenuhi adalah tertutupnya kaki dengan rapat
2) Mata kaki harus tertutup sepenuhnya dan tidak boleh terbuka
walaupun hanya sedikit saja. Kalau seandainya khuffain yang
digunakan sudah terkoyak sedikit hingga bagian kaki yang harus
tertutupi dapat terlihat, maka khuffain tersebut tidak memenuhi
syarat untuk diusap sebagai pengganti pembasuhan kaki. Pasalnya,
ketika wudhu tanpa khuffairu maka ia harus membasuh seluruh
bagian tersebut, mencakup bagian telapak, punggung telapak, hingga
mata kaki. Dan, jikalau ada bagian tersebut yang tidak terbasuh
walaupun sedikit saja maka wudhunya tidak sah. Karena itu, hal
tersebut juga berlaku ketika khuffain diusapkan sebagai
penggantinya. Jika ada sedikit saja bagian kaki yang terlihat maka
pengusapannya juga menjadi tidak sah.

3) Khuffainnya masih dapat dipergunakan berjalan dan menempuh


jarak yang cukup jauh. Adapun jika sepatu itu agak longgar hingga
punggung telapak kaki sebagian besarnya atau bahkan sama sekali
tidak menyentuh rongga atas sepatunya, maka hal itu tidak
mempengaruhi keabsahan sepatu tersebut sebagai khuffain selama
masih dapat untuk digunakan berjalan.

4) Khuffain yang digunakan harus milik sendiri secara syariat, bukan


didapatkan dari hasil mencuri, atau ghashab (meminjam tanpa
seizing pemiliknya), ataupun didapatkan dari perbuatan syubhat
yang diharamkan. Karena apabila demikian, maka pengusapan
khuffain dianggap tidak sah.

5) Khuffain yang digunakan harus bersih dan suci. Karenanya, jika


khuffain tersebut najis, maka tidak sah hukumnya mengusap
khuffain.

6) Khuffain itu dikenakan setelah tubuh menjadi suci. Dengan arti,


orang yang mengenakannya harus wudhu secara sempurna terlebih
dulu, barulah setelah itu ia memakai sepatunya. Sekiranya orang
tersebut hanya mencuci kakinya terlebih dulu lalu mengenakannya
dan baru kemudian berwudhu dengan sempurna setelah sepatu itu
dikenakan, maka pengusapan khuffainnya tidak sah.

7) Pensucian tubuh sebelum pemakaian khuffain dilakukan dengan


menggunakan air. Karena itu, tidak sah hukumnya jika pemakaian
khuffain dilakukan setelah tayamum. Baik itu tayamumnya
dilakukan karena sakit, karena tidak ada air, ataupun sebab-sebab
lainnya.
8) Permukaan khuffain yang harus diusap tidak boleh terdapat sesuatu
yang menghalangi air untuk mengenainya. Misal permen karet,
tepung, semery atau apa pun yang jika melekat pada kulit kaki juga
tidak dapat disentuh oleh air.

9) Pemakai khuffain harus dapat tetap berjalan dengan menggunakan


khuffain tersebut dalam jarak tertentu. Apabila khuffain itu
dilepaskan atau pemakai tidak lagi dapat melanjutkan perjalanannya
sebelum tercapai jarak tersebut, maka hukum pengusapan
khuffainnya tidak sah lagi.

5. Standar Pengusapan

Dalam hal mengusap khuffain, syariat tidak mengharuskan


dibasahinya seluruh bagian sepatu yang menutupi kaki, meskipun
pengusapan tersebut berfungsi sebagai pengganti pembasuhan kaki yang
wajib untuk dibasuh seluruhnya. Pasalnya, mengusap khuffain memang
sebuah rukhsah khusus yang diberikan kepada para mukallaf, agar
mereka merasakan kelenturan syariat Ilahi terhadap mereka.Dan untuk
mengetahui batasan atau standar pengusapan khuffain tersebut

Menurut masing-masing madzhab dapat dilihat pada catatan


berikut.

Menurut madzhab Maliki : Seluruh bagian atas yang tampak


(bagian punggung sepatu) harus terkena usapan semuanya. Adapun
bagian bawahnya (bagian sepatu yang bersentuhan langsung dengan
bumi) atau biasa disebut dengan bagian perut sepatu, hukum
mengusapnya hanya dianjurkan saja. Namun ada juga beberapa ulama
yang mengatakan diwajibkan juga. Karena itu, apabila bagianbawah
sepatu ini tidak diusap, maka shalat yang dilakukan dengan wudhu
tersebut harus diulang sebagai kehati-hatian karena ada pendapat yang
mewajibkarmya.

Menurut madzhab Hanafi : Diwajibkan bagi pemakai khuffain


untuk mengusap sebagian dari punggung sepatunya, kira-kira
panjangnya tiga jari kelingking tangan dikali lebar satu jari, dengan
syarat bagian yang diusap seluruhnya berada di punggung sepatu.

Menurut madzhab Asy-Syafi'I : Diwajibkan bagi pemakai


khuffain untuk mengusap bagian manapun pada punggung sepatu,
meskipun hanya meletakkan satu jari yang sudah dibasahi tanpa
dijalankan jarinya itu sudah cukup dan sudah memenuhi nilai
pengusapan. Seperti halnya pada kewajiban mengusap kepala. Namun
pengusapan tersebut hanya boleh dilakukan pada punggung sepatu saja,
tidak pada bagian bawah sepatu, bagian dalam sepatu, bagian sisi kanan
atau sisi kiri sepatu, bagian leher sepatu, atau bagian-bagian lainnya,
terkecuali bagian yang melekat pada mata kaki. Apabila seandainya
pada kulit sepatunya masih terdapat bulu-bulu yang melekat, lalu air
yang diusapkan tidak sampai pada kulitnya, maka pengusapan khuffain
dianggap tidak sah. Begitu pula jika airnya hanya terkena kulitnya saja
padahal yang hendak diusapkan adalah bulunya, maka pengusapan
khuffain tersebut juga tidak sah.

6. Mekanisme Pengusapan dan Masa berlaku

Cara mengusap khuffain yang disunnahkan adalah dengan


meletakkan jari jemari tangan kanan di bagian depan sepatu kanan dan
meletakkan jari jemari tangan kiri di bagian depan sepatu kiri. Lalu,
semua jari yang sudah basah dengan air itu diusapkan hingga sampai di
atas pergelangan mata kaki. Dan, selama proses tersebut dilakukan, jari
jemari itu sedikit direnggangkan, sehingga hasil pengusapannya seperti
membuat garis-garis memanjang ke atas.

Adapun masa berlaku pengusapan yakni Bagi orang yang


bermukim, masa berlakunya PengusaPan khuffain adalah sehari
semalam. Sedangkan bagi orang yang musafir adalah tiga hari penuh.
Baik safarnya itu safar yang mubah (tidak diharamkan, misalnya untuk
merompak atau semacamnya) ataupun tidak. Baik safamya itu
membolehkanqashar shalat ataupun tidak. Baik orangnya itu memiliki
masalah penyakit tertentu ataupun tidak. Adapun dalil untuk batasan
waktu tersebut adalah riwayat dari Syuraih bin Hani, ia berkata:

"Aku pernah bertanya kepada Aisyah mengenai pengusapan khuffain,


lalu ia menyuruhku, "Temuilah Ali dan tanyakan kepadanya mengenai
hal itu, karena ia kerap bermusafir bersama Nabi." Kemudian aku pun
pergi menemui Ali dan menanyakan hal itu kepadanya, lalu ia berkata,

"Rasulullah 6 memberikan hak kepada musafir (untuk mengusap


khuffain) selama tiga hari penuh, sedangkan bagi orang yang bermukim
selama sehari semalam saja" [HR. Muslim].
Masa berlaku tersebut baru mulai dihitung ketika pemakai khuffain
berhadats, bukan sejak pemakaian. Misalnya seseorang berwudhu dan
mengenakan khuffainnya ketika hendak melakukan shalat zuhur. Lalu,
ia tetap suci dan tidak berhadats hingga waktu isyak datang. Maka, pada
saat berhadats itulah mulai dihitungnya masa berlaku pengusapan
khuffain.

7. Hal-Hal yang Dimakruhkan dan Membatalkan Pengusapan Khuffain

Ada beberapa hal yang dimakruhkan ketika sedang melakukan


pengusapan khuffain. Di antaranya: Mengusap-usapnya lebih dari satu
kali. Dan, juga membasuhnya padahal seharusnya hanya mengusapnya
saja. Hal itu makruh jika tetap diniatkan untuk menghilangkan hadats.
Sedangkan jika diniatkan untuk membersihkannya atau untuk
menghilangkan najisnya tanpa berniat menghilangkan hadats, maka apa
yang dilakukan itu tidak dapat dianggap sebagai pengusapan
khuffain.Dan pengusapan harus dilakukan setelah pembasuhan tersebut
jika ingin mendapatkan sahnya Pengusapan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pengusapan khuffain menjadi


batal. Di antaranya:

• karena terjadi sesuatu yang menyebabkan mandi besar, misalnya


junub, haid, dan nifas.

• Karena melepaskan sepatu, meskipun hanya mengeluarkan


sebagian
telapak kaki hingga ke leher sepatu.

• Karena terkoyaknya sepatu yang dikenakan.

• Karena berakhimya masa berlaku pengusapan.

F. TAYAMMUM

1. Pengertian tayammum

Menurut arti bahasa, tayammum berarti menyengaja, sedangkan


menurut Istilah syara ia berarti menyengajakan diri menyentuh debu yang
suci untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan sekali atau dua kali
sentuhan, Dengan niat agar memperoleh kebolehan melakukan sesuatu
yang sebelumnya terhalang oleh adanya hadast, bagi orang yang tidak
menemukan air dan takut adanya bahanya apabila menggunakannya.

2. Dalil persyariatannya

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْۤو ا ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِاَلى الَّص ٰل وِة َفا ْغ ِس ُلْو ا ُوُجْو َهُك ْم َو َا ْيِدَيُك ْم ِاَلى اْلَم َر ا ِفِق َو ا ْمَس ُحْو ا‬
‫ِبُرُءْو ِس ُك ْم َو َا ْر ُج َلُك ْم ِاَلى اْلـَكْع َبْيِن ۗ  َو ِا ْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفا َّطَّهُرْو اۗ  َو ِا ْن ُكْنُتْم َّم ْر ٰۤض ى َاْو‬
‫َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ٓاَء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغٓاِئِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم الِّنَس ٓاَء َفَلْم َتِج ُد ْو ا َم ٓاًء َفَتَيَّمُم ْو ا َصِع ْيًدا‬
‫َطِّيًبا َفا ْمَس ُحْو ا ِبُوُجْو ِهُك ْم َو َا ْيِد ْيُك ْم ِّم ْنُهۗ  َم ا ُيِرْيُد ُهّٰللا ِلَيْج َعَل َع َلْيُك ْم ِّم ْن َح َر ٍج َّو ٰل ـِكْن ُّيِرْيُد‬
‫ِلُيَطِّهَر ُك ْم َو ِلُيِتَّم ِنْع َم َتٗه َع َلْيُك ْم َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُرْو َن‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan
sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.
Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan
(debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar
kamu bersyukur." (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 6)

3. Hal-hal yg di perbolehkan tayammum

1. Takut terkena bahaya (mudarat) jika menggunakannya

2. Takut kedinginan

3. Takut musuh

4. Kebutuhan mendesak pada air

5. Takut kehabisan waktu

4. Hal-hal yg membatalkan tayammum

Sebagai pengganti wudhu, segala hal yang membatalkan wudhu juga


juga membatalkan tayammum, di tambahan keberadaan air secara
faktual bagi orang yang tidak menemukan air, dan kemampuan
menggunakan air bagi orang yang sebelumnya tidak mampu.

5. Cara bertayammum

a. Gunakan debu atau pasir yang bersih, jangan pasir yang telah
digunakan berkali kali.

b. Disunahkan menghadap kiblat. Jari-jari tangan dirapatkan pada


saat menyentuh debu.

c. Saat menyentuh debu atau pasir, bacakan niat tayamum.

d. Setelah membacakan niat, usapkan debu di tangan ke permukaan


wajah.

e. Telapak tangan kembali menyentuh debu. Kali ini jari tangan


direnggangkan, lalu tengadahkan kedua telapak tangan dengan
posisi telapak tangan kanan di atas tangan kiri.

f. Rapatkan jari-jari tangan dan usahakan ujung jari kanan tidak


keluar dari telunjuk jari kiri.

g. Usapkan telapak tangan kiri ke punggung lengan kanan sampai


ke bagian siku. Lalu, balikkan telapak tangan kiri tersebut ke
bagian dalam lengan kanan, kemudan usapkan hingga ke bagian
pergelangan.

h. Usapkan bagian dalam jempol kiri ke bagian punggung jempol


kanan. Selanjutnya, lakukan hal yang sama pada tangan kiri.

i. Pertemukan kedua telapak tangan dan usap-usapkan di antara


jari-jarinya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi, istinja' berarti mencuci tempat keluar kotoran


darisalah satu jalan qubul (depan) dan dubur (belakang), atau mengusap
dengan batu dan semisalnya. Sedangkan menurut terminologi syara',
istinjâ' berarti menghilangkan najis yang ada di atas dua jalan dan dubur
dengan air, dan minimal dengan batu.

Al-Ghuslu atau mandi wajib adalah menuangkan air ke semua


bagian badan dengan tata cara yang khusus bertujuan untuk
membersihkan hadast besar. Mandi wajib ini merupakan sebuah aturan
dari Allah untuk para umat muslim seketika dalam kondisi tertentu dan
syarat tertentu.

Menurut bahasa, wudhu berasal dari kata wadha’ah yang berarti


kebersihan dan baik. Wudhu secara istilah adalah menggunakan air yang
dapat mensucikan pada empat anggota tubuh (Wajah, tangan, kepala,
kaki) dengan sifat yang khusus menurut syariat.

Menurut etimologi bahasa Arab, mengusap khuffain artinya


menelusur khuffain dengan tangan. Adapun menurut terminologi para
ulama Islam, mengusap khuffain artinya memberi pembasahan pada
sepatu khusus yang disebut dengan khuffain pada waktu waktu tertentu.

Menurut arti bahasa, tayammum berarti menyengaja, sedangkan


menurut Istilah syara ia berarti menyengajakan diri menyentuh debu
yang suci untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan sekali atau
dua kali sentuhan

B. Saran

Apabila ada kekurangan dan kelemahan dalam Menyusun


makalah ini, baik dari segi tutur kata maupun kalimat dalam pembahasan
yang kami buat, kami selaku pemakalah mengharpkan sarn dan masukan
dari kawan-kawan dan terlebih kepada ibu dosen pengampu mata kuliah
Fiqih Ibadah agar makalah ini bisa sempurna dan berguna bagi orang
lain dan terlebih lagi kepada pemakalah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai