Dosen Pembimbing :
ASROMI MARANTO,M.Pd.I
Disusun Oleh :
Abillio Alfarizi
Idi Mawaludin
Samrotul Faa’dah
Lidiya Efrianti
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan ridho-Nya, sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Praktek Pelaksaaan Talqin Tidak lupa juga
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut memberikan
kontribusidalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
Penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis menantikan kritik dan saran yang membangun serta konstruktif dari
para pembaca sebagai upaya penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………..1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….2
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………….3
1. LATAR BELAKANG……………………………………………………………3
2. RUMUSAN MASALAH………………………………………………………...3
3. TUJUAN MAKALAH…………………………………………………………...3
1. PENGERTIAN TALQIN……………………………………………….……….4
1. KESIMPULAN……………………………………………………………….....11
2. SARAN………………………………………………………………………….11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sangat sedikit diantara mereka yang membaca al Qur’an, surat Yasin, tahlil dan lebih-
lebih mentalqin ia yang akan menjemput ajal. Padahal, Nabi telah mengajarkan sesuatu yang
sangat penting saat ada salah satu keluarga, teman atau sanak kadang yang sedang sakaratul
maut. Beliau memerintahkan kepada umatnya supaya membaca talqin untuk orang akan
meninggal dunia.
Talqin (menuntun kalimat tahlil) kepada seseorang yang sedang sakaratul maut adalah
cara untuk mengingatkannya akan kalimat tauhid. Sebab orang yang membaca “La Ilaha
Illallah” dipenghujung hidupnya dipastikan akan masuk surga atau mati dalam keadaan iman
dan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Cara Mentalqinkan Orang Yang Sakaratul Maut
2. Tujuan Mentalqilkan Yang Sedang Sakaratul Maut
C. TUJUAN MAKALAH
Tujuan dari makalah ini adalaah untuk mengingatkan kepada Umat Muslim
dianjurkan melakukan talqin kepada orang yang sedang sakaratul maut dengan menyebut laa
ilaha illallah. Dengan demikian orang yang sedang menemui ajal tersebut mengingat Allah
dan meniru ucapannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Talqin
1. Definisi Talqin
Secara bahasa, kata talqin adalah shighat masdar berasal dari akar kata bahasa
arab laqqana-yulaqqinu yang secara etimologis bermakna mendikte, mengajarkan atau
memahamkan secara lisan. Kata itu sama maksudnya dengan kata allama,
fahhama dan musyafahah yang berarti memahamkan secara lisan kepada orang lain.
Perlunya talqin untuk melafalkan kalimat tauhid adalah karena pada saat menjelang
kematian merupakan saat yang menentukan, saat paling kritis bagi iman seseorang. Karena,
setiap orang selalu berharap mati husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik. Ini maknanya
bahwa setiap orang memang berharap mati dalam keadaan iman kepada Allah.
Talqin membisikkan kalimat syahadat kepada orang yang hendak meninggal atau mayat
yang baru dikuburkan. Rasulullah SAW bersabda:
َم ْن َك اَن آِخَر َكاَل ِمِه اَل ِإٰل َه ِإاَّل الله َد َخ َل اْلَج َّنَة
Siapa pun yang akhir ucapannya (ketika menjelang ajal)adalah kalimat Laa Ilaaha illa Allah,
maka ia masuk surga.” Abu Dawud menerangkan, hadits itu dari Mu'adz bin Jabal.
Sabda Rasul SAW dapat dimaknai bahwa Allah SWT menjadikan lisan si pengucap
kalimat agung itu sebagai tanda. Yakni, bahwa Dia menganugerahinya ampunan dan kasih
sayang. Hal itu sebagaimana disampaikan dalam Alquran surat al-Anbiya ayat 101.
ِإَّن اَّلِذ يَن َسَبَقْت َلُهْم ِم َّنا اْلُحْسَنٰى ُأوَٰل ِئَك َع ْنَها ُم ْبَع ُد وَن
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka
itu dijauhkan dari neraka.”
Maka, orang-orang mukmin yang sempat mengucapkan kalimat tauhid sesaat sebelum
ajal datang akan tergolong sebagai ahli surga. Siapa pun mereka, tanpa memandang apakah
semasa hidupnya bergelimang dosa. Sebab, kemampuan untuk berucap Laa Ilaaha illallah itu
adalah takdir-Nya. Allah SWT telah membuat ketetapan yang baik, sebagaimana dijelaskan
dalam al-Anbiya ayat 101.
1) Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama
mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, mentalqin mayit setelah
dikubur hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menyebutkan:
ْأ
َفِإَّن اْلَم ِّيَت َيْسَت ِنُس ِبالِّذْك ِر، َبْل َنْفٌع، َأِلَّنُه اَل َضَرَر ِفيِه، َو ِإَّنَم ا اَل ُيْنَهى َع ِن الَّتْلِقيِن َبْع َد الَّد ْفِن
“Sesungguhnya tidak dilarang mentalqin mayit setelah dikubur hanyalah karena tidak ada
kemadharatan di dalamnya, bahkan terdapat manfaat. Sebab, mayit memperoleh manfaat dari
pemberitahuan tersebut” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Raddul Mukhtar Ala Ad-
Durril Muhtar, juz 2, h. 205).
ِلَقْو ِل ِه َأِلَّن ُه ُم َط اِبٌق، َو ُهَو ِفْعُل َأْهِل اْلَم ِد يَنِة الَّصاِلِح يَن ِم َن اَأْلْخ َياِر،إَذ ا ُأْد ِخَل اْلَم ِّيُت َقْبَر ُه َفِإَّنُه ُيْسَتَح ُّب َتْلِقيُنُه ِفي ِتْلَك الَّساَع ِة
اْلَم اَل ِئَك ِة َو َأْح َو ُج َم ا َيُك وُن اْلَع ْبُد إَلى الَّتْذ ِكيِر ِباِهَّلل ِع ْنَد ُسَؤ اِل.} {َو َذِّك ْر َفِإَّن الِّذْك َر ى َتْنَفُع اْلُم ْؤ ِمِنيَن:َتَع اَلى
Senada dengan kedua ulama di atas, Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
ُأْذ ُك ِر الَع ْهَد اَّلِذ ي، َيا ُفاَل َن اْبَن ُفاَل ٍن َو َيا َع ْبَد ِهَّللا ابَن َأَم ِة ِهَّللا: َو َيُقوُل، ُيْسَتَح ُّب َتْلِقيُن اْلَم ِّيِت َع ِقَب َد ْفِنِه َفَيْج ِلُس ِع ْنَد َر ْأِسِه إْنَس اٌن
َو َأَّن، َو َأَّن الَّن اَر َح ٌّق، َو َأَّن اْلَج َّنَة َح ٌّق، َو َأَّن ُمَحَّم ًدا َع ْبُد ُه َو َر ُسوُلُه، َش َهاَد َة َأْن اَل ِإَلَه َو ْح َد ُه اَل َش ِريَك َلُه:َخ َر ْج َت َع َلْيِه ِم َن الُّد ْنَيا
َو ِبُمَحَّم ٍد، َو ِباِإْل ْس اَل ِم ِد يًن ا، َو َأَّن َك َر ِض يَت ِباِهَّلل َر ًّب ا. َو َأَّن َهَّللا َيْبَع ُث َم ْن ِفي اْلُقُب وِر، َو َأَّن الَّساَع َة آِتَيٌة اَل َر ْيَب ِفيَه ا، الَبْع َث َح ٌّق
َو ِباْلُم ْؤ ِمِنيَن ِإْخ َو اًنا، َو ِباْلَكْع َبِة ِقْبَلًة، َو ِباْلُقْر آِن ِإَم اًم ا،َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َنِبًّيا.
اْلَم ِّيِت َبْع َد الَّد ْفِن ِع ْنَد اْلَقْبِر؛ ِلَحِد ْيِث َأِبي ُأَم اَم َة الَباِهِلي َر ِض َي ُهللا َع ْنُه: َو ُس َّن َتْلِقْيُنُه َأْي
“Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi
Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat,
juz 1, h. 374).
2) Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur
hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
َو َيْفَهُم َم ا ُيَلَّقُن، َأِلَّنُه ُتَع اُد إَلْيِه ُروُحُه َو َع ْقُلُه، َأَّن َتْلِقيَن اْلَم ِّيِت َم ْش ُروٌع
“Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya,
begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan)” (Usman bin Ali Az-
Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153).
Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah.
Beliau berkata:
َو اَل َك اَن ِم ْن َع َم ِل اْلُم ْس ِلِم يَن اْلَم ْش ُهوِر َبْيَنُهْم َع َلى َع ْه ِد الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم،َتْلِقيُنُه َبْع َد َم ْو ِتِه َلْيَس َو اِج ًب ا ِباِإْل ْج َم اِع
، َفِم َن اَأْلِئَّم ِة َم ْن َر َّخ َص ِفيِه َك اِإْلَم اِم َأْح َم َد. َو َو اِثَلَة ْبِن اَأْلْس َقِع، َبْل َذ ِلَك َم ْأُثوٌر َع ْن َطاِئَفٍة ِم ْن الَّص َح اَبِة؛ َك َأِبي ُأَم اَم َة.َو ُخَلَفاِئِه
: َف اَأْلْقَو اُل ِفيِه َثاَل َث ٌة. َوِم َن اْلُع َلَم اِء َم ْن َيْك َر ُه ُه اِل ْع ِتَق اِدِه َأَّن ُه ِبْد َع ٌة. َو َأْص َح اِب الَّش اِفِع ِّي،َو َق ْد اْس َتَح َّبُه َطاِئَف ٌة ِم ْن َأْص َح اِبِه
َو َهَذ ا َأْع َدُل اَأْلْقَو اِل، َو اِإْل َباَح ُة، َو اْلَك َر اَهُة، ااِل ْس ِتْح َباُب
“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak
termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi
wasallam dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi
Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti
imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i
mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai
bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan
pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil” (Ahmad bin Abdul
Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356).
3) Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur
hukumnya makruh. Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki menyebutkan:
َو َك َذ ا ُيْك َرُه ِع ْنَد ُه – َأْي ِع ْنَد َم اِلٍك – َتْلِقْيُنُه َبْع َد َو ْض ِع ِه ِفي َقْبِر ِه
“Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di
dalam kubur” (Abdul Wahhab bin Ali Al-Baghdadi, Syarhur Risalah, h. 266). Dengan
demikian dapat disimpulkan, para ulama berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit
setelah dikubur. Sebagian ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama
mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama
mazhab Hanafi yang lain menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab
Maliki yang lain menghukuminya makruh.
Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang menyatakan kesunnahan
mentalqin mayit merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh hadits riwayat Abu
Umamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
َفِإَّن ُه َيْس َم ُعُه، َي ا ُفالَن بن ُفالَن َة: ُثَّم ِلَيُقْل، َفْلَيُقْم َأَح ُد ُك ْم َع َلى َر ْأِس َقْبِر ِه، َفَسَّو ْيُتِم الُّتَر اَب َع َلى َقْبِر ِه، ِإَذ ا َم اَت َأَح ٌد ِم ْن ِإْخ َو اِنُك ْم
َو ال ُيِج يُب
“Bila seseorang dari kalian mati, maka ratakanlah tanah di kuburnya. Lalu hendaknya salah
seorang di antara kalian berdiri di atas kuburnya, kemudian berkata: “Wahai Fulan putra si
Fulanah’. Sungguh si mayit mendengarnya dan tidak menjawabnya. (HR Thabrani).
Pertama, Bisikkan kepada orang yang hendak meninggal untuk mengucapkan laa
ilaaha illallaah. Misal, wahai ayahku, ucapkan laa ilaaha illallaah. Kedua, Bila perlu,
tambahkan janji indah di akhirat jika berhasil mengucapkan kalimat tauhid. Misalnya,
ucapkan laa ilaaha illallaah, surga akan menantimu. Ini seperti yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajak Abu Thalib untuk mengucapkan laa ilaaha
illallaah ketika mendekati kematiannya.
Dari al-Musayib bin al-Hazan, beliau bercerita, "Ketika Abu Thalib hendak
meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan beliau untuk mengucapkan
laa ilaaha illallaah, Wahai paman, ucapkan laa ilaaha illallaah, kalimat yang akan aku jadikan
sebagai alasan pembelaan paman di hadapan Allah. Namun Abu Thalib menolaknya." (HR.
Bukhari 3884)
Ketiga, jangan sampai orang yang meninggal merasa terganggu karena yang
mentalqin terlalu sering mengulang-ulang. Karena ini bisa membuat dia menjadi tidak senang
dengan ucapan laa ilaa illallaah. An-Nawawi mengatakan, "Para ulama membenci jika terlalu
banyak dan terlalu sering ketika mentalqin. Agar tidak membuat calon mayit terganggu,
karena dia sendiri sedang merasakan sakit, sehingga membuat hatinya membenci ajakan
talqin." (Syarh Shahih Muslim, 6/219).
Sehingga, yang tepat, bisikkan si calon mayit untuk mengucapkan laa ilaaha illallaah
setelah itu, tunggu dulu beberapa saat. Jika dia berhasil mengucapkan laa ilaaha illallaah,
jangan ditalqin ulang. Jika dia mengucapkan kalimat yang lain, atau belum berhasil
mengucapkan laa ilaaha illallaah, silahkan ulangi talqinnya. Keempat, jika calon jenazah
sudah berhasil mengucapkan laa ilaaha illallaah, jangan diajak bicara apapun. Jangan tanya
minta apa, jangan tanya apa yang dirasakan, dst. agar kalimat terakhir yang dia ucapkan adlah
kalimat tauhid. Jika dia berbicara atau meminta sesuatu, kabulkan permintaannya jika
memungkinkan, setalah itu, talqin ulang.
(1) Jika calon mayit orangnya masih bisa diajak berfikir, atau dia orang kafir, maka
bisa menggunakan kalimat perintah. Bahkan bisa diiringi janji. Misalnya, mari ucapkan laa
ilaaha illallaah, surga akan menantimu.
(2) Jika calon mayit orangnya lemah, tidak memungkinkan untuk memahami perintah,
cukup dibisikkan kalimat tauhid di dekatnya, laa ilaaha illallaah… sampai dia menirukannya.
Al Hasan bin Isa mengatakan: “Ibnu al Mubarak telah berkata kepadaku: Talqinlah
dengan kalimat syahadat dan janganlah kamu mengulangnya kecuali jika ia mengucapkan
kalimat yang lain. Tujuan talqin adalah agar seseorang meninggal dunia sedangkan di hatinya
tidaklah ada kecuali Allah, karena pusara hal ini adalah hati. Amalan hati yang akan dilihat
dan amalan hati yang merupakan sebab keselamatan. Adapun amalan lisan yang bukan
merupakan terjemah apa yang ada di dalam hati maka tidaklah berfaedah”.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Syubrumah ia mengatakan, “Aku bersama Amir bin
asy Sya’biy mendatangi seorang laki-laki yang sakit dan kami menjumpainya akan
meninggal dunia dan seorang laki-laki mentalqinkan kalimat syahadat kepadanya. Laki-laki
yang mentalqin tadi mengatakan, ucapkanlah ‘laa ilaaha illa Allah‘ dan terus-menerus
mengulanginya. Melihat hal itu maka asy Sya’biy mengatakan: “Bersikap lembutlah kepada
saudaramu”. Orang yang sakit tadi lantas berbicara: ‘Baik engkau mentalqinkanku atau tidak,
aku tidaklah akan meninggalkannya’.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dapat kita
ambil bahwasanya untuk menuntun atau mentalqinkan untuk orang yang sedang mengalamai
sakaratul maut adalah hal yang wajib yang kita lakukan sebagai umat muslim yang masih
hidup. Agar kelak orang yang menghadapi kematian mendapatkan surganya ALLAH SWT
dan terbebasnya jenazah tersebut dari api neraka. Tujuannya adalah agar akhir ucapan yang
keluar dari orang yang akan meninggal dunia adalah “Laa ilaaha illa Allah”. Sehingga dia
menjadi orang yang berbahagia karena termasuk dalam golongan orang
yang masuk surga.
B.SARAN
Kami yang menyusun makalah ini menyadari jika makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu segala bentuk kritikan dan saran yang membangun sangat kami
butuhkan guna penyempurnaan makalah ini serta meningkatkan pemahaman akademis kita
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
https://nu.or.id/syariah/menuntun-syahadat-talqin-orang-sakratulmaut-dan-jenazah-gDUa3
https://muslim.or.id/24706-fikih-jenazah-1-mentalqin-orang-yang-akan-meninggal.html