Anda di halaman 1dari 21

PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN ANAK

TUNARUNGU

Dosen Pengampu : Dra. ZULMIYETRI, M.Pd

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2

1. ANJAR MELTIANA (23003229)


2. FEBRY ADRIANSYAH (23003242)
3. JUSBIANTO (23003250)
4. RTS. MUSDALIFA (23003270)
5. SAINA FATHIASARI (23003273)

PROGRAM RPL PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Klasifikasi dan Jenis Anak Tunarungu tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Perspektif
Pendidikan dan Pembelajaran Anak Tunarungu di program RPL Pendidikan Luar Biasa
Universitas Negeri Padang. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi pembaca tentang pemahaman Anak Tunarungu.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Zulmiyetri, M.Pd
selaku dosen pengampu sehingga tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 26 Oktober 2023

Tim Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................1

Daftar isi .............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................3

A. Latar Belakang .............................................................................................................3

B. Tujuan ............................................................................................................................4

C. Rumusan masalah .........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................5

1. Apa itu Anatomi organ pendengaran ....................................................................... 5

2. Klasifikasi dan jenis-jenis anak dengan hambatan pendengaran .........................8

3. Perkembangan anak dengan hambatan pendengaran ...........................................14

4. Istilah-istilah yang berkaitan dengan hambatan pendengaran .............................17

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................................19

A. Kesimpulan....................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................20

2
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya hidup, berkembang, dan berperan
sebagai manusia dengan berhubungan dan bekerja sama dengan manusia lain. Salah
satu cara terpenting untuk berhubungan dan bekerja sama dengan manusia adalah
komunikasi.
Komunikasi terjadi apabila ada komunikator (orang yang menyampaikan pesan
atau informasi) dan komunikan (orang yang menerima pesan atau informasi).
Komunikasi pada dasarnya adalah penyampaian atau pengiriman pesan yang berupa
pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) untuk memberitahu guna merubah
sikap, pendapat dan prilaku baik secara langsung atau tidak, dan yang terpenting
adalah dalam proses penyampaian pesan itu harus jelas, agar tidak terjadi salah faham.
Komunikasi merupakan suatu hal yang alamiah yang dapat dilakukan oleh siapa
saja. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua orang dapat melakukan komunikasi
dengan baik, salah satunya adalah siswa tunarungu wicara yang memiliki gangguan
komunikasi. Anak dengan hambatan mendengar serta berbicara (tunarungu wicara)
biasanya terlihat normal. Perbedaannya adalah mereka tidak dapat mendengar yang
pada akhirnya mempengaruhi komunikasinya sehingga dalam hal berbicara
mengalami kesulitan. Ada beberapa karakteristik tunarungu wicara, yaitu mudah
tersinggung, kurang dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan memiliki rasa curiga
terhadap orang di sekitarnya.Istilah gangguan dalam komunikasi meliputi berbagai
masalah dalam bahasa, ucapan dan pendengaran. Seperti yang dikemukakan oleh
National Dissemination Center for Children with Disabilities, bahwa: Gangguan
bicara dan bahasa termasuk masalah artikulasi, gangguan suara, masalah kelancaran
(seperti gagap), aphasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat
cedera otak), dan keterlambatan dalam berbicara dan atau bahasa. Keterlambatan
bicara dan bahasa mungkin disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor- faktor
lingkungan atau gangguan pendengaran. Berbahasa dan berbicara merupakan salah
satu media untuk melakukan komunikasi. Hal ini menandakan pentingnya komunikasi
bagi manusia. Percakapan dalam proses pembelajaran di kelas merupakan sebuah
bentuk realitas komunikasi dari penggunaan bahasa, komunikasi di kelas memiliki
peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Melalui komunikasi, seseorang
yang memiliki kemampuan berbicara dan berbahasa akan mengutarakan apa yang
diinginkan melalui pesan yang disampaikan.
3
Lain halnya dengan tunarungu wicara yang memiliki hambatan dalam berbahasa
dan berbicara akibat dari keterbatasan dalam pendengaran. Untuk itu diperlukan
metode komunikasi yang tepat guna untuk mengembangkan kemampuan
berbahasanya, misalnya dengan gerak tubuh atau dengan visualnya.

2. RUMUSAN MASALAH
1 Apa itu Anatomi organ pendengaran
2 Klasifikasi dan jenis-jenis anak dengan hambatan pendengaran
3 Perkembangan anak dengan hambatan pendengaran
4 Istilah-istilah yang berkaitan dengan hambatan pendengaran

3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu Anatomi organ pendengaran
2. Dapat mendalami Klasifikasi dan jenis-jenis anak dengan hambatan pendengaran
3. Untuk mengetahui Perkembangan anak dengan hambatan pendengaran
4. Mengenal berbagai Istilah-istilah yang berkaitan dengan hambatan pendengaran

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Organ Pendengaran


Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang udara
kemudian geombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa listrik dan diteruskan ke
korteks pendengaran melalui saraf pendengaran (Gabriel, 1988). Telinga merupakan
organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga manusia menerima dan
mentransmisikan gelombang bunyi ke otak dimana bunyi tersebut akan di analisa dan di
interpretasikan. Cara paling mudah untuk menggambarkan fungsi dari telinga adalah
dengan menggambarkan cara bunyi dibawa dari permulaan sampai akhir dari setiap
bagian-bagian telinga yang berbeda. Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga
bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga
dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Sumber: https://papaalkha.com/apa-itu/anatomi-telinga/

1. Telinga Bagian Luar


Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari
luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga
(canalis auditorius externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar
sebasea sampai di membran timpani.
Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun
telinga lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus.

5
Liang telinga atau saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti
huruf S. Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal
memiliki kerangka tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus
dan kelenjar lilin. Rambut-rambut alus berfungsi untuk melindungi lorong telinga
dari kotoran, debu dan serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi
menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar
seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat
pada kulit liang telinga.

2. Telinga Bagian Tengah


Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi
menghantarkan bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan
ruang telinga dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi
oleh foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat
bagian-bagian sebagai berikut:
a. Membran timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada
gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran
timpani, selanjutnya membran timpani akan menggelembung ke arah dalam
menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu
maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan
gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian dalam.
b. Tulang-tulang pendengaran
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus
(tulang landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut
membentuk rangkaian tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu
dengan membran timpani. Susunan tulang telinga ditampilkan pada gambar.

6
c. Tuba auditiva eustachius
Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung
antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah
dengan udara luar.

3. Telinga bagian dalam


Telinga dalam berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh
telinga tengah. Telinga dalam atau labirin terdiri atas dua bagian yaitu labirin
tulang dan labirin selaput. Dalam labirin tulang terdapat vestibulum, kanalis
semisirkularis dan koklea. Di dalam koklea inilah terdapat organ Corti yang
berfungsi untuk mengubah getaran mekanik gelombang bunyi menjadi impuls
listrik yang akan dihantarkan ke pusat pendengaran.
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semi-sirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan
skala vestibuli.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Koklea atau rumah siput merupakan
saluran spiral dua setengah lingkaran yang menyerupai rumah siput.
Koklea terbagi atas tiga bagian yaitu:
a. Skala vestibuli terletak di bagian dorsal
b. Skala media terletak di bagian tengah
c. Skala timpani terletak di bagian ventral
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media
berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfe berbeda dengan
endolimfe. Hal ini penting untuk proses pendengaran.
Antara skala satu dengan skala yang lain dipisahkan oleh suatu membran.
Ada tiga membran yaitu:
a. Membran vestibuli, memisahkan skala vestibuli dan skala media.
b. Membran tektoria, memisahkan skala media dan skala timpani.
b. Membran basilaris, memisahkan skala timpani dan skala vestibuli.
Pada membran membran basalis ini terletak organ Corti dan pada membran
basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan

7
kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. Struktur organ Corti ditampilkan
pada gambar.

B. Klasifikasi dan Jenis-jenis anak dengan hambatan pendengaran


1. Klasifikasi Hambatan Pendengaran
Boothroyd (dalam Bintoro dan Santosa, 2002, hlm. 5-6) menerangkan
hambatan pedengaran merujuk pada segala hambatan dalam daya dengar, terlepas
dari sifat, faktor penyebab, dan derajat hambatan pendengaran. Klasifikasi
hambatan pednengaran terbagi dua, yaiut:
a. Kehilangan daya dengar (hearing loss) merujuk pada segala hambatan dalam
deteksi bunyi. Hambatan ini dinyatakan dalam besaran deciBell (dB) ambang
pendengaran seseorang perlu diperkuat diatas ambang pendengaran orang yang
memiliki pendengaran normal. Klasifikasi berdasarkan besaran atau tingkat
penguatan bunyi terbagi dari ringan sampai toal.
b. Gangguan proses pendengaran (auditory processing disorder), yaitu individu
yang mengalami gangguan dalam menafsirkan bunyi karena adanya gangguan
dalam mekanisem syaraf pendengaran.
Kombinasi dari kedua gangguan diatas adalah kehilangan daya dengar dan
gangguan mekanisme syaraf pendengaran, merupakan hal yang umum ditemukan
pada seseorang. Boothroyd kemudian memberikan batasan untuk tiga istilah
8
tersebut berdasarkan seberapa jauh seseorang dalam memanfaatkan sisa
endengaran dengan atau tanpa ABD, yaitu:
a. Kurang dengar (heard of hearing), yaitu kondisi seorang inividu yang
mengalami hambatan mendengar namun masih dapat memanfaatkan
kemampuan pendengarannya sebagai sarana atau modalitas untuk menyimak
suara cakapan seseorang dan mengembangkan kemampuan bicaranya (speech).
b. Tuli (deaf) merupakan kondisi seorang individu yang pendengarannya sudah
tidak dapat digunakan sebagai saran utama untuk mengembangkan kemampuan
bicara namun, masih dapat difungsikan sebagai bantuan pada penglihatan dan
perabaan.
c. Tuli total (totally deaf), yaitu kondiis seseorang yang dama sekali tidak
memiliki pendegaran sheingga tidak mamu untuk menyimak atau mempersepsi
dan mengembangkan bicara.
Saat ini penggunaan istilah “hambatan pendengaran” dan “Tuli” menjadi
suatu perdebatan antar orang dengar (seperti akademisi dan praktisi) dan orag
Tuli. Deaf Australian (2019) & Bauman (2019) menerangkan bahwa Tuli (dengan
huruf T kapital) merupakan sebutan dan penulisan untuk menggmbarkan mereka
yang menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dan menjadi bagian dari
GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Penggunaan bahasa
isyarat dalam berkomunikasi merupakan budaya dari orang Tuli. Tuli (dengan
penulisan huruf t kecil) merupakan istilah yang lebih umum untuk
menggambarkan kondisi fisik yang tidak mampu mendengar, dan ditujukan pada
orang-orang yang secara fisik tuli tetapi bukan merupakan bagian dan komunitas
tuli. Isitilah hambatan pendengaran merupakan sebutan yang merujuk pada segala
klasifikasi taraf hambatan pendengaran baik dari yang ringan hingga sangat berat.
Isitlah ini sering digunakan dalam dunia pendidikan untuk mempelajari hakikat
yang berkaitan dengan hambatan pendengaran beserta klasifikasinya. Sudut
pandang pendidikan memandang individu berkebutuhan khusus tidak berdasarkan
hambatan yang dimiliki, setiap penggunaan istialh hambatan selalu diawalai
dengan kata “anak”, “individu”, atau pun “orang”, sebagai contoh adalah anak
dengan hambatan pengelihatan, dan individu atau orang dengan hambatan fisik.
Mereka yang mengalami hambatan pengelihatan, pendengaran, fisik atau pun
hambatan lainnya merupakan ciptaan tuhan yang hanya mengalami kondisi
berbeda dan harus tetap dipandang sebagai “seseorang” atau pun “orang-orang”
dan merupakan bagian dari masyarakat.
9
Van Uden (dalam Bintoro dan Santosa, 2000, hlm. 6-7) menerangkan
klasifikasi hambatan pendengaran berdasarkan saat terjadinya hambatan
pendengaran yang dikaitkan dengan taraf penguasaan bahasa seseorang, yaitu:
a. Hambatan pendengara pra-bahasa, merupakan kondisi seorang individu yang
mengalami hambatan pendengaran sebelum dikuasainya suatu bahasa (dibawah
satu setengah tahun), artinya anak baru menggunakan tanda atau sinyal tertentu
seperti mengamati, menunjuk, meraih, memegang benda atau orang dan mulai
memahamai lambang yang digunakan orang lain sebagai tanda (misalnya
apabila mendengar kata “susu”, anak akan mengerti bahwa ia akan
mendapatkan makanan) namun, belum membentuk suatu sistme lambang.
b. Hambatan pendengaran purna bahasa, yaitu individu yang mengalami
hambatan pendengaran setelah menguasai suatu bahasa. Boothroyd (dalam
Bintoro dan Santoso, 2000, hlm. 7) membagi hambatan pendengaran dan
batasan terminologi sebagai berikut, yaitu:

Hambatan pendengaran/hearing impairment

(hambatan pendengaran terlepas dan penyebab dan tingkat kehilangan)

Kehilangan pendengaran/hearing loss


Gangguan proses pendengaran/ auditory
(gangguan dalam mendeteksi bunyi)
process disorder (hambatan dalam
menafsirkan pola-pola bunyi/ sound pattern)

Total Sangat berat/ Berat/ Sedang/ Ringan/


profound severe moderate mild

Tingkat kehilangan pendengaran berdasarkan pengukuran


ambang pendengaran dalam desibel

Tuli Kurang dengar

 Penggambaran berdasarkan fungi atau penggunaan pendengaran


 Tingkat kehilangan berat bisa digolongkan tuli dan kurang dengar, tergantung
pemakaian ABD)

10
Efendi (2006, hlm. 59-60) menuturkan klasifikasi anak tunarungu ditinjau
dari kepentingan pendidikannya, dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu
sebagai berikut:
a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30dB (slight losses).
b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40dB (mild losses).
c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60dB (moderate
losses).
d. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60- 5dB (servere losses).
e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 75 dB keatas (profoundly
losses)
Menurut Krik (dalam Somad, 1995, hlm. 29) klasifikasi kemampuan
mendengar terbagi tujuh, yaitu:
a. 0 dB, ditujukan untuk anak dengan kemampuan pendengaran optimal
b. 0-26 dB, ditukukan untuk anak dengan kemampuan pendengaran yang normal
c. 27-40 dB, ditujukan untuk Anak dengan Hambatan Pendengaran yang
kesulitan mendengar bunyi jauh (hambatan pendengaran ringan)
d. 41-55 dB, kemampuan pendengaran berada pada hambatan pendengaran
sedang
e. 56 -70 dB, kalsifikasi ini termasuk pada hambatan pendengaran agak berat
f. 71- 90 dB, merupakan hambatan pendengaran berat)
g. 91dB keatas, anak dapat dikatakan tuli atau hambatan pendengaran sangat
berat.

2. Jenis Hambatan Pendengaran


Terdapat batasan yang telah di kemukakan oleh para ahli tentang pengertian
hambatan pendengaran atau dalam bahasa asing ”Hearing impairment” yang
meliputi the deaf (tuli) dan Hard of Hearing (kurang dengar), diantaranya menurut
Daniel F. Hallahan dan James H. Kauffiman (dalam Somad dan Hernawati, (1995,
hlm. 26).
“Hearing impairment. A generic term indicating a hearing a hearing
disability that may range in severity from mild to profound it includes the subsets
ofdeaf and hard ofhearing.A deaf person in one whose hearing disabitity precludes
successful processing of linguistic information through audition, with or without a
hearing aid.A hard of hearing is one who generallay with use of hearing aid, has

11
residualhearing sufficient to enable successful processing of linguistic
informationthrough audition.”
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa hambatan pendengaran adalah
suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi
keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat,
digolongkan ke dalam bagian tuli dankurang dengar. Orang tuli adalah seseorang
yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi
bahasa melaluipendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu
mendengar. Ada pun seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang
biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup
memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasamelalui pendengaran.
Boothrooyd dalam Bunawan (2007, hlm. 5) mengatakan bahwa istilah
hambatan pendengaran merujuk pada segala gangguan dalam daya dengar,
terlepas dari sifat, faktor penyebab, dan tingkat/ derajat ketunarunguan. Hambatan
pendengaran dibagi atas 2 kelompok besar yaitu:
1) Kelompok yang menderita kehilangan daya dengar untuk menunjuk pada
segala gangguan dalam deteksi bunyi. Gangguan ini dinyatakan dalam besaran
berapa desibel ambang pendengaran seseorang perlu duperkuat di atas
ambangpendengaran orang yang memiliki pendengaran normal. Berdasarkan
besaran/tingkat penguatan bunyi yang diperlukan agar seseorang dapat
mendeteksibunyi, mereka dapat dibagi dalam berbagai golongan dari ringan
sampai total.
2) Kelompok yang tergolong mengalami gangguan proses pendengaran yaitu
mereka yang mengalami gangguan dalam menafsirkan bunyi, karena adanya
gangguan dalam mekanisme syaraf pendengaran.
Kombinasi kedua gangguan yaitu daya dengar dan gangguan mekanisme
syaraf pendengaran, merupakan hal umum ditemukan pada seseorang. Boothroyd
juga memberikan batasan untuk 3 istilah berdasarkan seberapa jauh seseorang
dapatmemanfaatkan pendengarannya dengan atau tanpa bantuan amplifikasi/
pengerasan oleh ABM yaitu:
a. Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan
dengar, namun masih dapat menggunakan sebagai sarana/modalitas
utamauntuk menyimak suara cakapan seseorang dan mengembangkan
kemampuanbicaranya.

12
b. Tuli (deaf) adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat
digunakansebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara,
namun masihdapat difungsikan sebagai suplemen pada penglihatan dan
perabaan.
c. Tuli total(totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak
memilikipendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimak/mempersepsikan dan mengembangkan bicara.
Marschark dan Hauser (2012, hlm. 64-65) dan Haenudin (2013, hlm. 63-65)
menuturkan bahwa penyakit, kecelakaan, atau genetika (keturunan) mengurangi
jumlah pendengaran yang dimiliki seorang anak, kerugian yang dihasilkan
biasanya dikategorikan sebagai konduktif atau sensorineural. Adam dan Rohring
(2004, hlm. 10) menyatakan hambatan pendengaran dapat terjadi jika terdapat
halangan di telinga luar sehingga menyebabkan gelombang suara tidak mencapai
daerah telinga tengah atau dalam. Hambatan pendengaran konduktif dapat terjadi
di daerah telinga bagian luar atau tengah yang melibatkan konduksi suara yang
buruk di sepanjang bagian yang mengarah ke telinga bagian dalam. Suara tidak
dilakukan secara efisien dan ditransmisikan dengan cara yang lebih lemah dan
tidak sempurna. Jenis-jenis kehilangan ini biasanya tidak separah jenis
sensorineural dan seringkali dapat ditolong dengan alat bantu dengar dan / atau
pembedahan. Dampak yang ditimbulkan dari hambatan pendengaran konduktif
mencakup penyumbatan saluran telinga dengan lilin atau cairan.
Hambatan pendengaran sesnorineural biasanya melibatkan koklea atau
hubungan dengan saraf pendengaran yang mengalir ke otak. Hambatan ini
mengurangi atau menghilangkan impuls saraf yang mewakili suara sehingga
orang dengan hambatan pendengaran pada kondisi ini tidak dapat mendengar
suaranya sendiri.
Adam dan Rohring (2004, hlm. 10) menyatakan hambatan pendengaran
sensorineural terjadi di telinga bagian dalam, yang melibatkan kerusakan sel-sel
rambut di koklea atau ujung saraf. Suara tidak terdengar, didengar dengan distorsi,
atau salah dengar. Pada beberapa tahun terakhir, dalam banyak kasus, audiolog
telah dapat mendiagnosis dissinkronisasi pendengaran, yaitu suatu kondisi di
mana gelombang suara memasuki koklea dan sel-sel rambut yang berfungsi
mengirim informasi saraf ke otak, tetapi komponen saraf menerima data dalam
mode yang tidak disinkronkan dan oleh karena itu pesannya kacau. Otoacoustic
Emission Testing adalah prosedur yang dapat digunakan untuk membantu
13
menentukan kondisi ini, menunjukkan dengan jelas gangguan proses pendengaran
dengan memisahkan komponen saraf dan sensorik (Starr, Pictin, Sininger, Hood,
& Berlin, 1996). Marschark dan Hauser (2012, hlm. 64-65) dan Haenudin (2013,
hlm. 63-65) Hambatan ini mengurangi atau menghilangkan impuls saraf yang
mewakili suara sehingga orang dengan hambatan pendengaran pada kondisi ini
tidak dapat mendengar suaranya sendiri.

C. Perkembangan anak dengan hambatan pendengaran


1. Bagi Anak Tunarungu
Menurut Mangunsong (1998) ada beberapa dampak ketunarunguan bagi anak
penderita tunarungu, yaitu:
a. Perkembangan Bahasa
Kurangnya atau tidak adanya keterampilan berbahasa akan sangat terasa pada
anak dengan gangguan pendengaran yang berat atau parah (Suppes, dalam
Mangunsong, 1998).
Lenneberg, Rebelsky dan Nichols (dalam Mangunsong, 1998) menemukan
pola vokalisasi bayi tuli dengan bayi normal tidak berbeda pada bulan pertama.
Perbedaan mulai muncul pada usia 6 bulan. Selanjutnya Lenneberg
mengemukakan bahwa apabila bahasa tidak dipelajari pada masa kritis, maka
seorang anak akan mengalami kesulitan dalam menguasai bahasa.
Sulitnya dipahami wicara anak tunarungu yang berat (profound) merupakan
hasil dari berbagai faktor, yaitu karena masalah dalam menghasilkan suara,
kualitas suara yang buruk, ketidakmampuan membedakan nada dan juga
masalah yang berkaitan dengan konten dan struktur bahasa (Oyers dan
Frankman, dalam Mangunsong, 1998). Struktur yang dipergunakan anak
tunarungu berbeda apabila dibandingkan dengan anak normal. Hal ini tampak
pada bahasa lisan maupun tulisannya.
Sedangkan menurut Soemantri (2006) perkembangan bahasa dan bicara erat
kaitannya dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman
pendengaran anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan
demikian pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa
meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual. Selanjutnya
dalam perkembangan bicara dan bahasa, anak tunarungu memerlukan
pembicaraan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf
ketunarunguannya.
14
b. Perkembangan Intelektual dan Prestasi Akademik Pembentukan konsep dan
kemampuan berpikir abstrak pada anak tunarungu pada soal-soal yang tidak
mengandalkan bahasa ternyata memiliki kesamaan dengan anak normal (Furth,
1964, 1966; Vernon, 1967; dalam Mangunsong, 1998).
Penelitian lain yang menunjukkan perbedaan cara berpikir anak tunarungu
dengan anak-anak normal dengan tugas-tugas nonverbal mengemukakan
bahwa perbedaan itu lebih disebabkan oleh kurangnya stimulus kognitif dan
penerimaan sosial-emosional dan bukan karena hambatan bahasa. Namun
demikian secara umum, kemampuan penguasaan konsep pada anak tunarungu
lebih terlambat dibandingkan anak normal (Meadow, dalam Mangunsong,
1998).
Sedangkan menurut Soemantri (2006) pada umumnya inteligensi anak
tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional
perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya,
keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak.
Pendapat Avery (1967), Birch (1975), dan Kirk (1972) dalam Mangunsong
(1998) mengatakan bahwa penguasaan bahasa dan pembentukan konsep dasar
anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh bentuk kerusakan pendengaran, usia
dimulainya, derajat kehilangan pendengaran, fungsi kognitif, ada atau tidaknya
kondisi kecacatan lain dan jumlah stimulasi yang tersedia bagi anak yang
bersangkutan.
c. Perkembangan Sosial dan Emosional
Perkembangan sosial dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh
kemampuannya untuk berkomunikasi, demikian pula pada anak tunarungu.
Oleh karenanya banyak anak tunarungu yang mengalami loneliness
(kesepian), karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain
(Charlson dkk. 1992; Loeb dan Sarigiani, 1986; dalam Mangunsong, 1998)
Sedangkan Soemantri (2006) membedakan perkembangan sosial dan
perkembangan emosional. Selain beberapa dampak ketunarunguan di atas,
Soemantri menambahkan dampak ketunarunguan yaitu terhadap:
d. Perkembangan Perilaku
Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan anak dengan
orangtua terutama ibunya. Terlebih pada awal masa perkembangannya.
Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman
pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri. Pertemuan antar factor-
15
faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuannya menerima
rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan
keterbatasan inteligensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya
menghambat perkembangan kepribadiannya.

2. Bagi Keluarga
a. Reaksi-reaksi yang timbul biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam
pola, yaitu: Timbulnya rasa bersalah atau berdosa
b. Orangtua menghadapi anaknya yang cacat dengan perasaan yang kecewa
karena tidak memenuhi harapannya
c. Orangtua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dengan anak-
anak lainnya.
d. Orangtua menerima keadaan anaknya beserta keadaannya sebagaimana
mestinya.
Sikap orangtua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan
anaknya. Sebagai reaksi dari orangtua atas sikapnya tersebut, maka :
a. Orangtua ingin menebus dosa dengan jalan mencurahkan kasih sayangnya
secara berlebihan kepada anaknya
b. Orangtua biasanya menolak kehadiran anaknya
c. Orangtua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah
d. Orangtua bersikap realistis terhadap anaknya
3. Bagi Masyarakat
Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tunarungu tidak dapat
berbuat apapun. Pandangan yang semacam ini sangat merugikan anak tunarungu.
Karena adanya pandangan ini biasanya dapat dilihat sulitnya anak tunarungu
memperoleh lapangan pekerjaan. Disamping pandangan karena
ketidakmampuannya, anak tunarungu juga sulit untuk bersaing dengan anak
normal.
4. Bagi Penyelenggara Pendidikan Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak
tunarungu tidaklah dapat dikatakan kurang, karena terbukti bahwa anak tunarungu
telah banyak mengikuti pendidikan, sepanjang lembaga pendidikan itu dapat
dijangkaunya. Persoalan baru yang perlu mendapat perhatian jika anak tunarungu
tetap saja harus sekolah pada sekolah khusus adalah jika anak-anak tunarungu itu
tempat tinggalnya jauh dari sekolah luar biasa (SLB), maka tentu saja mereka
tidak akan dapat bersekolah. Usaha lain muncul dengan didirikannya asrama di
16
samping sekolah khusus tersebut. Namun usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai
satu-satunya cara untuk menyekolahkan mereka.
Usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu dapat
bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah
normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu
mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.

D. Istilah-istilah yang berkaitan dengan hambatan pendengaran

Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan atau


ketidakmampuan dalam hal pendengaran, mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang
berat sekali yang diklasifikasikan ke dalam tuli (deaf) dan kurang dengar (Hard of
hearing). Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (lebih
dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan
memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Hallahan & Kauffman (2006),
mengemukakan bahwa orang yang tuli (a deaf person) adalah orang yang mengalami
ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses
informasi bahasa melalui pendengarannya dengan atau tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aid). Ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
antara lain : tunarungu ringan (Mild Hearing Loss), tunarungu sedang (Moderate
Hearing Loss), tunarungu agak berat (Moderately Severe Hearing Loss), tunarungu
berat (Severe Hearing Loss), tunarungu berat sekali (Profound Hearing Loss).
2. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
ketunarunguan prabahasa (Prelingual Deafness) dan ketunarunguan pasca bahasa (Post
Lingual Deafness)
3.Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat
diklasifikasikan antara lain: tunarungu tipe konduktif (kerusakan/gangguan yang terjadi
pada telinga luar, tengah, dan dalam), tunarungu tipe sensorineural (kerusakan yang
terjadi pada syaraf pendengaran)
4.Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan menjadi
tunarungu endogen dan tunarungu eksogen.

17
Istilah Tunarungu Dari Beberapa Sumber Buku :
1. Menurut Winarsih (2007), tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan
kurang dengar.
2. Menurut Suharmini (2009), tunarungu adalah keadaan dari seorang individu yang
mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.
3. Menurut Sutjihati (2006), tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya.
4. Menurut Somad dan Hernawati (1995), tunarungu adalah seseorang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya
yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran,
sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-
hari yang membawa dampak terhadap kehidupananya secara kompleks.

18
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. hambatan pendengaran merupakan sebutan yang merujuk pada segala klasifikasi taraf
hambatan pendengaran baik dari yang ringan hingga sangat berat. Isitlah ini sering
digunakan dalam dunia pendidikan untuk mempelajari hakikat yang berkaitan dengan
hambatan pendengaran beserta klasifikasinya. Sudut pandang pendidikan memandang
individu berkebutuhan khusus tidak berdasarkan hambatan yang dimiliki, setiap
penggunaan istialh hambatan selalu diawalai dengan kata “anak”, “individu”, atau pun
“orang”, sebagai contoh adalah anak dengan hambatan pengelihatan, dan individu atau
orang dengan hambatan fisik. Mereka yang mengalami hambatan pengelihatan,
pendengaran, fisik atau pun hambatan lainnya merupakan ciptaan tuhan yang hanya
mengalami kondisi berbeda dan harus tetap dipandang sebagai “seseorang” atau pun
“orang-orang” dan merupakan bagian dari masyarakat.
2. Hambatan pendengaran sesnorineural biasanya melibatkan koklea atau hubungan
dengan saraf pendengaran yang mengalir ke otak. Hambatan ini mengurangi atau
menghilangkan impuls saraf yang mewakili suara sehingga orang dengan hambatan
pendengaran pada kondisi ini tidak dapat mendengar suaranya sendiri.
3. Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan atau
ketidakmampuan dalam hal pendengaran, mulai dari tingkatan yang ringan sampai
yang berat sekali yang diklasifikasikan ke dalam tuli (deaf) dan kurang dengar (Hard
of hearing). Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran
(lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa
melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain
baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurachman. 2000. Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Depdikbud.


2. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
3. Astuti, Endang Puji. 2010. “Metode Maternal Reflektif untuk Meningkatkan
Kemampuan Berbicara Anak Tunarungu Kelas III SLB-B Widya Bhakti Semarang”
(Skripsi S-1 Progdi PLB). Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret.
4. Azbar, Ahmad. 2009. “Meningkatkan Minat Bicara Pada Siswa Tunarungu Wicara
Kelas V melalui kegiatan Bermain Bersama Di SLBB Negeri Kebakalan
Banjarnegara” (Skripsi S-1 Progdi PLB). Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret.
5. Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan No. IV Th. V. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
6. Winarsih, Murni. 2007. Intervensi Dini bagi Anak Tunarungu dalaam Pemerolehan
Bahasa. Jakarta: Depdiknas.

20

Anda mungkin juga menyukai