Anda di halaman 1dari 18

Makalah Filsafat

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IMPLIKASI DALAM


PEMBELAJARAN SEKOLAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat

Dosen Pengampuh: Yolpin Durahim S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 6

 Zainun Yunus
 Miftahul Janna
 Melisya A. Putri kobidon
 Saida Masalubu
 Berlian Sataruno

Kelas D/Semester 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan taufiq dan rahmat-Nya, Saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Filsafat
Pendidikan Matematika dan Implikasi dalam Pembelajaran Sekolah”. Semoga hal ini dapat
berguna bagi kami sebagai mahasiswa dan juga rekan-rekan semua, terutama untuk menambah
khazanah keilmuan serta wawasan dalam bidang pendidikan. Terlepas dari itu semua, dengan
segala kemampuan dan usaha yang dilakukan, kami telah berupaya agar makalah ini dapat
mudah dipahami terutama oleh kami sekelompok dan para mahasiswa. Oleh karena itu jika
terdapat kekurangan dalam penyusunan dan materi dalam makalah ini itu semata-mata karena
kekurangan yang ada pada diri kami, karena kita ketahui bahwa manusia tidak terlepas dari
kekurangan.

Dan tentunya kami pun berharap masukan dan saran yang bermanfaat dan berguna untuk
meningkatkan nilai keilmuan dan wawasan kami dalam dinul Islam yang mulia ini. Dengan
segala harapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Atas segala perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Gorontalo, Maret 2021

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................................2

Daftar Isi......................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................5

C. Tujuan ....................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................6

1. Pengertian Filsafat...................................................................................................................6

2. Hakikat Ilmu Matematika .......................................................................................................7

3. Filsafat Matematika.................................................................................................................8

4. Filsafat Pendidikan..................................................................................................................12

5. Filsafat Pendidikan Matematika..............................................................................................13

6. implikasi kontruksi Dalam Proses Belajar...............................................................................14

BAB III PENUTUP....................................................................................................................17

Kesimpulan .................................................................................................................................17

Saran............................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita akan menjelaskan dan mengkritik perspektif epistemologis yang dominan dalam
matematika.Yaitu, pandangan absolut bahwa kebenaran matematika adalah mutlak, bahwa
matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang tidak diragukan lagi dan obyektif. Hal
ini bertantangan dengan pandangan fallibilist bahwa kebenaran matematika adalah tidak
mutlak, dan tidak pernah bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu adanya revisi dan
koreksi. Banyak yang diperoleh dari perbedaan absolut-fallibilist , diantaranya adalah
perspektif filosofis yang diadopsi karena faktor epistemologis yang paling penting yang
mendasari pengajaran matematika.

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat menuntut manusia agar berfikir
secara cerdas, sehingga manusia tersebut berkembang menuju level pemikiran pengetahuan
selanjutnya. Akan tetapi, terkadang manusia tidak menyadari keterbatasan dirinya, sehingga
dia selalu berusaha memikirkan segala hal di luar jangkauan kemampuan logika dan akalnya.
Sehingga kebingungan itu tidak mengantarkan dia ke level pemikiran selanjutnya, namun
malah menjadikan dia berputar-putar di siklus tiada henti, karena manusia tersebut terkadang
dalam memikirkan suatu hal tidak berada pada koridornya, seperti kereta yang berusaha
keluar dari rel, maka otomatis kereta tersebut tergelincir dan jatuh. Untuk itulah, dalam
berfilsafat, manusia perlu adanya suatu definisi yang jelas mengenai apa yang boleh
difikirkan dan yang tidak boleh dia fikirkan, karena batas itu sudah di luar batas logikanya.

Ilmu matematika adalah ilmu yang menuntut agar manusia berfikir kritis, kreatif, mampu
melakukan abstraksi, menggunakan logikanya agar manusia tersebut mampu memecahkan
masalah. Dengan melatih kemampuan pemecahan masalah yang ada dalam matematika,
diharapkan manusia tersebut dapat 2 menerapkan matematika untuk memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menyampaikan matematika, diperlukan
suatu metode dalam hal ini pembelajaran kepada para penuntut ilmu matematika, yaitu para
siswa maupun mahasiswa. Pembelajaran adalah bagian dari dunia pendidikan, dan tidak akan
pernah terlepas dari pendidikan. Selanjutnya, dalam makalah ini, akan dikaji mengenai
filsafat pendidikan matematika.

Seorang filsuf besar dari Yunani kuno setelah Zeno menegaskan hubungan yang amat
erat antara matematika dan filsafat adalah Plato. Ia menegaskan bahwa geometri sebagai
pengetahuan ilmiah yang berdasarkan akal murni menjadi kunci ke arah pengetahuan dan
kebenaran kebenaran filsafat. Menurut Plato, geometri merupakan suatu ilmu dengan akal

4
murni membuktikan proporsi-proporsi abstrak mengenai hal-hal abstrak seperti garis lurus,
segitiga atau lingkaran.

Filosofi matematika yang berbeda menghasilkan produk yang sangat berbeda dalam hal
praktek pendidikannya. Namun hubungannya tidak langsung, dan penyelidikan atas filosofi
yang mendukung pengajaran matematika dan kurikulum matematika membuat kita juga
harus mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok-kelompok sosial yang
mentaatinya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian filsafat?


2. Apa hakikat ilmu matematika?
3. Apa itu filsafat matematika?
4. Apa itu filsafat pendidikan?
5. Bagaimana filsafat pendidikan matematika?
6. Bagaimana implikasi kontruksi dalam proses belajar?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Filsafat


2. Mengetahui hakikat ilmu matematika
3. Mengetahui filsafat Matematika
4. Mengetahui FilsafatPendidikan
5. Mengetahui Filsafat pendidikan matematika
6. Mengetahui implikasi kontruksi dalam proses belajar

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat
Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’. Kata philosophia
merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat atau
kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan
demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Plato dan Socrates
dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cinta pengetahuan.
Dalam membangun tradisi filsafat, banyak orang mengajukan pertanyaan yang
sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar
belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Secara
Terminologi, Filsafat mempunyai banyak sekali definisi tergantung dari siapa yang
mendefinisikannya, bahkan setiap orang memiliki definisi tersendiri mengenai filsafat.
Dalam hal ini, akan dijelaskan beberapa definisi dari beberapa para filsuf merumuskan
pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya.
Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat
mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles
berpendapat kalau filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang
terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik,
dan estetika. Lain halnya dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
1. Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan untuk meraih kebenaran
yang asli dan murni. Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang
sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
2. Aristoteles (murid Plato) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
selalu berusaha mencari prinsip-prinsip dan penyebabpenyebab dari realitas yang ada.
Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah 4 ilmu pengetahuan yang berupaya
mempelajari “ada dan tampilan” dan “ada dan realita”.
3. Cicero filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ (the mother of all the arts“ ia
juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan).
4. Rene Descartes, filsuf Prancis, mengatakan bahwa filsafat merupakan himpunan
yang pangkal penyelidikannya tentang Tuhan, alam, dan manusia.
5. William James, filsuf Amerika, tokoh pragmatisme dan pluralisme, mengatakan
bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebatnya untuk berpikir yang jelas
dan terang.

Ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat ialah: ketakjuban,
ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Kata ketakjuban/keheranan/ kekaguman
mengandung arti ada subjek (yang kagum) dan ada objek (yang dikagumi). Yang kagum

6
adalah manusia, dan yang dikagumi adalah segala sesuatu yang ada dan yang dapat
diamati. Pada awalnya segala sesuatu dijelaskan melalui mitos-mitos (takhayul-takhayul).
Hal ini mengakibatkan keraguan manusia dan merangsang untuk ingin tahu dengan
akalnya. Keraguan merangsang timbulnya pertanyaan, dan terus bertanya, yang kemudian
menggiring manusia berfilsafat. Sifat Dasar Filsafat adalah Berpikir Radikal (sampai ke
akar-akarnya); Mencari Asas (esensi realita); Memburu Kebenaran; Mencari Kejelasan
(kejelasan seluruh realita); Berpikir Rasional (logis sistematis). Peranan filsafat adalah
sebagai pendobrak (mitos, kezaliman, penipuan), sebagai pembebas (membebaskan dari
segala “penjara”), dan pembimbing (untuk berpikir integral/utuh dan koheren/nyata).

Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia)
ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak menggunakan
istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literaturliteraturnya. Setelah masa
kejayaan Romawi dan Persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat
perhatian besar dari kaum muslimin di Arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat
kemudian mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Arab, yang
memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional.

2. Hakikat Ilmu Matematika


Secara tradisional, matematika telah dipandang sebagai paradigma pengetahuan
tertentu. Euclid mendirikan struktur logika yang luar biasa hampir 2.500 tahun lalu, yang
sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai paradigma untuk mendirikan
kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan unsur-unsur logika dalam bukunya
Principia, dan Spinoza juga menggunakannya dalam bukunya Ethics, untuk memperkuat
klaim mereka menjelaskan kebenaran secara sistematis. Matematika telah lama dianggap
sebagai sumber pengetahuan tertentu yang paling dikenal umat manusia.
Sebelum menanyakan hakikat dari ilmu matematika, pertama-tama perlu
mempertimbangkan hakikat ilmu pengetahuan pada umumnya. Jadi kita mulai dengan
pertanyaan, apa itu ilmu pengetahuan? pertanyaan tentang apa itu ilmu pengetahuan
merupakan jantung filsafat, dan pengetahuan matematika memainkan peran khusus.
Jawaban filosofis standar untuk pertanyaan ini adalah bahwa pengetahuan adalah
kepercayaan yang dibenarkan. Lebih tepatnya, bahwa pengetahuan proposisional terdiri
dari proposisi yang diterima (yaitu, dipercaya), asalkan ada dasar yang memadai untuk
menegaskannya (Sheffler,; 1965; Chisholm, 1966; Woozley, 1949).
Pengetahuan diklasifikasikan berdasarkan pada pernyataan tersebut. Pengetahuan
apriori terdiri dari proposisi hanya berdasarkan alasan saja, tanpa pengamatan dari dunia.
Alasannya terdiri dari penggunaan logika deduktif dan makna istilah, biasanya dapat
ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau pengetahuan posteriori terdiri dari
proposisi yang menjelaskan berdasarkan pengalaman, yaitu, dengan pengamatan dunia
(Woozley, 1949).

7
Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan priori, karena
terdiri dari proposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Alasannya, termasuk logika
deduktif dan yang digunakan sebagai definisi, hubungannya dengan aksioma matematika
atau postulat, adalah sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan dasar matematika yaitu dasar
untuk menyatakan kebenaran proposisi matematika, yang terdiri dari bukti deduktif.
Bukti dari proposisi matematika adalah proposisi terbatas yang memenuhi syarat
cukup. Setiap pernyataan adalah aksioma yang berdasarkan seperangkat aksioma
sebelumnya, atau diperoleh dengan aturan penarikan kesimpulan dari satu atau lebih
pernyataan yang telah ada sebelumnya. Istilah ‘aksioma’ dipahami secara luas, yang
merupakan pernyataan yang diakui menjadi bukti tanpa demonstrasi. Selain aksioma
yaitu dalil-dalil dan definisi.
3. Filsafat Matematika
Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang berujuan untuk merenungkan dan
menjelaskan sifat dari matematika. Pendekatan secara luas diadopsi oleh epistemologi,
adalah untuk menganggap bahwa pengetahuan dalam bidang apapun diwakili oleh satu
set proposisi, bersamasama dengan prosedur untuk memverifikasi atau memberikan
pembenaran pada suatu pernyataan. Ketika pembuktian matematika didasarkan pada
penarikan kesimpulan saja tanpa dengan data empiris, maka pengetahuan matematika
dipahami sebagai pengetahuan yang paling diyakini. Secara tradisional, filsafat
matematika bertujuan untuk memberikan dasar kepastian pengetahuan matematika.
Yaitu, menyediakan sistem di mana pengetahuan matematika dapat dibuang secara
sistematis dalam membangun kebenarannya. Hal ini tergantung pada asumsi yang 7
diadopsi, yaitu secara implisit atau eksplisit.
Peran filsafat matematika adalah untuk memberikan landasan yang sistematis dan
absolut untuk pengetahuan matematika, yaitu dalam nilai kebenaran matematika. Asumsi
ini adalah dasar dari foundationism, doktrin bahwa fungsi filsafat matematika adalah
untuk memberikan dasar-dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. Pandangan
Foundationism terhadap pengetahuan matematika terikat dengan pandangan absolutist,
yaitu menganggap bahwa kebenaran matematika adalah mutlak. Berikut beberapa
pandangan hakikat matematika secara filosofis menurut menurut filsuf atau
matematikawan :
 Plato, Bagi Plato yang penting, bahkan yang terpenting, adalah tugas akal budi
untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan yang sebenar-
benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan oleh para ilmuwan dan filsuf,
tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Lebih khusus, para penjabat
pemerintahan, yang harus mencari sarangnya di dunia tampilan dan harus
memahami permasalahan senyatanya. Apa yang dapat dilakukan, dan yang
seharusnya dilakukan, agar menjadi pemimpin, praktis atau teoretis, di dunia
tampilan, yang selalu berubah, Anda harus tahu realita, yang tidak pernah

8
berubah. Hanya dengan begitulah, kita dapat memahami dan mengatur dunia
tampilan di sekitar kita. Derivatif dari bidang filsafat umum yang tinggi dan
kering ini ke filsafat Plato tentang matematika terapan dan murni, yakni,
perbedaan antara tampilan dan realita menjadi lebih jelas. Plato melihat bahwa
orang biasanya membedakan antara apa yang tampak dan apa yang realitanya
tanpa keraguan. Pertimbangan mereka semacam kriteria yang kurang jelas. Maka
Anda memerlukan objek real yang keberadaannya kira kira bebas dari persepsi
Anda dan cara bagaimana Anda menangkapnya. Karena itu objek harus memiliki
suatu derajat permanen. Kemudian dapat didefinisikan dengan derajat ketepatan
tertentu, dan sebagainya. Realitas entitas absolut ini disebut "dunia ide" atau
“bangun ide”, menjadi permanen, abadi, dan bebas dari persepsi. Dunia ide bukan
hanya model ideal dari objek fisik saja akan tetapi juga termasuk kejadian-
kejadian. Menurut Plato, ketetapan, abadi atau permanen, bebas untuk dipahami
haruslah merupakan 8 karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Dan
pandangannya bahwa bilangan-bilangan, entitas geometri dan relasi antara
entitas-entitas itu objektif, atau paling tidak saling terkait, eksistensinya masuk
akal. Plato yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari
pikir seperti yang Anda sebut “satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu, Bangun
Aritmetika. Hal yang sama untuk objek-objek “titik”, “garis”, “lingkaran” dan
sebagainya, yakni, bangun geometri. Jadi terdapat dunia ide, permanen, tertentu,
yang berlainan dengan dunia cita rasa. Dunia ide dipahami tidak dengan cita rasa,
tetapi dengan nalar. Bangun aritmetika dan bangun geometri telah menjadi isi
bidang studi matematika. Bagi Plato, matematika murni (pada masanya adalah
aritmetika dan geometri Euclid) mendeskripsikan bangun matematis dan realisasi
di antara mereka. Matematika terapan melukiskan objek-objek empiris beserta
relasi-relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek
tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya.
 Aristoteles, Filsafat matematika Aristoteles sebagian dikembangkan dari
oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian lagi bebas dari ajaran Plato. Ia
menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita kebenaran,
dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya sebagai pendekatan
(aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau esensi sebarang objek
empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya, seperti halnya pada
materinya. Dalam menyatakan bahwa Anda melihat piring bulat, kita harus tidak
menyimpulkan bahwa piring adalah aproksimasi bulat dari bangun lingkaran.
Aristoteles membedakan dengan tajam antara kemungkinan mengabstraksi
bulatan dengan karakteristik matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan
keberadaannya dari karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia
sering kali menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti
memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan. Bidang studi matematika

9
adalah hasil abstraksi matematis yang ia sebut “objek matematis”. Pandangan
Aristoteles tentang hubungan matematika murni dan terapan juga menjadi agak
jelas. Pernyataan-pernyataan dalam matematika terapan harus mendekati
pernyataan-pernyataan dalam matematika murni. Aristoteles juga banyak
mencurahkan perhatiannya pada struktur keseluruhan teori dalam matematika. Ia
membedakan dengan jelas antara: (i) prinsip-prinsip yang berlaku bagi semua
sains (dalam bahasa sekarang prinsip-prinsip logika formal yang diduga berlaku
dalam pengembangan formulasi dan deduksi sebarang sains), (ii) prinsip khusus
yang dianggap benar oleh matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-
teori, (iii) definisi-definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan
itu ada, dan (iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang
didefinisikan itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni tidak
diperlukan.
 Gottfried Wilhelm Leibniz adalah matematikawan, filsuf, dan fisikawan. Ia
banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir adalah sejajar
dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat
direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih
radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel
dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-
contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi). Dalam bukunya
Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan
sinopsis filsafatnya sebagai berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran,
yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran
adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah
kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu,
alasannya dapat dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide
kebenaran yang lebih sederhana, sampai Anda tiba di sini tempat yang Anda ...
Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”,
yang diambilnya untuk mengkover prinsip identitas dan prinsip tolak-tengah.
Bukan hanya tolologi trivial, tetapi semua aksioma, postulat, definisi, dan teorema
matematika, adalah kebenaran penalaran, dengan kata lain, semuanya itu adalah
proposisi identik yang sebaliknya adalah suatu pernyataan kontradiksi”.
Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam
analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek
“memuat” predikat. Hal itu harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang
berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk
kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan
(misalnya kebenaran bolpoin Anda berwarna hitam) dipandang sebagai subjek
yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Sebenarnyalah untuk menjelaskan
asersi bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz harus

10
membawa Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan
menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan.
Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam
kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses takhingga dan bahkan
mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deretan tak
berakhir, demikian pulalah kebenaran-kebetulan memerlukan analisis takhingga,
yang hanya Tuhan yang mampu menyelesaikannya. Konsepsi Leibniz tentang
bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan
Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan
bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil
abstraksi objek-objek atau sebarang jenis obyek. Proposisi-proposisi itu benar
karena penolakannya menjadi tak mungkin secara logis. Anda boleh mengatakan
bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian
yang mungkin, atau menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang
mungkin.
 Kant, Sistem filsafat Kant dikembangkan di bawah pengaruh filsafat rasionalis
yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat empiris yang diwakili oleh Hume, dan
dengan kesadarannya berlawanan dengan keduanya Hume dan Leibniz membagi
semua proposisi ke dalam kelas yang eksklusif, yakni, proposisi analisis dan
faktual. Kedua filsuf memandang proposisi matematis 11 sebagai analisis.
Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat berbeda dalam hal proposisi faktual.
Hume tidak bicara banyak tentang matematika murni. Dengan demikian polemik
Kant ditujukan kepada Leibniz.
Kant membagi proposisi ke dalam 3 kelas. Pertama proposisi analisis,
seperti Leibniz (yakni, proposisi yang negasinya kontradiksi). Proposisi non-
analisis disebutnya proposisi sintesis. Kant membedakannya menjadi dua kelas,
yakni, yang empiris atau apostteori, dan yang non-empiris atau apriori. Proposisi
sintesis apostteori bergantung pada persepsi indera. Dalam sebarang proposisi
apriori, jika benar, harus melukiskan persepsi indera yang mungkin (bolpoin saya
hitam), atau secara logis berimplikasi pendeskripsian persepsi indera (semua
burung gagak adalah hitam). Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung
pada persepsi indrawi. Proposisi-proposisi demikian perlu dalam arti bahwa
sebarang proposisi di dunia fisis, mereka ini juga harus benar. Dengan kata lain,
proposisi sintesis apriori adalah syarat perlu bagi kemungkinan pengalaman
objektif. Jadi, Kant membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas:
“intuitif”, dan “diskursif”. Intuitif terutama berkaitan dengan struktur persepsi dan
justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan fungsi dari pengertian umum.
Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori adalah prinsip sebab-akibat.
Semua proposisi matematika murni adalah masuk dalam kelas proposisi sintetis
apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada matematika murni yang

11
menjadikan persoalan definisi dan entitas terpostulatkan berada di bawahnya.
Baginya, matematika murni bukanlah analisis, ia sintetis apriori, sebab ia terkait
(mendeskripsikan) ruang dan waktu. Jawaban Kant terhadap persoalan sifat
matematika murni dan terapan dapat secara kasar dirumuskan sebagai berikut.
Proposisi dalam aritmetika dan geometri murni adalah proposisi yang perlu,
meskipun proposisi-proposisi itu sintetis apriori, bukan analisis. Sintetis, sebab
proposisi-proposisi itu tentang struktur ruang dan waktu terlihat oleh apa yang
dapat di konstruksi di dalamnya. Dan apriori sebab ruang dan waktu adalah
kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang persepsi objek fisik. Proposisi-
proposisi dalam matematika terapan, adalah apostteori sepanjang 12 proposisi-
proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-
proposisi itu mengenai ruang dan waktu. Matematika murni memiliki isi untuk
dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dan bebas dari materi empiris.
Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu
dengan materi yang mengisinya.
4. Filsafat Pendidikan
Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah
pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat
pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang
berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan..
Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk,
metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu
pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-
ide, dan metode-metode ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang
dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Augustinus, dan Locke, adalah filsafat
tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat yang mereka anut.
Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh
pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah
pendidikan, sosiologi pendidikan, dan psikologi pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat
yang begitu mempengaruhi filsafat pendidikan. Beberapa di antaranya diuraikan di
bawah ini.
 Filsafat analitik. Filsafat pendidikan analitik tidak mengetengahkan dan tidak
membahas proposisi-proposisi substantif atau pun persoalan-persoalan faktual dan
normatif tentang pendidikan. Filsafat ini menganalisis dan menguraikan istilah-
istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan
(ability), pendidikan (education), dan sebagainya. Filsafat ini mengecam dan
sekaligus mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan seperti “ajarlah anak, bukan
pelajaran” (teach children, not subject matter). Alat-alat yang digunakan oleh
filsafat pendidikan analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan

12
linguistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda-beda dari filsuf yang satu
dengan filsuf yang lain.
 Progressivisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan bukanlah sekedar
mentransfer pengetahuan kepada anak-anak, melainkan melatih kemampuan dan
keterampilan berpikir dengan cara memberi rangsangan 18 yang tepat. John
Dewey (tokoh pragmatisme), termasuk dalam golongan progressivisme. Ia
mengatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah
proses kehidupan, bukan mempersiapkan anak untuk masa depan. Pendidikan
adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak-anak harus
diutamakan, bukan berorientasi mata pelajaran (subjeck matter oriented).
 Eksistensialisme. Filsafat ini menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama
pendidikan bukan agar anak didik dibantu bagaimana menanggulangi masalah-
masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh
eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan
bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh si anak
didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan
alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem
indoktrinasi.
 Rekonstruksionisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan merupakan
reformasi sosial yang menghendaki “renaissance sivilisasi modern”. Para
pendidik rekonstruksialis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu
sesungguhnya adalah sama. Mereka memandang kurikulum sebagai
problemcentered. Pendidikan pun harus berani menjawab pertanyaan George S.
Cout: “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?”
5. Filsafat Pendidikan Matemaika
Ada yang mempermasalahkan istilah “pendidikan matematika” dan “matematika
pendidikan”. Kita tidak akan mempermasalahkan mana yang lebih benar. Filsafat
pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang matematika.
Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang
sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang
akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-
sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari
pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”.
Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan
masalahmasalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar
matematika, teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar
matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan kurikulum
matematika di kelas. Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan
dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak
diikuti.

13
Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru “belajar
matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu membentuk pengertian”.
Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau
merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian.
Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara
pasif dari gurunya.
Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson, 1986, mendapati
bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses
aktif dan konstruktif”. Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah
pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Di
Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983,
disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160 makalah, dan
konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah. Ini menunjukkan
bahwa konstruktivisme sedang naik daun.

FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
Gagasan konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von
Glaserfeld dan Kitchener, 1987). 1. Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2. Subjek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi
membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam 1.36 Hakikat dan Sejarah
Matematika  berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dan disebut konsep
itu jalan. Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan:
(1) kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, (2) kemampuan
membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan (3)
kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman yang
lain.
6. IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME DALAM PROSES BELAJAR
Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik dari
teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses
mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari dengan
pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya berkembang. Cirinya
adalah sebagai berikut:
1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang
dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian
yang sudah dimilikinya.
2) Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan
dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi.
3) Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri,
perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa.
14
4) Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam
keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut.
5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam
sekitarnya.
6) Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep,
tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

PERAN SISWA

Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa


membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang
dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru
dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang
bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992).

MAKNA MENGAJAR

Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer)


pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan
siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap
kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri
(Bettencount, 1989).

Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik
terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara
berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk
menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam
menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang
salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan
pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara
benar dengan membiarkannya berpikir sendiri.

FUNGSI DAN PERAN GURU

Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan


fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar.
Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut.

1) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung


jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah).

15
2) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang
mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung
proses belajar.
3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau
tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk
menghadapipersoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi
kesimpulan siswa.

16
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’. Kata philosophia
merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat atau
kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan
demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Plato dan Socrates
dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cinta pengetahuan.
Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang berujuan untuk merenungkan dan
menjelaskan sifat dari matematika. Peran filsafat matematika adalah untuk memberikan
landasan yang sistematis dan absolut untuk pengetahuan matematika, yaitu dalam nilai
kebenaran matematika. Asumsi ini adalah dasar dari foundationism, doktrin bahwa fungsi
filsafat matematika adalah untuk memberikan dasar-dasar tertentu untuk pengetahuan
matematika.
Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang
matematika. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-
aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan
mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya
bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang
mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas”.
Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan
masalahmasalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar
matematika, teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar
matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan kurikulum
matematika di kelas.
2. Saran
Demikian yang dapat kami peparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena keterbatasan pengetahuan kami. Kami berharap para pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada kami demi kesempuraan makalah ini dan
penulisan makalah dikesempatan-kesempatan berikutnya.

17
Daftar Pustaka

http://repository.ut.ac.id/4690/2/PEMA4101-M1.pdf

https://www.academia.edu/32937145/FILSAFAT_PENDIDIKAN_MATEMATIKA

18

Anda mungkin juga menyukai