Dosen Pengampu:
Dr. Yarmis Syukur, M. Pd., Kons.
Dr. Dina Sukma, S.Psi., S.Pd., M.Pd.
Oleh
Kelompok 5:
Lusi Ramadhani 22151019
Suci Amaliya Fradinata 22151035
Ummi Kalsum Hasibuan 22151039
Feni Listari 23151032
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep dan Prinsip High Touch dalam Pendidikan ................................ 2
B. Praktek High Touch dalam Pendidikan.................................................... 4
C. Analisis Pelaksanaan di Sekolah (dengan Menggunakan BMB3) ........... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 12
B. Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses pembelajaran, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman
pendidik tentang peserta didiknya. Hal ini dikarenakan pandangan pendidik terhadap
peserta didik tersebut akan mendasari pola pikir dan perlakuan yang diberikan kepada
peserta didiknya. Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks, sebab dalam
setiap pembelajaran peserta didik tidak sekedar menyerap informasi dari pendidik, tetapi
melibatkan potensinya, dalam melaksanakan berbagai kegiatan maupun tindakan yang
harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar yang baik, yaitu hasil belajar yang
bermakna, komprehensif, dan berguna dalam kehidupan peserta didik.
Praktek-praktek pendidikan sekarang ini yang hanya mendewasakan teknologi
yang sering menjadi pilihan tanpa menghiraukan terabaikannya aspek-aspek kewibawaan
high touch mencakup pengakuan, kasih sayang, dan kelembutan, pengarahan, penguatan,
dan keteladan yang sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian. Akibatnya, hasil
belajar lebih mengarah kepada pengembangan aspek kognitif dan mengesampaikan
aspek afektif, terutama terkait dengan moral dan aklaqul-karimah sehingga terbentuklah
pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan intelektual, tetapi miskin kecerdasan
emosional dan gersang dari sentuhan spriritual.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana maksud konsep dan prinsip high touch dalam pendidikan ?
2. Bagaimana maksud praktek high touch dalam pendidikan ?
3. Bagaimana maksud analisis pelaksanaan di sekolah Menggunakan BMB3 ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud konsep dan prinsip high touch dalam pendidikan.
2. Untuk mengetahui maksud praktek high touch dalam pendidikan.
3. Untuk mengetahui maksud analisis pelaksanaan di sekolah Menggunakan BMB3.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep dan Prinsip High Touch dalam Pendidikan
Kewibawaan merupakan perangkat hubungan antar-personal yang
mcmpertautkan peserta didik dengan pendidik dalam situasi pendidikan.
Melalui kcwibawaan, hubungan antara keduanya (peserta didik dan pendidik)
merupakan relasi sosial yang mewarnai keunikan situasi pendidikan secara
mendasar. Dengan kewibawaan pendidik memasuki pribadi peserta didik, dan
peserta didik mengarahkan dirinya kepada pendidik. Disanalah
terkembangkan pengakuan, penerirnaan dan pengangkatan peserta didik oleh
pendidik di satu sisi, dan mengangkatkan pendidik oleh peserta didik pada
sisi yang lain, masing-masing menjadi subjek yang saling menghargai dan saling
memuliakan, dalam kondisi sangat berarti dan penuh makna.
Kewibawaan yang berasal dari kata wibawa atau yang disebut dengan
High-touch. Kata "touch" berasal dari bahasa Inggris yang artinya sentuhan.
Oleh sebab itu, dalam konteks pembelajaran, pengertian sentuh mengacu pada
kemampuan pendidik memberikan sentuhan-sentuhan dalam proses
pembelajaran. Sentuhan yang dimaksud yaitu seorang pendidik seperti
sebagai konselor tenaga profesional melaksanakan kode etik tertentu dalam
melandasi setiap tindakannya untuk menghadapi konseli seperti contoh
menghormati konseli atau dengan menghargai setiap perasaannya. Konselor
adalah seorang yang memiliki kualitas dan ciri-ciri pribadi tertentu yang dapat
memperlancar pekerjaannya. Melalui kewibawaan itulah bagian dari cara
konselor menghadapi konseli bukan sifatnya hanya sebagai daya tarik semata
namun menjadi kepribadiannya sebagai seorang konselor sehingganya konseli
merasa nyaman untuk mengutarakan apa yang menjadi masalah mereka kepada
konselor.
2
Prayitno (2018) dalam interaksi antara pendidik dan peserta didik,
pendidik mengembangkan hubungan antar personal dengan peserta didik
melalui praktik kewibawaan oleh pendidik yang meliputi unsur-unsur:
3
Pilar ini sangat tepat diletakkan pada dan menjiwai unsur pilar
kewibawaan untuk menjangkau kedirian peserta didik dalam proses
pembelajaran, Dalam kaitan ini, untuk kewibawaan yang tinggi (dapat
digunakan istilah high touch, yang artinya sentuhan tingkat tinggi), dengan
makna bahwa melalui kewibawaannya pendidik memberikan Sentuhan
terhadap diri Peserta didik dengan cara yang menyejukkan dan peserta didik
menerimanya dengan rasa nyaman dan bersemangat. Dengan demikian
kewibawaan membangun hubungan antar personal yang aman, nyaman,
memberikan Semangat, dinamis dan memperkembangkan.
Kehidupan bangsa Indonesia kearifan-kearifan budaya nasional dapat
diangkat mejadi kaidah-kaidah penting dalam teori, praksis dan praktik perwujudan
proses: pembelajaran. Istilah Sung Tulodo, Ing Madio Bangun Karso, Tut Wuri
Handayani yang diambil dari khasanah budaya jawa telah sejak lama di
kumandangkan oleh ki Hajar Dewantoro melalui pendidikan Taman Siswa dalam
rangka mewujudkan pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan.
4
sehingga peserta didik menerima sepenuhnya pendidik sebagai pendidiknya mereka.
H.A.R. Tilaar (2003) menyatakan bahwa guru harus menerima peserta didik menurut
pribadi masing-masing, dan dapat menghargai sifat-sifat mereka walaupun menyimpang
dari apa yang umunya dianggap baik. Guru harus menerima siswa dalam keadaan ia
menjengkelkan atau menyenangkan. Pencetusan perasaan-perasaan yang negatif harus
dipandang sebagai fase ke arah kelakuan yang positif. Dalam proses pembelajaran Guru
diharapkan dapat mewarnai proses pembelajaran dengan rasa kasih sayang dan
kelembutan yang merupakan suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan
peserta didik.
Prayitno (2009) mengemukakan bahwa dengan kasih sayang dan kelembutan
merupakan warna dan kualitas hubungan yang berawal dari pendidik kepada peserta
didik, dalam bentuk komunikasi dan sentuhan-sentuhan lainnya. Kasih sayang dan
kelembutan yang dimiliki oleh guru akan mendorong terwujudnya sikap, perlakuan dan
komunikasi terhadap peserta didik yang didasarkan atas hubungan sosio-emosional
dengan dasar hubungan love (cinta) dan carring (Perhatian, kehati-hatian dan
pemeliharaan).
Guru dapat mewujudkan kasih sayang dan kelembutan melalui berbagai bentuk.
Berkenaan dengan wujud kasih sayang dan kelembutan tersebut, Prayitno (2009)
menyatakan bahwa kasih sayang dan kelembutan dapat terwujud melalui ketulusan,
penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap peserta didik sebagai pribadi. Hal
itu semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi,
kemunafikan, atau kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung, nyata atau
terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan peserta didik dalam proses
pembelajaran.Manusia dalam hidup membutuhkan kasih sayang dari orang tua, saudara
dan teman-teman yang lain. Di samping itu ia akan merasa bahagia apabila dapat
membantu dan memberikan cinta kasih pada orang lain.
Keinginan untuk diakui sama dengan orang lain dapat meningkatkan pengetahuan
dan ketajaman berfikir peserta didik. Untuk itu diperlukan cara berpikir yang terbuka
(open minded) serta bekerja sama dengan orang lain.Peserta didik memerlukan
pengarahan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, pendidik dituntut untuk
memahami arti pentingnya pengarahan tersebut bagi peserta didik. Prayitno (2005)
mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, guru harus memiliki wawasan yang
luas berkenaan dengan pengarahan memahami serta menyikapi secara positif pentingnya
pengarahan dalam, dan pendidikan pada umumnya khususnya dalam proses
5
pembelajaran. Selain itu, guru juga dituntut untuk dapat memberikan pengarahan tanpa
mengurangi kebebasan peserta didik sebagai subjek yang otonom dan dibina untuk
menjadi pribadi yang mandiri.
Hasbullah (2019) menyatakan bahwa hari depan peserta didik banyak
tergantung kepada guru. Guru yang pandai, bijaksana dan berwibawa serta memiliki
keikhlasan dan sikap positif terhadap pekerjaannya akan dapat membimbing serta
mengarahkan peserta didik ke arah sikap positif terhadap pelajaran dan sikap positif yang
diperlukan dalam kemandirian dan hidupnya di kemudian hari. Dalam proses
pembelajaran sangat diperlukan adanya penguatan dari pendidik terhadap peserta didik.
Penguatan (reinforcement) merupakan upaya untuk mendorong diulanginya lagi
(sesering mungkin) tingkah laku yang dianggap baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan
dengan pertimbangan tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan
tepat orang yang memberikannya (Prayitno, 2009). Proses pembelajaran tidak terlepas
dari penerapan prinsip-prinsip belajar yang salah satu di antaranya adalah balikan dan
penguatan. Penguatan diperlukan bagi peserta didik agar ia dapat secara lebih baik untuk
tetap melakukan hal-hal baik yang diinginkan bersama dalam pencapaian tujuan
pendidikan (Dimyati & Mudjiono, 1999). Pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan
juga dapat dilakukan dandikembangkan guru melalui penerapan ketegasan yang
mendidik. Dalam proses pembelajaran, penaganan masalah oleh sekolah (guru) tidak
selayaknya memakai pendekatan penanganan hukum yang menghasilkan vonis bagi
peserta didik yang melakukan kesalahan, melainkan menggunakan pendekatan
pendidikan yang tetap secara tegas dan konsisten mengedepankan kepentingan peserta
didik (Prayitno, 2009)
Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan guru yang luas tentang ketegasan
yang mendidik sangat diperlukan.Tindakan tegas terhadap pelanggaran atau kesalahan
peserta didik dilaksanakan, tidak dalam bentuk hukuman dengan cara apapun juga,
melainkan dengan cara-cara pendidikan yang mendorong siswa untuk menyadari
kesalahannya dan memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau
kesalahan itu tidak terulang lagi. Oleh karena itu, hukuman sebaiknya tidak digunakan
oleh guru. Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya
diabaikan atau dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani secara proposional.
Dalam proses pembelajaran, keteladanan guru kepada peserta didik adalah merupakan
suatu hal yang urgen dalam pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan peserta didik.
Peserta didik akan cenderung meniru pendidik yang sukses.
6
Pendidik sukses adalah teladan bagi peserta didiknya, sebagai tokoh identifikasi,
sebagai fokus peserta didik menyarankan dirinya. Untuk sukses pendidik perlu
menjalankan peran yang keseluruhannya bermaksud tertuju kepada keberhasilan peserta
didik (Prayitno, 2009). Oleh karena itu, guru diharapkan dapat menampilkan perilaku
yang dapat dijadikan sebagai contoh, panutan dan teladan bagi peserta didik dalam
bertingkahlaku dalam kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.Soetjipto dan Raflis Kosasi (2016) mengemukakan bahwa guru sebagai
pendidik professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat
menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak dijadikan panutan atau teladan bagi
masyarakat sekelilingnya terutama peserta didik yang mencakup bagaimana guru
meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya dan memberikan arahan
serta dorongan kepada anak didiknya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengembangan dimensi-dimensi kemanusiaan dalam diri peserta didik dapat
dikembangkan oleh guru melalui penerapan high touch dalam proses pembelajaran yang
mencakup pengakuan, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, pengarahan, ketegasan
yang mendidik serta keteladanan.
7
terhadap peserta didik, antara lain, membentak di dapan umum, melabeli dengan gelar
yang buruk. Hasil penelitian yang dilakukan Robinson (1986) menyimpulkan bahwa
pemberian label kepada peserta didik di sekolah memiliki pengaruh yang kuat terhadap
keberhasilan atau kegagalan peserta didik. Label yang buruk akan menyebabkan peserta
didik identik dengan label yang diberikan. Sedangkan label yang baik akan
meningkatkan harapan besar bagi peserta didik untuk meraih keberhasilan.
Pendidik dituntut tanggung jawabnya untuk melaksanakan proses pembelajaran
secara professional, yaitu praktik pendidikan yang didasarkan pada kaidah-kaidah
keilmuan pendidikan. Esensi permasalahan peningkatan profesionalisme pendidikan
menurut Winarno (2005) adalah masalah akuntabilitas pendidik. Ia melontarkan sinisme
bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan oleh pendidik di sekolah tidak didasari oleh
ilmu pendidikan atau “pentip” (pendidikan-tanpa-ilmu pendidikan)
Pendidikan secara leluasa “mementip” peserta didik dalam proses pembelajaran
tanpa dasar ilmu pendidikan yang kuat atau bahkan tidak dimiliki sama sekali. Praktik
pendidikan demikian ini, tentu saja tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki
peserta didik, dan mungkin bisa merapuhkan dan bahkan mematikannya. “Pentip” dapat
menimbulkan brbagai permasalahan belajar dan permasalahan umum lainnya (Ida
Umami, 2004). Kenyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Prayitno., dkk (2005) yang
mengungkapkan banyaknya permasalahan yang dialami peserta didik terkait dengan
proses pembelajaran yang kurang efektif disebabkan pembelajaran yang kurang
mengindahkan kewibawaan tetapi terfokus pada aspek kewiyataan.
Kelas yang efektif ditunjang iklim sekolah yang memfasilitasi tugas pendidik
menjadikan semua ruang kelas sebagai effevtive classrooms. Mohd Ansyar (2005) juga
mengemukakan bahwa diperlukannya adanya perbaikan yang mendasar pada proses
pembelajaran di dalam kelas (classroom change) sesuai konsep pembelajaran yang baik.
Sehingga banyak kelas harus berfungsi sebagai basis pembelajaran dari pada sebagai
arena pembelajaran. Untuk itu diperlukannya srtategi dalam pembelajaran. Strategi
pembelajaran terdapat dua pilar pembelajaran yaitu kewibawaan dan kewiyataan
(Anidar, 2016).
1. Kewibawaan
Antara pendidik dan peserta didik dalam berinteraksi tentunya menbangun hubungan
interpersonal melalui praktik kewibawaan pendidik, diantarnya yaitu unsur-unsur :
a) Pengakuan dan penerimaan pendidik terhadap peserta didik secara tulus dan terbuka.
b) Ketulusan rasa kasih dan kesejukan sikap yang ditampilkan pendidik.
8
c) Memberikan penguatan kepada peserta didik atas hal positif yang telah dilakukan.
d) Memberikan TTM (tindakan tegas pendidik) tanpa harus/ selalu memberi hukuman
atas tindakan peserta didik yang kurang tepat.
e) Pemberian teladan dan arahan kepada peserta didik dengan persisten.
2. Kewiyataan
Dalam situasi hubungan kewibawaan social tersebut, pendidik mendirikan pilar
selanjutnya, yaitu kewiyataan yang dimunculkan oleh pendidik melalui keahliannya
tentang :
a) Menguasai materi yang diajarkan, dalam hal ini materi dalam konseling.
b) Mampu mengunakan metode pembelajaran, dalam hal ini metode konseling, beragam
jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling, melalui beragam model, pendekatan
dan teknik-tekniknya.
c) Mampu memanfaatkan media/alat bantu pembelajaran, dalam hal ini alat bantu proses
konseling.
d) Penyiapan atau pengaturan lingkungan pembelajaran, dalam hal ini tempat
dilaksankannya kegiatan konseling.
e) Penilaian hasil pembelajaran, dalam hal ini penilaian terhadap hasil pelayanan
konseling.
Lebih jauh, pilar kewibawaan dan kewiyataan dilengkapi dengan strategi
pembelajaran yang bersifat transformatif ( bukan sekedar transaksional), yang dikenakan
terhadap peserta didik. Strategi pembelajaran yang dimaksud itu diselenggarakan dengan
mengaktifkan dinamika BMB3, yaitu :
B = Berfikir
M = Merasa
B = Bersikap
B = Bertindak
B = Bertanggung jawab
Sehingga Meaningfull Learning (pembelajaran bermakna) akan terwujud melalui
dinamika BMB3 yang diaktifkan oleh pendidik. Pengaktifan BMB3 ini berlangsung
aktual dan kontestual, jelas dan terkait, kontiyu, dan konsisten sesuai dengan tingkat
kemampuan (perkembangan ) peserta didik.
Materi pembelajaran merupakan muatan proses pembelajaran. Selanjutnya
aktivitas BMB3 peserta didik bermuatan materi pembelajaran yang menjadi pokok
bahasan selama pembelajaran berlangsung. Lebih dari itu, aktivitas BMB3 dengan materi
9
pembelajaran tersebut dapat berlanjut pasca proses pembelajaran. Materi pembelajaran
pada umumnya meliputi unsure-unsur WPKNS ( wawasan, pengetahuan, keterampilan,
nilai dan sikap) dengan substansi AIPTEKSBUD ( agama, ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya ).
Sedangkan Upaya menbangun dinamika BMB3 pada konselor, idealnya memiliki
empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional (Syukur & Zahri, 2019). Berkaitan dengan
kompetensi kepribadian dan professional tentu dapat dilaksanakan melalui pilar
kewibawaan dan kewiyataan yang perlu dilakukan konselor dengan strategi kreatif agar
tidak hanya pada tataran diketahui dan dihafal namun dapat terinternalisasi dalam diri
pribadi konselor. Stategi yang dapat dilakukan konselor adalah :
a. Penghadiran Role Model
Sosok konselor professional yang mampu menginternalisasi dimensi BMB3
dalam diri pribadi ketika melakukan kegiatan konseling, dapat dihadirkan sebagai role
model. Keteladanan adalah penempilan positif dan normatif konselor yang diterima
dan ditiru oleh konseli. Dasar dari keteladanan adalah konformitas sebagai hasil
pengaruh social dari orang lain, dari yang berpola compliance, identification, sampai
internalization. ( Prayitno, 2008)
b. Pelibatan Kearifan Lokal
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan aneka ragam budaya dan
kearifan lokal. Potensi keragaman tersebut menjadi kekuatan tentang dimanfaatkanya
kearifan lokal dalam membangun dinamika BMB3 pada konselor. Pelibatan kearifan
lokal tersebut dapat berbentuk pemaknaan pepatah daerah, lagu daerah, dan aspek lain
yang mengandung filosofi luhur dan terkait dengan upaya membangun dinamika
BMB3. Misalnya , pada pepatah jawa terdapat ungkapan “ajining diri gumantung ono
ing lathi”, yang memiliki makna bahwa “ harga diri seseorang dapat dilihat dari cara
dia berbicara”. Selain itu, pepatah dari suku bugis yang berbunyi” aju maluruemi riala
parewa bola (hanya kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah)’. Makna pepatah dari
jawa dan Bugis tersebut memiliki penuh arti. Pepatah dari jawa mengindikasikan
bahwa sebagai seorang konselor harus memiliki nilai kepribadian berupa nilai
kesopanan, dalam bertutur kata kaitannya dengan bersikap dan bertindak (dalam
BMB3), konselor mampu mengucapkan perkataan yang sopan dan menyejukkan hati
bagi konseli. Sementara itu, pepatah dari bugis mengisyaratkan bahwa dalam menjadi
pemimin, hanyalah orang yang memiliki akhlak lurus atau akhlak penuh kebenaran
10
dan dapat berprilaku sesuai norma yang ada. Makna tersebut berkaitan dengan nilai
professional yaitu nilai kebenaran. Konselor yang merupakan pemimpin dalam proses
konseling, yang mengatur dan memfasilitasi kegiatan konseling sebagai kegiatan yang
membantu konseli, maka perlu memiliki nilai kebenaran dalam berfikir, merasa,
bersikap, bertindak dan bertanggung jawab terkait pengembangan dinamika BMB3.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kewibawaan yang berasal dari kata wibawa atau yang disebut dengan High-
touch. Kata "touch" berasal dari bahasa Inggris yang artinya sentuhan. Oleh sebab itu,
dalam konteks pembelajaran, pengertian sentuh mengacu pada kemampuan
pendidik memberikan sentuhan-sentuhan dalam proses pembelajaran. Sentuhan
yang dimaksud yaitu seorang pendidik seperti sebagai konselor tenaga profesional
melaksanakan kode etik tertentu dalam melandasi setiap tindakannya untuk
menghadapi konseli.
B. Saran
Semoga setelah kita mempelajari materi mengenai high touch dalam pendidikan
kita dapat memahami penjelasannya, perbedaan serta dapat menerapkan ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anidar , J. (2016) Model Pengembangan Karakter-Cerdas Mahasiswa Melalui Infusi dalam
Pembelajaran Psikologi Belajar di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN IB Padang.
Jurnal Al-Taujih:Bingkai Bimbingan dan Konseling Islam , 2(1). 13-29
Dimyati & Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
H. A.R. Tilaar. (2015). Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasbullah. (2019). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ida Umami.. (2004). Persepsi Peserta didik tentang Konsep dan Kegiatan Bimbingan dan
Konseling. Padang. Jurnal Kependidikan Volume 5, No. 2, Desember 2004.: PPS UNP.
Prayitno. (2005). Sosok Keilmuan Ilmu Pendidikan. Padang: Fakultas Ilmu Pendidikan UNP.
Prayitno. (2009). Pendidikan Dasar Teori dan Praksis I & II. Padang: UNP Press.
Prayitno. (2018). Konseling Profesional yang Berhasil Layanan dan Kegiatan Pendukung.
Depok: Rajawali Pers.
Sari, A.K., & Prayitno Y.K (2021). Pelayanan Profesional Guru Bimbingan dan Konseling
dalam Meminimalisir Kesalahpahaman Tentang Bimbingan dan konseling Di Sekolah.
Journal Of Educational And Teaching Learning (JETL), 3. (1). 36-49
Soetjipto & Raflis Kosasi. (2016). Profesi Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Syukur, Y., & Zahri, T.N. (2019). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. IRDH Book
Publisher.
Winarno Surachmad. (2005). Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan. Makalah Disampaikan
pada Seminar Internasional Pendidikan dan Pertemuan FIP-JIP.
13
SOAL PILIHAN GANDA
1. High touch disebut juga dengan
a. Kewibawaan
b. Kesetaraan
c. Kemuliaan
d. Harkat martabat
e. Kedudukan
2. Kewibawaan yang berasal dari kata wibawa yang disebut juga dengan ?
a. Thinking
b. Order
c. Ras
d. High Touch
e. High Tech
3. Dibawah ini yang tidak termasuk dalam unsur-unsur interaksi antara peserta didik,
pendidik mengembangkan hubungan antar personal dengan peserta didik melalui praktik
kewibawaan oleh pendidik ?
a. Pengakuan dan penerimaan pendidik terhadap peserta didik secara terbuka
b. Kasih sayang dan kelembutan pendidik terhadap peserta didik
c. Penguatan oleh pendidik atas hal-hal positif yang ditampilkan oleh peserta didik
d. Pengarahan dan keteladan pendidik terhadap peserta didik dalam kadar yang tulus dan
konsisten
e. Adanya rasa was-was pendidik terhadap peserta didik serta bersifat tertutup
4. Kata touch berasal dari bahasa Inggris yang artinya ?
a. Gerakan
b. Perasaan
c. Sentuhan
d. Penghargaan
e. Pengorbanan
5. Proses pembelajaran harus mampu mengembangkan segenap ?
a. Cita-cita
b. Hobi
c. Teman Sebaya
d. Orang tua
e. Potensi Peserta didik
14
ESSAY
15