Anda di halaman 1dari 38

RESPONSI KASUS

RINITIS ALERGI

Oleh:

Pembimbing :
dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. THT-KL (K), FICS

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FK UNUD-RSUP SANGLAH DENPASAR
DENPASAR
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan rahmat-Nya pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan responsi
kasus dengan judul “Rinitis Alergi” tepat pada waktunya. Tinjauan pustaka ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF
THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan paper ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbinga moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Eka Putra Setiawan, Sp. THT-KL selaku kepala Bagian/SMF THT FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. Sari Wulan Dwi Sutanegara, Sp. THT-KL (K), FICS selaku
pembimbing atas segala bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam
penyelesaian responsi kasus ini.
3. Rekan-rekan sejawat (Dokter Residen dan Dokter Muda) di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah.
4. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat di bidang ilmu
pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .......................................................................................i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
2.1 Definisi ....................................................................................................2
2.2 Klasifikasi.................................................................................................2
2.3 Anatomi ...................................................................................................3
2.3.1 Hidung............................................................................................3
2.3.2 Dasar Hidung..................................................................................3
2.3.3 Dinding Lateral Hidung.................................................................3
2.3.4 Septum Hidung...............................................................................4
2.4 Fisiologi....................................................................................................5
2.5 Etiologi ....................................................................................................6
2.6 Patofisiologi .............................................................................................6
2.7 Manifestasi Klinis.....................................................................................7
2.8 Diagnosis..................................................................................................8
2.9 Komplikasi...............................................................................................9
2.10 Terapi .....................................................................................................10
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................12
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................16
BAB V SIMPULAN ............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang


terjadi ketika terpapar alergen tertentu dan diperantarai oleh pelepasan IgE pada
pasien atopi yang sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama sebelumnya.
Pasien dengan rinitis alergi umumnya menunjukkan gejala berupa bersin-bersin,
hidung tersumbat, rinore, dan rasa gatal. Alergen dapat berupa alergen inhalan
(seperti debu dan serbuk sari bunga), ingestan (seperti susu, udang), alergen
injektan (seperti injeksi penisilin, sengat lebah), dan alergen kontaktan (seperti
perhiasan, kosmetik).1
Rinitis alergi sendiri merupakan penyakit kronis yang umum ditemui
baik pada anak-anak maupun pada dewasa. Jumlah penderita rinitis alergi di Asia
tergolong cukup tinggi dimana prevalensi rinitis alergi dapat mencapai 27%
hingga 32%. Walaupun rinitis alergi tergolong sebagai penyakit yang ringan,
rinitis alergi dapat menyebabkan obstruksi nasal dan rinore yang persisten
sehingga secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.2,3
Diagnosis dari rinitis alergi umumnya didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan yang disertai dengan penunjang
berupa pemeriksaan skin prick test atau pemeriksaan darah lengkap. Namun
hingga saat ini masih kesalahan interpretasi dapat terjadi dan penanganan yang
diberikan menjadi kurang tepat. Diagnosa dan penanganan yang kurang tepat
dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit komorbid lainnnya seperti asma,
gangguan tidur, dan bahkan otitis media pada anak-anak. Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai rinitis alergi dibutuhkan agar diagnosa rinitis alergi dapat
ditegakkan secara tepat dan cepat serta dapat memberikan tatalaksana yang tepat
untuk mencegah terjadinya komplikasi dan penyakit komorbid lainnya sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup penderitanya.3–5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskkannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulang dari alergen spesifik tersebut. Definisi
rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma)
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.3,6

2.2 Klasifikasi
Rinitis alergi dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat berlangsungnya,
durasi/ frekuensi gejala, dan derajat keparahan rinitis alergi. Klasifikasi rinitis
alergi berdasarkan sifat berlangsungnya menjadi:3,6
a. Rintis alergi musiman (seasonal)
Terjadi akibat paparan alergen musiman yang umumnya bergantung
pada lokasi geografik dan kondisi iklim, seperti serbuk sari bunga
(pollen) dan spora jamur.
b. Rinitis alergi yang berlangsung sepanjang tahun (perennial)
Terjadi akibat paparan alergen yang terdapat sepanjang tahun pada
lingkungan tempat tinggal pasien, seperti debu dan kutu.
c. Rinitis alergi episodik
Terjadi akibat paparan yang umumnya tidak ditemui pada lingkungan
tempat tinggal pasien seperti mengunjungi rumah dengan hewan
peliharaan.
Rinitis alergi juga dapat diklasifikasikan berdasarkan frekuensi dari
gejala menjadi:3,6
a. Rinitis alergi intermiten, apabila gejala terjadi kurang dari 4 hari/
minggu atau kurang dari 4 minggu.

2
b. Rinitis alergi persisten, apabila gejala lebih dari 4 hari/minggu atau
terjadi lebih dari 4 minggu.
Berdasarkan derajat keparahan rinitis alergi dibagi menjadi ringan dan
sedang-berat. Rinitis alergi ringan apabila tidak ditemukan gangguan tidur,
gangguan aktivitas harian, sedangkan rinitis alergi sedang-berat apabila
terdapat gangguan aktivitas sehari-hari pada satu atau lebih pada saat pasien
berolahraga, bersantai, belajar, dan bekerja.6

2.3 Anatomi
2.3.1 Hidung
Hidung merupakan bagian dari saluran nafas atas yang di dalamnya
terdapat organ penciuman. Terbagi menjadi bagian hidung eksternal dan
kavum nasi. Kavum nasi dibagi menjadi dua oleh septum nasi. Kavum nasi
terdiri dari area olfaktori dan area respirasi.7
Hidung bagian luar memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi
karena adanya variasi dari kartilago nasal. Bagian dorsum dari hidung dimulai
dari bagian superior (ramus) hingga ke bagian ujung hidung (apeks). Bagian
infeior dari permukaan hidung memiliki dua lubang pembukaan yang disebut
sebagai nares yang berhubungan dengan bagian sayap (alae) dari hidung.
Hidung bagian luar secara umum dibagi menjadi bagian tulang dan bagian
kartilago hidung.7
Bagian tulang dari hidung tersusun oleh os nasal, prosesus frontalis os
maksilaris, prosesesus nasalis os frontal, dan bagian tulang dari septum nasi.
Bagian kartilago/ tulang rawan dari hidung terdiri dari 5 kartilago utama,
yaitu 2 kartilago lateral, 2 kartilago alar, dan kartilago septum nasi (Gambar
2.1).7

3
Gambar 2.1 Hidung Bagian Luar7

Rongga hidung pada bagian anterior dibatasi oleh nares dan pada
bagian posterior dibatasi oleh koana. Bagian hidung yang berada di bawah ala
nasi disebut sebagai vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan rambut-rambut (vibrisae). Rongga
hidung dilapisi oleh mukosa nasal yang melekat erat pada periostium dan
perikondrium dari tulang dan kartilago yang menyusun hidung. Mukosa
hidung ini juga berlanjut hingga nasofaring posterior, sinus paranasal superior
dan lateral, saccus lakrimalis dan konjungtiva superior.7
Mukosa pada rongga hidung secara umum dibagi menjadi 2, yakni
2
area respirasi dan area olfaktori. Area respirasi terletak pada inferior
3
1
mukosa nasal, sedangkan area olfaktori terletak pada superior dari mukosa
3
nasal. Udara yang melewati area respiratori akan dilembabkan dan
dihangatkan. Pada area olfaktori terdapat mukosa khusus yang memiliki
organ perifer untuk fungsi penciuman yang disebut sebagai epitel olfaktori
yang kemudian membentuk nervus olfaktorius dan memasuki cribiformis dan
bergabung membentuk bulbus olfaktorius.7
Batas-batas dari kavum nasi terdiri dari atap kavum nasi, lantai kavum
nasi, dinding medial kavum nasi, dan dinding lateral kavum nasi. Bagian atap
kavum nasi dibentuk oleh lamina kribrosa, kartilago lateralis superior dan
inferior, prosesus frontalis os nasal, os maksila, korpus os etmoid, dan korpus
os sfenoid. Lantai hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan

4
prosesus horizontal palatum durum. Dinding medial yang dibentuk oleh
septum nasi. Dinding lateral yang dibentuk oleh prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigodeus
medial, serta konka hidung.7
Terdapat tiga konka yang berupa penonjolan pada dinding lateral
kavum nasi kanan dan kiri, yakni konka superior, konka media, konka
inferior yang berukuran paling besar, dan konka suprema yang berukuran
paling kecil. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara
konka dan dinding lateral terbentuk ruang sempit yang disebut sebagai
meatus. Meatus tersebut menjadi muara dari sinus paranasal dan duktus
lakrimalis. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior. Sinus
maksilaris, sinus frontalis, dan sinus etmoidalis anterior bermuara pada
meatus media. Sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoid bermuara pada
meatus superior.7
Pembuluh darah yang menyuplai dinding lateral dan dinding medial
dari kavum nasi berasal dari arteri sfenopalatine, arteri etmoidalis anterior dan
posterior, arteri palatine mayor, arteri labial superior, dan cabang nasal dari
arteri fasialis. Pada bagian depan dari septum nasi terdapat banyak pembuluh
kapiler yang berasal dari anastomosis 5 arteri yang menyuplai dinding medial
kavum nasi yang dikenal sebagai area Kiesselbach. Pembuluh vena yang
terdapat pada dinding lateral dan medial kavum nasi merupakan pleksus dari
vena sfenopalatin, vena optalmikus, dan vena fasialis.7
2
Nervus kranialis CN V2 mempersarafi bagian dari postero-inferior
3
mukosa nasal. Bagian antero-superior dari mukosa nasal dipersarafi oleh saraf
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari CN V1.7

5
Gambar 2.2 Susunan dinding, tulang, saraf, dan pembuluh darah dari hidung.7

6
2.3.2 Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan suatu rongga yang berisi udara yang merupakan
kelanjutan dari area respiratori kavum nasi. Sinus paranasal berasal dari pneumatisasi
tulang-tulang fasialis sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Fungsi sinus
paranasal adalah:7
a. Pengatur kondisi udara dimana sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk
membantu melembabkan dan menghangatkan udara yang masuk ke rongga
hidung dan rongga sinus.
b. Membantu keseimbangan kepala
c. Membantu resonansi suara
d. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Sinus paranasal teridir dari sinus frontalis, sinus etmoidalis, sinus maksilaris,
dan sinus sfenoid. Setiap sinus dinamakan sesuai dengan tulang tempat sinus tersebut
berada. Sinus maksilaris merupakan sinus yang berukuran paling besar. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sinus paranasal akan bermuara pada meatus
nasi. Apabila meatus nasi tersumbat akan menghambat pengeluaran mukus yang
diproduksi oleh mukosa sinus dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi menjadi
sinusitis.7

7
Gambar 2.3 Sinus Paranasalis7
2.4 Fisiologi
Hidung sebagai saluran nafas atas merupakan bagian dari area
konduksi dari saluran nafas. Fungsi dari hidung dan kavum nasi adalah:7
a. Penciuman atau olfaktori
b. Respirasi
c. Filtrasi udara dari partikel
d. Melembabkan udara yang masuk ke saluran nafas
e. Menerima dan mengeliminasi sekresi yang dihasilkan oleh mukosa
nasal, sinus paranasal, dan duktus nasolakrimal.
Fungsi penciuman/ penghidu dari dilakukan oleh epitel olfaktori pada
mukosa kavum nasi bagian superior yang terdiri dari 3 lapisan, yaitu sel
penunjang, sel basal, dan sel reseptor olfaktori. Molekul kimiawi yang berada
pada udara yang masuk ke rongga hidung berikatan dengan reseptor olfaktori.
Reseptor olfaktori kemudian berikatan dengan protein G olf dan menyebabkan
aktivasi enzim adenylyl cyclase. Enzim tersebut menyebabkan konversi dari
ATP menjadi cAMP. Peningkatan kadar cAMP intraselular akan
menyebabkan pembukaan kanal ion sehingga Na + dan Ca2+ masuk ke dalam
intrasel sehingga terjadi depolarisasi dari sel saraf. Impuls saraf kemudian
dilanjutkan dari sel olfaktori ke bulbus olfaktorius yang berakhir di korteks
olfaktori primer di otak untuk persepsi penciuman/ penghidu.8

2.5 Etiologi
Rinitis alergi disebabkan oleh paparan alergen dimana alergen dapat
berupa alergen inhalan, alergen ingestan, alergen injektam, dan alergen
kontaktan.3
a. Inhalan (melalui udara pernapasan) seperti debu rumah, tungau,
jamur, dan bulu hewan
b. Ingestan (melalui makanan) seperti susu, telur, kacang tanah, udang,
ikan laut
c. Injektan (melalui suntikan atau tusukan) seperti penisilin, sengatan
lebah

8
d. Kontaktan (melalui kontak kulit atau mukosa) seperti bahan kosmetik,
perhiasan

2.6 Patofisiologi
Respon hidung mengacu pada fungsi normal dari mukosa hidung terhadap
endogen atau eksogen (fisik atau kimia). Contoh responsivitas hidung adalah
bagaimana hidung menangani udara dingin. Udara dingin menginduksi
kehilangan air secara signifikan, terutama dalam keadaan hiperventilasi. Untuk
mempertahankan homeostasis, menghindari kekeringan dan kerusakan pada
mukosa, air secara terus-menerus diisi ulang melalui transfer pasif melalui ruang
paraselular epitel saluran napas hidung. Proses ini normal karena rhinorrea
dihasilkan minimal. Hiperresponsivitas nasal merupakan keadaan dimana terdapat
respon berlebihan terhadap satu atau lebih rangsangan endogen atau eksogen.
Kehilangan air dari pernapasan dalam udara dingin menyebabkan mukosa sedikit
kering, mengaktivasi saraf sensorik dan induksi sekresi kelenjar dan rhinorrhea.
Hipertonia mukosa meningkat dengan cepat, menyebabkan aktivasi sensorineural
dan aktivasi sel mast dengan pelepasan mediator. Pada awalnya, stimulusnya tidak
berlebihan, kemudian stimulus menjadi berlebihan karena kerusakan pada
homeostasis.
Rinitis alergi adalah bentuk yang paling umum dan prototipe penyakit yang
dimediasi oleh IgE. Ciri khas rinitis alergi adalah reaksi hipersensitifitas yang
dimediasi IgE. Hasil dari kaskade imunologi dan biokimia akan menghasilkan
gejala klinis pada penderita.9
2.6.1 Sensitisasi Allergen, Sintesis IgE dan Peran Sel Dendrit dan Limfosit
Alergen dalam rinitis alergi terdapat dalam protein yang berasal dari
partikel udara termasuk serbuk sari, partikel tungau debu, residu kecoa, dan bulu
hewan. Setelah menghirup partikel alergen, alergen dalam lendir hidung dan
kemudian menyebar ke jaringan hidung. Proses sensitisasi dimulai pada jaringan
nasal ketika Antigen Presenting Cell (APC), terutama sel dendrit, menelan
alergen, memecahnya menjadi peptida alergen (antigen), dan bermigrasi ke
kelenjar getah bening, dan memperkenalkan peptida ini ke sel T naive (tidak
pernah terpapar antigen). Aktivasi limfosit CD41 memerlukan interaksi reseptor

9
sel-T spesifik pada permukaan sel T dengan kompleks peptida-MHC kelas II
alergen pada APC dan ligasi reseptor ko-stimulatori CD28 pada sel T oleh B7 dari
molekul ko-stimulatori (CD80 dan CD86) pada APC. Sel T-helper naive dikenal
sebagai sel Th0, karena menghasilkan sitokin yang mencakup fenotip Th1 dan
Th2. Dalam kasus alergi, bagian Th2 memainkan peran utama dan dalam
perkembangannya sel Th2 membutuhkan stimulus IL-4. Sel dendrit membentuk
jaringan yang terlokalisasi di dalam epitel dan submukosa dari seluruh mukosa,
termasuk mukosa nasal. Jumlah sel dendrit dan sel T pada permukaan epitel nasal
meningkat dalam rinitis alergi. Sebagai contoh terdapat peningkatan jumlah
CD1a1 dan CD11c1 sel dendrit pada epitel dan lamina propria dari mukosa yang
mengelompok dengan limfosit T CD41 dan eosinofil. Selain menyajikan antigen,
sel dendrit dapat mempolarisasi sel T naive ke dalam sel Th1 atau Th2. Sebagai
contoh, sel dendrit yang dimatangkan oleh ikatan ligan IL-3 dan CD40
mempromosikan sel T menuju fenotipe Th2, sedangkan sel yang matang melalui
kontak dengan virus mempromosikan fenotip Th1. Sinyal lain yang
mempengaruhi sel dendrit dan pengaruhnya pada polarisasi Th2 dari sel T
termasuk prostaglandin E2. Regulatory T cells (Tregs), menekan respon imun
(Th2 dan Th1) melalui sekresi sitokin penghambat dan molekul permukaan sel
termasuk IL-10 dan transforming growth factor-b, sitotoksik T-lymphocyte
antigen-4 (CTLA-4), dan death program-1 (PD-1). Tregs juga dapat menghambat
sel T efektor melalui mekanisme kontak untuk menginduksi apoptosis. Selain itu
juga terdapat crosstalk Tregs dengan APC untuk menekan aktivasi sel-T. Baik
individu yang tidak alergi dan alergi mempertahankan sel T yang memproduksi
IL-4, sel T-1 yang memproduksi IL-10, dan Tregs CD251, tetapi dalam proporsi
yang berbeda. Keseimbangan antara Th2 dan populasi Treg tertentu dapat
menentukan klinis akan berkembang atau tidak. Ada bukti bahwa sel T regulator
CD251 berkurang pada pasien dengan rinitis alergi. Sebagai contoh, sel darah
perifer CD41CD251 gagal dalam menekan proliferasi sel T selama musim serbuk
sari dan ekspresi gen FoxP3 berkurang pada pasien dengan rinitis alergi. IgE
disintesis oleh limfosit B (sel B) di bawah regulasi sitokin yang berasal dari
limfosit Th2. IL-4 atau IL-13 memberikan sinyal penting pertama yang
menggerakkan sel B untuk memproduksi IgE dengan menginduksi transkripsi gen

10
e-germline. Sinyal kedua adalah interaksi ko-stimulatori antara ligan CD40 pada
permukaan sel T dan CD40 pada permukaan sel-B. Antibodi IgE yang dihasilkan
oleh sel B menempel pada reseptor tetramerik (2) afinitas tinggi (FcRI) pada
permukaan sel mast dan basofil dan akan tersensitisasi. IgE juga dapat mengikat
trimerik (2) FceRI pada permukaan berbagai sel termasuk sel dendritik, serta
reseptor IgE afinitas rendah (CD23, FcRII) yang terdapat pada makrofag dan
limfosit B. Interaksi IgE-FcRI pada sel mast dan basofil akan menginduksi reaksi
alergi tingkat seluler.10,11
2.6.2 Reaksi Alergi dan Respon Inflamasi pada Nasal
Reaksi alergi pada nasal terdiri dari fase cepat dan lambat. Fase awal
dimulai dari aktivasi akut sel efektor alergi melalui interaksi IgE dengan alergen
dan menghasilkan seluruh spektrum gejala klinis rinitis alergi. Fase lambat
ditandai dengan perekrutan dan aktivasi sel-sel inflamasi yang lebih banyak.
Dalam beberapa menit kontak alergen dengan individu yang sudah tersensitisasi
maka akan terjadi interaksi antara IgE dengan alergen, menyebabkan degranulasi
sel mast dan basofil dan pelepasan mediator seperti histamin dan triptase, dan
generasi mediator de novo lainnya, termasuk cysteinyl leukotrienes (LTC4,
LTD4, LTE4) dan prostaglandin (PGD2). Sel mast dan basofil tidak menghasilkan
mediator yang sama persis. PGD2 hampir lebih banyak dihasilkan oleh sel mast.
Target mediator yang dihasilkan bervariasi, misalnya histamin mengaktifkan
reseptor H1 pada ujung saraf sensorik dan menyebabkan bersin, pruritus, dan
refleks sekresi tetapi juga berinteraksi dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh
darah mukosa, yang menyebabkan dilatasi vaskular (hidung tersumbat) dan
kebocoran plasma. Leukotriene sulfidopeptida berinteraksi langsung pada reseptor
CysLT1 dan CysLT2 di pembuluh darah dan kelenjar menyebabkan hidung
tersumbat dan sekresi mukus. Protease (triptase) dan sitokin (tumor necrosis
factor-a) disekresikan pada tahap awal reaksi alergi ini, tetapi peran mereka dalam
pembentukan gejala akut tidak jelas. Mediator lainnya diproduksi melalui jalur
tidak langsung; misalnya, bradikinin dihasilkan ketika kininogen bocor ke
jaringan dari sirkulasi perifer dan dipecah oleh kallikrein yang diproduksi oleh
kelenjar serosa.

11
Sitokin Th2 memiliki peran sentral dalam inflamasi mukosa setelah
paparan alergen. IL-5 berperan dalam perekrutan eosinofil dan IL-4 penting dalam
perekrutan eosinofil dan basofil. IL-13, yang berasal dari basofil, sel mast, dan sel
Th2, menginduksi ekspresi beberapa kemokin yang dianggap selektif merekrut sel
Th2, yaitu TARC dan kemokin yang berasal dari monosit . IL-13 juga dapat
merekrut sel dendriti melalui induksi matriks metalloproteinase-9 dan TARC.
Gejala akan muncul segera setelah kontak antara alergen dan akan menghilang
dalam waktu 1 jam (beberapa akan menghilang dalam beberapa jam). Gejala
klinis antara fase akut dengan lambat berbeda, dimana pada fase lambat kongesti
akan lebih jelas dibandingkan bersin dan pruritus.10,12,13

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala klasik yang sering dijumpai melalui anamnesis pada pasien rinitis
alegi adalah rhinorea, bersin, obstruksi hidung dengan lakrimasi, dan gatal pada
mukosa hidung, kongjungtiva, serta orofaring. Keluhan lain yang dapat menyertai
adalah adalah lendir yang dirasakan ditenggorokan atau post nasal drip. Lendir di
tenggorokan terjadi karena berlebihnya produksi mukus oleh mukosa hidung
sehingga terakumulasi di faring bagian posterior. Berlebihnya mukus dapat
menyebabkan batuk atau tertelannya mukus.
Melalui rinoskopi anterior, pasien rinitis alergi akan menunjukan mukosa
yang berwarna merah muda – abu pucat (livid), berlendir dengan dilapisi mukus
tipis yang berkilau, serta edema.5 Pada pasien dengan gejala yang persisten, maka
dapat ditemukan hipertrofi pada mukosa inferior. Sedangkan pada anak-anak,
gejala khas yang dapat ditemukan adalah allergic shiner, allergic salute, serta
allergic crease. Allergic shiner dapat terjadi karena stasis vena sekunder dan
edema infraorbital akibat obstruksi hidung. Allergic salute merupakan keadaan
menggosok hidung dengan punggung tangan dikarenakan rasa gatal pada hidung.
Kebiasaan menggosok hidung ini kemudian dapat menyebabkan munculnya garis
melintang pada sepertiga bawah dorsum nasi yang disebut allergic crease.
Banyak kondisi lain yang berhubungan dengan rinitis alergi termasuk
asma, konjungtivitis alergi, dan dermatitis atopik. Hingga 80% anak-anak dengan
dermatitis atopik akan memiliki rinitis alergi atau asma di kemudian hari. Telah
ditemukan bahwa dermatitis atopik, juga dikenal sebagai 'eksim', adalah
12
manifestasi pertama dari penyakit atopik pada individu yang secara genetik
memiliki predisposisi.14

2.8 Diagnosis
Meskipun terdapat beberapa studi membedakan antara jenis rinitis, dengan
anamnesis secara komprehensif biasanya mengarahkan diagnosis yang benar.
Fokus terhadap gejala (durasi, paparan, reaksi, pola, dan tingkat kronisitas),
alergen, variasi musiman, lingkungan, alergi, riwayat medis (trauma, keluarga,
dan riwayat pengobatan), dan pengobatan saat ini. Onset akut satu minggu atau
kurang memiliki diferensial terbatas dan biasanya menunjukkan etiologi virus,
eksaserbasi akut rinitis alergi, atau benda asing (sering terjadi pada anak-anak jika
terdapat sekret purulen unilateral). Rinitis alergi atau pengaruh lingkungan
biasanya dicurigai apabila alergen diidentifikasi. Gejala kronis disertai dengan
variasi musiman menunjukkan rinitis alergi musiman. Gejala konstitusional
seperti sakit kepala, malaise, dan kelelahan merupakan manifestasi klinis umum.
Riwayat medis dapat membantu (Usia pasien saat onset gejala). Rinitis alergi
biasanya berkembang pada usia muda (80 % sebelum usia 20 tahun). Riwayat
keluarga juga sangat membantu, karena alergi dan asma cenderung merupakan
penyakit herediter. Keberhasilan pegobatan terdahulu dan saat ini dapat
membantu mengidentifikasi penyebab dan pengobatan langsung di masa
mendatang. Pemeriksaan fisik yang terfokus dilakukan setelah anamnesis (Tabel
1). Penyakit akut dengan infeksi virus akan menyebabkan gejala yang lebih umum
dan demam. Pasien dengan gejala alergi kronis biasanya memiliki alergi shiners
(perubahan warna biru keabu-abuan atau ungu di bawah kelopak mata bawah),
atau mereka dapat bernapas melalui mulut mereka. Konjungtivitis dapat menjadi
komponen rinitis alergi atau infeksi saluran pernapasan atas akut (ISPA).
Pemeriksaan hidung yang teliti sangat penting untuk mengidentifikasi kelainan
struktural, polip, edema mukosa, dan sekret. visualisasi dengan fiber optik
memberikan hasil evaluasi terbaik, tetapi tidak selalu tersedia. Memeriksa faring
untuk pembesaran tonsil atau postnasal drip juga dapat membantu
mengidentifikasi penyebab virus atau drainase kronis dari rinitis kronis.

13
Limfadenopati dengan gejala terkait menunjukkan penyebab virus atau bakteri
rinitis, dan wheezing atau eksim menunjukkan penyebab alergi.
Diagnosis rinitis alergi didasarkan pada anamnesis mengenai gejala alergi
dan tes diagnostik. Ketika 2 atau lebih gejala dari rhinorrhea berair, bersin,
sumbatan hidung dan pruritus hidung menetap selama ≥1 jam.14,15

Tabel 2.1. Pemeriksaan Fisik Mengarah Rinitis Alergi15


General Mulut
Pernafasan dari mulut mengarah ke Pembesaran tonsil dan sekret ke
kongesti kronis postnasal mengarah ke rinitis non-
alergi

Mata Leher
Allergi shiners (area gelap disekitar Limfadenopati mengarah ke rinitis
mata) meandakan adanya rinitis infeksi
alergi
Konjungtivitis mengarah ke rinitis
alergi

Telinga Dada
Septum yang perforasi atau berdeviasi Penyakit atopik atau alegi (asma)
dan polip merupakan penyebab mendukung diagnosis rinitis alergi
structural rinitis alergi Kulit
Secret purulent dan berdarah Alergi atau penyakit atopik (eksim)
menandakan sinusitis mendukung diagnosis rinitis alergi
Visualisasi denga fiberoptik bisa
mendeteksi penyebab struktural dari
rinitis

14
Pasien dengan rinitis

A Gejala akut (1 minggu atau kurang)

Tidak

Gejala Kronis

Tidak iya

Gejala tidak jelas Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


untuk mengekslusi sinusitis

iya
Akan di test untuk Tidak
perubahan
penatalaksanaan rinitis non-alergi rinitis alergi
Infeksi Virus

iya iya
Tidak
B Tes Alergi
Setelah manajemen
Diagnosis: virus, gejala hilang lebih
Tidak iya dari satu minggu
Eksaserbasi akut
rinitis non-alergi Rinitis Alergi rinitis alergi iya
Tidak
Cek riwayat Tidak iya
Mencoba treatment (nasal spray,steroid, Diagnosis jarang:
A Evaluasi untuk
sinusitis
Obstruksi,

Respon Positif

iya
B Rinitis Alergi

Gambar 2.4 Algoritma Evaluasi Pasien Suspek Rinitis Alergi

15
2.8.1 Tes Diagnostik
2.8.1.1 Skin Prick Test
Skin prick test adalah yang paling penting untuk menemukan alergen. Ada
berbagai metode, termasuk tes goresan, prick, intradermal dan patch. Di antara
mereka, skin prick test biasanya direkomendasikan dalam praktek klinis. Reaksi
false positif atau negatif palsu sering muncul dalam skin prick test, yang berarti
bahwa reaksi positif terhadap alergen tertentu dalam skin prick test tidak selalu
memiliki korelasi langsung dengan reaksi alergi pada rongga hidung. Ada
kontroversi mengenai interpretasi setiap hasil tes di antara setiap senter. Skin
prick test memiliki beberapa masalah karena dipengaruhi oleh beberapa obat,
seperti antihistamin, dan lokasi uji. Jika seorang pasien memiliki penyakit kulit,
skin prick test sulit dilakukan. Sebuah studi sebelumnya pada hasil tes skin prick
dari 1,564 pasien rinitis alergi di Korea melaporkan bahwa tungau debu rumah
adalah alergen yang paling umum dengan reaktivitas positif 70% -80%.9,13
2.8.1.2 Level Spesifik IgE Serum
Meskipun tes radioallergosorben (RAST) adalah metode pertama untuk
mendeteksi IgE spesifik serum, tes ini belum banyak digunakan karena
memerlukan isotop radioaktif dan peralatan mahal dan juga karena tes ini tidak
dapat mendeteksi beberapa antibodi secara bersamaan. Metode selanjutnya adalah
tes simultan beberapa alergen (MAST). MAST telah banyak digunakan karena
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan RAST. MAST menggunakan reagen
foto sebagai pengganti isotop radioaktif, tidak memerlukan peralatan yang mahal
dan dapat mendeteksi beberapa alergen secara bersamaan. Tes ini tidak
terpengaruh oleh antihistamin, tidak invasif dan dapat diadopsi pada pasien
dengan dermografisme. Satu masalah dengan MAST adalah sensitivitas rendah
dibandingkan dengan tes skin prick. Namun, Finnerty dkk melaporkan bahwa
MAST menunjukkan 66,5% dan 78,5% positif jika ≥3 mm dan ≥5 mm berturut-
turut, masing-masing, dan mereka merekomendasikan MAST daripada skin tes.
Capsulated Hydrophilic Carrier Polymer (CAP) adalah uji in vitro yang lebih
akurat. Prosedurnya mirip dengan MAST, tetapi menggunakan fase padat yang
memiliki afinitas tinggi terhadap antigen. Sistem CAP dapat mendeteksi alergen
secara lebih kuantitatif daripada MAST menggunakan antigen yang terikat pada

16
benang halus karena antigen berikatan ke bagian dalam gelembung polimer
selulosa seperti spons.9,14

2.9 Diferensial Diagnosis


Diagnosis rinitis nonalergi dilakukan setelah mengeksklusi alergi atau IgE
sebagai penyebab utama. Penyebab paling umum dari rinitis nonalergi adalah
infeksi virus akut. Penyebab kronis yang lebih jarang termasuk rinitis vasomotor,
rinitis hormonal, rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofilia, rinitis pekerjaan
(subtipe iritasi), rinitis gustatori, rinitis medikamentosa, dan rinitis akibat obat-
obatan. Kontroversi utama adalah bagaimana membedakan rinitis alergi rinitis
nonalergi. Penelitian menunjukkan prevalensi rinitis alergika murni pada dewasa
dengan gejala adalah 43 persen, kombinasi rinitis alergi dan rinitis nonalergik
adalah 34 persen, dan rinitis nonalergi murni adalah 23 persen. Manajemen rinitis
alergi dan nonalergi sedikit berbeda, oleh karena itu karena lebih banyak data
klinis tersedia, menentukan perbedaan antara kedua jenis itu akan menjadi lebih
penting.15

Tabel 2.2. Perbedaan Rinitis Alergi dan Rhintis Non-Alergi15

Karakteristik Klinis Rinitis Alergi Rinitis Non Alergi


Pemeriksaan Penunjang Skin tes (-) Skin tes (+)
Faktor Eksaserbasi Alergen Eksposur Iritan, perubahan musim
Riwayat Keluarga yang
(+) (-)
alergi
Eosinofil pada nasal (+) pada pasien dengan rinitis non-
(+)
alergi dengan sinfrom eusinofilia
Gejala
Kongesti Umum Umum
Postnasal drip Tidak menonjol Menonjol
Pruritus Umum Jarang
Rhinorea Tidak umum terjadi, namun bisa
Umum
terdapat pada beberapa pasien
Bersin Tidak umum terjadi, namun bisa
Menonjol
terjadi pada beberapa pasien
Gejala alergi lainnya Umum (-)
Mukosa Nasal Bervariasi, pucat,
Bervariasi, eritema
bengkak

17
2.9.1 Rinitis Virus Akut Rhinosinusitis
ISPA virus akut adalah penyebab utama rinitis akut. Virus diketahui
menyebabkan rinitis virus akut termasuk rhinovirus, virus syncytial pernapasan,
parainfluenza, influenza, dan adenovirus. Pada sebagian besar pasien, infeksi virus
terbatas dan hanya membutuhkan penatalaksanaan simtomatik. Superinfeksi
bakteri ada atau pasien mengembangkan rinosinusitis. Pada pasien-pasien ini,
gejala-gejala umumnya memburuk (misalnya, nyeri wajah, sumbatan hidung,
demam). Sinusitis paling baik didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan aturan prediksi, dan tidak melalui computed tomography. Bakteri penyebab
umum, yaitu Streptococcus pneumoniae, streptokokus beta-hemolitik grup A, dan
Haemophilus influenzae.9,15
2.9.2 Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor tidak dianggap berhubungan dengan alergen tertentu
atau infeksi. Rinitis vasomotor didiagnosis melalui eksklusi, pasien harus
memiliki kadar serum IgE yang normal, tes kulit negatif atau RAST, dan tidak ada
peradangan pada sitologi nasal. Istilah vasomotor menggambarkan peningkatan
suplai darah ke mukosa kulit. Gejala terutama berupa kongesti, hipersekresi,
pruritus, dan bersin. Kemungkinan terdapat keterlibatan nervus vagus karena
beberapa pasien dengan rinitis vasomotor terjadi setelah makan makanan panas
atau pedas (rinitis gustatory).12,15
2.9.3 Rinitis Hormonal dan Obat
Penyebab rinitis hormonal termasuk kehamilan, penggunaan kontrasepsi
oral, dan hipotiroidisme. Rinitis yang diinduksi oleh kehamilan umumnya
membaik setelah melahirkan. Perbaikan gejala setelah pengobatan hipotiroidisme
masih belum jelas. Jenis-jenis rinitis ini sulit untuk didiagnosis, dan literatur
masih terbatas. Banyak obat telah dikaitkan dengan rinitis, seperti angiotensin-
converting enzyme inhibitor, reserpine, guanethidine, phentolamine, methyldopa
(Aldomet), prazosin (Minipress), beta blocker, chlorpromazine (Thorazine),
dekongestan hidung topikal, aspirin, dan NSAID.15
2.9.4 Rinitis Dekongestan

18
Penggunaan berulang dekongestan topikal alpha adrenergik dekongestan
alpha-adrenergic dalam bentuk spray (selama lima sampai tujuh hari berturut-
turut) dapat menginduksi rebound obstruksi nasal setelah penggunaan
diberhentikan (rinitis medikamentosa). Penggunaan secara luas dapat
menyebabkan hipertrofi mukosa inflamasi dan kongesti kronis. Mukosa menjadi
merah dan meradang dengan pendarahan.15
2.9.5 Non Alergi Rinitis dengan Sindrom Eusinofil
Rinitis nonalergi dengan sindrom eosinofil muncul sebagai kongesti dan
eosinofilia nasal tanpa sumber alergi jelas yang terdeteksi pada tes kulit atau
RAST. Penyebab eosinofilia tidak jelas, tetapi prevalensi rinitis non-alergi dengan
eosinofilia pada orang dewasa15 hingga 33 persen. Kondisi ini terkait dengan
asma non-IgE-mediated, intoleransi aspirin, dan polip hidung. Rinitis nonalergi
dengan eosinofilia ditandai dengan infiltrasi eosinofilik pada sitologi hidung.15

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Menghindari Alergen Penyebab
Menghindari allergen indoor termasuk tungau debu rumah terkadang susah
untuk dilakukan. Maka dari itu, sedikit penelitian mengenai penatalaksanaan
dengab menghundari allergen. Guideline ARIA tahun 2018 melaporkan bahwwa
tidka terdapat evidensi mengenai keefektifan dari penghindaran terhadap tungau
debu rumah atau bulu hewan peliharaan. Terdapat penelitian mendapatkan bahwa
membersihkan rumah dengna air panas (600C) menghilangkan tungau debu rumah
dan allergen lainnya dibandingkan dengan air panas (300C).12
2.10.2 Penatalaksanaan Farmakologis
Prinsip penanganan medis adalah bertahap berdasarkan tingkat keparahan
dan durasi. Terdapat perbedaan guideline ARIA 2008 dengan 2001 : (1) antagonis
Leukotriene reseptor bisa digunaka pada semua rinitis alergi, (2) antihistamin
generasi 2 lebih dianjurkan dibandingkan generasi 1, (3) steroid topikal dikatakan
paling efektif untuk dewasa dan anak-anak yang menderita rinitis alergi.
Algoritma pemberian medikamentosa berdasarkan klasifikasi frekuensi dan
derajat keparahan rinitis alergi (Gambar 2.6).
a. Antihistamin Oral

19
Antihistamin generasi kedua lebih direkomendasikan oleh ARIA 2008
guideline, karena antihistamin generasi pertama yang sudah digunakan sejak
1990-an memiliki beberapa efek samping seperti sedasi, kerusakan memori
dna disfungsi psikomotor. Sebaliknya antihistamin generasi kedua melakuka
penetrasi di Sawar darah otak lebih sedikit dibandingkan generasi pertama
sehingga akan menimbulkan efek samping saraf pusat lebih sedikit.
Antihistamin oral efektif dalam pengobatan rhinorea, bersin, hidung gatal dan
gejala mata tetapi kurang efektif pada penanganan obstruksi nasal.
Antihistamin oral dilaporkan aman dan efektif pada anak-anak. Terfenadine
dan astemizole pada awalnya digunakan (AH generasi kedua). Obat-obatan
ini memiliki toksisitas jantung dan memperpanjang QT dan torsade de
pointes. Ketika diberikan bersama dengan antibiotik makrolida atau agen
antijamur azol, risiko efek samping jantung meningkat karena obat ini
mempengaruhi aktivitas isoenzim CYP3A4 isitokrom p450. Karena ebastine
dimetabolisme oleh CYP3A4, sehingga dapat menginduksi interaksi obat.9,13
b. Antihistamin Intranasal
Antihistamin topikal telah dilaporkan untuk mengurangi gatal, bersin dan
rhiorea. Akan tetapi kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid
intranasal dan tidak efektif dalam penatalaksanan yang disertai dnegan gejala
pada mata. Azelastine intranasal dua kali sehari dapat mengurangi gejala.
Pasien AR yang tidak menanggapi antihistamin oral.13
c. Kortikosteroid Intranasal
Kortikosteroid intranasal sebagian besar tidak diserap secara sistemik,
mereka menginduksi beberapa efek samping sistemik. Partikel steroid
menembus membran sel dan berikatan dengan reseptor steroid di sitoplasma.
Kompleks steroid-reseptor ditransfer ke nukleus dan berikatan dengan DNA
spesifik. Efek anti-inflamasi diinduksi oleh perubahan dalam sintesis protein
setelah pengikatan kompleks reseptor-steroid ke DNA atau dengan
mempengaruhi faktor transkripsi. Kortikosteroid intranasal menghambat
reaksi cepat dan lambat serta mengurangi produksi IgE dan eosinofil dengan
menghambat sekresi sitokin (IL-4, 1L-5 dan IL-13). Ketika kortikosteroid
intranasal diberikan, eosinofil dan basofil berkurang dalam 1 minggu.

20
Intranasal kortikosteroid efektif dalam semua gejala rinitis alergi, khususnya
obstruksi dan komplikasi pada mata. Efek terapeutik dalam 7 jam dan
mencapai level maksimal setelah 2 minggu. Baru-baru ini, budesonide,
triamcinolone acetonide, fluticasone propionat, mometason furoat dan
flutikason furoat miliki telah banyak digunakan. Tingkat penyerapan sistem
flunisolide, triamcinolone acetonide dan beclomethasone dipropionate adalah
20-50%, sedangkan mometason furoat dan fluticasone propionate sangat
rendah (≤0.1% dan ≤2%, masing-masing).13
d. Antagonis Leukotriene Receptor (LTRA)
Peran leukotrien dalam reaksi alergi sudah diketahui. Beberapa penelitian
tentang kemanjuran LTRA pada pasien rinitis alergi telah dilaporkan.
Pranlukast dan montelukast tersedia secara komersial. harus dilakukan
pengawasan dalam penggunaan klinis Pranlukast yang dimetabolisme oleh
enzim CYP3A4 hepar karena konsentrasinya dalam serum meningkat ketika
diberikan dengan terfenadine, astemizole, ketoconazole atau erythromycin.
Montelukast efektif dalam mengurangi gejala hidung dan mata pada pasien
dengan rinitis alergi musiman dan memperbaiki sumbatan hidung yang
sebanding dengan loratadine. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menganjurkan bahwa kombinasi montelukast dan loratadine memiliki
efektivitas yang lebih cepat dan lebih baik daripada montelukast atau
loratadine saja. Kurowski dkk, meneliti mengenai montelukast ditambah
cetirizine yang diberikan 6 minggu sebelum musim serbuk sari secara efektif
mencegah eksaserbasi gejala rinitis alergi musiman.12
c. Antibodi Anti-IgE
Antibodi rekombinan anti-IgE monoklonal, mengganggu interaksi antara
sel mast / eosinofil dan IgE dengan mengikat IgE bebas dan dengan demikian
menurunkan jumlah IgE bebas dalam serum. selain itu juga akan menekan
inflamasi dalam darah atau mukosa hidung dan ekspresi FceRI yang terletak
di permukaan sel mast atau eosinofil. Casale dkk, telah menunjukkan bahwa
pretalizment omalizumab (300 mg) tepat sebelum dan selama musim serbuk
sari (pollen) selama 12 minggu dengan interval 3-4 minggu mengurangi

21
gejala rinitis alergi secara signifikan pada pasien dengan alergi rinitis
musiman.13

2.10.3 Immunoterapi
Imunoterapi adalah satu-satunya pilihan terapeutik yang memodifikasi
mekanisme alergi dasar dengan menginduksi desensitisasi. Dosis
pemeliharaan diberikan selama ≥3 tahun. Meskipun imunoterapi subkutan
adalah pilihan pengobatan yang banyak digunakan, namun risiko anafilaksis
pilihan rute administrasi lainnya seperti oral, sublingual atau rute hidung
dikembangkan. Peraturan respon spesifik antigen (peningkatan rasio IgG4 /
IgE), penghambatan perekrutan / aktivasi sel-sel inflamasi, pergeseran respon
Th2 ke Th1 dan aktivasi sel T regulator adalah mekanisme utama SLIT
(Sublingual Immunotheraphy). Regulatory T cells diketahui memainkan
peran penting dalam toleransi kekebalan, dan mereka terkait dengan
mekanisme SLIT. Ekstrak alergen dosis tinggi untuk SLIT menginduksi sel T
regulator,yang menghambat reaksi inflamasi alergi dengan menekan sel Th2
dan menghasilkan IL-10 dan TGF-.13

Gambar 2.5 Mekanisme SLIT13

22
Diagnosis Rinitis Alergi
(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan peunjang)

Intermiten Persisten

Ringan Sedang/berat Ringan Sedang/berat

Antihistamin oral/ Antihistamin oral/ Kortikosteroid


intranasal intranasal intranasal
Antihistamin
dan/ atau dan/ atau atau

dekongestan atau dekongestan atau LTRA


LTRA kortikosteroid intrnasal
atau LTRA
Evaluasi setelah
2-4 minggu
Pada rinitis
persisten, evaluasi
setelah 2-4 minggu
Berhasil Gagal

Bila gagal: terapi maju 1 langkah Terapi diteruskan Review diagnosis,


Bila berhasil: lanjutkan selama 1 bulan untuk 1 bulan ketaatan pasien
Pertimbangkan
infeksi atau
penyebab lain

Tingkatkan dosis Hidung gatal/ bersin Rinorea tambahkan Hidung tersumbat


kortikosteroid tambahkan ipratropium Tambahkan dekongestan/
intranasal antihistamin H1 kortikosteroid jangka
pendek intraoral

Jika gagal
Terapi pembedahan

Gambar 2.6 Algoritma Pemberian Terapi Medikamentosa pada Rinitis Alergi


23
2.11 Komplikasi
2.11.1 Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi adalah salah satu penyakit yang paling umum dari
rinitis alergi. Ini disebabkan alergen luar ruangan seperti serbuk sari bukan
alergen dalam ruangan. Sekitar 75% pasien rinitis alergi mengeluhkan gejala
konjungtivitis alergi. 11,13

2.11.2 Rhinosinusitis
Pengaruh rinitis alergi pada sinus paranasal tidak dipahami dengan baik.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa peradangan alergi dapat
mempengaruhi rinosinusitis akut atau kronis. Sebuah studi radiologis
sebelumnya menggunakan computed tomography telah menunjukkan bahwa
tantangan alergen hidung dapat menginduksi peradangan sinus paranasal.
Namun, studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa kejadian rinosinusitis
tidak lebih tinggi secara bermakna pada pasien rinitis alergi dibandingkan
pada subjek normal. Oleh karena itu, tidak jelas apakah rinitis alergi
memainkan peran penting dalam perkembangan rinosinusitis. Antihistamin
meningkatkan gejala hidung seperti bersin atau hidung tersumbat pada pasien
rinitis alergi dengan rinosinusitis akut. Perlu dicatat bahwa penggunaan
jangka panjang dekongestan hidung pada pasien rinitis dapat menyebabkan
disfungsi siliaris dengan rinitis hipertrofi kronik atau sinusitis kronis yang
ireversibel. Dalam penelitian hewan menggunakan kelinci, pemberian
dekongestan jangka panjang menyebabkan perubahan histologis dan
fungsional silia dan mengakibatkan disfungsi siliaris dan rinosinusitis.13
2.11.3 Polip Nasal
Hubungan antara polip hidung dan rinitis alergi tidak jelas. Atopi sendiri
tidak berkontribusi pada patofisiologi polip hidung karena ekspresi IL-4, IL-5
dan IFN- tidak berbeda secara signifikan antara polip hidung dengan rinitis
alergi. Mekanisme yang melibatkan edema dan penonjolan mukosa pada
polip hidung mirip dengan patofisiologi rinitis alergi.15

24
2.11.4 Hipertrofi Adenoid
Sensitisasi terhadap alergen inhalan dapat mengubah parameter imunologi
adenoid. Jumlah sel CD1a + sel Langerhans, eosinofil dan IL-4 atau IL-5
meningkat pada jaringan adenoid pasien rhintis alergi. Derajat hipertrofi
adenoid tampaknya tidak berkorelasi dengan atopi. walaupun bberapa
penelitian mengatakan efektivitas antihistamin pada pasien rinitis alergi
dengan hipertrofi adenoid, kortikosteroid intranasal diketahui lebih baik
dalam mengatasi gejala hipertrofi adenoid. Sebuah penelitian terbaru
melaporkan bahwa pemberian steroid oral jangka pendek dan antihistamin /
kortikosteroid intranasal jangka panjang mengurangi ukuran adenoid dan
memperbaiki gejala hipertrofi adenoid. 13,14
2.11.5 Disfungsi Tabung Eustachius dengan Efusi Otitis Media
Karena mukosa hidung dipagari dengan epitelium pernapasan, reaksi
alergi karena alergen inhalan dapat terjadi di tuba eustachius. Oleh karena itu,
fungsi tabung eustachius pasien rinitis alergi terganggu dan otitis media
dengan efusi sering terjadi, terutama pada anak-anak. Hal ini kontroversial
apakah peradangan alergi dalam tabung eustachian adalah reaksi terhadap
iritasi lokal atau bagian dari reaksi sistemik. Cairan efusi telinga tengah
diambil dari pasien rinitis alergi didapatkan sel yang mensekresi IL-4 dan IL-
5. Ini merupakan hubungan positif antara rinitis alergi dan perkembangan
otitis media dengan efusi.13

25
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : PAMP
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan :
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Agama : Hindu
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : Br Waru Selemadeg Tabanan
Tanggal Kunjungan : Selasa, 26 Februari 2019
Nomor Rekam Medis : 493793

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Hidung Tersumbat
Pasien datang ke poliklinik THT-KL BRSUD Tabana dengan keluhan
hidung tersumbat yang teradi setiap kali pasien bersin, hidung tersumbat
sudah dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu dan memberat seminggu
belakangan. Bersamaan dengan frekuensi bersin yang meningkat, keluhan
tersebut hingga membuat pasien susah untuk bernapas.
Keluhan lain yang juga dirasakan adalah bersin-bersin setiap hari yang
mulai dirasakan sejak beberapa tahun yang lalu. Keluhan bersin-bersin
disertai rasa gatal dirasakan terjadi setiap hari terutama pada pagi hari.
Keluhan juga memberat saat pasien sedang berada di tempat yang bersuhu
dingin atau berdebu. Keluhan dirasakan memberat hingga mengganggu
aktivitas pasien dan pasien merasakan sulit untuk tidur.
Keluhan lainnya berupa keluhan keluar cairan dari kedua lubang
hidung. Cairan yang keluar dari hidung dikatakan berupa cairan jernih
encer. Pasien mengatakan cairan yang keluar dari hidungnya dirasakan

26
berlangsung hampir setiap hari, dengan volume yang cukup banyak dan
dengan frekuensi yang sering dalam sehari. Selama mengeluh keluar cairan
pada hidung tersebut namun tidak berbau.
Pasien merasakan nyeri pada dahi yang bersifat tumpul yang terjadi
hilang timbul. Nyeri pada bola mata dan pipi disangkal oleh pasien. Keluhan
demam disangkal oleh pasien. Pasien merasakan adanya dahak terutama saat
hidungnya tersumbat. Keluhan nyeri tenggorokan, nyeri menelan, dan nyeri
pada telinga juga disangkal oleh pasien. Tidak terdapat keluhan batuk dan
sesak nafas.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat alergi terhadap debu.. Pasien tidak memiliki
riwayat infeksi pada gigi. Riwayat penyakit sistemik seperti penyakit
jantung, asma dan diabetes melitus disangkal oleh keluarga pengantar
pasien. Riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan disangkal oleh
pasien. Riwayat asma disangkal pasien.

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah menggunakan obat-obatan terkait untuk keluhan
pada hidungnya saat ini.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien dikatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan
yang serupa dengan pasien. Riwayat penyakit sistemik pada keluarga seperti
penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal oleh keluarga pengantar
pasien. Riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan pada keluarga
disangkal. Pasien mengatakan bahwa ibunya memiliki riwayat asma

Riwayat Pribadi/Sosial
Pasien merupakan seorang’’’’’’’’’’. Pasien sudah menikah. Riwayat
merokok dan alkohol disangkal oleh pasien.

27
III. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Respirasi : 20 x/ menit
Temperatur : 36,5o C
Status General
Kepala : normocephali
Muka : simetris, parese nervus facialis (-/-)
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil (+/+) isokor
THT : sesuai status lokalis
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-/-)
pembesaran kelenjar parotis (-/-)
pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorak : cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-)

Status Lokalis THT


1. Telinga
Telinga Kanan Kiri
Daun Telinga Normal Normal
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tarik Aurikuler Tidak ada Tidak ada
Liang Telinga Lapang Lapang
Sekret Tidak ada Tidak ada
Membran Timpani Intak Intak
Tumor Tidak ada Tidak ada
Mastoid Normal Normal

28
Tes Pendengaran
Tes Kanan Kiri
Weber Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

Rinne Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

Schwabach Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

2. Hidung
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar Normal Normal
Kavum Nasi Sempit Sempit
Septum Normal Normal
Sekret Serosa Serosa
Mukosa Livid/pucat Livid/pucat
Tumor Tidak ada Tidak ada
Konka Kongesti Kongesti

3. Mulut dan Tenggorokan


Mukosa mulut Hiperemi (-)
Gigi Normal
Mukosa faring Hiperemi (-)
Tonsil T1/T1, hiperemi (-/-), detritus (-/-)
permukaan rata
Dinding belakang faring Post nasal drip (-)
Hiperemi (-) Granulasi (-)
Dispneu Tidak ada
Sianosis Tidak ada
Suara Normal
Stridor Tidak ada

IV. Resume
Pasien perempuan, umur 23 tahun, datang ke poliklinik THT-KL BRSUD
Tabanan dengan hidun tersumbat yang dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu dan
memberat seminggu belakangan, hidung tersumbat dirasakan bersamaan dengan

29
keluhan bersin-bersin yang dirasakan sejak beberapa tahun yang lalu. Bersin-bersin
terjadi terutama pada pagi hari dan pada saat pasien berada di tempat yang berdebu.
Bersin-bersin juga disertai dengan keluar cairan jernih encer, rasa gatal pada hidung,
dan adanya dahak pada tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan nyeri tumpul pada
bagian dahi yang hilang timbul. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil yaitu
keadaan umum pasien baik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status lokalis THT didapatkan telinga dalam kesan tenang. Terdapat kavum nasi
sempit, konka kongesti, sekret serosa dan mukosa livid pada kedua hidung.

V. Diagnosis Banding:
Rinitis alergi e.c rinogen (debu)
Rinitis non alergi
Rhinosinusitis kronis

VI. Usulan Pemeriksaan:


Darah Lengkap
Skin prick test
Foto waters

VII. Diagnosis Kerja:


Rinitis alergi e.c rinogen (debu) persisten sedang berat

VIII. Penatalaksanaan
Terapi :
Non farmakologis
Menghindari alergen penyebab (debu)
Farmakologis
Metilprednisolon 4 mg 3x1 tab
Cetrizine 1x1 sebelum tidur malam
Nasacort spray 2x1 NDS

KIE :
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk
faktor pencetus seperti udara dingin dan debu

30
- Istirahat yang cukup dan menjaga hidrasi dengan minum air mineral yang
cukup.
- Membilas dan mencuci hidung secara teratur dengan menggunakan larutan
NaCl.
- Menjelaskan kepada pasien mengenai pengobatan medikamentosa yang
diberikan, dan mengajarkan pasien bagaimana cara mencuci hidung yang
benar.
- Kontrol kembali ke poliklinik THT-KL BRSUD Tabanan setelah 1 minggu
pemberian obat.

IX. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : dubius ad bonam

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 23 tahun dengan keluhan bersin-bersin, hidung


tersumbat, rasa gatal pada hidung, dan sekret jernih encer pada kedua hidung
terutama saat pagi hari dan saat berada di tempat yang berdebu sejak beberapa
tahun yang lalu dan dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
memiliki alergi terhadap debu. Pada pemeriksaan telinga, hidung, dan
tenggorokan (THT) didapatkan adanya kavum nasi sempit, hipertrofi konka,
sekret serosa, mukosa livid pada kedua hidung dan post nasal drip (-) pada
tenggorokan didapatkan pasien didiagnosa dengan rinitis alergi persisten berat.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada dimana penegakkan diagnosis rinitis alergi
dapat didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan THT dimana
pada anamnesis umumnya didapatkan 4 keluhan utama yakni bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan hidung tersumbat pada kedua hidung setelah terpapar oleh
alergen dan pada pemeriksaan THT didapatkan kavum nasi sempit, hipertrofi
konka, sekret serosa, mukosa livid pada kedua hidung. Pemeriksaan penunjang
yang disarankan untuk membantu penegakkan diagnosis dan identifikasi alergen
berupa skin prick test, darah lengkap, dan serum IgE.

Terapi yang diberikan pada kasus ini berupa tatalaksana non-


farmakologis seperti edukasi dan informasi mengenai penyakit dan cara
menghindari alergen dan tatalaksana farmakologis berupa metilprednisolone 3x4
mg intraoral, Nasacort spray 2x1 NDS, dan cetirizine 1x10 mg intraoral. Hal ini
sesuai dengan teori dimana pada ARIA 2007 tatalaksana yang diberikan pada
pasien rinitis alergi persisten berat berupa tatalaksana non-farmakologis berupa
edukasi dan informasi dan tatalaksana farmakologis berupa kortikosteroid
intraoral ditambah dengan antihistamin intraoral atau LTRA. Edukasi dan
informasi penting yang harus disampaikan kepada pasien yaitu menghindari
kontak dengan alergen penyebab, selalu menjaga kesehatan dan kebugaran
jasmani, mengonsumsi obat-obatan sesuai petunjuk, dan kontrol kembali apabila
obat sudah habis.

32
BAB V
SIMPULAN

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang
dengan alergen spesifik tersebut. Telah diuraikan laporan kasus seorang
perempuan berusia 23 tahun dengan diagnosis rinitis alergi persisten berat, di
mana diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluhkan
bersin-bersin, hidung tersumbat, rasa gatal pada hidung, dan sekret jernih encer
pada kedua hidung terutama saat pagi hari dan saat berada di tempat yang berdebu
sejak beberapa tahun yang lalu dan dirasakan sangat mengganggu aktivitas sehari-
hari. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan tanda-tanda vital dan status generalis
dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis THT didapatkan telinga dan
tengorokan dalam kesan tenang dan pada pemeriksaan hidung didapatkan sekret
serous, mukosa livid, kavum nasi sempit dan hipertrofi konka. Tatalaksana yang
diberikan pada pasien ini berupa KIE dan medikamentosa berupa metilprednoson
3x4 mg intraoral, Nasacort spray 2x1 NDS, cetirizine 1x10 mg intraoral.
Penegakkan diagnosis dan tatalaksana yang diberikan pada pasien ini telah sesuai
dengan rinitis alergi persisten sedang berat.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Seidman MD, Gurgel RK, Lin SY, Schwartz SR, Baroody FM, Bonner JR,
et al. Clinical Practice Guideline. Otolaryngol Neck Surg [Internet].
2015;152(2):197–206. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0194599814562166

2. Chong SN, Chew FT. Epidemiology of allergic rinitis and associated risk
factors in Asia. World Allergy Organ J. 2018;11(1).

3. Brożek JL, Bousquet J, Agache I, Agarwal A, Bachert C, Bosnic-


Anticevich S, et al. Allergic Rinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
guidelines—2016 revision. J Allergy Clin Immunol. 2017;140(4):950–8.

4. Keswani A, Peters AT. Complications of Rinitis. Immunol Allergy Clin


North Am [Internet]. 2016;36(2):359–66. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.iac.2015.12.011

5. Rosati MG, Peters AT. Relationships among allergic rinitis, asthma, and
chronic rhinosinusitis. Am J Rhinol Allergy [Internet]. 2016;30(1):44–7.
Available from: http://openurl.ingenta.com/content/xref?
genre=article&issn=1945-8924&volume=30&issue=1&spage=44

6. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In: Soepardi EA,


Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. p. 106–11.

7. Moore KL, Agur AM., Dalley AF. Head. In: Moore Essential Clinical
Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. p. 566–74.

8. Costanzo LS. Neurophysiology. In: Costanzo LS, editor. Phyiology. 5th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 93–5.

9. Esmon. 6. Rinitis 6.1. J Investig Allergol Clin Immunol. 2010;20(1):37–42.

10. Sin B, Togias A. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rinitis. ats J.

34
2011;8:106–14.

11. Baraniuk JN. Pathogenesis of allergic rinitis. J Allergy Clin Immunol.


1997;99(2):763–72.

12. Pharmaceuticals A, Phar- F, Wellcome G, Pharmaceuticals K. Allergic


rinitis : Definition , epidemiology , pathophysiology , detection , and
diagnosis. J Allergy Clin Immunol. 2001;108(1):2–8.

13. Min Y. The Pathophysiology , Diagnosis and Treatment of Allergic Rinitis.


AAIR (A. 2(2):65–76.

14. Lakhani N, North M, Ellis AK. Clinical Manifestations of Allergic Rinitis


Allergy & Therapy. Allergy Ther. 2014;5(June 2012):2–5.

15. Quillen DM, Feller DB. Diagnosing Rinitis: Allergic vs. Nonallergic. Am
Fam Physician. 2006;73(9):1583.

35

Anda mungkin juga menyukai