Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS BANGSAL

STROKE NON HEMORAGIK

Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S

Disusun Oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2023
PRESENTASI KASUS BANGSAL
STROKE NON HEMORAGIK

Disusun Oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052

Presentasi kasus bangsal ini telah dipresentasikan dan disahkan


sebagai salah satu syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Juni 2023

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S


NIP. 196207231988121001
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan segala rah
mat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan presentasi kas
us bangsal yang berjudul “Stroke Non Hemoragik”. Penulisan presentasi kasus bangsa
l ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Saraf RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap presentas
i kasus bangsal ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidi
kan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak ya
ng berkepentingan. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Muttaqien Pramudigdo,
Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi dalam pen
yusunan presentasi kasus bangsal ini. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan presentasi kasus bangsal ini. Oleh karena itu, segala masukan yang
bersifat membangun sangat diharapkan.

Purwokerto, Juni 2023

Penulis
NAMA : Ny. E UMUR : 55 tahun
PEMERIKSAAN TANGGAL ANAMNESA : RUANG :
14/05/2023 Bangsal Anyelir

I. KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Umur : 55 Tahun
Alamat : Purwokerto
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan

S SUBYEKTIF

A. KELUHAN UTAMA
Kelemahan anggota gerak kanan

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Onset
1 hari SMRS
2. Kronologis
Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 9 Juni 2023 dengan kelemahan
anggota gerak kanan sejak tanggal 8 Juni 2023. Awalnya pasien aktivitas seperti
biasa dan makan dengan lauk ikan asin, setelah itu tiba-tiba pasien mengalami
kelemahan anggota gerak kanan, pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, pusing,
dan tidak ada keluhan mual dan muntah. Keluhan kejang disangkal, penurunan
kesadaran disangkal. Pasien belum pernah merasakan keluhan serupa
sebelumnya.
3. Kuantitas
Keluhan di rasakan terus menerus
4. Kualitas
Keluhan dirasakan membaik setelah melalui pengobatan di Bangsal
5. Gejala Penyerta
Nyeri kepala (-), ptosis (-), mual (-), muntah (-), nyeri dada (-).
6. Faktor yang memperingan
Tidak ada
7. Faktor yang memperberat
Tidak ada

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit serupa: disangkal
Riwayat DM: disangkal (tidak pernah periksa)
Riwayat Hipertensi: disangkal (tidak pernah periksa)
Riwayat penyakit jantung: disangkal
Riwayat Stroke : (-)

D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat keluhan serupa: (-)
Riwayat DM: (-)
Riwayat hipertensi: (-)
Riwayat stroke: (-)

E. KEADAAN SOSIAL-EKONOMI
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga tinggal bersama suami dan 2
anaknya. Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS PBI.

F. HUBUNGAN ANTAR KELUARGA


Baik dan harmonis

G. RIWAYAT GIZI
Pasien konsumsi makan-makanan yang asin

H. RIWAYAT PSIKOLOGIS
Pasien mengaku tidak pernah mengalamai gangguan jiwa.
I. RIWAYAT SPIRITUAL
Pasien beragama Islam.

O OBYEKTIF

A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit
2. Kesadaran/GCS : E4V5M6 / Composmentis
3. Tanda-tanda Vital :
a. Tekanan darah : 144/90 mmHg
b. Denyut nadi : 85 x/menit, reguler
c. Suhu : 36.5oC
d. Pernafasan : 20 x/menit, reguler
e. Saturasi Oksigen : 99%
4. Status Antropometri
a. BB : 50 kg
b. TB : 155 cm
c. IMT : 20.8 kg/m2
5. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya +/+, Pupil
isokor 3mm/3mm
c. Hidung : Nafas cuping hidung (-)
d. Mulut: Sianosis (-)
e. Leher : KGB tidak membesar, pembesaran kelenjar tiroid (-)
f. Thoraks : Retraksi (-/-)
1) Jantung : Bunyi jantung S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
2) Paru-paru : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen : Datar, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal / tidak meningkat
h. Ekstremitas
1) Superior : Sianosis -/-, edema -/-, clubbing finger -/-, livernail -/-, akral
hangat, CRT <2 detik, turgor baik
a. Inferior : Sianosis -/-, edema -/-, clubbing finger -/-, livernail -/-, akral
hangat, CRT <2 detik, turgor baik

B. STATUS NEUROLOGIK
Kesadaran : Compos Mentis
- Kuantitatif : GCS E4V5M6
- Kualitatif : Tingkah laku cenderung tenang ; perasaan hati baik
Orientasi : Tempat baik ; orang baik ; sekitar baik
Jalan pikiran logis ; Kecerdasan baik
Daya ingat kejadian (baru) baik (lama) baik
Kemampuan bicara bak, sikap tubuh berbaring
Cara berjalan tertatih, karena anggota gerak kanan lemah
Kepala : Bentuk mesosefal, simetris (+), ukuran dalam batas normal
Leher :
- Sikap baik, Gerakan bebas, kaku kuduk (-)
- Palpasi : perbesaran kelenjar getah bening (-) nyeri tekan (-)
- Bentuk vertebrae normal nyeri tekan vertebrae (-)
- Tes Nafziger tidak dilakukan
- Brudzinski I (-)
- Test valsava (-)

SARAF OTAK
N. I (Olfaktorius)
Daya penghidu (kanan) dbn (kiri) dbn

N. II (Optikus) Kanan Kiri Kanan Kiri


Daya penglihatan dbn dbn Fundus okuli tdl tdl
Pengenalan dbn dbn Papil tdl tdl
Warna dbn dbn Retina tdl tdl
Medan penglihatan dbn dbn Arteri/vena tdl tdl

N. III (Okulomotorius) Kanan Kiri Kanan Kiri


Ptosis (-) (-) Reflex cahaya langsung dbn dbn
Gerak bola mata ke Reflex cahaya konsensual dbn dbn
(medial) dbn dbn Refleks akomodatif tdn tdn
(atas) dbn dbn Strabismus divergen (-) (-)
(bawah) dbn dbn Diplopia (-) (-)
Ukuran pupil 3mm/3mm isokor
Bentuk pupil bulat bulat

N. IV (Trokhlearis) Kanan Kiri


Gerak bola mata ke lateral bawah dbn dbn
Strabismus konvergen (-) (-)
Diplopia (-) (-)

N. V(TRIGEMINUS) Kanan Kiri Kanan Kiri


Menggigit dbn dbn Refleks kornea (+) (+)
Membuka mulut dbn dbn Refleks bersin tdl tdl
Sensibilitas muka dbn dbn Refleks masseter dbn dbn
Refleks zygomaticus dbn dbn

N. VI (Abdusen) Kanan Kiri


Gerakan bola mata lateral dbn dbn
Strabismus konvergen (-) (-)
Diplopia (-) (-)

N. VII (Fasialis) Kanan Kiri Kanan Kiri


Kerutan kulit dahi (+) (+) Tic fasialis (-) (-)
Kedipan mata (+) (+) Lakrimasi (-) (-)
Lipatan nasolabial (+) (+) Bersiul (- )
Mengerutkan dahi (+) (+) Refleks visopalpebral tdl tdl
Mengerutkan alis (+) (+) Refleks glabella tdl tdl
Menutup mata (+) (+) Refleks aurikolopalpebra tdl tdl
Meringis (+) (+) Tanda myerson tdl tdl
Menggembungkan pipi (+) (+) Tanda chovstek tdl tdl
Sudut mulut (+) (+) Daya kecap lidah 2/3 depan tdl tdl
N. VIII (Vestibulokokhlearis) Kanan Kiri
Mendengar suara berbisik (-) (-)
Mendengar detak arloji (-) (-)
Tes Rinne tdl tdl
Tes Weber tdl tdl
Tes Schwabach tdl tdl
Tes Bing tdl tdl

N. IX (Glossofaringeus)
Arkus laring tdl
Daya kecap lidah 1/3 belakang tdl
Refleks muntah tdl
Sengau (-)
Tersedak (-)

N. X (Vagus)
Denyut nadi/menit 85 x/menit, reguler
Arkus faring tdl
Bersuara (+)
Menelan (+)

N. XI (Assesorius) Kanan Kiri


Memalingkan kepala (+) (+)
Sikap bahu dbn dbn
Mengangkat bahu (+) (+)
Trofi otot bahu eutrofi eutrofi

N. XII (Hipoglosus)
Sikap lidah dbn
Artikulasi pelo
Tremor lidah (-)
Menujulurkan lidah deviasi (-)
Kekuatan lidah tdl
Trofi otot lidah eutrofi
Fasikulasi lidah (-)

Badan :
Trofi otot punggung eutrofi trofi otot badan eutrofi
Nyeri membungkukkan badan (-) palpasi dinding perut nyeri tekan (-)
Kolumna vertebralis : bentuk dbn gerakan tdl nyeri tekan (-)

Sensibilitas :
Refleks dinding perut : kanan (+) kiri (+)
Alat kelamin perempuan

Anggota gerak atas :


Phalen test : -/-
Tinel test : -/-
- Inspeksi : Drop hand (-) Claw hand (-)
Pritcher hand (-) Kontraktur (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-/-) edema (-/-) tidak ada kelainan
Lengan Atas Lengan Bawah Tangan
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Bebas Terbatas Bebas Terbatas Bebas
Kekuatan 1 5 1 5 1 5
Tonus N N N N N N
Trofi dbn eutrofi dbn eutrofi dbn eutrofi
- Sensibilitas
Nyeri dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Termis tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Taktil dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Diskriminasi tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Posisi tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Vibrasi tdl tdl tdl tdl tdl Tdl
BISEPS TRISEP RADIUS ULNA
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Refleks +2 +2 +2 +2 +2 +2 +2 +2
fisiologis
Perluasan (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
reflex
Refleks (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
silang
Refleks Kanan (-) Kiri (-)
patologis

Anggota gerak bawah :


- Inspeksi : Drop foot (-) Kontraktur (-) Warna dbn
- Palpasi : Edema (-/-)

TUNGKAI ATAS TUNGKAI BAWAH KAKI


Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Terbatas Bebas Terbatas Bebas Terbatas Bebas
Kekuatan 1 5 1 5 1 5
Tonus N N N N N N
Trofi dbn eutrofi dbn eutrofi dbn Eutrofi

- Sensibilitas
Nyeri dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Termis tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Taktil dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Diskriminas tdl tdl tdl tdl tdl tdl
i
Posisi tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Vibrasi tdl tdl tdl tdl tdl tdl

PATELLA ACHILES

Kanan Kiri Kanan Kiri


Refleks fisiologis +2 +2 +2 +2
Perluasan reflex (-) (-) (-) (-)
Refleks silang (-) (-) (-) (-)

Refleks Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Babinski (-) (-) Tes Guillain tdl tdl
Chaddoek (-) (-) Tes O’Connel tdl tdl
Oppenheim (-) (-) Tes Patrick tdl tdl
Gordon (-) (-) Tes Gaeslen tdl tdl
Schaeffer (-) (-) Tes Hofman (-) (-)
Gonda tdl tdl Kontra Patrick tdl tdl
Bing tdl tdl Tes Edelmen tdl tdl
Rosolimo tdl tdl Tes Kernig (-) (-)
Mendel Becterew tdl tdl Klonus paha (-) (-)
Tes Brudzinski I (-) (-) Klonus kaki (-) (-)
Tes Lasegue (-) (-)

Koordinasi, Langkah, dan Keseimbangan


Cara berjalan : risiko jatuh (+) Tes Romberg dbn
Ataksia (-) Disdiadokokinesis tdl
Rebound phenomenon (-) Nistagmus (-)
Dismetri : Tes telunjuk-hidung baik
Tes hidung-telunjuk-hidung baik
Tes telunjuk-telunjuk baik

Gerakan abnormal
Tremor (-) Khorea (-) Atetosis (-)
Mioklonik (-) Balismus (-)

Fungsi Vegetatif :
Miksi : Inkontinensia urin (-) Retensio urin (-)
Anuria (-) Poliuria (-)
Defekasi : Inkontinensia alvi (-) Retensio alvi (-)
Ereksi : tdl
Kelenjar keringat : dbn
RESUME PEMERIKSAAN FISIK :
1. Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
2. Keadaan umum : tampak sakit
3. Tekanan darah : 144/90 mmHg
4. Denyut nadi : 85 x/menit, reguler
5. Suhu : 36,7oC
6. Pernafasan : 20x/menit, reguler
7. BB : 50 kg
8. TB : 155 cm
9. IMT : 20,8 kg/m2
10. Reflek fisiologis: Bisep (+2/+2), patella (-/-)
11. Reflek patologis (-/-) babinski
12. Klonus: superior (-/-), inferior (-/-)
13. Tremor: (-/-), inferior (-/-)
14. Kaku kuduk (-), Brudzinki sign (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah lengkap
Tabel 1.1 Pemeriksaan Laboratorium 09/06/2023
Pemeriksaan Hasil
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.2 g/dL
Leukosit 9350/mm3
Hematokrit 44.1%
Eritrosit 4.81 jt/uL
Trombosit 369000/mm3
MCV 89.7
MCH 28.6pg/cell
MCHC 32.7g/dL
RDW 14.4%
MPV 8.9fL
Hitung Jenis
Basofil 0%
Eosinofil 2.4%
Batang 0%
Segmen 79.9 %
Limfosit 9%
Monosit 8.6%
Neutrofil 79.9%
Kimia Klinik
Natrium 137mEq/L
Kalsium 9.26mg/dL
Klorida 106mEq/L
Kalium 4.5mEq/L
Kreatinin 0.6mg/dL
Ureum 41.8mg/ dL
SGOT 24.6
SGPT 7.23

2. CT scan kepala tanpa kontras


Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras (09/06/2023)

Tampak lesi hiperdens pada nucleus lentiformis dextra, vol.lk 24.7 cc disertai
mass efect
Diferensiasi substantia alba dan grisea tampak baik
Sulkus kortikalis dan fissura sylvii kanan relative sempit, kiri baik
Sistema perimesencephali baik
Ventrikel lateralis kanan dan ventrikel III sempit, dan IV baik
Tampak midline shifting ke kiri 8 mm
Pada bone window, tak tampak diskontinuitas pada os cranium
Tak tampak kesuraman pada sinus paranasal maupun mastoid air cell
Kesan:
Intracerebral haemorrhage dextra, vol.lk 24.7 cc disertai peningkatan TIK dan
midline shifting ke sinistra 8 mm
3. Rontgen Thoraks
Pemeriksaan rontgen thoraks (16/05/2023)

Cor:
CTR <57%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo:
Corakan bronchovaskuler normal
Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
Kesan:
Cor tak membesar
Pulmo dalam batas normal

A ASSESSMENT

• Diagnosis Klinis : Hemiparase Dextra


• Diagnosis Topis :Hemisfer Cerebri Sinistra
• Diagnosis Etiologi : Stroke Non Haemoragik
• Diagnosis Sekunder : Hipertensi grade I
• Diagnosis Banding :
P PLANNING
Terapi medikamentosa
IVFD Nacl 0.9% 20 tpm
Inj. Citicolin 2x500 mg IV
Inj. Mecobalamin 2x500 mg IV
Inj. Omeprazol 1x40 mg IV
Inj. Antrain 3x
PO Candesartan 1x16mg
PO Amlodipin 1x5mg
PO Clopidogrel 1x75mg

Terapi non medikamentosa


a. Tirah baring, head up 30 º
b. Fisioterapi
c. Rujuk Sp.S

Edukasi
a. Edukasi mengenai etiologi, faktor risiko penyakit, perjalanan penyakit,
komplikasi dan pengobatannya
b. Edukasi pola hidup sehat
c. Edukasi mengenai keteraturan pengobatan
d. Hindari makanan yang mengandung garam dan gula tinggi

U Usulan Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium :

Prognosis
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
- Ad fungsionam : dubia ad bonam
I. PENDAHULUAN

Stroke adalah penyakit pembuluh darah otak (serebrovaskular) yang ditandai


dengan gangguan fungsional otak baik fokal maupun general secara mendadak yang t
erjadi lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian yang melibatkan pembuluh darah
di otak. Keterlibatan pembuluh darah dikarenakan pembuluh darah mengalami penye
mpitan, penyumbatan atau perdarahan karena pecahnya pembuluh darah. Stroke meru
pakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota ge
rak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecatatan yang la
in sebagai akibat gangguan fungsi otak (Lily & Catur, 2016).
Menurut data South Asian Medical Information Care (SEAMIC) angka kemati
an stroke terbesar terjadi di Indonesia kemudian diikuti oleh Filipina, Singapura, Brun
ei, Malaysia dan Thailand. Stroke infark merupakan jenis stroke yang paling banyak d
iderita di Indonesia yaitu sebesar 52,9%, lalu diikuti oleh perdarahan intraserebral, per
darahan subarachnoid dan emboli dengan angka kejadian masing-masingnya yaitu 38,
5%, 7,2%, dan 1,4% (Basjiruddin dan Darwin, 2008). Di Indonesia penyakit stroke m
enduduki peringkat ketiga setelah jantung dan kanker. Hasil Riskesdas menunjukkan
data 8,3 per 1000 penduduk menderita stroke. Pada tahun 2013, terjadi peningkatan y
aitu sebesar 12,7%. Penyakit stroke menjadi penyebab utama kematian hampir di sem
ua rumah sakit di Indonesia, yaitu sebesar 14,5% (Permatasari, 2020; Putra et al., 202
0; Yulendasari, 2017).
Terdapat dua jenis, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke i

skemik). Stroke hemoragik diakibatkan oleh karena pecahnya pembuluh darah di otak
sedangkan stroke non hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang k
emudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Dari seluruh
kejadian stroke, 1/3 adalah stroke hemoragik dan 2/3 adalah stroke iskemik (Putra et
al., 2020; Laulo et al., 2016; Saputri dan Meutia, 2016).
Stroke dipengaruhi oleh dua faktor risiko yaitu faktor risiko yang dapat dimodi
fikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dianta
ranya adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, merokok, mengkonsumsi
alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan fakt
or genetic (Qurbany dan Adityo, 2016).
Tingginya prevalensi kematian yang disebabkan oleh stroke, menjadi perhatia
n bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman yang ba
ik tentang penyakit merupakan bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga medi
s lainnya dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua
bagian sistem saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara
anatomis terdiri dari cerebrum cerebellum, brainstem, dan limbic
system Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi
meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami
regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam
situasi tertentu bagian-bagian otak mengambil alih fungsi dari
bagian bagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke
(Derrickson & Tortora, 2013). Otak dibagi menjadi dua hemisfer
yaitu hemisfer kanan dan kiri yang saling terhubung. Otak kiri lebih
dominan dengan bahasa, logis, dan kemampuan matematika

sedangkan otak kanan merupakan otak yang lebih kreatif, lebih


dominan artistik dan musikal serta intuisi.
Gambar 1. Anatomi Otak

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen


bagiannya adalah (Thau et al, 2019) :
1. Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai
dengan sulkus (celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa
lobus yaitu:
a. Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang
lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara
(area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian
ini mengandung pusat

pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik


primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada
lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara,
lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara,
motivasi dan inisiatif.
b. Lobus temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari
fisura lateralis dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis
Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan
emosi.
c. Lobus parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di
gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan
pendengaran.
d. Lobus oksipital
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain & memori.
e. Lobus limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori
emosi dan bersama hipotalamus menimbulkan perubahan melalui
pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom.
2. Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung
lebih banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan.
Memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik
yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima,
inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum
merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal.
3. Batang Otak
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang
mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan
medulla spinalis

dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting


adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara
medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial. Darah mengangkut zat asam, makanan dan
substansi lainnya yang diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang
baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran
darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri
ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh pembuluh darah yang
bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain
sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel
(Konan et al, 2018).
1. Pembuluh darah arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
vertebralis dan arteri karotis interna, yang bercabang dan
beranastomosis membentuk circulus willisi. Arteri karotis interna
dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir
pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat
akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar
arteri communicans posterior yang bersatu ke arah kaudal
dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling
berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri
vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subklavia sisi yang
sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteri
inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang
langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak
melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula
oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.
2. Pembuluh darah vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus
dura mater, suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam
struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai
katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar
vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis
superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang
utama adalah vena anastomotica magna yangmengalir ke dalam
sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang
mengalir ke dalam sinus transversus. Vena-vena cerebri profunda
memperoleh aliran darah dari basal ganglia.

Gambar 2. Pembuluh darah arteri pada otak

2. Definisi
Stroke atau disebut juga cerebrovascular accident (CVA)
merupakan keadaan dimana adanya kekurangan perfusi darah ke
otak secara mendadak. Stroke juga di definisikan sebagai adanya
temuan neurologis fokal pada waktu yang akut, di daerah vaskuler
yang disebabkan oleh penyakit cerebrovascular (Tadi & Lui, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan
tanda klinis fokal yang dapat berkembang pesat (atau global) yang
dapat memberat, berlangsung selama lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vascular (Coupland et al, 2017).
Terdapat dua jenis stroke yaitu stroke perdarahan (Stroke
Hemoragik) dan stroke bukan perdarahan (Stroke Non-hemoragik)
atau sering disebut stroke iskemik. Stroke iskemik disebabkan oleh
adanya gangguan aliran darah pada area tertentu pada otak. 85%
dari seluruh stroke merupaakan stroke iskemik. Stroke perdarahan
diakibatkan karena ada pembuluh darah yang pecah (perdarahan
akut), stroke ini memiliki 2 jenis yaitu perdarahan intracerebral dan
perdarahan subarachnoid yang memiliki prevalensi 5% dari seluruh
stroke (Tadi & Lui, 2018).

3. Epidemiologi
Kejadian penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang
banyak menyita perhatian di banyak negara baik di negara maju
maupun sedang berkembang. Perubahan perilaku hidup tradisional
ke perilaku hidup modern yang cenderung merupakan pola hidup
tidak sehat mengakibatkan peningkatan angka kejadian penyakit
yang berkaitan dengan gaya hidup, salah satunya adalah risiko
penyakit stroke. Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 50 juta jiwa dan 9 juta diantaranya mengalami kecacatan
yang berat. Stroke juga menjadi penyebab utama terjadinya
kecacatan dalam jangka panjang dan berisiko mengalami gangguan
kognitif yang lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak terkena
stroke (Khariri & Saraswati, 2021).
Secara global setidaknya 5 juta orang meninggal akibat
stroke dan jutaan lainnya tetap lumpuh (Khaku & Tadi, 2017). Rata-
rata tiap 40 detik, satu orang terkena stroke dan tiap 4 menit satu
kematian terjadi akibat stroke (Tadi & Lui, 2018). Wanita lebih
berisiko terkena stroke jenis apapun. Penyakit stroke juga
merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di Indonesia
dengan angka kematian sebanyak 138.268 jiwa atau 9,7% dari total
kematian. Dari hasil Riskesdas yang telah dilakukan di Indonesia
pada tahun 2007, 2013 dan 2018, prevalensi kejadian stroke dalam
12 tahun terakhir masih cukup tinggi (Khariri & Saraswati, 2021).
Riset Kesehatan Dasar, Balitbangkes, Kemenkes RI
menemukan bahwa angka kejadian stroke sebesar 7% pada tahun
2013, sedangkan Riskesdas tahun 2018 menemukan angka kejadian
stroke meningkat menjadi 10,9% pada tahun 2018. Berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9%,
atau diperkirakan sebanyak
2.120.362 orang, Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan DI
Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan prevalensi
tertinggi stroke di Indonesia. Papua dan Maluku Utara memiliki
prevalensi stroke terendah dibandingkan provinsi lainnya, yaitu
4,1% dan 4,6% dan Bali sendiri merupakan wilayah dengan angka
kejadian stroke sebanyak 10,7%. Berdasarkan angka kelompok
umur, kejadian stroke tertinggi terjadi pada kelompok umur 55-64
tahun (33,3%) dan terendah terjadi di kelompok umur 15-24 tahun.
Antara laki- laki dan perempuan, memiliki proporsi angka kejadian
stroke yang hampir sama, yaitu 49,9 % pada kelompok perempuan
dan 50,1% pada kelompok laki- laki. Penduduk yang terkena stroke
sebagian besar penduduk yang tinggal di perkotaan, yaitu sebesar
63,9%. Sedangkan penduduk desa memiliki proporsi stroke sebesar
36,1% (Kemenkes, 2018).
4. Etiologi dan Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan
stroke yaitu hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia,
imobilitas fisik, obesitas, genetik dan merokok (Tadi & Lui, 2018).
Selain itu faktor risiko stroke dapat dibedakan menjadi faktor yang
dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak
dapat diubah berupa umur, jenis kelamin, rasa tau etnik, genetik,
dan riwayat transient ischemic attack (TIA). Sedangkan faktor yang
dapat dimodifikasi berupa tekanan darah tinggi, merokok,
penggunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, imobilitas fisik,
hiperlipidemia, diet, diabetes mellitus, dan atrial fibrillation
(Kuriakose & Xiao, 2020).
Dari semua faktor risiko, hipertensi merupakan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi yang paling sering ditemukan. Hipertensi
kronis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan stroke pada
pembuluh darah kecil terutama pada bagian kapsula interna,
thalamus, pons dan cerebellum. Hipertensi yang tidak terkontrol
merupakan penyebab terbanyak stroke perdarahan (Tadi & Liu,
2018). Tiap menurunkan tekanan darah 10 mmHg maka akan
menurunkan risiko stroke sebanyak 1/3 kali dan hal ini dapat
dikatakan sebagai pencegahan stroke primer (Khaku & Tadi, 2017).

Gambar 3. Bagan Faktor Risiko Stroke

Menurut TOAST (Trial of Org 10.172 in Acute Stroke Treat


ment) mengklasifikasikan stroke iskemik berdasarkan etiologi menj
adi lima subtype, yaitu: (1) large-artery atherosclerosis (LAA), (2)
cardioembolism (CE), (3) small-vessel occlusion, (4) stroke of other
determined etiology dan (5) stroke of undetermined etiology/crypto
genic. Menentukan jenis stroke iskemik bermanfaat untuk mencega
h stroke berulang pada kasus ini (Patil et al, 2022). Beberapa studi
mengatakan bahwa stroke cryptogenic sebenarnya diakibatkan cardi
oemboli namun masih belum bisa dipastikan dengan jelas (Sporns e
t al, 2017).

Secara umum stroke iskemik dapat diakibatkan oleh emboli


dan thrombus. Stroke emboli dapat terjadi saat sumber sumbatan
bermigrasi menyumbat arteri cerebri bagian distal lalu
menyebabkan hipoperfusi pada jaringan otak dan akhirnya terjadi
iskemia jaringan. Emboli ini dapat berasal dari berbagai sumber
seperti dari jantung, aorta, arteri besar, vena besar dari bagian pelvis
atau tungkai bawah dan sumber yang tidak diketahui. Stroke
iskemik yang disebabkan oleh emboli jantung merupakan subtype
stroke iskemik yang paling berat. Risiko penyakit jantung yang
dapat menyebabkan stroke emboli berupa atrial fibrillation,
miokardial infark akut, katup jantung prostetik, miokardiopati
dilatasi dan stenosis rheumatic katup mitral (Ibrahim & Murr,
2020).
Stroke thrombus diakibatkan karena terbentuknya thrombus
pada arteri otak sehingga mengyumbat aliran darah dan menyebabk
an iskemik jaringan. Thrombus ini dapat terbentuk di arteri besar
maupun arteri kecil, gejala dan tanda klinis yang muncul tergantung
arteri yang tersumbat. Saat stroke thrombus terjadi pada arteri kecil
dan memperdarahi bagian paling dalam otak, dapat disebut juga
stroke lacunar karena hanya sebagian kecil otak yang terkena
stroke. Lacunar berasal dari bahasa latin yang berarti “lubang” atau
“kavitas”. Lakunar biasanya ditemukan pada pasien yang memiliki
diabetes atau hipertensi (Ibrahim & Murr, 2020).

5. Patogenesis dan Patofisiologi


Patogenesis stroke dapat dimulai dari penyebab stroke itu
sendiri, seperti aterosklerosis yang ada pada pembuluh darah di luar
maupun di dalam otak, rupture nya aneurisma, perdarahan
intratumor, malformasi arterivena, hipertensi kronik dan adanya
trauma kepala. Hipertensi kronik dapat menyebabkan
mikroaneurisma pada pembuluh darah kecil sehingga dapat
menyebabkan pecah atau ruptur dan terjadi perdarahan. Pada stroke
iskemik, tanda gejala klinis muncul akibat menurun nya suplai
oksigen ke otak, sehingga dapat menyebabkan iskemik jaringan,
inflamasi hingga kematian sel atau nekrosis (Kuriakose & Xiao,
2020).

Gambar 4. Patogenesis Stroke secara umum


Gambar 5. Patogenesis Stroke Iskemik
Oksigen sangat penting untuk otak, jika terjadi hipoksia
seperti yang terjadi pada kasus stroke, maka otak akan mengalami
perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen.
Pembuluh darah yang paling sering terkena adalah arteri serebral
dan arteri karotis interna (Guyton & Hall, 2014). Adanya gangguan
pada peredaran darah otak dapat mengakibatkan cedera pada otak
melalui beberapa mekanisme, yaitu:
a. Penebalan dinding pembuluh darah (arteri serebral) yang
menimbulkan penyembitan sehingga aliran darah tidak adekuat
yang dapat mengakibatkan iskemik.
b. Pecahnya dinding pembuluh darah yang dapat menimbulkan
hemoragik
c. Pembesaran satu atau lebih pembuluh darah yang dapat
menekan jaringan otak.
d. Edema serebral yang merupakan pengumpulan cairan pada
ruang interstitial jaringan otak
Awalnya penyempitan pembuluh darah otak menyebabkan
perubahan pada aliran darah lalu setelah terjadi stenosis yang cukup
hebat dan melampaui batas krisis maka terjadi pengurangan darah
secara drastis dan cepat. Obtruksi suatu pembuluh darah arteri di
otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak
normal sekitarnya masih mempunyai peredaran darah yang baik
berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis
yang ada. Perubahan yang terjadi pada korteks akibat oklusi
pembuluh darah awalnya adalah gelapnya warna darah vena,
penurunan kecepatan aliran darah dan dilatasi arteri dan arteriola.
Pengurangan aliran darah ini mempengaruhi pompa Na/K ATPase
yang gagal untuk bekerja karena kekurangan produksi ATP dan
gagal nya metabolisme aerobic sehingga dapat menyebabkan
iskemik jaringan. Iskemik jaringan dapat berujung depolarisasi sel
yang menyebabkan influx Kalsium kedalam sel, meningkatnya
kadar asam laktat, asidosis dan meningkatnya kadar radikal bebas.
Sehingga lama kelamaan akan terjadi kematian sel yang akan
meningkatkan glutamate dan akan terjadi kaskade eksitotoksisitas
(Khaku & Tadi, 2017).

6. Tanda & Gejala Klinis


Tanda dan gejala klinis stroke sesuai dengan penyebab
stroke itu sendiri, apakah stroke perdarahan atau non-perdarahan
atau iskemik dan juga bergantung pada bagian otak yang tidak di
suplai darah oleh pembuluh darah yang pecah atau tersumbat.
Tanda dan gejala yang timbul dapat diketahui melalui anamnesis
serta pemeriksaan fisik dan dapat terlokalisasi pada regio yang
terkena. Gejala umum yang timbul diantaranya adalah hemiparesis,
deficit sensorik, diplopia, dysarthria dan wajah merot. Stroke yang
terjadi pada sirkulasi posterior dapat menimbulkan gejala ataxia dan
vertigo yang tiba-tiba. Gejala yang berkaitan dengan peningkatan
tekanan intracranial seperti mual, muntah, nyeri kepala serta
pandangan buram atau ganda dapat mendukung adanya stroke
hemoragik. Untuk menyempurnakan anamnesis tanda gejala klinis,
perlu juga mengetahui onset awal gejala untuk menentukan terapi
saat diagnosis stroke sudah tegak (Tadi & Lui, 2018).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sanyasi & Pinzon
(2018) bahwa gejala klinis yang paling sering timbul pada pasien
dengan stroke iskemik maupun stroke hemoragik adalah kelemahan
pada ekstremitas, sedangkan gejala yang paling jarang ditemukan
adalah wajah yang merot dan asimetris. Terdapat beberapa gejala
awal yang dapat dengan mudah diketahui oleh orang awam atau
non-medis yaitu dengan singkatan F.A.S.T. dengan F adalah facial
weakness dan cara memeriksa gejala ini adalah dengan meminta
pasien untuk senyum lalu dilihat apakah ada kelemahan pada satu
sisi wajah atau tidak. A untuk arm weakness yaitu adanya
kelemahan pada lengan dan cara memeriksa pasien yaitu dengan
meminta pasien untuk mengangkat kedua tangan dan dilihat apakah
ada tangan yang lebih cepat turun atu tidak. S yaitu speech
problems atau masalah berbicara, kita dapat mengetahui dengan
meminta pasien untuk mengulang kalimat sederhana dan
diperhatikan apakah sulit berbicara atau bicara tidak jelas dalam
artikulasi. terakhir adalah T yaitu time ti act, apabila menemukan
seseorang dengan gejela tadi harus dengan cepat dibawa ke fasilitas
kesehatan dengan cepat agar dapat di tatalaksana secara optimal
(Jin, 2014).

Gambar 6. F.A.S.T. sebagai cara mudah mengenal gejala Stroke


Gambar 7. Klinis berdasarkan Pembuluh darah yang tersumbat
Otak mendapatkan vaskularisasi dari arteri interna internus
cabang arteri karotis komunis. Arteri ini akan bercabang menjadi
beberapa bagian yaitu (1) a. cerebral anterior (ACA), (2) a. cerebral
media (MCA), (3) a. cerebral posterior (PCA), (4) a. vertebrae
basilar (VBA), dan (5) a. basilaris. Pada Gambar 4 dapat dilihat
apabila terdapat isemik aliran darah pada ACA makan akan timbul
klinis kelemahan pada sisi tubuh kontralateral lesi dan kehilangan
sensorik pada ekstremitas bagian bawah. Apabila terdapat iskemik
pada aliran darah pembuluh MCA pada lobus cerebri kanan maka
akan timbul klinis adanya neglect pada tubuh bagian kiri dan
apabila terjadi iskemik MCA pada lobus cerebri kiri maka akan
timbul afasia seperti afasia Wernicke maupun afasia broca. Selain
itu menurunnya aliran darah pada MCA dapat menimbulkan adanya
hemiparesis dan deficit sensorik sisi kontralateral, agnosia, apraxia
dan agraphia.
Aliran darah yang berkurang pada PCA dapat menimbulkan
kehilangan sensorik, kehilangan ingatan, hemianopsia homonimus
kontralateral dengan sisi lesi dan alexia atau sulit untuk membaca.
Penurunan aliran darah pada VBA dapat menimbulkan klinis
adanya kelainan pada saraf kranial seperti dysarthria (pada saraf IX
dan X), diplopia, kebas pada wajah dan paresthesia (pada saraf VII),
hingaa syndrome Foville’s, selain itu juga terdapat adanya deficit
motoric seperti ataxia dan sindrom lain hingga sensorik vibrasi dan
posisi yang terganggu pada kedua sisi maupun satu sisi tubuh.
Apabila terjadi penurunan aliran darah pada BA maka dapat terjadi
tanda klinis kelainan saraf kranial seperti tatapan yang tidak lurus
(kelainan pada saraf III, IV, dan VI), hipoalgesia pada satu sisi
wajah yang sama dengan lesi (kelainan pada saraf V), paralisis
LMN unilateral, vertigo hingga dysarthria. Kelainan motoric yang
dapat terjadi berupa hemiparesis kontralateral dengan lesi,
quadriplegia, dan hipoalgesiapadaekstremitaskontralateral.

7. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis stroke dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Hal yang paling
penting yang perlu digali dalam anamnesis adalah harus mengetahui
kapan pasien terlihat normal atau kapan keluhan pertama awal
muncul (onset). Hal ini penting terutama pada stroke iskemik untuk
menentukan apakah pasien memenuhi kriteria untuk mendapatkan
rTPA atau terapi intervensi endovascular lain untuk stroke. Faktor
lain seperti ateroskelorsis, penyakit kardiovaskular, diabetes,
riwayat merokok, penyalahgunaan obat, migraine, kejang, trauma
atau kehamilan juga perlu di gali lebih lanjut (Khaku & Tadi, 2017).
Untuk mendiagnosis berdasarkan klinis saja termasuk sulit, karena
sulit membedakan gejala dan tanda klinis dari stroke hemoragik dan
non- hemoragik. Adanya nyeri kepala saat dan/atau adanya
perubahan kesadaran pada onset, dapat mengindikasikan adanya
perdarahan namun klinis ini juga dapat timbul pada infark iskemik
di hemisfer cerebri bagian dalam (Tadi & Liu, 2018).
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk pasien
dengan kecurigaan stroke. Skor The National Institutes of Health
Stroke Scale (NIHSS) merupakan skor yang paling digunakan untuk
menilai derajat keparahan dari stroke dan memiliki 11 kategori
dengan skor bervariasi dari 0 – 42. 11 kategori tersebut mencakup
derajat kesadaran atau level of consciousness (LOC), dengan
menanyakan beberapa pertanyaan, mengevaluasi pandangan mata,
visual, ada penilaian juga terhadap wajah yang merot, kekuatan
motorik pada tangan dan kaki, ataxia pada ekstremitas, kelainan
sensorik, kelainan berbahasa atau afasia, dysarthria, serta inatensi.
Dengan skala stroke tersebut harus dinilai sesuai dengan urutannya.
Skor berdasarkan kemampuan pasien pada saat diperiksa, bukan
sebagai prediksi terhadap apa yang pasien dapat lakukan (Hui, Tadi
& Patti, 2022). NIHSS memiliki skor maksimum 42 dan skor
minimum 0. Interpretasi dari NIHSS yaitu: skor >25 sangat berat,
14-25 berat, 5-14 sedang, dan < 5 ringan.
Tabel 1. Skor NIHSS untuk Stroke (adaptasi Bahasa Indonesia)
Selain NIHSS, skor lain yang biasa digunakan dalam
penanganan awal stroke adalah Siriraj Skor. Siriraj Stroke Score
(SSS) merupakan sistem skoring penilaian jenis stroke, hemoragik
dan iskemik yang dirancang oleh Poungvarin dan Viriyavejakul
tahun 1991. Sistem skoring ini tidak membutuhkan pemeriksaan
khusus seperti CT-Scan atau MRI. Penilaian ini muncul
dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu pemeriksaan CT- Scan belum
tentu dapat dilakukan pada daerah-daerah terpencil dimana fasilitas
kesehatannya masih sangat terbatas dan transportasi yang masih
sangat terbatas untuk dapat membawa pasien ke rumash sakit
dimana tersedia CT-Scan. Penelitian pertama mengenai SSS ini
yang dilakukan oleh dua profesor neurolog tersebut menunjukkan
bahwa tingkat akurasi alat ini adalah sebesar 90,3%. Siriraj Stroke
Score mempunyai nilai akurasi yang tinggi, yang dapat untuk
membedakan jenis stroke yang terjadi pada pasien dengan
hemoragik maupun iskemik. Masing - masing penelitian mampu
menunjukkan nilai sensitifitas, nilai spesifitas, nilai prediksi positif,
dan nilai prediksi negatif dengan baik dan di atas rata-rata sehingga
nilai kesesuaian dengan hasil CT - Scan juga baik. Dalam
perkembangan selanjutnya, SSS merupakan penilaian awal untuk
mendeteksi jenis stroke yang terjadi pada pasien saat CT-Scan
belum dapat dilakukan sehingga penanganan awal pun dapat segera
dilakukan (Pujiastuti, 2018).
Tabel 2. Siriraj Score untuk membedakan Stroke Perdarahan atau Stroke
Iskemik

Adapun interpretasi dari SSS adalah apabila skor SSS > 1


berarti pasien mengalami stroke hemoragik (perdarahan), dan
apabila skor SSS <
-1 maka pasien mengalami stroke iskemik. Apabila skor antara -1
dan 1 maka hasilnya adalah samar-samar dan membutuhkan
intervensi pemeriksaan CT-Scan sesegera mungkin (Hui, Tadi &
Patti, 2022). Skor Siriraj memiliki kelebihan diantaranya yaitu
tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengkaji awal gejala
pasien, sistem penilaian yang semakin dapat mengatasi masalah
penilaian klinis untuk menentukan diagnosa dengan cepat, SSS
lebih menguntungkan karena dapat mengumpulkan informasi
secara sederhana dan cepat, dan penggunaan sistem penilaian Skor
Siriraj kemungkinan akan menghasilkan penghematan biaya yang
cukup besar di negara-negara dengan penghasilan rendah. Namun,
salah satu keterbatasan Skor Siriraj adalah hasil samar yang berada
pada rentang skoring -1 dan 1 sehingga memang membutuhkan
CT Scan untuk mengetahui penyebab stroke yang terjadi.
Pembedaan jenis stroke ini akan menentukan treatment dan asuhan
keperawatan selanjutnya. Hal ini penting karena perawatan dengan
intervensi definitif untuk pasien dengan infark serebral (misalnya
tromblisis, antikoagulan, atau terapi antiplatelet) berbahaya jika
diberikan sengaja untuk pasien dengan perdarahan otak (Pujiastuti,
2018).
8. Pemeriksaan penunjang
Sebagai penunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik,
neuroimaging atau pemeriksaan radiologi yang menyangkut dengan
saraf, sangat penting dilakukan untuk evaluasi stroke dan dilakukan
untuk mengkonfirmasi stroke serta mencari penyebab awal etiologic
pada stroke (Ibrahim & Murr, 2020). CT Scan kepala tanpa kontras
merupakan pemeriksaan radiologi paling penting dan yang pertama
dilakukan pada situasi gawat darurat untuk menegakan diagnosis
maupun menyingkirkan perdarahan maupun stroke hemoragik.
Berdasarkan hasil dari CT Scan dan riwayat onset pasien, pasien
dengan stroke iskemik dapat menjadi kandidat untuk terapi
fibrinolitik (Tadi & Lui, 2018). Pada studi lain, CT Scan kepala
non-kontras atau dengan MRI kepala direkomendasikan pada pasien
dengan onset 20 menit untuk menyingkirkan perdarahan. Pada
rumah sakit yang merupakan stroke centers atau dapat menyediakan
terapu kegawatan, radiologi vascular dapat dipertimbangkan untuk
melihat kemampuan intervensi endovascular; namun hal ini tidak
boleh menjadi halangan untuk terapi trombolitik (Hui, Tadi & Patti,
2022).
Terdapat skoring yang dapat menilai keparahan infark MCA
dengan hanya menggunakan CT Scan non-kontras yaitu The
Alberta Stroke Program Early CT Score (ASPECTS). Skor
ASPECTS ini merupakan sistem skoring berdasarkan topografis
lokasi infark yang ada. Ini merupakan sistem skoring skala 10-poin
yang sesuai dengan regio MCA yang dimana setiap 1 poin akan
dikurangkan dari skor bila ditemukan adanya lesi iskemik sesuai
regio yang terlihat pada CT Scan. Lesi kecil di lokasi kritis dapat
jauh lebih serius dibanding lesi besar namun tidak di lokasi yang
tidak kritis dimana hal ini lah yang ingin ditunjukkan dengan
skoring ASPECTS ini. Beberapa belakangan ini ASPECTS masuk
kedalam pedoman AHA untuk menajemen stroke akut dalam terapi
endovaskuler dan dengan modal skor ASPECTS ≥6
direkomendasikan untuk terapi endovaskular (Mokin et al, 2017).

Gambar 8. Alberta Stroke Programme Early CT Score


Tanda awal stroke pada CT Scan kepala yaitu adanya
segmen pembuluh darah yang hiperdens (visualisasi langsung pada
thrombus/emboli intravascular) dan paling banyak terlihat di MCA
(hyperdense MCA sign atau MCA dot sign). Interpretasi CT Scan
perfusi berupa adanya inti infark dan daerah penumbra (Khaku &
Tadi, 2017). Saat menyarankan untuk melakukan CT Scan perlu
diperhatikan beberapa hal yang dapat di dapatkan termasuk
didalamnya: (1) Apakah stroke ini iskemik atau perdarahan, (2)
Berapakah ukuran dan lokasi nya? (3) Apa penyebab stroke? (4)
Apakah pasien merupakan kandidat untuk rTPA intravena? (5)
Apakah terdapat oklusi pembuluh darah besar? (6) Apakah pasien
ini kandidat untuk trombektomi intraaterial? (7) Apakah terdapat
penumbra iskemik (Lin & Liebeskind, 2016).
Gambar 9. Gambaran CT Scan Kepala Non-Kontras Stroke Iskemik

Selain dengan CT Scan kepala, stroke juga dapat di


tegakkan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) terutama
untuk stroke infark iskemik akut, MRI dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis dan juga menginformasikan lokasi serta
ukuran dari infark. MRI tidak menjadi radiologi penunjang utama
karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan tidak
banyak rumah sakit yang memiliki alat MRI (Tadi & Lui, 2018).
Pemeriksaan lain berupa EKG (electrocardiogram), troponin,
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin dan faktor koagulasi. Pemeriksaan EKG dan troponin
direkomendasikan karena stroke seringkali berkaitan dengan
penyakit jantung coroner. Pemeriksaan darah lengkap dapat melihat
anemia dan menyelidiki infeksi. Kelainan pada elektrolit harus
diperbaiki. BUN dan kreatinin harus selalu dipantau untuk
memantau fungsi ginjal. Faktor koagulasi termasuk didalamnya
berupa APTT, PT dan INR, juga harus diperiksa karena
peningkatan hal ini dapat menjadi suatu tanda stroke hemoragik
(Hui, Tadi & Patti, 2022). Pada studi lain dikatakan bahwa
pemeriksaan laboratorium berguna untuk mengetahui keadaan dasar
pasien dan menyediakan beberapa petunjuk mengenai penyebab
stroke yang terjadi. Pemeriksaan laboratorium yang biasa di
kerjakan adalah pemeriksaan metabolik, pemeriksaan darah
lengkap, profil lipid, HbA1c, ureum, kreatinin, albumin hingga laju
filtrasi glomerulus (GFR). Dari beberapa pemeriksaan laboratorium
ini, gula darah, jumlah platelet dan PT atau APTT sangat penting
untuk menentukan apakah pasien unnu merupakan kandidat
trombolisis atau tidak (Tadi & Lui, 2018).

9. Tatalaksana
Stroke iskemik dapat terjadi dimanapun dan kapanpun dan
harus segera dideteksi oleh orang di lingkungan sekitar nya. Deteksi
awal dapat menggunakan beberapa ciri khas gejala dan tanda stroke
dengan F.A.S.T. Lalu dapat dilanjutkan skoring dengan skoring
NIHSS untuk mengetahui derajat keparahan dari stroke yang
diderita. Tujuan utama dari terapi stroke iskemik adalah untuk
menyelamatkan jaringan di area dimana aliran darah menurun atau
berkurang namun masih belum terjadi infark. Jaringan pada area
oligemia ini diselamatkan dengan mengembalikan aliran darah ke
area yang terkena dengan sistem aliran darah kontralateral dan
mengembalikan aliran darah ini dapat meminimalisasi efek dari
iskemik apabila dilakukan dengan cepat. Manajemen stroke iskemik
akut dimulai dari evaluasi awal berupa airway, breathing,
circulation serta tanda-tanda vital. Pasien dapat memiliki kelainan
pada respirasi karena adanya peningkatan tekanan intracranial dan
memiliki risiko aspirasi dan asfiksia. Intubasi endotrakeal mungkin
diperlukan untuk memastikan suplai oksigen adekuat dan ventilasi
pernapasan. Selain itu perlu diperiksa pula gula darah sewaktu pada
pasien
untuk menyingkirkan hipoglikemia yang dapat menyebabkan
abnormalitas pada pemeriksaan neurologis (Hui, Tadi & Patti,
2022). Selanjutnya pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria
untuk rTPA dan tidak memiliki kontraindikasi untuk rTPA harus
diberikan rTPA intravena (Khaku & Tadi, 2017).
American Heart Association/American Stroke Association
(AHA/ASA) memperpanjang batas waktu pada pengambilan clot
mekanik dari 6 hingga 24 jam pada pasien tertentu. Berdasarkan
guideline terbaru, direkomendasikan trombektomi masih dapat
dikerjakan pada pasien 6 – 16 jam setelah serangan stroke serta
mereka juga memperluas kriteria yang dimana pasien yang tidak
dapat masuk ke kriteria intravena rTPA untuk menjalankan
trombektomi mekanik dalam waktu 6 jam onset. Pasien stroke harus
dipertimbangkan untuk trombektomi dibawah 6 jam setelah onset
stroke apabila mereka memiliki clot besar pada pembuluh darah
besar di bagian basal otak, dan masuk kedalam kriteria: pre stroke
modified Rankin Scale (mRS) skor bernilai 0 atau 1, penyebab
oklusi di arteri karotis internal atau arteri cerebri tengah segmen 1
(m1), usia lebih dari 18 tahun, skor NIHSS 6 atau lebih, dan
Program Alberta Stroke awal CT Scan bernilai 6 atau lebih (Hui,
Tadi & Patti, 2022).
Gambar 10. Algoritma Suspek Stroke menurut AHA/ASA 2018

Tissue Plasminogen Activator (rTPA) merupakan obat yang


akan menghancurkan klot dan disebut juga sebagai trombolitik.
Obat ini biasa digunakan dengan cara dimasukkan melalui kateter
intravena di tangan. Dengan pemberian obat ini, diharapkan dapat
memperbaiki klinis 3-6 bulan kemudian. Untuk hasil yang optimal,
rTPA ini diberikan dalam onset 3-4.5 jam dari awal keluhan stroke
dengan prognosis lebih cepat rTPA diberikan maka akan lebih baik
outcome yang dihasilkan (Powers et al, 2019). Sediaan obat yang
umumnya digunakan berupa alteplase dan untuk yang terbaru
terdapat tenecteplase yang terbukti memiliki rasio perfusi dan
outcome fungsional yang lebih baik dari alteplase (Herpich &
Rincon, 2020). Stroke iskemik, onset pemberian trombolisis
direkomendasikan ialah ≤4,5 jam atau ≤6 jam (bukan wake up
stroke) pada jalur intravena dengan sirkulasi anterior. Prosedur
aplikasi pemberian terapi trombolisis rtPA (Alteplase) pada stroke
iskemik akut memiliki kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yaitu:

A. Kriteria Inklusi
1. Usia ≥ 18 tahun
2. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas.
3. Onset ≤4,5 jam atau ≤6 jam
4. Tidak ada gambaran perdarahan intrakranial pada CT-scan /
MRI (DWI)
5. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan
dan risiko yang mungkin timbul. Harus ada persetujuan
tertulis dari pasien atau keluarga untuk dilakukan terapi rtPA
(Alteplase).
6. Boleh diberikan pada pasien yang mengkonsumsi aspirin
atau kombinasi aspirin dan clopidogrel sebelumnya
7. Boleh diberikan pada pasien gagal ginjal kronik dengan
aPTT normal (risiko perdarahan meningkat pada pasien
dengan peningkatan aPTT)
8. Boleh diberikan pada pasien dengan sickle cell disease
B. Kriteria Eksklusi
1. Defisit neurologis ringan (NIHSS ≤5) atau cepat
mengalami perbaikan.
2. Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.
3. Infark multilobar (gambaran hipodens >⅓ hemisfer serebri)
4. Kejang pada saat onset stroke
5. Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis postictal.
6. Riwayat stroke iskemik atau cedera kepala berat dalam 3
bulan sebelumnya.
7. Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada
pemeriksaan fisis.
8. Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2
minggu sebelumnya
9. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius
dalam 3 minggu sebelumnya.
10. Riwayat operasi intracranial / spinal 3 bulan terakhir.
11. Riwayat perdarahan intracranial
12. Pasien dengan tumor intrakranial intraaksial.
13. Tekanan darah sistolik >185 mmHg, diastolik >110 mmHg.
14. Glukosa darah <50 mg/dL atau >400 mg/dL.
15. Gejala perdarahan subaraknoid.
16. Gejala endokarditis infektif.
17. Gejala atau kecurigaan diseksi aorta.
18. Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau
pungsi lumbal dalam 1 minggu sebelumnya.
19. Jumlah platelet <100.000/mm3.
20. Bila mendapat terapi heparin dalam 48 jam atau LMWH
dalam 24 jam terakhir.
21. Gambaran klinis adanya perikarditis post infark miokard.
22. Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya.
23. Wanita hamil
24. Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral (atau bila
sedang dalam terapi antikoagulan hendaklah INR ≤1,7)
25. Nilai aPTT >40 atau PT >15
Pemberian IV rtPA (Alteplase) dosis 0,6-0,9 mg/kg BB
(maksimum 90 mg), 10% dari dosis total diberikan sebagai bolus
inisial dalam 1 menit, dan sisanya diberikan sebagai infus selama 60
menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 4,5 jam
dari onset. Onset pemberian IV rtPA (Alteplase) dosis 0,6-0,9
mg/kgBB (maksimum 90mg) dapat diperpanjang hingga ≤ 6 jam
dari onset. Pasien dengan hipertensi yang tekanan darahnya dapat
diturunkan dengan obat antihipertensi secara aman, harus dijaga
kestabilan tekanan darah sebelum memulai rtPA (Alteplase).
Turunkan tekanan darah <185/110 mmHg sebelum pemberian
fibrinolitik. Setelah dilakukan pemberian rTPA pasien dapat
diberikan antikoagulan secara rutin dengan tujuan untuk
memperbaiki sel-sel saraf dan sebagai pencegahan dini terjadinya
stroke ulang. Pemberian anti-agregasi platelet seperti aspirin
direkomendasikan untuk stroke iskemik akut dengan dosis awal 160-
325 mg dalam 24-48 jam setelah onset stroke. Pada pasien yang
mendapat rTPA(alteplase) pemberian aspirin umumnya ditunda
sampai 24 jam setelah terapi. Pemberian dual antiplatelet (aspirin
dan clopidogrel) dalam 24 jam selama 21 hari pada pasien dengan
stroke minor bermanfaat untuk mencegah risiko stroke sekunder
hingga 90 hari setelah stroke. (Powers et al, 2019).
Edema serebri adalah penyebab utama kemunduran dini
keadaan dan kematian pada pasien dengan infark supratentorial
yang besar. Edema serebri biasanya berkembang antara hari ke-2
dan ke-5 dari awitan stroke, tetapi menjelang hari ke-3, pasien dapat
mengalami kemunduran neurologis dalam 24 jam sesudah awitan
keluhan. Terapi medikamentosa yang dapat digunakan untuk
mengurangi edema serebri yaitu manitol (25-50 gr diulangi tiap 3-6
jam) merupakan terapi medis lini pertama bila tanda klinis atau
radiologis menunjukkan terjadinya space occupying edema (Powers
et al, 2019).
Penurunan tekanan darah pada pasien stroke
direkomendasikan AHA/ASA dengan apabila tidak ada komorbid,
tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik)
dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik
(TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD)
>120mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diterapi
trombolitik rtPA (Alteplase), tekanan darah diturunkan hingga TDS
<185 mmHg dan TDD <110 mmHg. Selanjutnya, tekanan darah
harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg
selama 24 jam setelah pemberian rtPA (Alteplase). Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena. Untuk cara
pemberian nikardipin lihat tata laksana hipertensi arterial pada
pasien yang akan mendapat rtPA (Alteplase) (Herpich & Rincon,
2020).

10. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kasus stroke merupakan salah
satu faktor prognosis penting baik terhadap morbiditas maupun
mortalitas. Estimasi frekuensi komplikasi berkisar 48% - 96% dan
berhubungan denganperburukan hasil akhir yang bermakna.
Komplikasi stroke merupakan diagnosis- diagnosis atau penyakit-
penyakit yang muncul pada pasien stroke setelah dirawat.
Komplikasi stroke meliputi infeksi thorax, konstipasi,
pneumonia,UTI (Urinary Tract Infection), Depresi, Kejang, stroke
berulang, jantung kongestif, luka tekan (Dekubitus) (Rohmah &
Harahap, 2015). Menurut AHA/ASA (Powers et al, 2019)
komplikasi stroke yang paling sering adalah:
 Edema otak
 Pneumonia
 Infeksi Saluran Kemih
 Kejang
 Ulkus dekubitus
 Kontraktur pada ekstremitas
 Nyeri pada bahu
 dan deep vein thrombosis (DVT)
11. Prognosis
Stroke memiliki prognosis yang sangat bergantung pada
derajat keparahan, lokasi yang terkena iskemik, struktur otak yang
terkena iskemik, waktu identifikasi onset, waktu memulai terapi,
lama terapi, intensitas terapi fisik dan okupasi serta fungsi basal
pasien itu sendiri (Hui, Tadi & Patti, 2022). Salah satu skoring
yang dapat digunakan adalah Totaled Health Risks in Vascular
Events (THRIVE), skor ini dapat memprediksi hasil pasca stroke
dengan fungsional buruk terutama pada pasien stroke iskemik. Isi
skoring dari THRIVE berupa skoring NIHSS saat selesai

perawatan, usia pasien, dan adanya komorbid seperti hipertensi,


diabetes mellitus, dan atrial fibrilasi (Chen et al, 2019).

Gambar 11. THRIVE score


DAFTAR PUSTAKA
Chen, B., Yang, L., Hang, J., You, S., Li, J., Li, X., Wang, L., Jiang, L., Li,
W. and Yu, H., 2019. Predictive value of the THRIVE score for
outcome in patients with acute basilar artery occlusion treated
with thrombectomy. Brain and Behavior, 9(10), p.e01418.
Coupland, A. P., Thapar, A., Qureshi, M. I., Jenkins, H., & Davies, A. H.
(2017). The definition of stroke, 110(1),9–12.
https://doi.org/10.1177/0141076816680121
Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 12. Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier
Herpich, F. and Rincon, F., 2020. Management of acute ischemic stroke.
Critical Care Medicine, 48(11), p.1654.
Hui, C., Tadi, P. and Patti, L., 2022. Ischemic stroke. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Ibrahim, F. and Murr, N., 2020. Embolic Stroke. In StatPearls [Internet].
StatPearls Publishing.
Jin, J., 2014. Warning Signs of a Stroke. JAMA, 311(16), pp.1704-1704.
Kementrian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementrian
Kesehetan RI.
Khaku, A.S. and Tadi, P., 2017. Cerebrovascular disease. In StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing.
Khariri, K. and Saraswati, R.D., 2021, March. Transisi Epidemiologi
Stroke sebagai Penyebab Kematian pada Semua Kelompok Usia
di Indonesia. In Seminar Nasional Riset Kedokteran (Vol. 2, No.
1).
Konan, L.M., Reddy, V. and Mesfin, F.B., 2018. Neuroanatomy, Cerebral
Blood Supply. In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Kuriakose, D. and Xiao, Z., 2020. Pathophysiology and treatment of stroke:
present status and future perspectives. International journal of
molecular sciences, 21(20), p.7609.
Lin, M.P. and Liebeskind, D.S., 2016. Imaging of ischemic stroke.
Continuum: Lifelong Learning in Neurology, 22(5), p.1399.
Mokin, M., Primiani, C.T., Siddiqui, A.H. and Turk, A.S., 2017. ASPECTS
(Alberta Stroke Program Early CT Score) measurement using
Hounsfield unit values when selecting patients for stroke
thrombectomy. Stroke, 48(6), pp.1574-1579.
Patil, S., Darcourt, J., Messina, P., Bozsak, F., Cognard, C. and Doyle, K.,
2022. Characterising acute ischaemic stroke thrombi: insights
from histology, imaging and emerging impedance-based
technologies. Stroke and Vascular Neurology, pp.svn-2021.
Powers, W.J., Rabinstein, A.A., Ackerson, T., Adeoye, O.M., Bambakidis,
N.C., Becker, K., Biller, J., Brown, M., Demaerschalk, B.M.,
Hoh, B. and Jauch, E.C., 2019. Guidelines for the early
management of patients with acute ischemic stroke: 2019 update
to the 2018 guidelines for the early management of acute
ischemic stroke: a guideline for healthcare professionals from the
American Heart Association/American Stroke Association.
Stroke, 50(12), pp.e344-e418.
Pujiastuti, D., 2018. Pentingnya Siriraj Stroke Score Di Area keperawatan
Gawat Darurat. Jurnal Kesehatan, 5(1), p. 8-14.
Rohmah, Q.A.M. and Harahap, M., 2015. HUBUNGAN ANTARA USIA
DENGAN KOMPLIKASI STROKE DI RUANG RAWAT
INTENSIF RSUP DR. KARIADI SEMARANG (Doctoral
dissertation, Faculty of Medicine)
Sanyasi, R.D.L.R. and Pinzon, R.T., 2018. Clinical symptoms and risk
factors comparison of ischemic and hemorrhagic stroke. JKKI:
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, pp.5-15.
Sporns, P.B., Hanning, U., Schwindt, W., Velasco, A., Minnerup, J., Zoubi,
T., Heindel, W., Jeibmann, A. and Niederstadt, T.U., 2017.
Ischemic stroke: what does the histological composition tell us
about the origin of the thrombus?. Stroke, 48(8), pp.2206-2210.
Tadi, P. and Lui, F., 2018. Acute stroke. In StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing.
Thau, L., Reddy, V. and Singh, P., 2019. Anatomy, Central Nervous
System.In StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.

Anda mungkin juga menyukai