Pembimbing:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S
Disusun Oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2023
PRESENTASI KASUS BANGSAL
STROKE NON HEMORAGIK
Disusun Oleh:
Fathi Tsamara Ghufroon Rifai G4A022052
Mengetahui,
Pembimbing
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT dengan segala rah
mat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan presentasi kas
us bangsal yang berjudul “Stroke Non Hemoragik”. Penulisan presentasi kasus bangsa
l ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Saraf RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulis berharap presentas
i kasus bangsal ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidi
kan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai pihak ya
ng berkepentingan. Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Muttaqien Pramudigdo,
Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan motivasi dalam pen
yusunan presentasi kasus bangsal ini. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan presentasi kasus bangsal ini. Oleh karena itu, segala masukan yang
bersifat membangun sangat diharapkan.
Penulis
NAMA : Ny. E UMUR : 55 tahun
PEMERIKSAAN TANGGAL ANAMNESA : RUANG :
14/05/2023 Bangsal Anyelir
I. KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Umur : 55 Tahun
Alamat : Purwokerto
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
S SUBYEKTIF
A. KELUHAN UTAMA
Kelemahan anggota gerak kanan
E. KEADAAN SOSIAL-EKONOMI
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga tinggal bersama suami dan 2
anaknya. Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS PBI.
G. RIWAYAT GIZI
Pasien konsumsi makan-makanan yang asin
H. RIWAYAT PSIKOLOGIS
Pasien mengaku tidak pernah mengalamai gangguan jiwa.
I. RIWAYAT SPIRITUAL
Pasien beragama Islam.
O OBYEKTIF
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit
2. Kesadaran/GCS : E4V5M6 / Composmentis
3. Tanda-tanda Vital :
a. Tekanan darah : 144/90 mmHg
b. Denyut nadi : 85 x/menit, reguler
c. Suhu : 36.5oC
d. Pernafasan : 20 x/menit, reguler
e. Saturasi Oksigen : 99%
4. Status Antropometri
a. BB : 50 kg
b. TB : 155 cm
c. IMT : 20.8 kg/m2
5. Status Generalis
a. Kepala : Normocephal
b. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya +/+, Pupil
isokor 3mm/3mm
c. Hidung : Nafas cuping hidung (-)
d. Mulut: Sianosis (-)
e. Leher : KGB tidak membesar, pembesaran kelenjar tiroid (-)
f. Thoraks : Retraksi (-/-)
1) Jantung : Bunyi jantung S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
2) Paru-paru : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen : Datar, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal / tidak meningkat
h. Ekstremitas
1) Superior : Sianosis -/-, edema -/-, clubbing finger -/-, livernail -/-, akral
hangat, CRT <2 detik, turgor baik
a. Inferior : Sianosis -/-, edema -/-, clubbing finger -/-, livernail -/-, akral
hangat, CRT <2 detik, turgor baik
B. STATUS NEUROLOGIK
Kesadaran : Compos Mentis
- Kuantitatif : GCS E4V5M6
- Kualitatif : Tingkah laku cenderung tenang ; perasaan hati baik
Orientasi : Tempat baik ; orang baik ; sekitar baik
Jalan pikiran logis ; Kecerdasan baik
Daya ingat kejadian (baru) baik (lama) baik
Kemampuan bicara bak, sikap tubuh berbaring
Cara berjalan tertatih, karena anggota gerak kanan lemah
Kepala : Bentuk mesosefal, simetris (+), ukuran dalam batas normal
Leher :
- Sikap baik, Gerakan bebas, kaku kuduk (-)
- Palpasi : perbesaran kelenjar getah bening (-) nyeri tekan (-)
- Bentuk vertebrae normal nyeri tekan vertebrae (-)
- Tes Nafziger tidak dilakukan
- Brudzinski I (-)
- Test valsava (-)
SARAF OTAK
N. I (Olfaktorius)
Daya penghidu (kanan) dbn (kiri) dbn
N. IX (Glossofaringeus)
Arkus laring tdl
Daya kecap lidah 1/3 belakang tdl
Refleks muntah tdl
Sengau (-)
Tersedak (-)
N. X (Vagus)
Denyut nadi/menit 85 x/menit, reguler
Arkus faring tdl
Bersuara (+)
Menelan (+)
N. XII (Hipoglosus)
Sikap lidah dbn
Artikulasi pelo
Tremor lidah (-)
Menujulurkan lidah deviasi (-)
Kekuatan lidah tdl
Trofi otot lidah eutrofi
Fasikulasi lidah (-)
Badan :
Trofi otot punggung eutrofi trofi otot badan eutrofi
Nyeri membungkukkan badan (-) palpasi dinding perut nyeri tekan (-)
Kolumna vertebralis : bentuk dbn gerakan tdl nyeri tekan (-)
Sensibilitas :
Refleks dinding perut : kanan (+) kiri (+)
Alat kelamin perempuan
- Sensibilitas
Nyeri dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Termis tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Taktil dbn dbn dbn dbn dbn dbn
Diskriminas tdl tdl tdl tdl tdl tdl
i
Posisi tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Vibrasi tdl tdl tdl tdl tdl tdl
PATELLA ACHILES
Gerakan abnormal
Tremor (-) Khorea (-) Atetosis (-)
Mioklonik (-) Balismus (-)
Fungsi Vegetatif :
Miksi : Inkontinensia urin (-) Retensio urin (-)
Anuria (-) Poliuria (-)
Defekasi : Inkontinensia alvi (-) Retensio alvi (-)
Ereksi : tdl
Kelenjar keringat : dbn
RESUME PEMERIKSAAN FISIK :
1. Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
2. Keadaan umum : tampak sakit
3. Tekanan darah : 144/90 mmHg
4. Denyut nadi : 85 x/menit, reguler
5. Suhu : 36,7oC
6. Pernafasan : 20x/menit, reguler
7. BB : 50 kg
8. TB : 155 cm
9. IMT : 20,8 kg/m2
10. Reflek fisiologis: Bisep (+2/+2), patella (-/-)
11. Reflek patologis (-/-) babinski
12. Klonus: superior (-/-), inferior (-/-)
13. Tremor: (-/-), inferior (-/-)
14. Kaku kuduk (-), Brudzinki sign (-)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Lab darah lengkap
Tabel 1.1 Pemeriksaan Laboratorium 09/06/2023
Pemeriksaan Hasil
Darah Lengkap
Hemoglobin 14.2 g/dL
Leukosit 9350/mm3
Hematokrit 44.1%
Eritrosit 4.81 jt/uL
Trombosit 369000/mm3
MCV 89.7
MCH 28.6pg/cell
MCHC 32.7g/dL
RDW 14.4%
MPV 8.9fL
Hitung Jenis
Basofil 0%
Eosinofil 2.4%
Batang 0%
Segmen 79.9 %
Limfosit 9%
Monosit 8.6%
Neutrofil 79.9%
Kimia Klinik
Natrium 137mEq/L
Kalsium 9.26mg/dL
Klorida 106mEq/L
Kalium 4.5mEq/L
Kreatinin 0.6mg/dL
Ureum 41.8mg/ dL
SGOT 24.6
SGPT 7.23
Tampak lesi hiperdens pada nucleus lentiformis dextra, vol.lk 24.7 cc disertai
mass efect
Diferensiasi substantia alba dan grisea tampak baik
Sulkus kortikalis dan fissura sylvii kanan relative sempit, kiri baik
Sistema perimesencephali baik
Ventrikel lateralis kanan dan ventrikel III sempit, dan IV baik
Tampak midline shifting ke kiri 8 mm
Pada bone window, tak tampak diskontinuitas pada os cranium
Tak tampak kesuraman pada sinus paranasal maupun mastoid air cell
Kesan:
Intracerebral haemorrhage dextra, vol.lk 24.7 cc disertai peningkatan TIK dan
midline shifting ke sinistra 8 mm
3. Rontgen Thoraks
Pemeriksaan rontgen thoraks (16/05/2023)
Cor:
CTR <57%
Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo:
Corakan bronchovaskuler normal
Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
Kesan:
Cor tak membesar
Pulmo dalam batas normal
A ASSESSMENT
Edukasi
a. Edukasi mengenai etiologi, faktor risiko penyakit, perjalanan penyakit,
komplikasi dan pengobatannya
b. Edukasi pola hidup sehat
c. Edukasi mengenai keteraturan pengobatan
d. Hindari makanan yang mengandung garam dan gula tinggi
Prognosis
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : dubia ad bonam
- Ad fungsionam : dubia ad bonam
I. PENDAHULUAN
skemik). Stroke hemoragik diakibatkan oleh karena pecahnya pembuluh darah di otak
sedangkan stroke non hemoragik disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang k
emudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Dari seluruh
kejadian stroke, 1/3 adalah stroke hemoragik dan 2/3 adalah stroke iskemik (Putra et
al., 2020; Laulo et al., 2016; Saputri dan Meutia, 2016).
Stroke dipengaruhi oleh dua faktor risiko yaitu faktor risiko yang dapat dimodi
fikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dianta
ranya adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, merokok, mengkonsumsi
alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan fakt
or genetic (Qurbany dan Adityo, 2016).
Tingginya prevalensi kematian yang disebabkan oleh stroke, menjadi perhatia
n bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman yang ba
ik tentang penyakit merupakan bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga medi
s lainnya dalam membuat diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua
bagian sistem saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara
anatomis terdiri dari cerebrum cerebellum, brainstem, dan limbic
system Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi
meskipun neuron-neuron telah di otak mati tidak mengalami
regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam
situasi tertentu bagian-bagian otak mengambil alih fungsi dari
bagian bagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke
(Derrickson & Tortora, 2013). Otak dibagi menjadi dua hemisfer
yaitu hemisfer kanan dan kiri yang saling terhubung. Otak kiri lebih
dominan dengan bahasa, logis, dan kemampuan matematika
2. Definisi
Stroke atau disebut juga cerebrovascular accident (CVA)
merupakan keadaan dimana adanya kekurangan perfusi darah ke
otak secara mendadak. Stroke juga di definisikan sebagai adanya
temuan neurologis fokal pada waktu yang akut, di daerah vaskuler
yang disebabkan oleh penyakit cerebrovascular (Tadi & Lui, 2018).
Menurut World Health Organization (WHO), stroke merupakan
tanda klinis fokal yang dapat berkembang pesat (atau global) yang
dapat memberat, berlangsung selama lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vascular (Coupland et al, 2017).
Terdapat dua jenis stroke yaitu stroke perdarahan (Stroke
Hemoragik) dan stroke bukan perdarahan (Stroke Non-hemoragik)
atau sering disebut stroke iskemik. Stroke iskemik disebabkan oleh
adanya gangguan aliran darah pada area tertentu pada otak. 85%
dari seluruh stroke merupaakan stroke iskemik. Stroke perdarahan
diakibatkan karena ada pembuluh darah yang pecah (perdarahan
akut), stroke ini memiliki 2 jenis yaitu perdarahan intracerebral dan
perdarahan subarachnoid yang memiliki prevalensi 5% dari seluruh
stroke (Tadi & Lui, 2018).
3. Epidemiologi
Kejadian penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang
banyak menyita perhatian di banyak negara baik di negara maju
maupun sedang berkembang. Perubahan perilaku hidup tradisional
ke perilaku hidup modern yang cenderung merupakan pola hidup
tidak sehat mengakibatkan peningkatan angka kejadian penyakit
yang berkaitan dengan gaya hidup, salah satunya adalah risiko
penyakit stroke. Kasus stroke di seluruh dunia diperkirakan
mencapai 50 juta jiwa dan 9 juta diantaranya mengalami kecacatan
yang berat. Stroke juga menjadi penyebab utama terjadinya
kecacatan dalam jangka panjang dan berisiko mengalami gangguan
kognitif yang lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak terkena
stroke (Khariri & Saraswati, 2021).
Secara global setidaknya 5 juta orang meninggal akibat
stroke dan jutaan lainnya tetap lumpuh (Khaku & Tadi, 2017). Rata-
rata tiap 40 detik, satu orang terkena stroke dan tiap 4 menit satu
kematian terjadi akibat stroke (Tadi & Lui, 2018). Wanita lebih
berisiko terkena stroke jenis apapun. Penyakit stroke juga
merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di Indonesia
dengan angka kematian sebanyak 138.268 jiwa atau 9,7% dari total
kematian. Dari hasil Riskesdas yang telah dilakukan di Indonesia
pada tahun 2007, 2013 dan 2018, prevalensi kejadian stroke dalam
12 tahun terakhir masih cukup tinggi (Khariri & Saraswati, 2021).
Riset Kesehatan Dasar, Balitbangkes, Kemenkes RI
menemukan bahwa angka kejadian stroke sebesar 7% pada tahun
2013, sedangkan Riskesdas tahun 2018 menemukan angka kejadian
stroke meningkat menjadi 10,9% pada tahun 2018. Berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9%,
atau diperkirakan sebanyak
2.120.362 orang, Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan DI
Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan prevalensi
tertinggi stroke di Indonesia. Papua dan Maluku Utara memiliki
prevalensi stroke terendah dibandingkan provinsi lainnya, yaitu
4,1% dan 4,6% dan Bali sendiri merupakan wilayah dengan angka
kejadian stroke sebanyak 10,7%. Berdasarkan angka kelompok
umur, kejadian stroke tertinggi terjadi pada kelompok umur 55-64
tahun (33,3%) dan terendah terjadi di kelompok umur 15-24 tahun.
Antara laki- laki dan perempuan, memiliki proporsi angka kejadian
stroke yang hampir sama, yaitu 49,9 % pada kelompok perempuan
dan 50,1% pada kelompok laki- laki. Penduduk yang terkena stroke
sebagian besar penduduk yang tinggal di perkotaan, yaitu sebesar
63,9%. Sedangkan penduduk desa memiliki proporsi stroke sebesar
36,1% (Kemenkes, 2018).
4. Etiologi dan Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan
stroke yaitu hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia,
imobilitas fisik, obesitas, genetik dan merokok (Tadi & Lui, 2018).
Selain itu faktor risiko stroke dapat dibedakan menjadi faktor yang
dapat diubah dan faktor yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak
dapat diubah berupa umur, jenis kelamin, rasa tau etnik, genetik,
dan riwayat transient ischemic attack (TIA). Sedangkan faktor yang
dapat dimodifikasi berupa tekanan darah tinggi, merokok,
penggunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, imobilitas fisik,
hiperlipidemia, diet, diabetes mellitus, dan atrial fibrillation
(Kuriakose & Xiao, 2020).
Dari semua faktor risiko, hipertensi merupakan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi yang paling sering ditemukan. Hipertensi
kronis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan stroke pada
pembuluh darah kecil terutama pada bagian kapsula interna,
thalamus, pons dan cerebellum. Hipertensi yang tidak terkontrol
merupakan penyebab terbanyak stroke perdarahan (Tadi & Liu,
2018). Tiap menurunkan tekanan darah 10 mmHg maka akan
menurunkan risiko stroke sebanyak 1/3 kali dan hal ini dapat
dikatakan sebagai pencegahan stroke primer (Khaku & Tadi, 2017).
7. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis stroke dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Hal yang paling
penting yang perlu digali dalam anamnesis adalah harus mengetahui
kapan pasien terlihat normal atau kapan keluhan pertama awal
muncul (onset). Hal ini penting terutama pada stroke iskemik untuk
menentukan apakah pasien memenuhi kriteria untuk mendapatkan
rTPA atau terapi intervensi endovascular lain untuk stroke. Faktor
lain seperti ateroskelorsis, penyakit kardiovaskular, diabetes,
riwayat merokok, penyalahgunaan obat, migraine, kejang, trauma
atau kehamilan juga perlu di gali lebih lanjut (Khaku & Tadi, 2017).
Untuk mendiagnosis berdasarkan klinis saja termasuk sulit, karena
sulit membedakan gejala dan tanda klinis dari stroke hemoragik dan
non- hemoragik. Adanya nyeri kepala saat dan/atau adanya
perubahan kesadaran pada onset, dapat mengindikasikan adanya
perdarahan namun klinis ini juga dapat timbul pada infark iskemik
di hemisfer cerebri bagian dalam (Tadi & Liu, 2018).
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk pasien
dengan kecurigaan stroke. Skor The National Institutes of Health
Stroke Scale (NIHSS) merupakan skor yang paling digunakan untuk
menilai derajat keparahan dari stroke dan memiliki 11 kategori
dengan skor bervariasi dari 0 – 42. 11 kategori tersebut mencakup
derajat kesadaran atau level of consciousness (LOC), dengan
menanyakan beberapa pertanyaan, mengevaluasi pandangan mata,
visual, ada penilaian juga terhadap wajah yang merot, kekuatan
motorik pada tangan dan kaki, ataxia pada ekstremitas, kelainan
sensorik, kelainan berbahasa atau afasia, dysarthria, serta inatensi.
Dengan skala stroke tersebut harus dinilai sesuai dengan urutannya.
Skor berdasarkan kemampuan pasien pada saat diperiksa, bukan
sebagai prediksi terhadap apa yang pasien dapat lakukan (Hui, Tadi
& Patti, 2022). NIHSS memiliki skor maksimum 42 dan skor
minimum 0. Interpretasi dari NIHSS yaitu: skor >25 sangat berat,
14-25 berat, 5-14 sedang, dan < 5 ringan.
Tabel 1. Skor NIHSS untuk Stroke (adaptasi Bahasa Indonesia)
Selain NIHSS, skor lain yang biasa digunakan dalam
penanganan awal stroke adalah Siriraj Skor. Siriraj Stroke Score
(SSS) merupakan sistem skoring penilaian jenis stroke, hemoragik
dan iskemik yang dirancang oleh Poungvarin dan Viriyavejakul
tahun 1991. Sistem skoring ini tidak membutuhkan pemeriksaan
khusus seperti CT-Scan atau MRI. Penilaian ini muncul
dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu pemeriksaan CT- Scan belum
tentu dapat dilakukan pada daerah-daerah terpencil dimana fasilitas
kesehatannya masih sangat terbatas dan transportasi yang masih
sangat terbatas untuk dapat membawa pasien ke rumash sakit
dimana tersedia CT-Scan. Penelitian pertama mengenai SSS ini
yang dilakukan oleh dua profesor neurolog tersebut menunjukkan
bahwa tingkat akurasi alat ini adalah sebesar 90,3%. Siriraj Stroke
Score mempunyai nilai akurasi yang tinggi, yang dapat untuk
membedakan jenis stroke yang terjadi pada pasien dengan
hemoragik maupun iskemik. Masing - masing penelitian mampu
menunjukkan nilai sensitifitas, nilai spesifitas, nilai prediksi positif,
dan nilai prediksi negatif dengan baik dan di atas rata-rata sehingga
nilai kesesuaian dengan hasil CT - Scan juga baik. Dalam
perkembangan selanjutnya, SSS merupakan penilaian awal untuk
mendeteksi jenis stroke yang terjadi pada pasien saat CT-Scan
belum dapat dilakukan sehingga penanganan awal pun dapat segera
dilakukan (Pujiastuti, 2018).
Tabel 2. Siriraj Score untuk membedakan Stroke Perdarahan atau Stroke
Iskemik
9. Tatalaksana
Stroke iskemik dapat terjadi dimanapun dan kapanpun dan
harus segera dideteksi oleh orang di lingkungan sekitar nya. Deteksi
awal dapat menggunakan beberapa ciri khas gejala dan tanda stroke
dengan F.A.S.T. Lalu dapat dilanjutkan skoring dengan skoring
NIHSS untuk mengetahui derajat keparahan dari stroke yang
diderita. Tujuan utama dari terapi stroke iskemik adalah untuk
menyelamatkan jaringan di area dimana aliran darah menurun atau
berkurang namun masih belum terjadi infark. Jaringan pada area
oligemia ini diselamatkan dengan mengembalikan aliran darah ke
area yang terkena dengan sistem aliran darah kontralateral dan
mengembalikan aliran darah ini dapat meminimalisasi efek dari
iskemik apabila dilakukan dengan cepat. Manajemen stroke iskemik
akut dimulai dari evaluasi awal berupa airway, breathing,
circulation serta tanda-tanda vital. Pasien dapat memiliki kelainan
pada respirasi karena adanya peningkatan tekanan intracranial dan
memiliki risiko aspirasi dan asfiksia. Intubasi endotrakeal mungkin
diperlukan untuk memastikan suplai oksigen adekuat dan ventilasi
pernapasan. Selain itu perlu diperiksa pula gula darah sewaktu pada
pasien
untuk menyingkirkan hipoglikemia yang dapat menyebabkan
abnormalitas pada pemeriksaan neurologis (Hui, Tadi & Patti,
2022). Selanjutnya pasien stroke iskemik yang memenuhi kriteria
untuk rTPA dan tidak memiliki kontraindikasi untuk rTPA harus
diberikan rTPA intravena (Khaku & Tadi, 2017).
American Heart Association/American Stroke Association
(AHA/ASA) memperpanjang batas waktu pada pengambilan clot
mekanik dari 6 hingga 24 jam pada pasien tertentu. Berdasarkan
guideline terbaru, direkomendasikan trombektomi masih dapat
dikerjakan pada pasien 6 – 16 jam setelah serangan stroke serta
mereka juga memperluas kriteria yang dimana pasien yang tidak
dapat masuk ke kriteria intravena rTPA untuk menjalankan
trombektomi mekanik dalam waktu 6 jam onset. Pasien stroke harus
dipertimbangkan untuk trombektomi dibawah 6 jam setelah onset
stroke apabila mereka memiliki clot besar pada pembuluh darah
besar di bagian basal otak, dan masuk kedalam kriteria: pre stroke
modified Rankin Scale (mRS) skor bernilai 0 atau 1, penyebab
oklusi di arteri karotis internal atau arteri cerebri tengah segmen 1
(m1), usia lebih dari 18 tahun, skor NIHSS 6 atau lebih, dan
Program Alberta Stroke awal CT Scan bernilai 6 atau lebih (Hui,
Tadi & Patti, 2022).
Gambar 10. Algoritma Suspek Stroke menurut AHA/ASA 2018
A. Kriteria Inklusi
1. Usia ≥ 18 tahun
2. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas.
3. Onset ≤4,5 jam atau ≤6 jam
4. Tidak ada gambaran perdarahan intrakranial pada CT-scan /
MRI (DWI)
5. Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan
dan risiko yang mungkin timbul. Harus ada persetujuan
tertulis dari pasien atau keluarga untuk dilakukan terapi rtPA
(Alteplase).
6. Boleh diberikan pada pasien yang mengkonsumsi aspirin
atau kombinasi aspirin dan clopidogrel sebelumnya
7. Boleh diberikan pada pasien gagal ginjal kronik dengan
aPTT normal (risiko perdarahan meningkat pada pasien
dengan peningkatan aPTT)
8. Boleh diberikan pada pasien dengan sickle cell disease
B. Kriteria Eksklusi
1. Defisit neurologis ringan (NIHSS ≤5) atau cepat
mengalami perbaikan.
2. Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir.
3. Infark multilobar (gambaran hipodens >⅓ hemisfer serebri)
4. Kejang pada saat onset stroke
5. Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis postictal.
6. Riwayat stroke iskemik atau cedera kepala berat dalam 3
bulan sebelumnya.
7. Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada
pemeriksaan fisis.
8. Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2
minggu sebelumnya
9. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius
dalam 3 minggu sebelumnya.
10. Riwayat operasi intracranial / spinal 3 bulan terakhir.
11. Riwayat perdarahan intracranial
12. Pasien dengan tumor intrakranial intraaksial.
13. Tekanan darah sistolik >185 mmHg, diastolik >110 mmHg.
14. Glukosa darah <50 mg/dL atau >400 mg/dL.
15. Gejala perdarahan subaraknoid.
16. Gejala endokarditis infektif.
17. Gejala atau kecurigaan diseksi aorta.
18. Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau
pungsi lumbal dalam 1 minggu sebelumnya.
19. Jumlah platelet <100.000/mm3.
20. Bila mendapat terapi heparin dalam 48 jam atau LMWH
dalam 24 jam terakhir.
21. Gambaran klinis adanya perikarditis post infark miokard.
22. Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya.
23. Wanita hamil
24. Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral (atau bila
sedang dalam terapi antikoagulan hendaklah INR ≤1,7)
25. Nilai aPTT >40 atau PT >15
Pemberian IV rtPA (Alteplase) dosis 0,6-0,9 mg/kg BB
(maksimum 90 mg), 10% dari dosis total diberikan sebagai bolus
inisial dalam 1 menit, dan sisanya diberikan sebagai infus selama 60
menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 4,5 jam
dari onset. Onset pemberian IV rtPA (Alteplase) dosis 0,6-0,9
mg/kgBB (maksimum 90mg) dapat diperpanjang hingga ≤ 6 jam
dari onset. Pasien dengan hipertensi yang tekanan darahnya dapat
diturunkan dengan obat antihipertensi secara aman, harus dijaga
kestabilan tekanan darah sebelum memulai rtPA (Alteplase).
Turunkan tekanan darah <185/110 mmHg sebelum pemberian
fibrinolitik. Setelah dilakukan pemberian rTPA pasien dapat
diberikan antikoagulan secara rutin dengan tujuan untuk
memperbaiki sel-sel saraf dan sebagai pencegahan dini terjadinya
stroke ulang. Pemberian anti-agregasi platelet seperti aspirin
direkomendasikan untuk stroke iskemik akut dengan dosis awal 160-
325 mg dalam 24-48 jam setelah onset stroke. Pada pasien yang
mendapat rTPA(alteplase) pemberian aspirin umumnya ditunda
sampai 24 jam setelah terapi. Pemberian dual antiplatelet (aspirin
dan clopidogrel) dalam 24 jam selama 21 hari pada pasien dengan
stroke minor bermanfaat untuk mencegah risiko stroke sekunder
hingga 90 hari setelah stroke. (Powers et al, 2019).
Edema serebri adalah penyebab utama kemunduran dini
keadaan dan kematian pada pasien dengan infark supratentorial
yang besar. Edema serebri biasanya berkembang antara hari ke-2
dan ke-5 dari awitan stroke, tetapi menjelang hari ke-3, pasien dapat
mengalami kemunduran neurologis dalam 24 jam sesudah awitan
keluhan. Terapi medikamentosa yang dapat digunakan untuk
mengurangi edema serebri yaitu manitol (25-50 gr diulangi tiap 3-6
jam) merupakan terapi medis lini pertama bila tanda klinis atau
radiologis menunjukkan terjadinya space occupying edema (Powers
et al, 2019).
Penurunan tekanan darah pada pasien stroke
direkomendasikan AHA/ASA dengan apabila tidak ada komorbid,
tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolik)
dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik
(TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD)
>120mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diterapi
trombolitik rtPA (Alteplase), tekanan darah diturunkan hingga TDS
<185 mmHg dan TDD <110 mmHg. Selanjutnya, tekanan darah
harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg
selama 24 jam setelah pemberian rtPA (Alteplase). Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena. Untuk cara
pemberian nikardipin lihat tata laksana hipertensi arterial pada
pasien yang akan mendapat rtPA (Alteplase) (Herpich & Rincon,
2020).
10. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada kasus stroke merupakan salah
satu faktor prognosis penting baik terhadap morbiditas maupun
mortalitas. Estimasi frekuensi komplikasi berkisar 48% - 96% dan
berhubungan denganperburukan hasil akhir yang bermakna.
Komplikasi stroke merupakan diagnosis- diagnosis atau penyakit-
penyakit yang muncul pada pasien stroke setelah dirawat.
Komplikasi stroke meliputi infeksi thorax, konstipasi,
pneumonia,UTI (Urinary Tract Infection), Depresi, Kejang, stroke
berulang, jantung kongestif, luka tekan (Dekubitus) (Rohmah &
Harahap, 2015). Menurut AHA/ASA (Powers et al, 2019)
komplikasi stroke yang paling sering adalah:
Edema otak
Pneumonia
Infeksi Saluran Kemih
Kejang
Ulkus dekubitus
Kontraktur pada ekstremitas
Nyeri pada bahu
dan deep vein thrombosis (DVT)
11. Prognosis
Stroke memiliki prognosis yang sangat bergantung pada
derajat keparahan, lokasi yang terkena iskemik, struktur otak yang
terkena iskemik, waktu identifikasi onset, waktu memulai terapi,
lama terapi, intensitas terapi fisik dan okupasi serta fungsi basal
pasien itu sendiri (Hui, Tadi & Patti, 2022). Salah satu skoring
yang dapat digunakan adalah Totaled Health Risks in Vascular
Events (THRIVE), skor ini dapat memprediksi hasil pasca stroke
dengan fungsional buruk terutama pada pasien stroke iskemik. Isi
skoring dari THRIVE berupa skoring NIHSS saat selesai