Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Salam

Pengertian salam secara bahasa salam bermakna memberi keamanan/keselamatan. Pada


waktu kalimat salam ini diucapkan kepada seseorang muslim yang lain, maka sesungguhnya
ucapan ini berarti mendoakan kepada yang diberi salam dan yang menjawab salam mempunyai
ketentraman, ketenangan, kegembiraan dan kebahagiaan sepanjang masa.

Dengan adanya kalimat salam, maka hilanglah segala perasaan dendam, hasad dengki,
dan lain sebagainya, dan sebaliknya bersemilah serta terjalinlah perasaan ukuwah atau
persaudaraan antara satu dengan yang lain. Ucapan salam dengan keramahan, ekspresi wajah
yang tersenyum manis dan dipadukan dengan gerak geri yang beradab, sopan-santun dan
kehalusan budi maka hal ini akan dapat mengeratkan tali persaudaraan.

Hukum Memberi dan Menjawab Salam

Salam merupakan asas bagi umat islam baik muslim ataupun muslimat yang perlu untuk
diketahui dan dijadikan sebagai pegangan serta amalan perbuatan sehari-hari dalam pergaulan.
Hukum mengucapkan atau memberikan salam hukumnya adalah sunat/sunnah. Rasulullah Nabi
Muhammad s.a.w. juga melakukan hal demikian serta membiasakan diri beliau dengan memberi
salam. Adapun hukum menjawab salam adalah wajib. Maka, merujuk pada hukum ilmu fikih,
apabila seseorang diberi salam dan tidak menjawab salam, maka hukumnya adalah berdosa.

Firman Allah swt. yang berbunyi :

‫اَن َع َلٰى‬ ‫ۗٓا ِإَّن ٱَهَّلل َك‬ ‫ٓا َأۡو ُر ُّد وَه‬ ‫َن ِم ۡن َه‬ ‫وْا ِبَأۡح َس‬ ‫ٖة َفَح ُّي‬ ‫يًبا َوِإَذ ا ُحِّييُتم ِبَتِح َّي‬ ‫ۡي ٍء َح ِس‬ ‫ِّل َش‬ ‫ُك‬

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan (diucap dengan satu
ucapan), maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik (ucapan yang lebih baik) dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu.” (Surah Al-Nisa': 86)

Dari penjelasan ayat di atas, menganjurkan kepada kita untuk mengucapkan sesuatu hal
yang baik serta bermakna seperti salam atau semisalnya yang menunjukkan penghormatan
kepada orang lain misalnya lambaian tangan, tabik dan lain sebagainya. Dan apabila kita diberi
ucapan atau penghormatan, maka hendaklah membalas ucapan atau penghormatan itu dengan
balasan sebaik mungkin.

Rasulullah s.a.w. juga menjelaskan hal tersebut di atas melalui sebuah hadits yang
berbunyi: Memberi salam oleh orang yang berkenderaan kepada orang yang berjalan, orang yang
berjalan kepada orang yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan pada satu riwayat yang
kecil kepada yang besar. (HR. Al Bukhari)
Dari beberapa keterangan ayat Al-Qur’an dan dalil Hadits Nabi saw. di atas,
memberikan kita penjelasan bahwa kalimat salam adalah merupakan suatu bentuk penghormatan
dari seseorang kepada orang lain. Ucapan salam, tidak hanya dilakukan dengan menggunakan
perkataan, akan tetapi boleh dilakukan dengan menggunakan isyarat seperti lambaian tangan,
tabik, membunyikan bel kendaraan sedang dalam kendaraan atau dengan menggunakan berbagai
cara yang lain sesuai dengan keadaan waktu dan tempat.

How to say hello and answer greetings correctly?

To give or say hello in accordance with Islamic law that is at the beginning of the meeting
by saying : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh (Selamat sejahtera atas kamu dan
rahmat Allah serta keberkatannya)

Then, those who had been given greetings, responded by saying : Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh (Dan ke atas kamu selamat sejahtera dan rahmat Allah serta
keberkatannya)

Pahala dari mengucapkan salam atau memberi salam dan menjawab salam

Setiap jawaban salam akan mendapatkan ganjaran pahala. Pahala yang diperoleh adalah
berdasarkan pada kadar ucapannya, yaitu mendapat ganjaran sepuluh kebaikan atau pahala,
apabila ditambah kata "warahmatullah". Dan pahalanya akan ditambah lagi sepuluh kebaikan
atau pahala apabila ditambah kata "wabarakatuh".

Sehingga apabila memberi/mengucapkan salam dengan lengkap yaitu Assalamualaikum


warahmatullahi wabarakatuh, maka pahalanya adalah tiga puluh pahala atau kebaikan bagi yang
mengucapkan salam. Begitu juga sebaliknya bagi yang menjawab salam.

Ganjaran pahala bagi yang memberi salam dan menjawab salam ini terdadapat dalam
dalil hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh A'mran bin Hussaini yaitu sebagai berikut : Telah
datang laki-laki kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata : Assalamualaikum. Maka Nabi saw. pun
menjawab salam dan kemudian dia duduk. Maka Nabi saw. berkata : sepuluh pahala. Dan
kemudian datang yang lainnya memberi salam dengan berkata : Assalamualaikum
warahmatullah, kemudian Rasulullah saw. menjawab salam itu dan berkata : dua puluh pahala.
Kemudian datang lagi yang ketiga dan memberi salam dengan berkata : Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Rasulullah saw. pun menjawab salam itu dan kemudian duduk,
maka Rasulullah saw. berkata tiga puluh pahala. (HR. Abu Daud Tarmizi: Hadits Hasan)

Memberi salam kepada wanita yang bukan muhrim


Yang perlu diperhatikan dan menjadi peringatan bagi kita semua adalah bahwa apabila
seorang laki-laki memberi salam kepada lawan jenis atau seorang wanita yang mana pemberi
salam (laki-laki) itu tidak dikenali, maka hendaknya memastikan terlebih dahulu apa tujuannya.
Bisa jadi mereka pihak laki-laki sengaja nakal, ingin menggoda atau mengusik dan lain
sebagainya. Maka salam laki-laki tersebut tidak wajib untuk dijawab. Hal ini dikarenakan akan
membuka pintu dan peluang bagi laki-laki tersebut untuk mendekati wanita dan
menyempurnakan niat yang jahat kepada kaum wanita.

Di akhir pembahasan dapat kita tarik kesimpulan bahwa memberi atau mengucapkan
salam dan menjawab salam adalah merupakan adab islami bentuk dan simbol penghormatan
serta ukuwah atau persaudaraan. Apabila seseorang mengucapkan salam dan memberi salam
dengan cara yang benar dan lengkap maka akan mendapatkan ganjaran pahala 30 kebaikan atau
pahala dari Allah swt. kepada pemberi dan penerima salam sesuai dengan dalil hadits Nabi saw.
Di samping itu juga dengan salam akan dapat mempererat tali silaturahmi diantara sesama
Islam.
AKAL

Dari segi bahasa, akal yang telah di-Indonesiakan berasal dari kata al-‘aql. Dengan
kekuatan akal orang mendapatkan ilmu dan ilmu yang digunakan serta dimiliki oleh manusia
bergantung pada kekuatan akalnya. Selain itu akal adalah al-hijr, menawan atau mengikat. Kata
tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti; tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an
menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam
kesalahan atau dosa. Orang yang berakal adalah orang yang mampu mengikat atau mengendalikan
hawa nafsunya. Kemampuan seseorang untuk mengikat hawa nafsu, akan menempatkan hawa
nafsu pada posisi yang serendah-rendahnya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya,
ia akan mampu memahami wahyu sebagai kebenaran. Orang yang tidak mampu menawan hawa
nafsunya tidak akan mampu mengendalikan dirinya.

Selanjutnya akal mengandung arti kebijaksanaan, pemahaman. Ada pula yang mengartikan
akal dengan pembatasan dan pencegahan, perlindungan atau kemampuan seseorang untuk
menemukan dirinya sendiri. Di sini diartikan orang berakal adalah orang yang mampu membatasi
dan mencegah hawa nafsunya serta memberikan perlindungan sampai pada batas-batas yang
diperlukan. Dengan demikian akal akan mampu melihat kebenaran. Nampaknya bahwa hawa nafsu
tidak dihilangkan sama sekali, sebab ia diperlukan dalam kadar tertentu. Dalam batas-batas itulah di
bawah kendali akal seseorang akan mampu menemukan jati dirinya. Pada zaman jahiliyah, kata
akal dipakai dalam arti kecerdasan praktis, dalam istilah psikologi modern di sebut sebagai
kemampuan memecahkan masalah. Orang berakal adalah orang yang mempunyai kemampuan
atau keterampilan menyelesaikan masalah, kapanpun masalah itu timbul ia akan mampu
menyelesaikan dan mengatasinya, sehingga ia akan dapat menghindari dari bahaya itu,
kemampuan praktis seperti ini sangat dihargai oleh orang Arab zaman Jahiliyah

Ibn Khaldun mengartikannya sebagai akal, fuad inilah yang dimaksud dengan pikiran.
Berpikir ialah upaya mencapai bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya
berfungsi sebagai pembuat analisa.

Al-Jurjani mengemukakan beberapa pengertian akal sebagai berikut; akal ialah substansi
jiwa yang diciptakan Allah SWT, yang berhubungan dengan badan manusia, akal juga berarti
cahaya (nur) dalam hati untuk mengetahui kebenaran dan kebaikan. Adapula yang mengartikan akal
dengan substansi yang murni dari materi yang hubungannya dengan badan dalam bentuk yang
mengatur dan mengendalikan. Menurut pendapat lain, akal adalah sebuah kekuatan bagi jiwa
berpikir, karena jelas bahwa kekuatan berpikir berbeda dengan jiwa yang berpikir. Sebab pelaku
perbuatan (fa’il) sebenarnya adalah jiwa, sedangkan akal adalah alat bagi jiwa.
Dari kutipan di atas dapat dipahai bahwa akal merupakan substansi yang sangat penting
dalam diri manusia dan sebagai cahaya (nur) dalam hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran
dan kebatilan, mengatur dan mengendalikan jasmani. Al-Jurjani juga mengatakan bahwa akal juga
berguna untuk memikirkan hakikat sesuatu yang tempatnya masih diperdebatkan. Ada yang
mengatakan ia terletak di kepala, pendapat lain mengatakan ia terletak di dalam kalbu.
Para teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut
Abu Huzail akal adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan yang membuat seseorang dapat
membedakan antara dirinya dan benda lain. Akal juga mampu membuat abstraksi benda-benda
yang ditangkap panca indera”. Pengertian yang jelas tentang akal, terdapat dalam pendapat-
pendapat para filosof muslim. Pemikiran mereka juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran para filosof
Yunani. Akal dalam pendapat mereka merupakan salah satu daya dari jiwa yang terdapat dalam diri
manusia. Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang
erat apa yang dia ketahui.

FUNGSI AKAL

kal memiliki fungsi yang sangat besar sekali didalam eksistensi manusia. Karena akal
manusia bisa memikirkan apa-apa yang kongkrit dan juga abstrak. Karena kekuatan akal
manusia bisa bertahan hidup didalam dunia ini. Oleh sebab itu kita biasa klasifikasikan
kedudukan akal dalam islam sebagai berikut:
1. Kedudukan akal sebagai pengijtihad
Kedudukan akal dalam dunia islam adalah sebagai pengijtihad. Maksudnya para mujtahid
menggunakan akal fikiran mereka untuk mencari satu keputusan dalam syariat. Sesuai dengan
difinisinya juga ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (Al-Faqih)
dalam mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Jadi bagi para mujtahid akal sangatlah
penting peranannya, dalam memikirkan sesuatu masalah membutuhkan akal yang cemerlang
supaya mendapatkan hasil yang maksimal dalam menentukan hukum.
Ijtihad didalam islam telah melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang menggambarkan
kecemerlangan akal pemikiran, namun fiqh pun masih membutuhkan pemikiran lebih lanjut
tentang hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan menggunakan akal yang cemerlang para
mujitahid akal memutuskan segala perkara dengan maksima dan tanpa mengada-ada. Karena itu
seorang mujitahid jika hendap mengijtihadkan suatu perkara maka akalnay harus tenang dan
tidak semerautan. Karena ketenangan akal mempengaruhi hasil dari ijtihad itu sendiri. Seorang
mujitahid bahkan tidak akan mampu mengijtihadkan suatu perkara jika akal fikirannya belum
tenang. Jika akal fikirannnya sudah tenanga maka para mujitahid akan mampu memecahkan
segala perkara dengan mudah dan maksimal. Dari itu sangat luarbiasa sekali fungsi dan peranan
akal dalam islam. Denga menggunakan akal fikiran para mujitahid bisa memutuskan suatu
perkara dengan baik dan maksimal. Jadi akal dapat difungsikan sebagai pengijtihad atau
kedudukannya sebagai pengijtihad.
2. Kedudukan akal untuk mengenal diri manusia sendiri.
Otak dan akal dapat menjadi jalan masuk untuk mengenal diri manusia. Buka saja karena
akal merupakan komponen tubuh tertinggi dari manusia, karena juga karena akal mencitrakan
dan memberikan ciri khas dari manusia. Dalam hadits dinyatakan bahwa:

‫َم ْن َع َر َف َنْفَسُه َفَقْد َع َر َف َرَّبُه‬


Artinya: Barang siapa yang mengenal dirinya maka sudah mengenal Tuhannya.
Dari hadits ini kita bisa ambil kesimpulan bahwa jika jika seseorang sudah mengenal
dirinya maka dia sudah mengenal tuhannya. Mengenal diri sendiri bagi manusia bukan hanya
mengenal dari fisiknya saja tapi harus mengenal dari mana ia datang dan kemana ia kembali.
Semua itu mutlak menggunakan akal fikiran. Seseorang menggunakan akalnya untuk
memikirkan dirinya darimana mereka datang. Dengan akal mereka akan menerawang jauh sejauh
aklanya bisa berfikir darimana dia datang. Setelah mnggunakan akal fikirannya dengan maksimal
maka seseorang akan dapat mengenal jati dirinya bahwa kita semua itu datang karena ada yang
menciptakan. Seseorang akal mengambil contoh dari benda-benda disekelilingnya yang dapat
mereka buat, benda tersebut ada karena ada yang membaut atau ada yang menciptakan. Dari itu
seseorang akan berfikir dirinya ada karena ada yang menciptakannya. Tapi siapa yang bisa
menciptakan dirinya yang begitu sempurna bagi pengelihatan mereka? Dari penikiran itu
seseorang pasti akan berfikir kepada tuhan yang bisa menciptakan segala sesuatu denga
kekuasaannya. Maka haidits diatas sangatalah benar sekali jika seseorang sudah mengenal
dirinya maka sungguh mereka suda mengenal tuhannya. Namun jika seseorng hanya bisa
mengenal dirinya sendiri, maka mereka belum bisa mengunkan akal fikiran mereka untuk
memikirkan adanya Dzat yang telah menciptakan dia. Atau karena mereka mengelak dari
kebenaran itu, mereka tidak mau mengakui tentang adanya sang pencipta yang maha kuasa yang
mampu menciptkan segala sesuatu denan hanya mengucapkan “Kunfaakun” maka jadilah.
Akal manusia sangatlah terbatas sekali, karena itu ada batasan-batasan kemampuan untuk
berfikir yang dijelaskan oleh Rsulallah SAW. Karena tu Rasulallah SAW. telah memberikan
suatu batasan didalam hadits yang berbunyi:

‫َتَفَّك ُر ْو ا ِفْي َخ ْلِق ِهللا َو اَل َتَفَّك ُر ْو ا ِفى هللا َو ُك ُّل َم ا َو َر َد ِفى َباِلَك َفا ُهلل ِبِخ اَل ِف َذ ِلَك‬
Artinya: Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah. Setiap yang
terlintas dibenakmu tentang Allah, sungguh dia berbeda dari hal itu.
Dari hadits diatas jelas sekali bahwa akal manusia itu sangatlah terbatas. Akal manusia
yang diberikan oleh Allah hanya mampu memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT.
Akan tetapi akal manusia tidak akan pernah mampu memikirkan tentang Dzat Allah. Karena
keterbatasan akal yang digariskan oleh Allah yang maha kuasa lagi maha bijaksana. Memikirkan
tentang Dzat Allah adalah kegilaan yang tidak sesuai dengan metode yang sehat, sebab
bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (mkhluk) memikirkan yang tidak terbatas (kholik),
yang fana memikirkan yang maha kekal, yang lemah memikirkan yang maha kuat, yang bakal
mati memikirkan yang maha hidup.
Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhui
alam kosmos ini, baik matahari, bintang-bintang, bulan, pelanet dan semua peristiwa yang terjadi
didalamnya. Lalau bagaimana mampu mengenal atau memikirkan Dzat pencipta makhluk-
makhluk itu. Sesumggunya dia:

103 : ‫اَل ُتْد ِرُك ُه اَاْلْبَص ُر َو ُهَو ُيْد ِرُك اَاْلْبَص ُر َو ُهَو الَّلِط ْيُف اْلَخ ِبْيُر (االنعام‬
Artinya: “Tidak dapatt dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan
dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui (QS. Al-An’am : 103)
Islam meletakkan tangan manusia diatas papan alam raya agar dengan akalnya
menggapai iktibar dan pelajaran dari penomena-penomena kosmik ini. Namun apabila akal
melampaui batas-batasnya akan terjerat didalam pemikiran yang dipaksakan, rancu dan terjatuh.
Islam membina akal berdasarkan makna tersebut. Didalam banyak tempat islam menjelaskan
berbagai persoalan berdasarkan sebab akibat, premis dan konklusi. Metode ini tidak mudah
ditempuh oleh akal tanpa menyelaminya lebih dahulu.
Pembinaan ini dimaksudkan agar akal mengetahui bahwa kekuasaan Allah SWT tidak
terbatas, namun dapat dipahami dengan menguraikan antara premis dan konklusi, dan merajut
hubungan antara sebab dan akibat.
3. Kedudukan akal untuk meyakini alam gaib atau mahluk gaib.
Akal diberikan kepada manusia untuk kehidupan ini. Ia menciptakan gerak dan kegiatan
hidup didalamnya. Apakah ia dapat menembus semua rashasia kehidupan dan misteri alam raya
ini? Dibidang alam nyata saja, bagaimanakah akal menafsirkan bahwa langit dibangun tanpa
tiang, dan sistem tata surya yang teratur ini? Bagaimanakah akal menafsirkan rahasia kehidupan
yang timbul dari benda mati?
Itulah yang harus dijawab oleh akal. Sangat mudah menebaknya, karena secara intuitif
akal adalah mahluk yang terbatas. Bagaimanapun kehebatan dan kesempurnaan temuan-temuan
akal, pada puncak tertentu, namun jarak atara yang ada (wujud) dan tiada (‘adam) adalah jarak
yang tidak dapat digambarkan oleh akal manusia. Akal akan sulut menjawabnya karena jarak ini
berhubungan dengan kehendak pencipta.
Kalaulah akal tidak mengakui kehendak pencipta ini, ia akan kehilangan dirinya, atau
akan terjatuh sepanjang masa.
Abu Al-Hasan al-Nadwi mencoba menganalisis kelemahan akal manusia untuk
mengetahui rahasia-rahasia alam dan bidang-bidang gaib. Didalam analisisnya Al-Nadwi
meletakkan akal pada bentuka alamiah dan ruang materialnya: “kalau kita lakukan kritik
terhadap akal secara logika dan cermat. Terlepas dari dominasi akal atas akal, kita akan melihat
kelemahan akal menjalankan tugas alamiahnya, dan bahkan keterpaksaannya mencari bantuan
dari sesuatu yang tidak lebih berarga daripadanya. Misalnya untuk mengenal seseuatu yang
belum pernah diketahui, akal membutuhkan data-data yang telah dihasilkan sebelumnya.
Premis-premis ini tidak lain hanyalah obyek-obyek inderawi (mahsusat). Kalau kita melilhat
pada obyek-obyek akal (ma’kulat) dan pengembaraannya yang panjang, nampak bahwa sarana
yang dipergunakan oleh akal untuk mengungkapkan dunia-dunia baru dan menyelam didalam
lautan majhul (tidak nampak) adalah obyek inderawi yang muncul secara tidak sempurna. Data-
data permulaan yang sangat membantu akal mencapai konklusi, mempunyai nilai yang tinggi
karena indera manusia lemah dan manusia sendiri tidak mempunyai simpanan data”. Disitulah
akal tidak akan mampu menerobos jalan kedepan untuk sampai kepada sesuatu konklusi didalam
masalah metafisik (gaib), sebagaimana tidak seorangpun diantara kita yang lemah dapat
mengarungi lautan tanpa perahu, atau hendak terbang tanpa pesawat.
Jelas sekarang persoalan yang dikemukakan diatas, disekitar kemungkinan akal untuk
memecahkan misteri langit dan bumi, misteri bermula dan berakhirnya alam, misteri alam ghaib,
dan misteri di luar medan akal yang sempit. Akal tidak mungkin akan mampu mencapainya,
sebab kalau mungkin tentu unta dapat mampu masuk kedalam lubang jarum. Karena itu,
sebaiknya akal berdiam diri mengenai masalah-masalah tersebut. Abu Bakar ibn Al-‘Arabi
melepaskan akal dari obyek-obyek tidak dapat dijangkau oleh pemikiran, karena obyek-obyek ini
jauh lebih besar daripada akal sendiri. Dia membantah filsuf-filsuf yang meletakkan akal pada
kedudukan dan medan diluar jangklauannya, disamping menyatakan sebagai klaim-klaim mereka
tentang akal sebagai suatu ketololan. “ Sulit untuk dipertanggungjawabkan, asumsi bahwa akal
berkuasa mutlak untuk atau mencapai semua obyek. Kami tidak mengklailm bahwa akal dapat
mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya dan secara bebas. Ia terikat dan terbatas pada
persepsinya sendiri, sedangakan medan siluar lintasannya tidak mungkin dicapai. Adapun orang-
orang yang dapat mengertuk pintunya dalam menembusnya adalah para nabi yang memang
dianugrahi sarana untuk mengetahui hakikatnya dan mengungkapkan aturan-aturannya.

4. Kedudukan akal untuk memikirkan penciptaan Allah SWT


Sudah pasti bahwa akal adalah anugrah yang palaing mulia yang Allah berikan kepada
manusia. Dengan akal manusia bisa memikirkan apa-apa yang menjadi ciptaan Allah SWT.
Bagaimana langit dibentangkan tanpa adanya tiang yang menyanggahnya, bagaimana
bergulirnya waktu hingga terjadinya pergantian siang dan malam, semua itu bisa manusia
ketahui dengan akal yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

‫ِاَّن ِفْى َخ ْلِق الَّس َم َو اِت َو اَاْلْر ِض َو اْخ ِتَلِف َّاللْيِل َو الَّنَهاِر َاَلَيٍت ُاِلوِلى اَاْلْلَب اُِب َاَّل ِذ ْيَن َي ْذ ُك ُر ْو َن‬
‫َهَللا ِقَيًم ا َّو ُقُعْو ًد ا َّو َع َلى ُج ُنُو ِبِهْم َو َيَتَفَّك ُر ْو َن ِفْى َخ ْلِق الَّس َم َو اِت َو َأْلْر ِض َرَّبنا َم ا َخ َلْقَت َه َذ ا‬
191-190 :‫ال عمران‬...‫َباطًال‬
Artinya: sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. (QS. Ali Imran: 190-191)
Demikianlah yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasanya dari semua apa yang
diciptakan Allah adalah ada tanda-tanda bagi orang yang berakal. Dari itu sebagai manusia
hendaknya mempergunakan akal kita untuk memikirkan apa yang telah Allah ciptakan,
bagaimana terjadinya penciptaan langit dan bumi yang begitu luas dan besar ini, bagaimana sang
pencipta bisa merancang sedemikiran rupa apa yang ada didalamnya. Dan bagaimana pula langit
yang begitu luas dan panjang yang dibentangkan dari masyrik ila magrib yang tidak ada satupun
tiang yang menyanggannya. Inilah kebesara yang Allah perlihatkan kepada kita semua. Inilah
kebesaran kekuasaan yang dipertontonkan Allah kepada semua mahluknya, agar supaya mau
berfikir bahwa dari yang demikian itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Demikian pula dijelaskan didalam ayat diatas bahwa bagaiman silih bergantinya siang
dan malam. Bagaiman pada pagi hari matahari mulai memancarkan sinarnya yang keemasan, dan
pasa sore hari matahari itu akan tenggelam dengan sendirinya. Akankah kita memungkiri semua
kebenaran yang diperlihatkan oleh Alllah kepada setiap mahluknya? Siapakah yang mampu
memutar dunia ini sehingga terjadinya pergantian singa dan malam?
Lagi-lagi kita disuruh mempergunakan akal kita untuk memikirkan semua itu. Hanya
Allahlah yang mampu mengatur semua itu, hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan
mengatur sulih bergantinya siang dan malam.
Didalam akhir ayat diatas diterangakan yang artinya.....”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptkan ini dengan sia-sia”. Dari ayat diatas sudah jelas sekali bahwa apapun yang Allah
ciptakan tidak ada yang sia-sia. Manusia diperintahkan oleh Allah untuk mempergunakan akal
mereka untuk memikirkan setiap apa yang terjadi di alam ini. Jikalau manusia telah
menggungakan akal mereka, maka semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Karena
Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.
5. Fungsi akal sebagai sarana kebebasan berfikir.
Islam sangat mengharagai kebebasan berfikir, karena suatu peradaban tidak akan pernah
bangun tanpa kebebasan ini. Pemikiran bebas dapat membuka pintu pengetahuan sehingga
karenanya bangsa-bangsa dan peradabannya tumbuh berkembang.
Pemikitan adalah buah akal. Akal salah satu nikmat Tuhan yang dianugrahkan kepada
manusia. Islam menganggap akal sebagai salah satu unsur keberadaannya dan suatu energi hidup
didalam bangunannya yang tinggi. Karena itu islam selalu mengontrolnya dan memberinya
batas-batas tertentu yang harus dilalui gerakannya, dan tidak boleh melangkah lebih jauh melalui
batas-batas itu, agar tidak terjadi kerusakan dan kemudaratan di dalam kehidupan ini. Akal harus
bergerak di bawah sinar roh islam yang datang untuk menyelamatkan manusia seluruhnya dari
mara bahaya dan kerusakan.
Pada dasarnya dan gerak alamiahnya, pemikiran merupakan dialog
antara tidak dan ya. Karena itu sikap menolak dan menerima secara mutlak dan buta tidak
dipandang sebagai pemikiran. Sikap menolak secara mutlak adalah sikap kebandelan anak kecil,
dan sikap menerima secara mutlak merupakan sikap budak. Allah-lah yang maha luas ilmu-Nya
dan mengetahui kebenaran secara ilmulyakin, yaitu pengetahuan yang tidak mengenal
“kalau....kalau....kalau..”. Sedangkan oengetahuan kita sebagai manusia, paling tingginyapun
adalah pengetahuan yang memungkinkan penggantian dan perubahan, kita masih dapat
menguatkan suatu pengganti atas pengganti yang lain. Tidaklah suatu pemikiran kecuali
memberikan kemungkinan benar bagi pemikiran-pemikiran lain.

Anda mungkin juga menyukai