Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

INPARTU PROLONGED PHASE LATENT DI RUANG KABER RUMAH


SAKIT UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Oleh:
SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES DARUL AZHAR BATULICIN
TAHUN 2024
LEMBAR PENGESAHAN

Malang, Maret 2024

Disusun Oleh :
SISKA RAHMAWATI
NIM 1114901230406

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
LEMBAR MENTORING
NAMA : SISKA RAHMAWATI
NIM : 1114901230406
No. Hari/Tgl Keterangan TTD

A. DEFINISI
Prolonged latent phase adalah fase latent yang memanjang dimana
suatu keadaan pada kala 1 pembukaan serviks sampai 3 cm berlangsung
lebih dari 8 jam. Partus lama atau prolonged labour merupakan istilah
yang digunakan untuk menggambarkan adanya abnormalitas persalinan di
kala 1. Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai definisi partus
lama.
American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG)
mendefinisikan sebagai kala 1 fase laten lebih dari 20 jam pada wanita
nulipara dan lebih dari 14 jam pada perempuan multipara. ACOG
menggunakan batasan pembukaan serviks < 6 cm sebagai acuan fase laten.
B. ETIOLOGI
Faktor penyebab fase latent adalah

1. His tidak efisien (in adekuat)


His yang tidak normal dalam kekuatan atau sifatnya menyebabkan
keringetan pada jalan lahir yang lazim terdapat pada setiap persalinan,
tidak dapat diatasi sehingga persalinan mengalami hambatan atau
kemacetan.
2. Kelainan janin
Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena
kelainan dalam letak atau bentuk janin.
3. Kelainan jalan lahir (panggul sempit, kelainan serviks, vagina, tumor)
Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi
kemajuan persalinan atau menyebabkan kemacetan
C. PATWAY

D. TANDA DAN GEJALA


Adapun tanda dan gejala sebagai berikut:

1. Serviks tidak membuka, tidak his atau his tidak teratur


2. Pembukaan serviks tidak melewati 4cm sesudah 8 jam inpartu dengan his
taratur
3. Pembukaan serviks melewati kanan garis waspada patrograf
a. Frekuensi his kurang dari 3x his per 10 menit dan lamanya kurang dari
40 detik
b. Pembukaan serviks dan turunnya bagian janin yang di presentasikan
tidak maju, sedangkan his baik.
c. Penmbukaan serviks dan turunnya bagian janin yang dipresentasikan
tak maju dengan ceput, terdapat moulase hebat, odema serviks, tanda
ruptura uteri imins, gawar janin.
4. Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin mengedan, tetapi tidak ada
kemajuan penurunan

E. PENANGANAN
Prolonged latent phase (fase laten yang memanjang) Diagnosis fase
laten memanjang dibuat secara retrospektif. Bila his berhenti disebut
persalinan palsu atau belum inpartu. Bilamana kontraksi makin teratur dan
pembukaan bertambah sampaim 3 cm, dan disebut fase laten. Dan apabila ibu
berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tak ada kemajuan, lakukan
pemeriksaan dengan jalan melakukan pemeriksaan serviks:

1. Bila didapat perubahan dalam penipisan dan pembukaan serviks, lakukan


drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai
dengan 8 tetes permenit, setiap 30 menit ditambah 4 tetes sampai his
adekuat (maksimal 40 tetes/menit) atau berikan preprat prostaglandin,
lakukan penilaian ulang setiap 4jam. Bila ibu tidak masuk fase aktif
setelah dilakukan pemberian oksitosin, lakukan secsio sesarea.
2. Pada daerah hipervalensi HIV tinggi, dianjurkan membiarkan ketuban
tetap utuh selama pemberian oksitoksin untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya penularan HIV.
3. Bila didapatkan tanda adanya amnionitis, berikan induksi dengan oksitosin
5U dan 500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai dengan 8 tetes permenit, setiap
15 menit ditambah 4 tetes sampai adekuat (maksimal 40 tetes/menit) atau
berikan preprat prostaglandin, serta obati infeksi dengan ampisilin 2 gr IV
sebagai dosis awal dan 1 gr IV setiap 6 jam dan gentamicin 2x80 mg.

F. PENILAIAN KLINIS
Dalam menentukan keadaan janin harus:

1. Periksa denyut jantung bayi, hitung frekwensi sekurang kurangnya 1x


dalam 30 menit selama fase aktif dan 1x tiap 5 menit selama fase laten
kala II.
2. Jika ketuban sudah pecah, air ketuban kehijau hijauan atau bercampur
darah pikirkan kemungkinan gawat janin.
3. Jika tidak ada ketuban yang mengalir seteah selaput ketuban pecah,
pertimbangkan adanya indikasi penurunan jumlah air ketuban yang
mungkin juga menyebabkan gawat janin. Perbaiki keadaan umum dengan
memberikan dukungan psikologis. Beri cairan baik secara oral maupun
parental.
4. Bila pasien merasa nyeri berikan obat analgesik.

G. MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Anamnesa, Indentitas pasien, riwayat penyakit, keluhan utama
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama :
Keluhan yang diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa
nyeri. Lokasi luka biasanya terdapat pada daerah- daerah yang
menonjol, misalnya pada daerah abdomen , daerah tangan , telapak
kaki.
2) Riwayat Penyakit Sekarang :
Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan,
lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau frekuensi, faktor yang
memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain
yang menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan perawat disini
harus menghubungkan masalah kulit dengan gejalanya seperti: gatal,
panas, mati rasa, immobilisasi, nyeri, demam, edema, dan neuropati
3) Riwayat Kesehatan masa lalu:
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah
tinggi, DM, dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa
diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya
efek samping yang terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan
reaksi alergi apa yang timbul
4) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan karena penyembuhan
luka dapat dipengauhi oleh penyakit-penyakit yang diturunkan
seperti : DM, alergi, Hipertensi (CVA ). Riwayat penyakit kulit dan
prosedur medis yang pernah dialami klien. Hal ini untuk memberikan
informasi apakah perubahan pada kulit merupakan manifestasi dari
penyakit sistemik seperti: infeksi kronis, kanker, DM.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien biasanya baik
atau compos mentis (CM) dan umumnya penderita datang dengan
keadaan sakit dan gelisah atau cema s akibat adanya kerusakan
integritas kulit yang dialami.
b. B1 (Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam
batas normal.
c. B2 (Blood)
Tekanan darah biasanya mengalami peningkatan atau dalam batas
normal tidak ada bunyi jantung tambahan dan tidak ada kelainan katup.
d. B3 (Brain)
Kaji adanya hilang gerakan atau sensasi, spasme otot, terlihat
kelemahan/kehilangan fungsi. Pergerakan mata atau kejelasan
penglihatan, dilatasi pupil. Agitasi berhubungan denan nyeri atau
ansietas.
e. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien.
Perubahan pola kemih seperti inkontinesia urin, disuria, distensi
kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihan.

f. B5 (Bowel)
Kaji adanya konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi,
auskultasi bising usus, anoreksia, adanya anoreksia abdomen, dan
nyeri tekan abdomen.
g. B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Kaji adannya berat
tiba-tiba mungkin teralokasi pada area jaringan dapat berkurang pada
imobilisasi, kontraktur atrofi otot, laserasi kulit dan perubahan warna.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot
4. Intervensi

Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan

Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


berhubungan tindakan Observasi :
dengan agen keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
pencedera fisik selama 1x7 jam durasi frekuensi, kualitas,
diharapkan nyeri intensitas nyeri
dapat terkontrol2. Identifikasi skala nyeri
dengan kriteria
3. Identifikasi respon nyeri secara
hasil : non verbal
1. Keluhan nyeri 4. Identifikasi faktor yang
pasien memperberat dan memperingan
menurun. nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
2. Meringis pasien keyakinan tentang nyeri
menurun. 6. Identifikasi pengaruh budaya
3. Skala nyeri terhadap respon nyeri
berkurang. 7. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
4. Kegelisahan diberikan
pasien 8. Monitor efek samping
menurun. penggunaan analgesic
Terapeutik :
5. Ketegangan
1. Berikan teknik nonfarmakologi
otot pasien.
untuk mengurangi rasa nyeri.
6. Kesulitan tidur 2. Kontrol lingkungan yang
pasien menurun memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
7. Kemampuan 4. Pertimbangkan jenis dan
menuntaskan sumber nyeri dalam pemilihan
aktivitas pasien strategi meredakan nyeri
meningkat. Edukasi :
1. Jelaskan penyebab,periode,dan
8. TTV dalam
pemicu nyeri
batas normal
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat
5. Anjurkan teknik
nonfamakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgesic
Gangguan pola Setelah dilakukan Dukungan Tidur
tidur berhubungan tindakan Observasi :
dengan nyeri keperawatan 1. Identifikasi pola aktivitas dan
selama 1x8 jam tidur
diharapkan pola
tidur pasien 2. Identifikasi faktor pengganggu
kembali membaik tidur
dengan kriteria 3. Identifikasi makanan dan
hasil : minuman yang mengganggu
1. Keluhan sulit tidur
tidur menurun.
4. Identifikasi obat tidur yang
2. Keluhan sering dikonsumsi
terjaga
menurun. Terapeutik :
1. Modifikasi lingkungan
3. Keluhan tidak
puas tidur 2. Batasi waktu tidur siang, jika
pasien perlu
menurun.
3. Fasilitasi menghilangkan stress
4. Keluhan pola sebelum tidur
tidur pasien
4. Tetapkan jadwal tidur rutin
berubah
menurun. 5. Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
5. Keluhan
istirahat tidak Edukasi :
cukup 1. Jelaskan pentingnya tidur cukup
menurun. selama sakit
6. Kemampuan 2. Anjurkan menepati kebiasaan
beraktivitas waktu tidur
pasien
meningkat. 3. Anjurkan menghindari makan/
minuman yang mengganggu
tidur

4. Anjurkan menggunakan obat


tidur yang tidak mengandung
supresor terhadap tidur REM

5. Anjarkan faktor-faktor yang


berkontrubusi terhadap
gangguan pola tidur

6. Ajarkan teknik relaksasi otot


autogenic atau cara
nonfarmakologi lainnya

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi


berhubungan tindakan Observasi :
dengan kelemahan keperawatan 1. Identifikasi adanya nyeri atau
otot selama 1x8 jam keluhan fisik lainnya
diharapkan
mobilisasi fisik 2. Identifikasi toleransi fisik
meningkat dengan melakukan pergerakan
kriteria hasil : 3. Monitor frekuensi jantung dan
1. Kekuatan otot tekanan darah sebelum memulai
pasien cukup mobilisasi
meningkat.
4. Monitor kondisi umum selama
2. Rentang gerak melakukan mobilisasi
pasien cukup
meningkat. Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
3. Nyeri dengan alat bantu
menurun.
2. Fasilitasi melakukan
4. Kecemasan pergerakan, jika perlu
pasien
menurun. 3. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
5. Kelemahan meningkatkan pergerakan
fisik menurun.
Edukasi :
6. Gerakan 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
terbatas pasien mobilisasi
menurun.
2. Anjurkan melakukan mobilisasi
7. Kekakuan dini
sendi menurun.
3. Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan

5. Implementasi Keperawatan
Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan yang
pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan
pada langkah sebelumnya (intervensi).
6. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi
menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati
dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi keperawatan ada 2 yaitu:
1. Evaluasi proses (formatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setiap selesai
tindakan. Berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-
menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
2. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir
tindakan keperawatan secara paripurna. Berorientasi pada masalah
keperawatan dan menjelaskan keberhasilan atau ketidakberhasilan.
Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan.

H. KESIMPULAN
Kesimpulan dari uraian diatas dapat disimpulkan Prolonged latent
phase adalah fase latent yang memanjang dimana suatu keadaan pada kala 1
pembukaan serviks sampai 3 cm berlangsung lebih dari 8 jam. Dan apabila
ibu berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tak ada kemajuan, lakukan
pemeriksaan dengan jalan melakukan pemeriksaan serviks.
I. SARAN
Perawat sebagai petugas pelayanan kesehatan hendaknya mempunyai
pengetahuan, keterampilan yang cukup serta dapat bekerjasama dengan tim
kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien Prolonged
phase latent karena pada klien tersebut memerlukan penanganan yang cepat
dan tepat .
DAFTAR PUSTAKA

Anita. (2021). Asuhan keperawatan pada ny.a dengan Prolonged phase latent
. (http://repository.poltekeskupang.acid/1025)

Andi. (2021) Etiologi Prolonged phase latent. (https://google.scholar

Hana. (2020). Prolonged phase latent.


(https://repository.poltekeskupang.ac.id.)

Indah. (2020) Penanganan Prolonged phase latent. (https://google.scholar).

Nugroho. (2020) Prolonged phase latent. (https://google.scholar).


PPNI. (2016). Strandar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan
indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Strandar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. (2018). Strandar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai