1
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Penerbit PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 207
seharusnya diberlakukan pada tanggal 31 Maret 2015 sedangkan KTUN PTDH PNS
tersebut diberlakukan pada tanggal 1 Agustus 2018 maka hal tersebut berlaku
mundur/surut.
Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dan
menyatakan batal KTUN PTDH PNS tersebut atau Surat Keputusan Walikota Tangerang
Selatan Nomor : 863/Kep.336-Huk/2018, Tanggal 1 Agustus Tahun 2018, Tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Kepada Dadang.
Menurut Penulis, Putusan Nomor 43/G/2019/PTUN.SRG sudah memenuhi asas
kepastian hukum karena telah mengikuti ketentuan – ketentuan Peraturan Perundang –
undangan yang tertulis jelas bahwa tidak memperboleh suatu KTUN yang termasuk
didalamnya KTUN PTDH PNS untuk berlaku surut.
Jika dilihat dari aspek keadilan maka dapat ditinjau dari dua segi yaitu keadilan formal
yang dimaknai atas keadilan hukum semata atau keadilan dari segi penegakan
hukumnya dan keadilan substansial yang artinya adalah sebagai suatu keadilan yang riil
yang diterima dan dirasakan oleh para pihak yang berperkara. 2
Pada Putusan Nomor: 26/G/2018/PTUN.JBI, keadilan formal belum tercapai
sebagaimana sudah penulis jelaskan pada tinjauan aspek kepastian hukum yaitu terkait
berlaku surutnya KTUN PTDH PNS yang dibuat oleh Tergugat namun Majelis Hakim
berpendapat lain dengan menanggap bahwa apabila menggunakan norma pada
ketentuan Pasal 57 juncto Pasal 58 ayat (6) Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dan mengesampingkan norma pada ketentuan Pasal
252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil sebagai dasar menerbitkan keputusan dan/atau tindakan administrasi ( Lex superior
derogat legi inferior), sebab jika tetap menggunakan ketentuan Pasal 252 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 sebagai salah satu dasar penerbitan keputusan
dan/atau tindakan administrasi, maka hal tersebut berpotensi melahirkan sebuah
keputusan tata usaha Negara yang berlaku mundur atau berlaku surut.
Menurut penulis hal itu tetap tidak membenarkan diperbolehkannya KTUN PTDH
PNS untuk berlaku surut karena Menurut S.F.Marbun, S.H., M.Hum menyatakan jika
suatu KTUN dengan daya berlaku surut harap dimungkinkan apabila negara dalam
keadaan darurat atau keadaan genting yang benar-benar membahayakan kehidupan
negara. Apabila dilihat dari kasus perkara diatas tidak ada keadaan darurat/kritis ketika
objek sengketa dikeluarkan. Dan juga Undang– Undang Administarsi Pemerintahan tidak
menjelaskan secara spesifik terkait pembuatan KTUN PTDH PNS melainkan pembuatan
KTUN PTDH PNS dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017. Hal itu
juga membuat bahwa pertimbangan Majelis Hakim tidak memenuhi aspek keadilan
khususnya dalam aspek keadilan formal.
Kemudian terkait keadilan substansialnya, menurut penulis juga belum tercapai
karena keputusan Majelis Hakim yang memperbolehkan KTUN PTDH PNS berlaku surut
tersebut sangat merugikan bagi pihak Penggugat. Penggugat disini sudah menjalankan
kembali pekerjaannya sebagai PNS yang sebelumnya telah diberhentikan sementara
pada tanggal 29 April 2013 yang berdasarkan Keputusan Bupati Tanjung Jabung Timur
2
Margono, Asas Keadilan Kemanfaatan & Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim, Jakarta: Sinar Grafika,
2019, hlm, 110.
Nomor 228 Tahun 2013 kemudian selanjutnya keputusan tersebut telah dicabut
berdasarkan Keputusan Bupati Tanjung Jabung Timur Nomor 435 Tahun 2013 tanggal
25 Oktober 2013, baru setelah itu diterbitkannya KTUN PTDH PNS pada tanggal 28
Agustus 2018 yang membuat segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat
sebagai PNS terkait pekerjaannya sepanjang rentang waktu sebelum PTDH PNS
diterbitkan, akan dianggap batal atau tidak sah dengan sendirinya karena subjek hukum
yang melakukan perbuatan hukum tersebut sudah dianggap tidak ada akibat
diberhentikan. Dengan demikian hal tersebut akan menimbulkan suatu masalah hukum
baru terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum atau terikat dengan
keputusan yang dikeluarkan oleh Penggugat ketika masih menjadi PNS.
Hal tersebut dirasa tidak adil bagi Penggugat karena pada dasarnya kesalahan
penerbitan keputusan pemberhentian tersebut ada pada Pejabat Pembina Kepegawaian
atau Tergugat yang membuat KTUN PTDH PNS dengan penerbitannya yang berlaku
surut.
Kemudian pada Putusan Nomor 43/G/2019/PTUN.SRG, terkait dengan keadilan
formalnya, menurut penulis sudah memenuhi karena telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan terkhususnya Pasal 57 dan Pasal 58 ayat (6) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Pasal 252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 yang inti kandungan normanya adalah tidak memperbolehkan KTUN untuk berlaku
surut.
Lalu terkait dengan keadilan substansialnya, menurut penulis masih belum
sepenuhnya tercapai karena walaupun
Putusan akhir dilihat dari sifatnya dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu sebagai
berikut.3
a. Putusan akhir yang bersifat Pembebanan (condemnatoir)
Putusan dimana Tergugat dibebani dengan membayar ganti rugi
atau melakukan rehabilitasi. Terdapat pada Pasal 97 Ayat (10) dan Ayat
(11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu bahwa : 4
Dan Untuk Pasal 97 Ayat (11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah : 5
“Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian
rehabilitasi.”
3
Ali Abdullah, Teori dan Praktif Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca – Amandemen,
Prenada Media Group, Jakarta,2015, hlm 137
4
Pasal 97 Ayat (10) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
5
Pasal 97 Ayat (11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6
Pasal 62 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi
oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
7
Pasal 97 Ayat (9) Huruf b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8
Pasal 48 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
9
Pasal 48 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas
dua bentuk.”
Berdasarkan isi dan Penjelasan dari pasal 48 Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut, maka yang dimaksud upaya administratif adalah
sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang
perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata
Usaha Negara (Beschikking) yang merugikannya melalui
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan pemerintah itu
sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan.
Salah satu contoh Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat
menggunakan upaya administratif adalah Sengketa Tata Usaha
Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tentang hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil yang
terdapat pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa : 10
(1) Hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 yaitu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yang
dijatuhkan oleh:
a. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara ke bawah;
b. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II Kabupaten/Kota
ke bawah/Pejabat yang setara ke bawah;
c. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan unit dengan sebutan lain yang atasan
langsungnya Pejabat struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
d. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan Kantor Perwakilan Provinsi dan unit setara dengan
sebutan lain yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
(2) Hukuman disiplin yang dapat diajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yaitu hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh:
10
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010
a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan
huruf e; dan
b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e.
11
R.Wiyono, Loc.Cit, hlm 110 - 111
mengajukan permohonan kepada Badan Pertimbangan
Kepegawaian agar keputusan tersebut diperiksa kembali. 12
c. Tindak Lanjut dari Upaya Administratif
Proses selanjutnya setelah melalui upaya administratif
apabila masih belum selesai atau tidak menerima hasil keputusan
dari upaya administrasi, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara, dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (Pasal 55 Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
Jika dalam peraturan perundang – undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
mengakibatkan terjadinya Sengketa Tata Usaha Negara, upaya
administratif yang tersedia adalah keberatan, maka penyelesaian
selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Sedangkan Jika dalam peraturan perundang –
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya Sengketa Tata Usaha
Negara, upaya administratif yang tersedia adalah banding
administratif atau keberatan dan banding administratif, maka
penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (Angka IV huruf a dan b dari
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
2) Gugatan
a. Pengertian Gugatan
12
Ibid
Mengenai pengertian dari Gugatan dapat dilihat dalam Pasal
1 Angka 5 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa : 13
“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan
atau pejabat tata usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapat putusan”
c. Pengajuan Gugatan
Menurut Pasal 54 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa : 17
“Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat.”
16
Pasal 56 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
17
Pasal 54 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
18
Pasal 55 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Apabila gugatan yang diajukan melewati tenggang waktu
yang ditetapkan dalam undang – undang, maka Keputusan Tata
Usaha Negara yang dijadikan objek sengketa tidak dapat di gugat
lagi, walaupun Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
mengandung cacat hukum, kecuali atas kemauan sendiri dari Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mencabut atau
mengubah Keputusan Tata Usaha Negara dengan syarat – syarat
yang ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. 19
Salah satu contoh Sengketa TUN yang dapat menggunakan upaya
administratif adalah Sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN tentang hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil yang terdapat
pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa :20
(1) Hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 yaitu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yang
dijatuhkan oleh:
e. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara ke
bawah;
f. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II
Kabupaten/Kota ke bawah/Pejabat yang setara ke bawah;
g. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan unit dengan sebutan lain yang atasan
langsungnya Pejabat struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
h. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan Kantor Perwakilan Provinsi dan unit setara
dengan sebutan lain yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
19
R. Wiyono, Loc. Cit, hlm 127
20
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010
(2) Hukuman disiplin yang dapat diajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yaitu hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh:
a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan
huruf e; dan
b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e.
Pengertian Ekstentif
Selain dari pengertian stipulatif ada beberapa golongan yang sebenarnya
bukan Pegawai Negeri Sipil menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, tetapi dalam hal tertentu diperlakukan sama
seperti pegawai negeri, artinya disamping pengertian stipulatif ada pengertian
yang hanya berlaku pada hal-hal tertentu.
Pengertian tersebut terdapat pada antara lain, sebagai berikut :
a. Ketentuan yang terdapat pada pasal 415-437 KUHP mengenai
kejahatan jabatan.
Menurut pasal-pasal tersebut orang yang melakukan kejahatan jabatan
adalah yang melakukan kejahatan yang berkenaan dengan tugasnya sebagau
orang yang diserahi suatu jabatan publik, baik tetap maupun sementara.
Jadi, orang yang diserahi suatu jabatan publik itu belum tentu Pegawai
Negeri Sipil secara stipulatif apabila melakukan kejahatan dalam kualitasnya
sebagai pemegang jabatan publik, ia dianggap dan diperlakukan sama dengan
Pegawai Negeri, khusus untuk kejahatan yang dilakukannya.
b. Ketentuan pasal 92 KUHP yang berkaitan dengan status anggota
dewan rakyat, anggota dewan daerah, dan kepala desa.
Menurut Pasal 92 KUHP, dimana diterangkan bahwa yang termasuk
dalam arti Pegawai Negeri Sipil adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan
berdasarkan peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih
tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat dan dewan daerah serta kepala
desa dan sebagainya.
Pengertian Pegawai Negeri dalam KUHP sangat luas, tetapi pengertian
tersebut hanya berlaku dalam hal ada orang – orang yang melakukan kejahatan
atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP, jadi
pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian.
c. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperluas pengertian dari Pegawai
Negeri.
Seperti yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi bahwa :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
22
Pasal 239 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
23
Pasal 241 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
a. Tidak dapat disalurkan pada instansi lain;
b. Belum mencapai usia 50 (lima puluh) tahun; dan
c. Masa kerja kurang dari 10 (sepuluh) tahun, Diberikan uang tunggu paling
lama 5 (lima) tahun.
(4) apabila sampai dengan 5 (lima) tahun Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dapat disalurkan maka Pegawai Negeri Sipil
tersebut diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) dalam hal pada saat berakhirnya pemberian uang tunggu Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum berusia 50 (lima puluh)
tahun, jaminan pensiun bagi PNS mulai diberikan pada saat mencapai usia
50 (lima puluh) tahun.
(6) ketentuan mengenai kriteria dan penetapan kelebihan Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
24
Pasal 242 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
25
Pasal 243 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
(1) PNS yang meninggal dunia atau tewas diberhentikan dengan hormat sebagai
PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) PNS dinyatakan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila:
a. meninggalnya tidak dalam dan karena menjalankan tugas;
b. meninggalnya sedang menjalani masa uang tunggu; atau
c. meninggalnya pada waktu menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(3) PNS dinyatakan tewas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
meninggal:
a. dalam dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya;
b. dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga
kematian itu disamakan dengan keadaan sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. langsung diakibatkan oleh luka atau cacat rohani atau jasmani yang
didapat dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya atau keadaan
lain yang ada hubungannya dengan kedinasan; dan/ atau
d. karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab atau sebagai
akibat tindakan anasir itu.
(4) Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah
berkeluarga, kepada janda/duda atau anaknya diberikan hak kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
berkeluarga, kepada orang tuanya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
26
Pasal 244 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Melakukan Tindak
Pidana/Penyelewengan adalah : 27
30
Pasal 254 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
I Pemberhentian Karena Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik
Berdasarkan Pasal 255 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang diberhentikan karena
Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik adalah : 31
(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik.
(2) Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
wajib mengundurkan diri secara tertulis.
(3) Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung
mulai akhir bulan pengunduran diri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(4) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(5) Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhitung mulai akhir bulan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik.