Anda di halaman 1dari 22

Dalam Putusan Nomor: 26/G/2018/PTUN.

JBI, Majelis Hakim melakukan pertimbangan


yang inkonsisten. Pada satu sisi, Majelis Hakim menyatakan dalam pertimbangannya
bahwa ketentuan Pasal 57 dan Pasal 58 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
harus dimaknai bahwa setiap keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan secara substantif tidak boleh
berlaku surut dan Majelis Hakim juga menyatakan ketentuan Pasal 252 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tidak terdapat kandungan norma yang mengatur
bahwa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS apabila dipidana atau dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap, karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana
kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan, dapat diberlakukan mundur atau
surut.
Akan tetapi di sisi lain Majelis Hakim juga menyatakan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam menerbitkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang berisi
penjatuhan hukuman, termasuk dan tidak terbatas hukuman pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai PNS, khususnya berkaitan dengan kapan mulai berlakunya
pemberhentian tersebut, seharusnya menggunakan norma pada ketentuan Pasal 57
juncto Pasal 58 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan dan mengesampingkan norma pada ketentuan Pasal 252 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagai
dasar menerbitkan keputusan dan/atau tindakan administrasi ( Lex superior derogat legi
inferior), sebab jika tetap menggunakan ketentuan Pasal 252 Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 2017 sebagai salah satu dasar penerbitan keputusan dan/atau
tindakan administrasi, maka hal tersebut berpotensi melahirkan sebuah keputusan tata
usaha Negara yang berlaku mundur atau berlaku surut. Berdasarkan hal tersebut Majelis
Hakim menganggap objek sengketa a quo oleh Tergugat tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah sesuai juga dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka Majelis Hakim berkeyakinan bahwa
gugatan Penggugat tidaklah beralasan hukum dan terhadapnya haruslah ditolak
seluruhnya.
Menurut penulis, Putusan Nomor: 26/G/2018/PTUN.JBI belum memenuhi asas
kepastian hukum karena sudah tertulis jelas dalam ketentuan – ketentuan peraturan
Perundang – Undangan yaitu dalam Pasal 57 juncto Pasal 58 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 dan Pasal 252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
bahwa KTUN termasuk Keputusan PTDH PNS tidak diberbolehkan berlaku surut/mundur.
Terkait dengan waktu berlakunya KTUN PTDH PNS tersebut, Undang – Undang
Administarsi Pemerintahan tidak menjelaskan secara spesifik terkait pembuatan KTUN
PTDH PNS melainkan pembuatan KTUN PTDH PNS dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 dan apabila dilihat dalam Pasal 252 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017, seharusnya diberlakukan pada tanggal 31 April 2012
sedangkan KTUN PTDH PNS tersebut diberlakukan pada tanggal 28 Agustus 2018 maka
hal tersebut berlaku mundur/surut.
Menurut S.F.Marbun, S.H., M.Hum menyatakan jika suatu KTUN dengan daya
berlaku surut harap dimungkinkan apabila negara dalam keadaan darurat atau keadaan
genting yang benar-benar membahayakan kehidupan negara. Apabila dilihat dari kasus
perkara diatas tidak ada keadaan darurat/kritis ketika objek sengketa dikeluarkan.
Terkait pengertian keadaan darurat apabila dicermati ketentuan UUD 1945 maka
terdapat 3 (tiga) unsur penting secara bersama-sama (kumulatif) yang membentuk
pengertian keadaan darurat bagi negara ( state of emergency) yang menimbulkan
kegentingan yang memaksa, yaitu: pertama, unsur adanya ancaman yang
membahayakan; kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan dan ketiga, unsur
adanya keterbatasan waktu yang tersedia.1
Dan juga, pertimbangan Majelis Hakim yang inkonsisten tidak sesuai dengan
pendapat dari Prof. Dr. Jan Michael Otto dalam buku Moralitas Profesi Hukum Suatu
Tawaran Kerangka Berpikir karya Shidarta, yang mengatakan bahwa salah satu aspek
dari kepastian hukum adalah hakim – hakim peradilan menerapkan aturan – aturan
hukum secara konsisten sewaktu mereka menyelasaikan sengketa hukum.
Kemudian pada Putusan Nomor 43/G/2019/PTUN.SRG, Majelis Hakim sudah
benar dengan menanggap KTUN PTDH PNS tersebut berlaku surut/mundur dan
melanggar apa yang diatur dalam peraturan perundang – undangan terkhususnya Pasal
Pasal 57 dan Pasal 58 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Pasal 252
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017. Waktu berlakunya KTUN PTDH PNS
tersebut apabila dilihat dalam Pasal 252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017,

1
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Penerbit PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 207
seharusnya diberlakukan pada tanggal 31 Maret 2015 sedangkan KTUN PTDH PNS
tersebut diberlakukan pada tanggal 1 Agustus 2018 maka hal tersebut berlaku
mundur/surut.
Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dan
menyatakan batal KTUN PTDH PNS tersebut atau Surat Keputusan Walikota Tangerang
Selatan Nomor : 863/Kep.336-Huk/2018, Tanggal 1 Agustus Tahun 2018, Tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil Kepada Dadang.
Menurut Penulis, Putusan Nomor 43/G/2019/PTUN.SRG sudah memenuhi asas
kepastian hukum karena telah mengikuti ketentuan – ketentuan Peraturan Perundang –
undangan yang tertulis jelas bahwa tidak memperboleh suatu KTUN yang termasuk
didalamnya KTUN PTDH PNS untuk berlaku surut.
Jika dilihat dari aspek keadilan maka dapat ditinjau dari dua segi yaitu keadilan formal
yang dimaknai atas keadilan hukum semata atau keadilan dari segi penegakan
hukumnya dan keadilan substansial yang artinya adalah sebagai suatu keadilan yang riil
yang diterima dan dirasakan oleh para pihak yang berperkara. 2
Pada Putusan Nomor: 26/G/2018/PTUN.JBI, keadilan formal belum tercapai
sebagaimana sudah penulis jelaskan pada tinjauan aspek kepastian hukum yaitu terkait
berlaku surutnya KTUN PTDH PNS yang dibuat oleh Tergugat namun Majelis Hakim
berpendapat lain dengan menanggap bahwa apabila menggunakan norma pada
ketentuan Pasal 57 juncto Pasal 58 ayat (6) Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dan mengesampingkan norma pada ketentuan Pasal
252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil sebagai dasar menerbitkan keputusan dan/atau tindakan administrasi ( Lex superior
derogat legi inferior), sebab jika tetap menggunakan ketentuan Pasal 252 Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 sebagai salah satu dasar penerbitan keputusan
dan/atau tindakan administrasi, maka hal tersebut berpotensi melahirkan sebuah
keputusan tata usaha Negara yang berlaku mundur atau berlaku surut.
Menurut penulis hal itu tetap tidak membenarkan diperbolehkannya KTUN PTDH
PNS untuk berlaku surut karena Menurut S.F.Marbun, S.H., M.Hum menyatakan jika
suatu KTUN dengan daya berlaku surut harap dimungkinkan apabila negara dalam
keadaan darurat atau keadaan genting yang benar-benar membahayakan kehidupan
negara. Apabila dilihat dari kasus perkara diatas tidak ada keadaan darurat/kritis ketika
objek sengketa dikeluarkan. Dan juga Undang– Undang Administarsi Pemerintahan tidak
menjelaskan secara spesifik terkait pembuatan KTUN PTDH PNS melainkan pembuatan
KTUN PTDH PNS dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017. Hal itu
juga membuat bahwa pertimbangan Majelis Hakim tidak memenuhi aspek keadilan
khususnya dalam aspek keadilan formal.
Kemudian terkait keadilan substansialnya, menurut penulis juga belum tercapai
karena keputusan Majelis Hakim yang memperbolehkan KTUN PTDH PNS berlaku surut
tersebut sangat merugikan bagi pihak Penggugat. Penggugat disini sudah menjalankan
kembali pekerjaannya sebagai PNS yang sebelumnya telah diberhentikan sementara
pada tanggal 29 April 2013 yang berdasarkan Keputusan Bupati Tanjung Jabung Timur
2
Margono, Asas Keadilan Kemanfaatan & Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim, Jakarta: Sinar Grafika,
2019, hlm, 110.
Nomor 228 Tahun 2013 kemudian selanjutnya keputusan tersebut telah dicabut
berdasarkan Keputusan Bupati Tanjung Jabung Timur Nomor 435 Tahun 2013 tanggal
25 Oktober 2013, baru setelah itu diterbitkannya KTUN PTDH PNS pada tanggal 28
Agustus 2018 yang membuat segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat
sebagai PNS terkait pekerjaannya sepanjang rentang waktu sebelum PTDH PNS
diterbitkan, akan dianggap batal atau tidak sah dengan sendirinya karena subjek hukum
yang melakukan perbuatan hukum tersebut sudah dianggap tidak ada akibat
diberhentikan. Dengan demikian hal tersebut akan menimbulkan suatu masalah hukum
baru terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum atau terikat dengan
keputusan yang dikeluarkan oleh Penggugat ketika masih menjadi PNS.
Hal tersebut dirasa tidak adil bagi Penggugat karena pada dasarnya kesalahan
penerbitan keputusan pemberhentian tersebut ada pada Pejabat Pembina Kepegawaian
atau Tergugat yang membuat KTUN PTDH PNS dengan penerbitannya yang berlaku
surut.
Kemudian pada Putusan Nomor 43/G/2019/PTUN.SRG, terkait dengan keadilan
formalnya, menurut penulis sudah memenuhi karena telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang – undangan terkhususnya Pasal 57 dan Pasal 58 ayat (6) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Pasal 252 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 yang inti kandungan normanya adalah tidak memperbolehkan KTUN untuk berlaku
surut.
Lalu terkait dengan keadilan substansialnya, menurut penulis masih belum
sepenuhnya tercapai karena walaupun
Putusan akhir dilihat dari sifatnya dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu sebagai
berikut.3
a. Putusan akhir yang bersifat Pembebanan (condemnatoir)
Putusan dimana Tergugat dibebani dengan membayar ganti rugi
atau melakukan rehabilitasi. Terdapat pada Pasal 97 Ayat (10) dan Ayat
(11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu bahwa : 4

“Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai


pembebanan ganti rugi. “

Dan Untuk Pasal 97 Ayat (11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah : 5
“Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian
rehabilitasi.”

b. Putusan akhir yang bersifat Pernyataan (declaratoir)


Putusan yang menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Salah
satunya dapat ditemukan pada Pasal 62 Ayat (1) Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu
bahwa: 6
Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak;

3
Ali Abdullah, Teori dan Praktif Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca – Amandemen,
Prenada Media Group, Jakarta,2015, hlm 137
4
Pasal 97 Ayat (10) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
5
Pasal 97 Ayat (11) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6
Pasal 62 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi
oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

c. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutif)


Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau
melahirkan suatu keadaan hukum baru. Terdapat pada Pasal 97 Ayat (9)
Huruf b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu bahwa :7
“pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru;”

a. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


1) Upaya Administratif
a. Pengertian Upaya Administratif
Dalam Pasal 48 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diatur tentang upaya
administratif yaitu :8
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang - undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif
yang bersangkutan telah digunakan.

Dalam Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) Undang – Undang


Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
dimaksud upaya administratif adalah :9
“Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh
oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas

7
Pasal 97 Ayat (9) Huruf b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8
Pasal 48 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
9
Pasal 48 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut
dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas
dua bentuk.”
Berdasarkan isi dan Penjelasan dari pasal 48 Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut, maka yang dimaksud upaya administratif adalah
sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang
perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata
Usaha Negara (Beschikking) yang merugikannya melalui
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan pemerintah itu
sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan.
Salah satu contoh Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat
menggunakan upaya administratif adalah Sengketa Tata Usaha
Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara tentang hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil yang
terdapat pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa : 10
(1) Hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 yaitu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yang
dijatuhkan oleh:
a. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara ke bawah;
b. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II Kabupaten/Kota
ke bawah/Pejabat yang setara ke bawah;
c. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan unit dengan sebutan lain yang atasan
langsungnya Pejabat struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
d. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan Kantor Perwakilan Provinsi dan unit setara dengan
sebutan lain yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
(2) Hukuman disiplin yang dapat diajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yaitu hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh:

10
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010
a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan
huruf e; dan
b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e.

b. Bentuk Upaya Administratif


Dalam Penjelasan Pasal 48 Ayat (1) Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat
diketahui bahwa bentuk dari upaya administratif dapat berupa :
1. Keberatan
Yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dilakukan sendiri
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
Sebagai Contoh adalah prosedur yang dapat
ditempuh oleh Pegawai Negeri Sipil yang merasa nomor
urutnya dalam Daftar Urut Kepangkatan tidak tepat, yaitu
dengan cara mengajukan permohonan kepada Pejabat
Pembuat Draft Kepangkatan tersebut diperiksa kembali. 11
2. Banding Administratif
Yaitu Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dilakukan oleh
atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atau dari
instansi lain dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
Sebagai contoh adalah prosedur pemberhentian tidak
dengan hormat Pegawai Negeri Sipil dengan cara

11
R.Wiyono, Loc.Cit, hlm 110 - 111
mengajukan permohonan kepada Badan Pertimbangan
Kepegawaian agar keputusan tersebut diperiksa kembali. 12
c. Tindak Lanjut dari Upaya Administratif
Proses selanjutnya setelah melalui upaya administratif
apabila masih belum selesai atau tidak menerima hasil keputusan
dari upaya administrasi, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara, dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (Pasal 55 Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
Jika dalam peraturan perundang – undangan yang menjadi
dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
mengakibatkan terjadinya Sengketa Tata Usaha Negara, upaya
administratif yang tersedia adalah keberatan, maka penyelesaian
selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Sedangkan Jika dalam peraturan perundang –
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya Sengketa Tata Usaha
Negara, upaya administratif yang tersedia adalah banding
administratif atau keberatan dan banding administratif, maka
penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (Angka IV huruf a dan b dari
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara).
2) Gugatan
a. Pengertian Gugatan
12
Ibid
Mengenai pengertian dari Gugatan dapat dilihat dalam Pasal
1 Angka 5 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa : 13
“Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan
atau pejabat tata usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapat putusan”

Gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara diajukan oleh


seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Oleh karenanya, unsur adanya kepentingan dalam pengajuan
gugatan merupakan hal yang sangat penting. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu bahwa: 14

“Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya


dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang
yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau/rehabilitasi”

Untuk alasan yang dapat digunakan dalam gugatan terdapat


pada Pasal 53 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu bahwa : 15
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
13
Pasal 1 Angka 5 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
14
Pasal 53 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
15
Pasal 53 Ayat (2) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut
dengan keputusan itu

b. Syarat - Syarat Gugatan


Terkait persyaratan gugatan yang harus dimuat dalam suatu
gugatan untuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara, terdapat pada
Pasal 56 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu bahwa : 16

Gugatan harus memuat:


a. nama,kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan
penggugat, atau kuasanya;
b. nama,jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
Pengadilan.

c. Pengajuan Gugatan
Menurut Pasal 54 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa : 17
“Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat.”

Pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara


memiliki tenggang setelah Keputusan Tata Usaha Negara yang
menjadi objek sengketa tersebut di umumkan atau diterima seperti
yang dijelaskan dalam Pasal 55 Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni bahwa : 18
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan”.

16
Pasal 56 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
17
Pasal 54 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
18
Pasal 55 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Apabila gugatan yang diajukan melewati tenggang waktu
yang ditetapkan dalam undang – undang, maka Keputusan Tata
Usaha Negara yang dijadikan objek sengketa tidak dapat di gugat
lagi, walaupun Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
mengandung cacat hukum, kecuali atas kemauan sendiri dari Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mencabut atau
mengubah Keputusan Tata Usaha Negara dengan syarat – syarat
yang ditentukan oleh peraturan perundang – undangan. 19
Salah satu contoh Sengketa TUN yang dapat menggunakan upaya
administratif adalah Sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya
KTUN tentang hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil yang terdapat
pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil Tahun 2010 yang menjelaskan bahwa :20
(1) Hukuman disiplin yang dapat diajukan keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 yaitu jenis hukuman disiplin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b yang
dijatuhkan oleh:
e. Pejabat struktural eselon I dan pejabat yang setara ke
bawah;
f. Sekretaris Daerah/Pejabat struktural eselon II
Kabupaten/Kota ke bawah/Pejabat yang setara ke bawah;
g. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan unit dengan sebutan lain yang atasan
langsungnya Pejabat struktural eselon I yang bukan Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
h. Pejabat struktural eselon II ke bawah di lingkungan instansi
vertikal dan Kantor Perwakilan Provinsi dan unit setara
dengan sebutan lain yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.

19
R. Wiyono, Loc. Cit, hlm 127
20
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Tahun 2010
(2) Hukuman disiplin yang dapat diajukan banding administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yaitu hukuman disiplin yang
dijatuhkan oleh:
a. Pejabat Pembina Kepegawaian untuk jenis hukuman disiplin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf d dan
huruf e; dan
b. Gubernur selaku wakil pemerintah untuk jenis hukuman
disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf
d dan huruf e.

Pengertian Ekstentif
Selain dari pengertian stipulatif ada beberapa golongan yang sebenarnya
bukan Pegawai Negeri Sipil menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, tetapi dalam hal tertentu diperlakukan sama
seperti pegawai negeri, artinya disamping pengertian stipulatif ada pengertian
yang hanya berlaku pada hal-hal tertentu.
Pengertian tersebut terdapat pada antara lain, sebagai berikut :
a. Ketentuan yang terdapat pada pasal 415-437 KUHP mengenai
kejahatan jabatan.
Menurut pasal-pasal tersebut orang yang melakukan kejahatan jabatan
adalah yang melakukan kejahatan yang berkenaan dengan tugasnya sebagau
orang yang diserahi suatu jabatan publik, baik tetap maupun sementara.
Jadi, orang yang diserahi suatu jabatan publik itu belum tentu Pegawai
Negeri Sipil secara stipulatif apabila melakukan kejahatan dalam kualitasnya
sebagai pemegang jabatan publik, ia dianggap dan diperlakukan sama dengan
Pegawai Negeri, khusus untuk kejahatan yang dilakukannya.
b. Ketentuan pasal 92 KUHP yang berkaitan dengan status anggota
dewan rakyat, anggota dewan daerah, dan kepala desa.
Menurut Pasal 92 KUHP, dimana diterangkan bahwa yang termasuk
dalam arti Pegawai Negeri Sipil adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan
berdasarkan peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih
tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat dan dewan daerah serta kepala
desa dan sebagainya.
Pengertian Pegawai Negeri dalam KUHP sangat luas, tetapi pengertian
tersebut hanya berlaku dalam hal ada orang – orang yang melakukan kejahatan
atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP, jadi
pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian.
c. Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperluas pengertian dari Pegawai
Negeri.
Seperti yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi bahwa :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

d. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 tentang


Pembatasan Pegawai Negeri dalam usaha swasta

A Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri


Berdasarkan Pasal 238 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Pemberhentian Atas Permintaan
Sendiri adalah :21
(1) PNS yang mengajukan permintaan berhenti, diberhentikan dengan hormat
sebagai PNS.
(2) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditunda
untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila PNS yang bersangkutan masih
diperlukan untuk kepentingan dinas.
21
Pasal 238 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
(3) Permintaan berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila:
a. sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak
pidana kejahatan;
b. terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga
melakukan pelanggaran disiplin PNS;
d. sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai PNS;
e. sedang menjalani hukuman disiplin; dan/ atau
f. alasan lain menurut pertimbangan PPK.

B Pemberhentian Karena Mencapai Batas Usia Pensiun


Berdasarkan Pasal 239 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Mencapai Batas Usia Pensiun
adalah :22
(1) PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun diberhentikan dengan hormat
sebagai PNS.
(2) Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat
fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat
fungsional keterampilan;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat
fungsional madya; dan
c. 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional
ahli utama.

C Pemberhentian Karena Perampingan Organisasi atau Kebijakan Pemerintah


Berdasarkan Pasal 241 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Perampingan Organisasi atau
Kebijakan Pemerintah adalah :23
(1) Dalam hal terjadi perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan kelebihan PNS maka PNS tersebut terlebih dahulu disalurkan
pada Instansi Pemerintah lain.
(2) Dalam hal terdapat PNS yang bersangkutan tidak dapat disalurkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pada saat terjadi perampingan
organisasi sudah mencapai usia 50 (lima puluh) tahun dan masa kerja 10
(sepuluh) tahun, diberhentikan dengan hormat dengan mendapat hak
kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

22
Pasal 239 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
23
Pasal 241 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
a. Tidak dapat disalurkan pada instansi lain;
b. Belum mencapai usia 50 (lima puluh) tahun; dan
c. Masa kerja kurang dari 10 (sepuluh) tahun, Diberikan uang tunggu paling
lama 5 (lima) tahun.
(4) apabila sampai dengan 5 (lima) tahun Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak dapat disalurkan maka Pegawai Negeri Sipil
tersebut diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) dalam hal pada saat berakhirnya pemberian uang tunggu Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum berusia 50 (lima puluh)
tahun, jaminan pensiun bagi PNS mulai diberikan pada saat mencapai usia
50 (lima puluh) tahun.
(6) ketentuan mengenai kriteria dan penetapan kelebihan Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

D Pemberhentian Karena Tidak Cakap Jasmani dan/ atau Rohani


Berdasarkan Pasal 242 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Pemberhentian Karena Tidak
Cakap Jasmani dan/ atau Rohani adalah : 24
(1) Pegawai Negeri Sipil yang tidak cakap jasmani dan/atau rohani diberhentikan
dengan hormat apabila:
a. Tidak dapat bekerja lagi dalam semua Jabatan karena kesehatannya;
b. Menderita penyakit atau kelainan yang berbahaya; atau
c. Tidak mampu bekerja kembali setelah berakhirnya cuti sakit.
(2) ketentuan mengenai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil pemeriksaan tim penguji
kesehatan.
(3) tim penguji kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) tim penguji kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) beranggotakan
dokter pemerintah.
(5) Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mendapat hak kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

E Pemberhentian Karena Meninggal Dunia, Tewas, atau Hilang


Berdasarkan Pasal 243 dan Pasal 244 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Meninggal Dunia, Tewas,
adalah :25

24
Pasal 242 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
25
Pasal 243 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
(1) PNS yang meninggal dunia atau tewas diberhentikan dengan hormat sebagai
PNS dengan mendapat hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) PNS dinyatakan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
apabila:
a. meninggalnya tidak dalam dan karena menjalankan tugas;
b. meninggalnya sedang menjalani masa uang tunggu; atau
c. meninggalnya pada waktu menjalani cuti di luar tanggungan negara.
(3) PNS dinyatakan tewas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
meninggal:
a. dalam dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya;
b. dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga
kematian itu disamakan dengan keadaan sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. langsung diakibatkan oleh luka atau cacat rohani atau jasmani yang
didapat dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya atau keadaan
lain yang ada hubungannya dengan kedinasan; dan/ atau
d. karena perbuatan anasir yang tidak bertanggung jawab atau sebagai
akibat tindakan anasir itu.
(4) Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah
berkeluarga, kepada janda/duda atau anaknya diberikan hak kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Apabila PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
berkeluarga, kepada orang tuanya diberikan hak kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 244 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang


Manajemen Pegawai Negeri Sipil, karena hilang adalah : 26
(1) Seorang PNS dinyatakan hilang di luar kemampuan dan kemauan PNS yang
bersangkutan apabila:
a. tidak diketahui keberadaannya; dan
b. tidak diketahui masih hidup atau telah meninggal dunia.
(2) PNS yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah
meninggal dunia dan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai PNS pada
akhir bulan ke-12 (dua belas) sejak dinyatakan hilang.
(3) Pernyataan hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh PPK
atau pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan surat keterangan atau berita
acara pemeriksaan dari pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Janda/duda atau anak PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
hak kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

F Pemberhentian Karena Melakukan Tindak Pidana/Penyelewengan

26
Pasal 244 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Karena Melakukan Tindak
Pidana/Penyelewengan adalah : 27

PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena


dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.

Berdasarkan Pasal 248 dan 249 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun


2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang tidak diberhentikan
karena Melakukan Tindak Pidana/Penyelewengan adalah : 28
(1) PNS yang dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak
diberhentikan sebagai PNS apabila:
a. perbuatannya tidak menurunkan harkat dan martabat dari PNS;
b. mempunyai prestasi kerja yang baik;
c. tidak mempengaruhi lingkungan kerja setelah diaktifkan kembali; dan
d. tersedia lowongan Jabatan.
(2) PNS yang dipidana dengan pidana penjara kurang dari 2 (dua) tahun
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana tidak dengan berencana, tidak
diberhentikan sebagai PNS apabila tersedia lowongan Jabatan.

Pasal 249 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang


Manajemen Pegawai Negeri Sipil, lanjutan dari pasal 248 adalah : 29
(1) PNS yang tidak diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248,
selama yang bersangkutan menjalani pidana penjara maka tetap bersatus
sebagai PNS dan tidak menerima hak kepegawaiannya sampai diaktifkan
kembali sebagai PNS.
(2) PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diaktilkan kembali sebagai PNS
apabila tersedia lowongan Jabatan.
(3) Dafam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, PNS yang
bersangkutan diberhentikan dengan hormat.
(4) PNS yang menjalani pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan sudah berusia 58 (lima puluh delapan) tahun, diberhentikan dengan
hormat.

G Pemberhentian Karena Pelanggaran Disiplin


27
Pasal 247 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
28
Pasal 248 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
29
Pasal 249 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
Berdasarkan Pasal 253 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang diberhentikan karena
Pelanggaran Disiplin adalah :
(1) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri apabila
melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
disiplin PNS.

H Pemberhentian karena Mencalonkan Diri atau Dicalonkan Menjadi Presiden dan


Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil
Gubernur atau Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota
Berdasarkan Pasal 254 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang diberhentikan karena
Mencalonkan Diri atau Dicalonkan Menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur atau
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota adalah : 30
(1) Pegawai Negeri Sipil wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil
pada saat ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua,
dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau
Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikotaoleh lembaga yang bertugas
melaksanakan pemilihan umum.
(2) pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat ditarik kembali.
(3) Pegawai Negeri Sipil yang mengudurkan diri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(4) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(5) Pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku terhitung mulai akhir bulan
sejak Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon
Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota dan Wakil
Bupati/Wakil Walikota oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan
umum.

30
Pasal 254 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
I Pemberhentian Karena Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik
Berdasarkan Pasal 255 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang diberhentikan karena
Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik adalah : 31
(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik.
(2) Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
wajib mengundurkan diri secara tertulis.
(3) Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung
mulai akhir bulan pengunduran diri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(4) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(5) Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhitung mulai akhir bulan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik.

J Pemberhentian Karena Tidak Menjabat Lagi Sebagai Pejabat Negara


Berdasarkan Pasal 256 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PNS yang diberhentikan karena
Menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik adalah : 32
(1) Pegawai Negeri Sipil yang tidak menjabat lagi sebagai ketua, wakil ketua,
dan anggota Mahkamah Konstitusi, ketua, wakil ketua, dan anggota Badan
Pemeriksa Keuangan, ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial, ketua
dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, menteri dan jabatan
setingkat menteri, kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh,
diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil apabila dalam
waktu paling lama 2 (dua) tahun tidak tersedia lowongan Jabatan.
(2) selama menunggu tersedianya lowongan Jabatan sesuai dengan Kompetensi
dan kualifikasi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diaktifkan kembali sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberikan penghasilan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan jabatan terakhir sebagai
Pegawai Negeri Sipil sebelum diangkat sebagai pejabat negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) pemberhentian dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhitung mulai akhir bulan sejak 2 (dua) tahun
tidak tersedia lowongan Jabatan.

K Pemberhentian Karena Hal Lain


31
Pasal 255 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
32
Pasal 256 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
PNS yang tidak melaporkan diri kepada pimpinan instansi induknya
setelah habis menjalankan cuti diluar tanggunan negara, diberhentikan dengan
hormat sebagai PNS (Pasal 257 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil).
PNS yang terbukti menggunakan ijazah palsu dalam pembinaan
kepegawaian diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri. (Pasal
258 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai
Negeri Sipil)
PNS yang tidak melapor kepada PPK dalam menjalankan tugas belajar,
PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. (Pasal 259 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen Pegawai Negeri Sipil).

Anda mungkin juga menyukai