Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“Pembentukan Negara Jajahan Daerah Luar Jawa ± 1800 - 1910”

Dosen Pengampu:
Dr. Ismail, M.Ag.

Disusun Oleh:
Fenti Elfina Juita (2223270004)

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr, Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas makalah yang berjudul “Pembentukan Negara Jajahan Daerah Luar Jawa ±
1800 - 1910”. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan kepada
pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ismail, M.Ag yang
telah membimbing penulis sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan tugas makalah ini. Penulis menyadari, makalah
yang penulis buat ini masih jauh dari kata sempurana. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.

Bengkulu, April 2024

Fenti Elfina Juita

ii
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Makalah................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pembentukan Negara Jajahan Daerah Luar Jawa ± 1800 – 1910.... 3
B. Pembentukan Madura....................................................................... 5
C. Pembentukan Bali............................................................................ 6
D. Pembentukan Nusa Tenggara Timur................................................ 10
E. Pembentukan Sulawesi Selatan........................................................ 11
F. Pembentukan Makasar..................................................................... 11
G. Pembentukan Papua......................................................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setelah runtuhnya kekuasaan VOC pada Tahun 1799, kemudian diambil
alih oleh pemerintah Kolonial Belanda (1800-1942). Pergantian kekuasaan ini
bahkan mendorong Belanda untuk secara terang-terangan menyatakan bahwa
tanah jajahan harus memberikan keuntungan sebesarbesarnya dari sektor
perdagangan untuk memberikan keuntungan kepada negeri Belanda.1
Pernyataan ini berbanding terbalik ketika gubernur jenderal menjanjikan bahwa
ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usaha.2
Tapi kenyataannya, prinsip tersebut tidak berlaku untuk penduduk pribumi,
yang justru menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat pribumi dengan cara
memberlakukan sistem-sistem yang diterapkan di Hindia Belanda yang
dianggap menyengsarakan masyarakat pribumi.
Bentuk-bentuk diskriminasi kemudian bermunculan. Meski niatan untuk
memberlakukan ide-ide liberalisme diarahkan juga kepada anakanak pribumi.
Akan tetapi, fasilitas pendidikan yang diberikan kepada anak-anak keturunan
Belanda berbeda jauh dengan yang diperoleh oleh anak-anak pribumi. Bahkan
Pemerintah Kolonial Belanda merasa hanya bertanggung jawab untuk
membuat peraturan tanpa perlu adanya kewajiban menyediakan sekolah bagi
masyarakat pribumi. Sehingga masyarakat pribumi justru mengalami
kemerosotan dalam berbagai sektor kehidupannya, yang bahkan hal ini menuai
kritikan dari pihak Belandanya sendiri
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembentukan negara jajahan daerah luar Jawa ± 1800 – 1910?
2. Bagaimana pembentukan Madura?
3. Bagaimana pembentukan Bali?
4. Bagaimana pembentukan Nusa Tenggara Timur?
5. Bagaimana pembentukan Sulawesi Selatan?

1
6. Bagaimana pembentukan Makasar?
7. Bagaimana pembentukan Papua
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pembentukan negara jajahan daerah luar Jawa ± 1800 –
1910.
2. Untuk mengetahui pembentukan Madura.
3. Untuk mengetahui pembentukan Bali.
4. Untuk mengetahui pembentukan Nusa Tenggara Timur.
5. Untuk mengetahui pembentukan Sulawesi Selatan.
6. Untuk mengetahui pembentukan Makasar.
7. Untuk mengetahui pembentukan Papua

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Negara Jajahan Daerah Luar Jawa ± 1800 - 1910


Pada sekitar tahun 1910, sebagian besar wilayah yang sekarang ini
membentuk Republik Indonesia telah jatuh di bawah kekuasaan Belanda.
Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-3) menanamkan keuntungan sebagai
prinsip utama pemerintah, dan meyakini bahwa oleh karenanya maka Belanda
harus membatasi perhatian mereka hanya terhadap Jawa, Sumatera, dan
Bangka (sumber timah). Meskipun demikian, mulai tahun 1840 dan seterusnya,
keterlibatan Belanda di seluruh wilayah luar Jawa semakin meningkat. Ada
banyak alasan untuk hal ini. Sering kali ada dorongan-dorongan ekonomi,
termasuk usaha melindungi perdagangan antarpulau. (Perkembangan-
perkembangan ekonomi yang mengikuti perluasan kekuasaan Belanda akan
dibahas da- lam bab 14). Sering kali para pejabat Belanda di daerah melakukan
campur tangan karena adanya ambisi untuk mendapatkan kehormatan atau
kenaikan pangkat, walaupun ada kebijakan resmi Batavia untuk menghindari
perluasan kekuasaan Belanda. Ada dua pertimbangan umum yang berlaku di
mana-mana. Pertama, untuk menjaga keamanan daerah-daerah yang sudah
berhasil dikuasai, Belanda merasa terpaksa untuk menaklukkan daerah-daerah
lain yang mungkin akan mendukung atau mem- bangkitkan gerakan
perlawanan. Kedua, ketika persaingan bangsa Eropa untuk memperoleh
daerah-daerah jajahan mencapai puncaknya pada akhir abad XIX, pihak
Belanda merasa wajib untuk menetapkan hak mereka terhadap daerah-daerah
di luar Jawa dalam rangka mencegah masuknya kekuatan Barat lain di sana,
termasuk tempat-tempat yang pada mulanya Belanda sendiri tidak
meminatinya.1
Pada perempat terakhir abad XIX, perimbangan kekuatan militer berubah
secara menentukan terhadap negara-negara Indo- nesia yang masih merdeka,
dan inilah yang memungkinkan ber- langsungnya tahap terakhir perluasan
1
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2001), h.284.

3
kekuasaan Belanda. Pada zaman kapal-layar kayu dan senapan yang pelurunya
diisi dari moncong larasnya, kesenjangan di bidang teknologi militer antara
bangsa Indonesia dan Eropa tidaklah begitu besar. Akan tetapi, ketika kekuatan
penjajah yang berkembang itu mulai menggunakan senapan yang pelurunya
diisi dari bagian belakang, mauser, kapal perang bertenaga uap, dan hasil-hasil
militer lain dari suatu perekonomian industri, sebagian besar negara-negara
praindustri Indonesia hanya dapat melawan dengan tekad dan senjata-senjata
api yang kuno. Segelintir penguasa yang masih merdeka berusaha memperbaiki
perimbangan itu dengan jalan membeli persenjataan modern, tetapi mereka
jarang sekali dapat menyamai kekuatan militer angkatan perang penjajah untuk
waktu yang lama
Perluasan kekuasaan Belanda ke daerah-daerah luar Jawa benar-benar
berbeda dengan perluasan kekuasaannya di Jawa, karena di sebagian besar
daerah luar itu tidak pernah ada tuntutan yang permanen atau sungguh-sungguh
untuk menguasai dari pi- hak Belanda. Ada beberapa daerah di mana orang-
orang Belanda sudah sejak lama menjalin hubungan, tetapi sangat sedikit
daerah di mana mereka telah menjadi kekuatan utama sebelumnya. Di daerah-
daerah tempat VOC sebelumnya telah mendirikan pos- pos perdagangan, pada
tahun 1800 pos-pos tersebut hampir semuanya hanya merupakan bukti tentang
kehadiran atau minat Belanda yang tidak berdaya; beberapa di antaranya malah
telah hilang sama sekali. Bahkan di tempat yang kehadiran Belanda tergolong
berarti, pendudukan pos-pos Belanda oleh Inggris selama perang-perang
Revolusi Prancis telah memutuskan hubungan Belanda. Di pulau-pulau luar
Jawa, perluasan kekuasaan Belanda pada abad XIX pada dasarnya
melambangkan pembentukan suatu kerajaan baru, bukannya puncak dari
keterlibatan yang lama dan intensif. Di semua daerah, perluasan kekuasaan
Belanda berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa penduduk asli Indonesia.
Sayang- nya, perkembangan-perkembangan yang dialami rakyat Indonesia di
sebagian besar daerah tersebut sampai sekarang belum men- dapat perhatian
sejarah yang memuaskan.
B. Pembentukan Madura

4
Madura, yang terletak di lepas pantai timur-laut Jawa, mem- punyai
tradisi keterlibatan yang lama dengan Belanda. Hal ini terjadi bukannya karena
kepentingan langsung Belanda di Madura, tetapi lebih dikarenakan keterlibatan
orang-orang Madura di Jawa mulai abad XVII dan seterusnya. Madura Timur
diserahkan kepada VOC pada tahun 1705 dan Madura Barat pada tahun 1743.
Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya mempunyai nilai
ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang
melakukan migrasi secara besar- besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari
kehidupan yang lebih baik. Madura juga merupakan sumber serdadu kolonial,
dan inilah nilainya yang utama bagi Belanda. Akan tetapi, pada paruh kedua
abad XIX (terutama setelah tahun 1870), Madura mempunyai nilai ekonomi
yang lebih besar sebagai pemasok utama garam ke daerah-daerah yang
dikuasai Belanda di seluruh Nusantara, di mana garam merupakan monopoli
yang mengun- tungkan bagi pemerintah kolonial.2
Ada berbagai aturan untuk memerintah Madura, dengan kekuasaan yang
terbagi di antara penguasa-penguasa Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep.
Pada tahun 1817, seluruh pulau ini menjadi satu keresidenan; pada tahun 1828,
ia dijadikan bagian dari keresidenan Surabaya. Selanjutnya, Jawa dan Madura
ber- sama-sama dianggap sebagai satu kesatuan administrasi oleh Be- landa.
Sebelum pemulihan kekuasaan Belanda (setelah masa per- alihan kekuasaan
Inggris) pada tahun 1816, penguasa-penguasa Madura biasanya tetap merdeka
dalam masalah-masalah dalam negeri. Sesudah masa itu, Belanda menaruh
perhatian secara lebih langsung dalam pemerintahan Madura, dan gelar-gelar
maupun hak-hak istimewa para penguasa Madura dikurangi. Daendels dan
Raffles telah menghadiahi gelar 'sultan' kepada keturunan Cakraningrat dari
Sumenep dan Bangkalan, tetapi pada paruh kedua abad XIX Belanda tidak
bersedia memberikan gelar ini ketika pe- nguasa-penguasa baru Madura tampil.
Pada tahun 1887, para penguasa Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep
diturunkan ke status yang sama dengan para bupati di Jawa: mereka hanya

2
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: PT Bumi aksara, 2001),28.

5
merupakan pimpinan kabupaten yang berdarah bangsawan di bawah kekua-
saan langsung Belanda.
Intensifikasi kekuasaan kolonial di Madura pada abad XIX itu telah
memfasilitasi terjadinya perubahan-perubahan sosialyang berarti. Setelah
kekuasaan yang sewenang-wenang dari para elite pribumi atas rakyat berakhir,
orang-orang Madura menikmati kesempatan bergerak yang lebih bebas. Ini
membawa pada di- bukanya lahan-lahan baru untuk pertanian dan, bersamaan
de- ngan meningkatnya infrastruktur, pada perdagangan dan kemak- muran
yang lebih besar. Buah dari situasi ini sering dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan
keagamaan, untuk menyumbang sekolah-se- kolah agama dan mesjid-mesjid.
Dengan tradisi Islam yang saleh, Madura juga merespon gelombang-
gelombang pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah dan yang dibawa
pulang oleh para haji asal Madura, yang jumlahnya meningkat seiring dengan
berlalunya abad XIX. Seperti di Jawa, para pemimpin Islam di sini men- jadi
alternatif yang berpengaruh dari elite bangsawan, yang makin hari makin
dikait-kaitkan dengan pemerintah kolonial yang kafir.
C. Pembentukan Bali
Pengalaman Bali berbeda sekali dengan pengalaman Madura. Belanda
telah menghadapi prajurit-prajurit Bali di Jawa pada abad XVIII dan juga
menjadi pembeli utama budak-budak Bali, yang banyak di antaranya bertugas
dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial. Akan tetapi, Belanda tidak
terlibat secara langsung di pulau yang bergolak ini. Pemerintah Inggris di Jawa
telah berperang dengan raja-raja Buleleng dan Karangasem pada tahun 1814
dalam usaha mengakhiri perdagangan budak. Pihak Bali menyerah, tetapi
perdagangan budak berjalan terus. Setelah tahun 1816, pemerintah kolonial
Belanda melakukan beberapa usaha untuk membujuk raja-raja Bali (yang pada
tahun 1839 berjumlah sepuluh orang) agar bersedia menerima kekuasaan Be-
landa, tetapi tidak berhasil. Walaupun Raja Badung setuju untuk menyediakan
prajurit-prajurit untuk angkatan perang kolonial, tetapi Belanda tidak
mempunyai pengaruh yang besar di pulau tersebut.

6
Selama abad XIX, Bali mengalami suatu rangkaian tragedi alam, budaya,
ekonomi, dan politik yang memberi sejarahnya suatu arti yang lebih lebar dan
sebuah kengerian yang melekat. Dramanya bermula dari ledakan alam yang
terbesar yang pernah diketahui, yang akibatnya dirasakan oleh Bali bersama
pulau- pulau tetangganya. Dari April sampai Juli 1815, Gunung Tambora di
Pulau Sumbawa meletus, menewaskan lebih banyak orang da- ripada letusan
Krakatau pada tahun 1883 yang lebih terkenal. Sepuluh ribu nyawa langsung
melayang, 38.000 orang diperkirakan mati akibat kelaparan yang menyusul
letusan tersebut, dan total korban yang meninggal mungkin mencapai 117.000
orang di Sumbawa, Bali, dan Lombok. Sedikitnya, 25.000 orang mati di Bali.
Pulau ini ditutupi oleh abu gunung berapi setebal 20 cm atau lebih, yang
menghancur-leburkan lahan persawahannya. Tra- gedi ini disertai oleh
sejumlah penyakit pes, yang merusak pasok- an makanan, dan oleh kelaparan
serta wabah penyakit. Wabah menghantam Bali lagi pada tahun 1817 dan
wabah cacar datang mengamuk pada tahun 1828. Antara tahun 1850 dan 1888
mun- cul 7 kali wabah cacar, 5 kali wabah kolera, 4 kali pes, beberapa kali
disentri, dan akhirnya, pada tahun 1888, sebuah gempa bu- mi. Korban tewas
terburuk terjadi dalam wabah cacar tahun 1871, menghabisi 15.000-18.000
orang.3
Ekonomi Bali pada permulaan abad XIX masih sangat tergantung pada
ekspor budak. Sekitar 2.000 orang dijual oleh para bangsawan Bali setiap
tahun. Sebaliknya, mereka mengimpor ter- utama koin-koin tembaga, senjata,
dan khususnya candu, yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Bali. Sejak
masa peme- rintahan sementara Inggris, pemerintah kolonial di Batavia ber-
upaya membatasi dan, akhirnya, menghapuskan perdagangan budak. Ini
mengancam pendapatan kaum bangsawan Bali, tepat ke- tika Gunung Tambora
sedang melancarkan aksi penghancurannya atas perekonomian pertanian Bali.
Tetapi, perkembangan politik dan ekologi yang lebih positif kemudian
menghasilkan suatu transformasi ekonomi. Timbunan abu Gunung Tambora
segera menaikkan kesuburan tanah, sementara Singapura, daerah jajahan

3
Djakariah, Sejarah Indonesia II, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h.112.

7
Inggris, menjadi pasar ekspor Bali yang baru (dan membang- kitkan
ketertarikan pihak Inggris kepada Bali yang dipandang Be- landa dengan penuh
curiga). Dalam dua dasawarsa, Bali beralih dari sebuah negara pengekspor
budak menjadi pengekspor hasil bumi (khususnya beras, kopi, dan nila) dan
daging babi. kannya menjual rakyatnya, para raja Bali sekarang justru mem-
butuhkan mereka untuk menggarap lahan-lahan pertanian. Kaum aristokrat
Bali tetap menguasai usaha baru ini, seperti halnya perdagangan budak. Ini
berbeda sekali dengan Minangkabau di mana, seperti yang akan diperlihatkan
di bawah nanti, pengembang- an produk-produk baru di akhir abad XVIII dan
awal abad XIX telah meruntuhkan dominasi elite lama. Akan tetapi, persaingan
Act di antara puri (istana) Bali dipertajam oleh sumber kekayaan baru ini,
seperti yang juga terjadi di antara para 'raja lada' Sumatera Utara, sebagaimana
yang akan diperlihatkan di bawah nanti.4
Pada sekitar tahun 1840, dua faktor meyakinkan pihak Belanda bahwa
Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka. Yang pertama adalah
perampokan dan perampasan yang dilaku- kan oleh orang-orang Bali terhadap
kapal-kapal yang terdampar, dan yang kedua adalah adanya kemungkinan
kekuatan Eropa lainnya akan campur tangan di Bali. Segera menjadi jelas
bahwa tidak ada alasan untuk merasa takut akan terjadinya campur ta- ngan
bangsa Eropa lainnya, karena rasa kemerdekaan orang-orang Bali begitu kuat
sehingga dapat diduga mereka akan melawan setiap kekuatan asing. Akan
tetapi, masih tetap ada soal peram- pokan dan perampasan. Pada tahun 1841,
seorang duta Belanda membujuk raja-raja Badung, Klungkung, Karangasem,
dan Bule- leng untuk menandatangani perjanjian-perjanjian yang mengakui
kedaulatan pemerintah kolonial Belanda. Sebenarnya tujuan uta- ma
pemerintah penjajahan bukanlah menguasai Bali, tetapi hanya menciptakan
dasar hukum untuk menutup Bali dari kekuatan- kekuatan Barat lainnya.
Diberitahukan kepada raja-raja Bali ter- sebut bahwa persetujuan-persetujuan
itu tidak akan membatasi kedaulatan mereka dalam negeri. Mereka menerima
persetujuan- persetujuan tersebut dengan harapan bahwa pihak Belanda ber-

4
Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia , (Jogjakarta: Diva Press, 2014), h.56.

8
sedia membantu mereka dalam menyerang kerajaan Mataram di Lombok.
Dukungan militer itu rupanya dijanjikan oleh utusan. Belanda, yang
bertentangan dengan perintah-perintah pihak Belanda sendiri, dan sampai batas
itu perjanjian-perjanjian ini hanyalah muslihat. untuk bertindak. Pada tahun
1846, mereka berhasil menyerang Buleleng dan Karangasem, tetapi serangan
ini hanyalah langkah pertama dalam suatu peperangan yang sengit dan
panjang. Raja senior Bali, Dewa Agung dari Klungkung, bersama-sama dengan
sebagian besar raja-raja lainnya, secara diam-diam mendukung usaha-usaha
yang dilakukan Buleleng dan Karangasem untuk me- lawan Belanda dan mulai
membentuk suatu koalisi militer. Pihak Belanda menyerang lagi pada tahun
1848, tetapi mereka menghadapi perlawanan yang lebih besar daripada yang
mereka perkirakan. Serangan mereka gagal. Pada tahun 1849, mereka me-
lancarkan serangan untuk yang ketiga kalinya. Serangan ini me- raih sukses di
Bali Utara. Namun, ketika tentara kolonial meng- arahkan hasrat mereka ke
Bali Selatan, mereka menghadapi ke- sulitan-kesulitan yang hebat. Pedagang
Denmark bernama Mads Lange ikut campur dan memungkinkan tentara
pemerintah Belanda menghindari pertempuran yang menentukan di sana.
Ketika, pada tahun 1891, Raja Lombok yang asal Bali mengerahkan
warga Sasak-nya untuk berperang di Bali, ia mem- bangkitkan pemberontakan
warga Sasak yang dipimpin oleh seorang guru agama dari tarekat
Naqsyabandiyyah. Ini memberikan alasan kepada Batavia untuk campur
tangan. Pihak Belanda meng- adakan suatu pemblokiran, yang terbukti tidak
efektif, dan tahun 1894 mereka pun menyerbu. Pasukan ekspedisi pertama
mereka dikalahkan oleh serangan balik pasukan Bali, dan kekuatan tam- bahan
harus didatangkan. Pertempuran berlangsung sengit, tapi akhirnya ibu kota
Mataram takluk. Pasukan Bali yang terakhir lalu bertahan dalam benteng di
Cakranegara. Di sana, mereka terjun dalam puputan, sebuah pertempuran
bunuh diri yang ter- akhir. Ini adalah akhir yang mengerikan bagi perlawanan
terhadap penaklukan, sesuatu yang segera menyusul di Bali Selatan juga.

9
D. Pembentukan Nusa Tenggara Timur
Tambah ke timur, pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (Kepulauan Sunda
Kecil), suatu istilah yang mencakup Lombok, baru berhasil diletakkan di
bawah kekuasaan Belanda yang efektif pada dasawarsa pertama abad XX.
Pulau-pulau yang penting adalah Sumbawa, Flores, Sumba, Savu, Roti, Timor,
serta kepulauan Solor dan Alor. Flores merupakan sasaran utama kegiatan
Belanda pada abad XIX. Perdagangan budak dan perampasan terhadap kapal-
kapal yang terdampar di kawasan ini mengundang datangnya ekspedisi-
ekspedisi ke Flores pada tahun 1838 dan 1846. Orang-orang Portugis masih
tetap menguasai Timor Timur dan menyatakan klaim atas wilayah-wilayah
lainnya, tetapi pada tahun 1859 mereka mengakui klaim Belanda atas Flores.
Pada tahun 1890, suatu ekspedisi militer Belanda yang lebih lanjut dikirim ke
sana untuk melindungi suatu misi eksplorasi timah.5
Suatu pemberontakan yang meletus pada tahun 1907 menyebabkan
bergeraknya suatu pasukan ekspedisi kolonial yang menyapu bersih seluruh
Flores pada tahun 1907-8 dan berhasil menumpas perlawanan di semua tempat,
tetapi tidak menghapuskan perasaan benci penduduk setempat terhadap
kekuasaan Belanda. Daerah-daerah Nusa Tenggara lainnya juga dapat ditun-
dukkan di bawah kekuasaan Belanda secara definitif pada tahun 1905-7. Akan
tetapi, pihak Portugis tetap menguasai Timor Timur.
Sifat budaya, ekonomi, dan demografi Nusa Tenggara sangat dipengaruhi
oleh perluasan kekuasaan Belanda. Selain menyediakan serdadu-serdadu untuk
VOC, Savu relatif tetap terpencil sebelum abad XIX, walaupun telah terjadi
perpindahan penduduk Savu ke Sumba. Penduduknya menolak Islam maupun
Kristen. Mulai sekitar tahun 1860, Savu dipaksa membuka diri bagi dunia luar.
Salah satu di antara akibat-akibatnya yang pertama adalah berjangkitnya wabah
cacar yang menewaskan antara sepertiga sampai separuh penduduk Savu pada
tahun 1869. Misionaris Kristen juga mulai beroperasi di sana. Orang-orang
yang masuk Kristen ditolak oleh masyarakat Savu, yang sangat berbeda dengan
keadaan di Roti. Orang-orang Savu pemeluk Kristen tersebut kini didorong
5
M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2007), h.41.

10
oleh pihak Belanda untuk menetap di Sumba dalam jumlah yang lebih besar,
dalam rangka menghambat penyiaran agama Islam di sana, dan di Timor
(tetapi dalam jumlah yang lebih kecil). Pada waktu yang bersamaan, orang-
orang Roti yang beragama Kristen didorong untuk menetap di Timor. Dengan
demikian, ekonomi penyadapan-lontar orang-orang Roti dan Savu dipindahkan
ke Sumba dan Timor. Di kedua pulau tersebut,
E. Pembentukan Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan merupakan suatu tantangan yang besar bagi pihak
Belanda. Sebagai sekutu utama VOC, Bone telah menjadi negara yang terkuat
di wilayah itu. Pada tahun 1814 dan 1816, Bone dan negara-negara Sulawesi
Selatan lainnya menyerang orang-orang Inggris, tetapi menderita kekalahan.
Ketika orang- orang Belanda kembali pada tahun 1816, tidak ada permusuhan
lagi, tetapi timbul ketegangan-ketegangan antara pihak Belanda dan Bone.
Banyak penguasa Sulawesi Selatan berpendapat bahwa hubungan mereka
sebelumnya dengan pihak Belanda telah putus karena menyerahnya Belanda
kepada Inggris pada tahun 1811, dan bahwa Perjanjian Bungaya (1667) tidak
lagi mempunyai ke- kuatan hukum. Pada tahun 1824, Gubernur Jenderal van
der Capellen mengunjungi wilayah itu dan membujuk negara-negara Sulawesi
Selatan lainnya untuk memperbarui Perjanjian Bungaya, tetapi Bone
menolaknya. Setelah van der Capellen pergi mening- galkan daerah itu, Ratu
Bone memimpin negara-negara Bugis melancarkan perang. Mereka merebut
wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda dan membantai dua garisun Belanda.
F. Pembentukan Makasar
Pada tahun 1825, pasukan Belanda dan pasukan Makasar dari Gowa
berhasil mengalahkan Bone. Tetapi ketika Perang Jawa (1825-30) meletus,
seluruh pasukan, kecuali sejumlah kecil yang mutlak diperlukan, ditarik ke
Jawa sehingga Bone dapat melan- jutkan lagi sikap permusuhannya. Baru pada
tahun 1838 Bone memperbaharui Perjanjian Bungaya. Akan tetapi, hal ini tidak
menegakkan supremasi Belanda. Pemberontakan-pemberontakan terus
berlanjut sebagai akibat terjadinya konflik di dalam negeri sendiri maupun
karena perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Pasukan-pasukan kolonial

11
kembali melancarkan serangan besar- besaran pada tahun 1858-60, tetapi
penaklukan yang terakhir dan menentukan baru terjadi pada tahun 1905-6,
ketika per- lawanan negara-negara Bugis dan Makasar dapat dipatahkan. Pada
tahun 1905, Belanda juga memperluas kekuasaan mereka atas rakyat Toraja di
Sulawesi Tengah yang menganut animisme dan pengayau yang melakukan
perlawanan sengit.6
G. Pembentukan Papua
Wilayah Indonesia dewasa ini yang letaknya paling timur, Papua,
merupakan daerah terakhir yang masuk ke dalam yuris- diksi Belanda. Pada
tahun 1828, benteng Du Bus didirikan di Lobo sekarang, semata-mata untuk
mencegah bercokolnya kekuatan lain di sana. Dengan cepat orang Belanda
menarik kesimpulan, sejauh yang dapat dilihat pada waktu itu, bahwa tidak ada
sesuatu apa pun yang menarik perhatian orang di pulau yang luas dan terpencil
ini, yang didiami oleh gerombolan-gerombolan manusia yang masih hidup
pada "zaman batu". Benteng Du Bus terletak di suatu daerah malaria dan
meminta banyak korban jiwa dan uang; benteng ini ditinggalkan pada tahun
1836. Papua sebenarnya baru berada di bawah pendudukan Belanda secara
permanen setelah tahun 1898, terutama pada kurun waktu 1919- 1928.
Kepulauan Aru dan Tanimbar yang terletak di sebelah barat Irian tidak
begitu menarik bagi Belanda. Hanya Aru yang memi liki nilai ekonomi lebih
besar sebagai sumber mutiara dan kerang mutiara serta burung cenderawasih.
VOC telah memonopoli perdagangan antara Banda dan Aru mulai tahun 1620-
an, tetapi dengan penarikan mundur VOC secara umum pada akhir abad XVIII,
perdagangan ini telah diambil alih oleh orang-orang Bugis dan Makasar. Baru
setelah tahun 1882 Aru dan Tanimbar berada di bawah pemerintahan Belanda
secara tetap.

BAB III

6
Wildan Herdiansyah, VOC Negara Dalam Negara, (Bogor: PT. Regina Eka Utama,
2010), h.60.

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada sekitar tahun 1910, sebagian besar wilayah yang sekarang ini
membentuk Republik Indonesia telah jatuh di bawah kekuasaan Belanda.
Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-3) menanamkan keuntungan sebagai
prinsip utama pemerintah, dan meyakini bahwa oleh karenanya maka Belanda
harus membatasi perhatian mereka hanya terhadap Jawa, Sumatera, dan
Bangka (sumber timah).
Madura, yang terletak di lepas pantai timur-laut Jawa, mem- punyai
tradisi keterlibatan yang lama dengan Belanda. Hal ini terjadi bukannya karena
kepentingan langsung Belanda di Madura, tetapi lebih dikarenakan keterlibatan
orang-orang Madura di Jawa mulai abad XVII dan seterusnya. Madura Timur
diserahkan kepada VOC pada tahun 1705 dan Madura Barat pada tahun 1743.
Pulaunya tidak begitu subur, dan pada mulanya hanya mempunyai nilai
ekonomi yang kecil bagi Belanda. Hasil utamanya adalah manusia, yang
melakukan migrasi secara besar- besaran ke Jawa Timur dalam rangka mencari
kehidupan yang lebih baik.
Belanda telah menghadapi prajurit-prajurit Bali di Jawa pada abad XVIII
dan juga menjadi pembeli utama budak-budak Bali, yang banyak di antaranya
bertugas dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial. Akan tetapi,
Belanda tidak terlibat secara langsung di pulau yang bergolak ini. Pemerintah
Inggris di Jawa telah berperang dengan raja-raja Buleleng dan Karangasem
pada tahun 1814 dalam usaha mengakhiri perdagangan budak.
Tambah ke timur, pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (Kepulauan Sunda
Kecil), suatu istilah yang mencakup Lombok, baru berhasil diletakkan di
bawah kekuasaan Belanda yang efektif pada dasawarsa pertama abad XX.
Pulau-pulau yang penting adalah Sumbawa, Flores, Sumba, Savu, Roti, Timor,
serta kepulauan Solor dan Alor. Flores merupakan sasaran utama kegiatan
Belanda pada abad XIX. Perdagangan budak dan perampasan terhadap kapal-

13
kapal yang terdampar di kawasan ini mengundang datangnya ekspedisi-
ekspedisi ke Flores pada tahun 1838 dan 1846.
Sulawesi Selatan merupakan suatu tantangan yang besar bagi pihak
Belanda. Sebagai sekutu utama VOC, Bone telah menjadi negara yang terkuat
di wilayah itu. Pada tahun 1814 dan 1816, Bone dan negara-negara Sulawesi
Selatan lainnya menyerang orang-orang Inggris, tetapi menderita kekalahan.
Ketika orang- orang Belanda kembali pada tahun 1816, tidak ada permusuhan
lagi, tetapi timbul ketegangan-ketegangan antara pihak Belanda dan Bone.
Pada tahun 1825, pasukan Belanda dan pasukan Makasar dari Gowa
berhasil mengalahkan Bone. Tetapi ketika Perang Jawa (1825-30) meletus,
seluruh pasukan, kecuali sejumlah kecil yang mutlak diperlukan, ditarik ke
Jawa sehingga Bone dapat melan- jutkan lagi sikap permusuhannya. Baru pada
tahun 1838 Bone memperbaharui Perjanjian Bungaya. Akan tetapi, hal ini tidak
menegakkan supremasi Belanda.
Wilayah Indonesia dewasa ini yang letaknya paling timur, Papua,
merupakan daerah terakhir yang masuk ke dalam yuris- diksi Belanda. Pada
tahun 1828, benteng Du Bus didirikan di Lobo sekarang, semata-mata untuk
mencegah bercokolnya kekuatan lain di sana. Dengan cepat orang Belanda
menarik kesimpulan, sejauh yang dapat dilihat pada waktu itu, bahwa tidak ada
sesuatu apa pun yang menarik perhatian orang di pulau yang luas dan terpencil
ini, yang didiami oleh gerombolan-gerombolan manusia yang masih hidup
pada "zaman batu". Benteng Du Bus terletak di suatu daerah malaria dan
meminta banyak korban jiwa dan uang; benteng ini ditinggalkan pada tahun
1836. Papua sebenarnya baru berada di bawah pendudukan Belanda secara
permanen setelah tahun 1898, terutama pada kurun waktu 1919- 1928.

14
DAFTAR PUSTAKA

Djakariah. 2014. Sejarah Indonesia II. Yogyakarta: Penerbit Ombak.


Herdiansyah, Wildan. 2014. VOC Negara Dalam Negara. Bogor: PT. Regina Eka
Utama.
Nasution, S. 2010. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Bumi aksara.
Ricklefs, M. C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia , (Jogjakarta: Diva Press, 2014),
h.56.

15

Anda mungkin juga menyukai