Anda di halaman 1dari 23

Harmonisasi ASEAN di bidang kosmetik atau ASEAN


Harmonized Cosmetics Regulatory Scheme (AHCRS)
ditandatangani oleh 10 negara ASEAN pada tanggal 2
September 2003. Isi dari AHCRS itu sendiri berisi dua
schedule, yaitu:
 ASEAN Mutual Recognition Arrangement of Product
Registration Approval for Cosmetic, yang diterapkan
pada tahun 2003-2007.
 ASEAN Cosmetic Directive (ACD), yang diterapkan mulai
1 Januari 2008 sampai sekarang.
Penerapan harmoninasi
ASEAN

 Setiap produsen kosmetik yang akan memasarkan
produknya harus menotifikasikan produk tersebut
terlebih dahulu kepada pemerintah di tiap Negara
ASEAN dimana produk tersebut akan dipasarkan.
 Setiap produsen yang menotifikasi produknya
harus menyimpan data mutu dan keamanan
produk (Product Information File) yang siap
diperiksa sewaktu-waktu oleh petugas pengawas
Badan POM RI (atau petugas lain yang berwenang
di tiap negara).
Perbedaan yang mendasar dari harmonisasi
ASEAN dengan sistem terdahulu (sistem
registrasi) adalah,
1. Sistem pengawasan 
pada sistem registrasi pengawasan dilakukan sebelum produk
beredar (pre market approval) oleh pemerintah, sedangkan
pada harmonisasi ASEAN pengawasan dilakukan setelah
beredar (post market surveillance).
 Alasannya karena dari analisa penilaian resiko, kosmetik
merupakan produk beresiko rendah sepanjang peraturan/regulasi
kosmetik telah dipatuhi oleh produsen. Hal tersebut
menguntungkan produsen karena dapat mempersingkat proses
untuk memperoleh izin edar , karena tidak perlu evaluasi pre
market terlebih dahulu, tetapi konsumen tetap terlindungi karena
adanya pengawasan post market berupa sampling dan pengujian
mutu dan keamanan dari Badan POM. Industri kosmetik dituntut
untuk bertanggung jawab penuh terhadap mutu dan keamanan
produknya, untuk itu perusahaan kosmetik harus memahami semua
ketentuan ACD dan membuat database keamanan bahan dan
produknya.
2. Sistem penomoran
 Nomor izin edar kosmetik (sistem

 Nomor izin edar kosmetik harmonisasi
registrasi), terdiri atas 12-14 digit: ASEAN, terdiri atas 13 digit:
2 digit huruf + 10 digit angka + 1-2 digit 2 digit huruf + 11 digit angka
huruf (opsional, tergantung produk) Contoh : CA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Contoh : CD / CL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 E /
L / EL C : kosmetik
A : kode benua (Asia)
CD : kosmetik dalam negeri
Angka 1-11 : kode negara, tahun notifikasi,
CL : kosmetik luar negeri (impor) jenis produk, dan nomor urut notifikasi.

Angka 1-10 : menunjukkan jenis


kosmetik, tahun registrasi, dan nomor
urut registrasi
E : kosmetik khusus untuk ekspor
L : kosmetik golongan 2 (resiko tinggi)
ASEAN Cosmetic Directive
(ACD)

Yaitu peraturan di bidang kosmetik yang menjadi
acuan peraturan bagi Negara ASEAN dalam
pengawasan kosmetik yang beredar di ASEAN.
ACD merupakan aturan baku yang terdiri
dari:

Artikel 1 : Ketentuan Umum
Artikel 2 : Definisi dan Ruang Lingkup Produk Kosmetik
Artikel 3 : Persyaratan Keamanan
Artikel 4 : Daftar Bahan Kosmetik, terdiri dari:
 Negative list: daftar bahan yang dilarang
 Positive list: daftar bahan yang diizinkan, meliputi:
pewarna, pengawet, dan tabir surya

Artikel 5 : ASEAN Handbook of Cosmetic Ingredient
(AHCI)
Adalah daftar bahan kosmetik yang masih
diizinkan penggunaannya di Negara ASEAN
tertentu, walaupun tidak termasuk dalam daftar
bahan kosmetik ASEAN. Negara anggota dapat
menggunakan bahan kosmetik yang tidak
tercantum dalam daftar bahan yang
diperbolehkan, dengan syarat:
 maksimal digunakan selama 3 tahun
 harus dilakukan pengawasan terhadap produk
tersebut sebelum 3 tahun, bahan tersebut
harus diusulkan untuk dimasukkan ke dalam
AHCI untuk dievaluasi keamanannya.
Artikel 6 : Penandaan

Informasi yang harus dicantumkan dalam label adalah:
Nama produk
Cara penggunaan
 Daftar bahan yang digunakan
 Nama dan alamat perusahaan
Negara produsen
Berat/isi netto
Kode produksi
Tanggal produksi/ tanggal kadaluwarsa
Peringatan, bila ada termasuk pernyataan asal bahan dari
hewan.

Artikel 7 : Klaim Produk
 Klaim didukung dengan data ilmiah dan formulasi
dari bentuk sediaan. Penentuan suatu produk termasuk
dalam “kosmetik” atau “obat” didasarkan pada dua
factor, yaitu komposisi dan tujuan penggunaan dari
produk tersebut. Klaim yang dimaksud disini adalah
klaim mengenai manfaat kosmetik dan bukan klaim
sebagai obat/efek terapi.

Artikel 8 : Product Information File (PIF)
Meliputi data kemanan dan data pendukung untuk
komposisi dan pembuatan sesuai dengan cara pembuatan
kosmetik yang baik.

Artikel 9 : Metode Analisa


Artikel 10 : Pengaturan Institusional
Artikel 11 : Kasus Khusus
Artikel 12 : Implementasi
Aneks (Tambahan)
Pendahuluan

 Setiap kosmetik hanya dapat diedarkan setelah
mendapatkan izin edar dari MenKes, yaitu berupa
notifikasi. Kecuali kosmetika yang digunakan untuk
penelitian dan sampel kosmetika untuk pameran dalam
jumlah terbatas dan tidak diperjual belikan.
 Notifikasi dilakukan sebelum produk beredar
 Permohonan notifikasi diajukan oleh pemohon kepada
Kepala Badan POM.
 Wajib notifikasi ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2011.
Untuk kosmetika yang telah memiliki izin edar, masih
tetap berlaku dalam jangka waktu paling lama 3 tahun
sejak dikeluarkannya Permenkes 1176.

Yang dapat mengajukan permohonan notifikasi, yaitu:
 Industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang
telah memiliki izin produksi,
 Importir kosmetika yang mempunyai Angka Pengenal Impor
(API) dan surat penunjukkan keagenan dari produsen negara
asal, dan/atau
 Usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi dengan industri kosmetika yang telah memiliki izin
produksi.
 Pemohon tersebut diatas harus memiliki Dokumen Informasi
Produk (DIP) sebelum kosmetika dinotifikasi. DIP tersebut
harus disimpan oleh pemohon, dan harus ditunjukkan jika
sewaktu-waktu diperiksa atau diaudit oleh Badan POM.
Persyaratan Kosmetika yang Akan
Dinotifikasi

 Kosmetika yang akan dinotifikasi harus dibuat
dengan menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika
yang Baik (CPKB) dan memenuhi persyaratan
teknis, meliputi keamanan, bahan, penandaan, dan
klaim.
Tata Cara Pengajuan Notifikasi

 Pemohon mendaftarkan diri kepada Kepala Badan POM.
 Pemohon yang telah mendaftarkan diri dapat mengajukan permohonan
notifikasi dengan mengisi formulir (template) secara elektronik melalui
website Badan POM.
 Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan
permohonan notifikasi diterima oleh Kepala Badan POM tidak ada surat
penolakan, terhadap kosmetika yang dinotifikasi dianggap disetujui dan
dapat beredar di wilayah Indonesia.
 Setelah permohonan disetujui, maka dalam jangka waktu 6 bulan kosmetik
yang telah dinotifikasi wajib diproduksi atau diimpor dan diedarkan.
 Kepala Badan POM dapat menolak permohonan notifikasi jika kosmetik
yang diajukan tidak memnuhi persyaratan yang telah ditetapkan, dan atau
tidak memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang kosmetika.
 Notifikasi berlaku selama tiga tahun, dan dapat diperpanjang jika telah
habis masa berlakunya.
 Untuk permohonan notifikasi dikenakan biaya sebagai penerimaan negara
bukan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk sementara ini,
biaya notifikasi sama dengan biaya untuk pembuatan izin edar, selama
peraturan perundang2an tentang biaya notifikasi kosmetika belum berlaku.
PEMBATALAN

Notifikasi dapat menjadi batal atau dibatalkan, apabila:
 Izin produksi kosmetika, izin usaha industri, atau tanda daftar
industri sudah tidak berlaku, atau Angka Pengenal lmportir (API)
sudah tidak berlaku,
 Berdasarkan evaluasi, kosmetika yang telah beredar tidak memenuhi
persyaratan,
 Atas permintaan pemohon notifikasi,
 Perjanjian kerjasama antara pemohon dengan perusahaan pemberi
lisensi/industri penerima kontrak produksi, atau surat penunjukkan
keagenan dari produsen negara asal sudah berakhir dan tidak
diperbaharui,
 Kosmetika yang telah beredar tidak sesuai dengan data dan/atau
dokumen yang disampaikan pada saat permohonan notifikasi, atau
 Pemohon. notifikasi tidak memproduksi, atau mengimpor dan
mengedarkan kosmetika dalam jangka waktu 6 bulan setelah
permohonan notifikasi disetujui.
Pertanggungjawaban Produk

 Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
bertanggung jawab terhadap kosmetika yang diedarkan.
 Apabila terjadi kerugian atau kejadian yang tidak diinginkan
akibat penggunaan kosmetika, maka Industri kosmetika,
importir kosmetika, atau usaha perorangan/badan usaha
yang melakukan kontrak produksi mempunyai
tanggungjawab untuk menangani keluhan dan/atau menarik
kosmetika yang bersangkutan dari peredaran atas inisiatif
sendiri atau atas perintah Kepala Badan POM.
 Industri kosmetika,

importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi harus melaporkan kepada Kepala Badan POM
apabila kosmetika yang sudah dinotifikasi tidak lagi
diproduksi atau diimpor.
 Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi bertanggungjawab terhadap kosmetika yang
tidak lagi diproduksi atau diimpor yang masih ada di
peredaran.

 Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi wajib melakukan monitoring terhadap
kosmetik yang telah diedarkan, dan wajib untuk
menanggapi dan menangani keluhan atau kasus efek
yang tidak diinginkan dari kosmetika yang diedarkan.
Terhadap kasus efek yang tidak diinginkan, harus
dilaporkan kepada Kepala Badan POM melalui
mekanisme Monitoring Efek Samping Kosmetik
(Meskos)

 Industri kosmetika, importir kosmetika, atau usaha
perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak
produksi wajib melakukan penarikan terhadap
kosmetik yang tidak memenuhi standar standar
dan/ persyaratan, berdasarkan inisiatif sendiri atau
atas perintah Kepala Badan POM. Terhadap
kosmetik yang tidak memenuhi standar
dan/persyaratan serta membahayakan kesehatan
dilakukan pemusnahan.

Peraturan tentang kosmetika di
Indonesia sudah di sesuaikan dengan
Harmonisasi ASEAN, sehingga
diharapkan kosmetika Indonesia
dapat di eksport ke seluruh negara
ASEAN dan produk ASEAN dapat
diedarkan di Indonesia
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai