Anda di halaman 1dari 54

Biofarmasetika & Farmakokinetika

Pertemuan 3
DIDI NURHADI ILLIAN, M.Si., Apt.
Outline
• Definisi, maanfaat, kerugian sistem penghantaran
obat parenteral
• Syarat-syarat sediaan parenteral
• Jenis-jenis sistem penghantaran obat parenteral
• Formulasi sediaan obat parenteral dan hubungannya
dengan penghantaran obat
• Gambaran distribusi obat melalui parenteral drug
delivery system
• Protein binding dan penghantaran obat
Sistem Penghantaran Parenteral

Para Enteron

Luar Usus Halus/Intestinal


Sediaan Parenteral
• Sediaan steril yang dimaksudkan untuk pemberian
secara injeksi, infus atau implan dalam tubuh.
Parenteral Routes of Administration:
Most Common:1. Subcutaneous (SC; SQ; Sub Q)
2. Intramuscular (IM)
3. Intravenous (IV)

Others: 4. Intra-arterial (IA)


5. Intrathecal
6. Intraarticular
7. Intrapleural
8. Intracardial
9. Intradermal (Diagnostic)
Alasan Obat dibuat Sediaan Parenteral–Keuntungan:
1.  Kadar obat sampai ke target → 6.  Dikehendaki efek lokal dengan
jumlah obat yang sampai ke jaringan menghindari efek atau reaksi toksik
target sesuai dengan jumlah yang sistemik. Contoh: methotreksat,
diinginkan untuk terapi. penggunaan secara intratekal untuk
2.  Parameter farmakologi → meliputi pengobatan leukemia.
waktu paruh, C maks., onset. 7.  Kondisi pasien → untuk pasien-
3.  Jaminan dosis dan kepatuhan → pasien yang tidak sadar, tidak
terutama untuk pasien-pasien rawat kooperatif atau tidak bisa dikontrol.
jalan. 8.  Inbalance (cairan badan dan
4.  Efek biologis → efek biologis tidak elektrolit). Contoh: muntaber serius,
dapat dicapai karena obat tidak bisa sehingga kekurangan elektrolit yang
dipakai secara oral. Contoh: penting dan segera harus
amfoterisin B (absorbsi jelek) dan dikembalikan.
insulin (rusak oleh asam lambung). 9.  Efek lokal yang diinginkan. Contoh:
5.  Alternatif rute → jika tidak bisa lewat anestesi lokal.
oral. 10. Tidak melalui First Pass Effect.
Kekurangan
• Tidak praktis.
• Butuh alat khusus (untuk injeksi).
• Butuh personil khusus, misal di rumah sakit oleh dokter atau
perawat.
• Nyeri pada daerah penyuntikan.
• Risiko alergi atau salah obat maka tidak bisa langsung
dihilangkan.
• Sensitivitas dan reaksi alergi pada tempat injeksi.
• Pengontrolan ketat sterilitas dan pirogen dibandingkan
formulasi lain.
Syarat Sediaan Parenteral
 Steril  Pelarut atau pembawa yang
 Bebas pirogen digunakan memenuhi standar.
 Bebas partikel  Ketat dalam penggunaan buffer,
 Jernih stabilizer, pengawet.
 Stabil  Tidak menggunakan pewarna.
 Isotonis  Dipersiapkan dalam kondisi aseptik.
 Pengemasan spesifik dan
berkualitas tinggi.
Parenteral Formulation

Active
Agent
Vehichles

Additives

Sediaan Parenteral
Parenteral Formulation

Additives
Solubilizing
agent

Antimicrobial
Bulking Agent
Agent

Tonicity-
Buffers adjusting agents

Surfactans Chelating agent

Antioxydant
Penghantaran Intravena
Intravenous (IV):
– Into the vein
– 1 to 1000 mL
– 1 inch, 19 to 20 gauge needle with injection rate 1 mL/10 sec. for
volume up to 5 mL and 1 mL/20 sec. for volume more than 5 mL.
Given:
– Aqueous solutions
– Hydro alcoholic solutions
– Emulsions
– Liposome
• IV infusion of large volume fluids (100–1000 mL) has become
increasingly popular. This technique is called as venoclysis.
• This is used to supply electrolytes and nutrients to restore
blood volume and to prevent tissue dehydration.
• Combination of parenteral dosage forms for administration as
a unit product is known as an IV admixture.
▫ Lactated Ringer Injection USP
▫ NaCl Injection USP (0.9 %)–(replenish fluid and electrolyte)
▫ Dextrose Injection USP (fluid and electrolyte)
Complication
• Embolisme udara → Masuknya udara ke pembuluh darah. Untuk mencegah hal
ini infusion pumps didesain untuk berhenti memompa dan mengeluarkan
suara jika ada udara.
• Thrombosis → Terbentuknya gumpalan pada pembuluh darah, sangat
berbahaya jika gumpalan beredar di aliran darah. Bisa tejadi karena
penyuntikan yang terlalu cepat.
• Haemolysis → Pecahnya sel darah merah dan hemoglobin lepas, dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal. Berkaitan dengan tonisitas, beberapa obat
yang membrane-active seperti amfoterisin-B dapat mengakibatkan hal ini.
• Phlebitis → Inflamasi pada vena. Dapat diakibatkan karena formula atau teknik
penyuntikan yang tidak tepat.
• Extravasation → Kebocoran injeksi dari vena ke jaringan sekitar, dapat
mengakibatkan kerusakan. Biasanya terjadi pada injeksi obat sitotoksik
(contoh: methotrexate atau mitomycin), dapat mengakibatkan ulserasi dan
nekrosis yang sulit sembuh.
IV–Formulation Considerations
• Sterile: Terminal sterilization using an autoclave or filtered through a
0.22 µm filter which removes all bacteria and spores, or in some cases
it may be possible to sterilize using gamma radiation.
• pH and tonicity: Ideally all injections would be formulated at pH 7.4
and be isotonic with blood. Small volume parenterals, defined as
those below 100 mL in volume, can be formulated at a pH ranging
from 4 to 10 and be considerably hypotonic or hypertonic. Large
volume parenterals must be more closely matched to the properties of
the blood and the pH is rarely outside the limits 6–8.
Intramuscular Delivery–Physiology
• Pemberian secara intramuskular  menghantarkan
obat ke dalam otot  akan terabsorpsi melalui perfusi
dari otot oleh darah.
• Sediaan akan membentuk depot lokal yang sebagian
tercampur dengan cairan intertisial.
• Akibatnya, bahwa suntikan dibuat menjadi jaringan
abnormal; ini mungkin sangat penting jika formulasi
dimaksudkan untuk berada di dalam tubuh dalam
jangka waktu yang signifikan (jangka waktu tertentu).
Intramuscular Delivery–Physiology
• The preferred sites for injection
are the gluteal, deltoid, triceps,
pectoral and vastus lateralis.
• The deltoid muscle is preferred
due to its greater perfusion
rate compared to the other
muscles, although the vastus
lateralis has the advantage of
having fewer major blood
vessels into which the injection
might accidentally be placed.
Intramuscular Delivery–Pharmacokinetics
The most significant advantage of intramuscular delivery is:
 The ease with which a wide range of drugs can be
administered in a variety of dosage forms
 Provide rapid absorption
 Can also be used for sustained therapy
 0.5 to 2 mL sometimes up to 4 mL
 1 to 1.5 inch and 19 to 22 gauge needle is used
 Preferably isotonic
Intramuscular Delivery–Pharmacokinetics
Intramuscular delivery involves
a number of steps:
 Release of the drug from
the dose form into the
intercellular fluid (ICF).
 Absorption from the ICF
into the blood and
lymphatics.
 Transport from the local
blood volume into the
general circulation.
 Metabolism.
Intramuscular Delivery–Pharmacokinetics
 Konsentrasi obat dan profil kinetik ditentukan oleh tingkat relatif proses ini,
dan kita harus mencatat bahwa membran kapiler sangat permeabel dan
secara umum tidak akan rate-limiting, tetapi perfusi otot oleh darah
mungkin jauh lebih lambat.
 Hal menarik yang dapat diperhatikan: Injeksi bolus dari obat yang larut 
obat akan langsung tersedia dalam kapiler. Tahapannya menjadi perfusi ke
dalam otot oleh darah. Adanya hal-hal yang mempengaruhi perfusi otot
(contoh: gerakan atau latihan) akan merubah kecepatan absorpsi. Pada
kasus gagal jantung, absorpsi akan sangat lambat karena perfusi melambat.
Karena itu pemberian IM dikontraindikasikan jika fungsi jantung lemah.
 Injeksi obat dalam bentuk in sustained-release (e.g a solid depot or crystal
suspension). Pada kasus ini pelepasan obat dari formula lebih lambat
ketimbang absorpsi atau perfusi  konsentrasi obat dalam plasma konstan
hingga penghantaran obat selesai, periode sudah didesain untuk beberapa
jam atau bulan.
I.M–Formulation Consideration
• Kelarutan dalam air bukan merupakan persyaratan utama → banyak senyawa yang
dapat dibuat dalam formulasi ini ketimbang IV.
• Bentuk sediaan: larutan, suspensi, larutan minyak, emulsi m/a, emulsi a/m,
suspensi berminyak dan dispersi polimer serta implan padat → larutan dapat
diabsorpsi dalam hitungan menit sementara implan dapat mengantarkan obat
dalam beberapa bulan.
• Jika obat sangat hidrofobik maka tidak akan larut dalam intra cranial fluid,
sementara jika sangat kuat terionisasi atau sangat larut air maka tidak akan mampu
melewati membran kapiler.
• Obat yang sangat kuat terikat dengan protein akan terabsorpsi dengan lambat
karena aktivitasnya dalam larutan akan berkurang.
• Pada beberapa obat akan terabsorpsi dengan lambat jika terjadi perubahan
formula setelah diinjeksikan. Contoh pada fenitoin, diformulasikan pada pH 12
karena kelarutan yang rendah. Setelah diinjeksikan cairan tubuh akan menurunkan
pH mendekati normal dan obat akan mengendap. Dibutuhkan waktu berhari-hari
untuk terabsorpsi sempurna.
SUBCUTANEOUS DELIVERY–Physiology
• Injeksi subkutan
(SC) dilakukan pada
jaringan ikat di
bawah dermis →
berbeda dengan
intradermal (dimana
diinjeksikan pada
lapisan dermal di
antara dermis dan
epidermis).
SUBCUTANEOUS DELIVERY–Physiology
 Subcutaneous:
▫ The injection is given under the skin
▫ Need to be isotonic
▫ Up to 2 mL is given
▫ Using ½ to 1 inch 23 gauge needle or smaller needle
 Given:
▫ Vaccines
▫ Insulin
▫ Scopolamine
▫ Epinephrine
 Hal yang harus diperhatikan → jaringan subkutan memiliki jumlah cairan
intertisial tertentu di mana obat akan terlarut, sementara jaringan
epidermal memiliki sedikit cairan, dengan perfusi yang kurang baik.
SUBCUTANEOUS DELIVERY–Physiology
 Obat yang diberikan secara SC akan larut dalam cairan
interstisial dan masuk ke dalam aliran darah dengan dua rute,
yaitu:
 Terabsorpsi langsung dalam pembuluh darah  sc tissues
adipose and poorly perfused
 Cairan interstitial akan dikumpulkan oleh kapiler limfatik dan
mengalir ke cairan kelenjar getah bening, lalu kemudian ke
pembuluh darah
 Kedua jalur ini berjalan lambat dan tergantung pada
vaskularitas lokal, jadi absorpsi dari bagian SC lambat serta
sulit diprediksi.
Subcutaneous Colloidal Delivery Systems
• Partikel koloid yang diinjeksikan secara SC akan dibawa
oleh aliran darah limfatik kemudian ke kelenjar getah
bening dan ke dalam darah, walaupun berukuran besar
(puluhan hingga ratusan nanometer) akan mengalami
penurunan kecepatan difusi.
• Untuk dapat melewati kelenjar getah bening, koloid
akan diambil sebagai makrofag baru kemudian masuk ke
aliran darah.
Other Routes

Intraarteri
Intratechal
al

Intraderm Intrapleur
al al
Intraarterial
 Direct into the artery
 2 to 20 mL
 20 to 22 gauge
 Solutions and emulsions can be administered

Given:
 Antineoplastic
 Antibiotics
Intratechal
Intradermal
 Also called as diagnostic testing
 0.05 mL
 ½ inch, 25 to 26 gauge needle
 Should be isotonic

Given:
 Diagnostic agents
Intraarticular
 Given directly into the joints
 2 to 20 mL
 5 inch 22 gauge
 Must be isotonic
Given:
 Morphine
 Steroids
 NSAID’s
 Antibiotics
Intrapleural
 Given directly into the
pleural cavity or lung
 Untuk penarikan cairan
 2 to 30 mL
 2 to 5 inch, 16 to 22
gauge needle
Given:
 Narcotics
 Chemotherapeutic
agents
Tissue Damage and Biocompatability
• Kerusakan pada pembuluh darah dan jaringan sangat
mungkin terjadi pada pemberian parenteral.
• Ditentukan oleh ukuran dan komposisi sediaan.
• Ukuran partikel > 10 mikrometer berisiko
menimbulkan peradangan (inflamasi).
• Adanya inflamasi akan mempengaruhi absorpsi obat.
Drug Distribution Following Parenteral Administration

• Darah akan membawa obat ke jaringan, namun demikian


jumlah obat pada jaringan tidak sama dengan darah.
• Banyak faktor yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam
jaringan, salah satu yang paling utama adalah aliran darah
per unit massa jaringan.
• Jaringan dapat diklasifikasikan pada poorly-perfused,
adequately perfused dan well-perfused → di mana organ
yang memiliki massa kecil; seperti jantung dan otak, hanya
membutuhkan aliran darah sederhana untuk mengaliri
mereka.
…lanjutan (Drug Distribution)
…lanjutan (Drug Distribution)

• Aliran darah mengontrol tingkat di mana obat akan dibawa ke


jaringan tertentu, dan akan menggambarkan profil konsentrasi
obat pada jarigan tersebut.
• Jika jaringan terdifusi dengan baik (well-perfused), maka
farmakokinetika jaringan akan mencapai nilai maksimum pada
waktu yang sama dengan di dalam darah.
• Jika jaringan tidak terdifusi dengan baik (poorly-perfused), maka
suplai obat pada jaringan tersebut akan terbatas dan
konsentrasi obat pada jaringan akan lebih rendah ketimbang
dalam darah.
…lanjutan (Drug Distribution)
…lanjutan (Drug Distribution)

• Faktor penting kedua yang menentukan farmakokinetika jaringan adalah


afinitas jaringan terhadap obat. Terdapat 2 bentuk afinitas;
 Afinitas pasif → Partisi obat. Misal partisi obat lipofilik pada jaringan
adiposa menghasilkan konsentrasi obat yang tinggi pada jaringan
tersebut, walaupun tercapai secara lambat karena rendahnya perfusi
pada jaringan adiposa.
 Afinitas aktif → Terjadi jika obat diambil oleh jaringan dengan
mekanisme transpor spesifik. Contoh: guanethidine (antihipertensi), obat
ini mencapai site action-nya melalui transpor aktif ke dalam jantung dan
otot skeletal. Hasilnya, konsentrasi obat pada jaringan ini lebih tinggi
ketimbang dalam darah, dan karena afinitas jaringan terhadap obat →
akan tertinggal lebih lama dibandingkan dalam pembuluh darah.
Protein Binding
• Obat berikatan dengan protein plasma seperti albumin,
lipoproteins dan gamma globulins → semakin kuat ikatannya
maka semakin sedikit jumlah obat aktif yang akan
memberikan efek farmakologi.
• Keberadaan penyakit dan gangguan nutrisi dapat
mempengaruhi kerja obat.
• Perubahan konsentrasi protein ini menyebabkan perubahan
konsentrasi obat perifer di sekitar daerah inflamasi atau luka.
Free Drug + Free Protein ↔ Drug–Protein Complex
THE BLOOD-BRAIN BARRIER–Fisiologi
• Ventrikel otak berada dalam kompartemen ventrikel dan dikelilingi oleh
150 mL cairan serebrospinal (CSF) yang terus berganti setiap 5 jam.
• Sangat sulit untuk memberikan obat dalam bentuk injeksi bolus ke daerah
ventrikular, karena mereka akan dibersihkan sebelum obat berdifusi ke
jaringan otak. Sehingga satu-satu cara untuk menghantarkan obat ke otak
adalah melalui sirkulasi sistemik.
• Penting: kapiler yang terdapat di otak saling berdekatan, sehingga
substansi yang masuk ke otak melalui sirkulasi akan seimbang dalam
hitungan detik ke seluruh jaringan otak.
• Penghantaran obat melalui sirkulasi sistemik akan menemukan kesulitan 
sawar darah–otak.
…lanjutan (BBB)

• Bukan hanya struktur fisik yang menghambat obat


melewati dinding kapiler dalam jaringan.
• Persimpangan yang memisahkan sel endotel sangat rapat
dan menghilangkan kemungkinan transpor paraseluler
dan hampir tidak pernah terjadi pinositosis.
• Terdapat satu molekul transport spesifik, P-Glycoprotein,
yang secara aktif mengangkut berbagai obat ke sel apikal
dan mencegah mereka melewati jaringan otak.
…lanjutan (BBB)

• Berbagai cara dilakukan untuk membuka jembatan menuju


epitelium → menggunakan osmotic agent seperti manitol →
terjadi peningkatan permeabilitas → tetapi terjadi efek samping
seperti kejang (pada hewan coba) → dan kepraktisan metode
ini tampaknya terbatas.
• Menggunakan bradikinin juga memungkinkan untuk
meningkatkan permeabilitas.
• Namun jalur yang banyak dipelajari untuk absorpsi obat;
 difusi sederhana dalam membran lipid
 receptor-mediated active transport

Anda mungkin juga menyukai