Anda di halaman 1dari 13

Faktor Lingkungan

Ergonomi yang Bersifat


Monoton
Nama : Erdin Saputra
Npm : 195050064
Pendahuluan

Sejalan dengan pertumbuhan industri sekarang ini jelas memerlukan kegiatan tenaga
kerja sebagai unsur dominan yang mengelola bahan baku/material, mesin, peralatan
dan proses lainnya yang dilakukan ditempat kerja, guna menghasilkan suatu produk
yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, tenaga kerja mempunyai peranan
yang sangat penting sebagai penggerak roda pembangunan nasional khususnya yang
berkaitan dengan sektor industri. Disamping itu tenaga kerja adalah unsur yang
langsung berhadapan dengan berbagai akibat dari kegiatan industri, sehingga sudah
seharusnya kepada tenaga kerja diberikan perlindungan dan pemeliharaan kesehatan
(Budiono, 2003).
Sudut Pandang Ergonomi

Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh
seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik,
kemampuan kognitif, maupun keterbatasan manusia yang menerima
beban tersebut. Menurut Suma’mur (1984) dalam Tarwaka (2010)
bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada
yang lainnya dan sangat tergantung dari tingkat keterampilan, kesegaran
jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia, dan ukuran tubuh dari
pekerja yang bersangkutan.
Pengertian Kerja Monotoni

Monoton adalah sesuatu yang kita lakukan setiap hari dan terus menerus (Hanjani,
2010). Kerja monoton adalah suatu pekerjaan yang sifatnya rutin tanpa variasi yang
akan menimbulkan rasa bosan dan berkurangnya motivasi kerja (Mangkunegara,
2005). Kerja monoton adalah suatu kerja yang berhubungan dengan hal yang sama
dalam periode atau waktu tertentu dan dalam jangka waktu lama. Di Indonesia
dimana sebagian industri dilakukan dalam kapasitas yang besar dan menengah, jenis
pekerjaan monotonibanyak ditemukan. Namun tidak menutup kemungkinan juga
ditemukan pekerjaan monoton di industri kecil (Budiono dkk., 2003).
Menurut Papu (2002), para pekerja yang setiap hari hanya melakukan
pekerjaan yang sama dan berulang-ulang serta berada dalam lingkungan
kerja yang relatif sama akan sangat mudah menjadi bosan setelah
menjalani pekerjaan tersebut dalam waktu tertentu. Selain itu pekerjaan
yang dianggap terlalu mudah atau tidak sesuai dengan tingkatan
pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh seseorang
juga akan cenderung membuatnya mengalami kebosanan.
Menurut Djui & Setiasih (2001), kerja monoton adalah kerja yang hanya
kadang-kadang saja memerlukan perhatian dan tanpa keterampilan akan
menjurus kepada kebosanan, yang selalu bersifat berulang-ulang, yang
harus dilaksanakan tanpa menenggang. Saat mengerjakan tugas yang
sifatnya monoton, pada umumnya karyawan mengalami penurunan
semangat kerja dibandingkan pada jenis pekerjaan yang bervariasi, oleh
karena itu pekerjaan yang monoton secara tidak disadari akan
menimbulkan masalah kejenuhan, karyawan menjadi malas dan merasa
cepat lelah.
Penyebab Kerja Monotoni

Keadaan monotoni dapat berasal dari pekerjaan maupun lingkungan


kerja. Pekerjaan monoton bersifat berulang-ulang, rutin, hanya kadang-
kadang saja memerlukan perhatian dan lingkungan kerja tidak
menyenangkan baik dari penghuni maupun dari dekorasi dan penataan
ruangan (Papu, 2002).
Efek Dari Pekerjaan Monoton
Menurut Pusparini (2003) dalam Muslikhah. (2011), efek dari pekerjaan monoton ada dua yakni:
1. Efek kesehatan
Pekerjaan monoton dapat mngakibatkan gangguan kesehatan seperti sakit tenosynovitis, Carpal Tunnel Syndrom (CTS)/ sindrom
terowongan karpal, osteoarthritis dan sakit pada lengan.
2. Efek Psikologis
Efek psikologis yang timbul akibat pekerjaan monoton adalah sebagai berikut:
- Kebosanan
Akibat kebosanan pada pekerja yang telah melakukan gerakan berulang yang terus menerus, akan mengalami penurunan tingkat mentalitas.
- Hilangnya kewaspadaan
Akibat dari kepenatan dan keletihan dari pekerjaan yang terlalu berat, tenaga kerja yang melakukan pekerjaan monoton akan berkurang
tingkat kewaspadaannya setelah melakukan pekerjaan tersebut dalam janga waktu lama.
Gangguan Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau disebut juga dengan gangguan muskuloskeletal adalah
sekumpulan gejala atau gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligament, kartilago,
sistem saraf, struktur tulang dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati
rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (OSHA, 2002 dalam
Bukhori, 2010)
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkam menjadi dua (Tarwaka, et al., 2004) yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis,
namun demikian, keluhan otot tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot yang bersifat menetap,
walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
Faktor Risiko MSDs
Faktor risiko MSDs menurut Maijunidah (2010), adalah sebagai berikut:
1. Faktor Pekerjaan terdiri dari Postur tubuh, Peregangan otot yang berlebihan, Aktivitas
berulang, Force/ load dan Durasi pekerjaan.
2. Faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan
fisik, indeks massa tubuh (IMT), dan masa kerja.
3. Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya MSDs adalah mikrolimat, iluminasi, dan
vibrasi.
4. Faktor Psikososial.
Cara Mengatasi Kerja Monotoni
Menurut Papu (2002), cara mengatasi kerja monotoni dapat dilakukan dengan :
1.Rotasi pekerjaan. Untuk memberikan kesempatan pada karyawan untuk menambah kemampuan dan
keahliannya.
2. Pembinaan dan pemeliharan semangat karyawan yang pada akhirnya mempengaruhi komitmen karyawan
itu terhadap perusahaan.
3. Pekerja diberi tanggung jawab untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan
sebelumnya.
4. Job enlargement atau perluasan kerja, yaitu desain pekerjaan teknik di mana jumlah tugas yang terkait
dengan pekerjaan meningkat dan pelatihan sesuai yang disediakan untuk menambahkan variasi yang lebih
besar untuk kegiatan, sehingga mengurangi monoton.
5. Pemberian musik saat bekerja. Pada pekerjaan yang monotoni, musik dapat mempunyai efek yang
merangsang dan meningkatkan prestasi. Irama musik yang terarah dapat juga mempengaruhi otak untuk
kerja bersemangat dan meningkatkan prestasi.
Pengukuran kerja monotoni dilakukan dengan menggunakan kuesioner
kerja monotoni. Terdapat 10 rangkaian pertanyaan yang diajukan pada
responden. Skoring kuesioner kerja monotoni adalah sebagai berikut :
1) Pertanyaan 1 – 5 : jika jawaban Ya, maka bernilai 2 dan jika jawaban
tidak, maka bernilai 1.
2). Pertanyaan 6 – 10 : jika jawaban Ya, maka bernilai 1 dan jika
jawaban tidak maka bernilai 2.
Pengukuran Kerja
Monotoni

Dari hasil penilaian tersebut maka kerja monotoni dibagi menjadi 2


kategori yaitu :
1) Jika jumlah skor 10 – 15 = responden tidak mengalami kerja
monotoni.
2). Jika jumlah skor 16 – 20 = responden mengalami kerja monotoni
Terimakasih

Semoga bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai