Proposal Penelitian Skrip Si Iwan
Proposal Penelitian Skrip Si Iwan
BAB I
PENDAHULUAN
wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Badung. Tentunya fasilitas dan saranasarana yang ada menjadi percuma karena kebutuhan akan perlindungan hukum
dan keamanan bagi wisatawan tidak terjamin yang pastinya menimbulkan
ketidakpercayaan wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke
obyek wisata tersebut. Seperti yang pernah dialami Bali sendiri pasca terjadinya
peristiwa Bom Bali yang terjadi secara beruntun di tahun 2002 dan 2005
menimbulkan efek domino yang sangat besar terhadap penerimaan pajak dari
sektor pariwisata, dikarenakan dengan sangat menurunnya tingkat kedatangan
wisatawan yang disebabkan adanya travel warning oleh beberapa Negara untuk
berkunjung ke Indonesia, hal ini dapat dilihat dari jumlah wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke Kabupaten Badung di tahun 2003 terus mengalami penurunan
dari 1.412.839 orang menjadi 988.202 orang yang diakibatkan oleh peristiwa Bom
Bali I dan penurunan jumlah wisatawan asing yang datang ke Kabupaten Badung
juga kembali terjadi pada tahun 2005 dan 2006 masing- masing 1.386.448 orang
dan 1.260.270 orang, penurunan ini diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali II1.
Berdasarkan tingkat keamanan yang masih sangat kurang maka dibentuklah
Polisi Pariwisata berdasarkan Keputusan Kapolri Nomor pol : kep/58/X/2002
Tanggal 17 Oktober 2002 Tentang Pembentukan Direktorat Pengamanan
Pariwisata Polda D.I.Y dan Polda Bali. Selain Polisi Pariwisata di Bali dikenal
dengan Desa Adat yang juga mempunyai peran yang cukup penting dalam
menjaga, memelihara keamanan tempat-tempat wisata serta wisatawan yang
berkunjung ke daerah wisata, aparatur pengamanan Desa Adat dikenal dengan
1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung
sebutan Pecalang (Polisi Adat), peran Pecalang ini diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 3 tahun 2001 yang diubah menjadi Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2005
tentang Desa Pakraman.
Polda Bali mempuyai tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan
pengamanan pariwisata yang meliputi keselamatan, kenyamanan wisatawan,
obyek wisata dan mobilitas wisatawan, melalui penugasan Polisi Pariwisata.
Kegiatan pengamanan dan pelayanan dilaksanakan melalui upaya-upaya premtif,
preventif, represif dan koordinasi lintas sektoral dengan pola pengamanan terpadu
sebagai berikut2 :
1) Pengamanan
Pengamanan dilaksanakan pada objek atau kawasan wisata, Hotel, tempat
tinggal wisatawan dan event-event Internasional serta kepada wisatawan
selama kunjungan pada wilayah tugasnya mulai dari pintu masuk ke Bali
sampai kepulangan ke tempat asalnya.
2) Pengaturan
Pengaturan dilaksanakan pada lingkungan objek atau kawasan wisata, tempat
parkir, route-route yang dilewati oleh wisatawan dan objek-objek lain yang
dijadikan objek kunjungan.
3) Penjagaan
Mengadakan pos-pos penjagaan baik tetap maupun sementara pada
lingkungan objek atau kawasan wisata dan atau tempat-tempat lain yang
dijadikan kunjungan wisatawan.
4) Pengawalan
Money
Changer,
pramuwisata
berkaitan
dengan
Indonesia pada umumnya dan Pulau Bali pada khususnya sebagai tempat wisata
yang aman dan nyaman.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dielaborasi diatas dapat dirumuskan
sebagai permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
a. Permasalahan Hukum Empiris :
Bagaimana peran pajak sektor pariwisata dalam meningkatkan keamanan
wisatawan di Kabupaten Badung ?
b. Permasalahan Hukum Normatif :
Apakah dimungkinkan adanya earmarking pajak sektor pariwisata di
Kabupaten Badung dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 ?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data sebagai bahan pengkajian
terhadap permasalahan yang berkaitan dengan Peran Pajak Daerah sektor
pariwisata dalam meningkatkan keamanan wisatawan di Kabupaten Badung.
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui peran pajak sektor pariwisata dalam meningkatkan
keamanan wisatawan.
2. Untuk mengetahui apakah ada earmarking pajak sektor pariwisata yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, terutama mengenai Peran
5. Keaslian Penelitian
Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, penulis telah melakukan penelusuran
kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan internet
tidak ditemukan penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Memang ada
penelitian dan skripsi yang mengangkat tema Pajak Sektor Pariwisata, adapun
penelitian tersebut adalah skripsi yang ditulis oleh Irwanto yang berjudul :
Kontribusi Pajak Sektor Pariwisata Dalam Menunjang Keamanan Wisatawan di
Kabupaten Kulon Progo , pada program sarjana Universitas Gadjah Mada, tahun
2008. Masalah yang di kaji dalam skripsi tersebut adalah : (1) Bagaimanakah
realisasi kontribusi pajak sektor pariwisata dalam menunjang keamanan
wisatawan di Kabupaten Kulon Progo, (2) Apakah kebijakan pajak sektor
pariwisata sudah sesuai dengan sistem pengamanan wisatawan di Kabupaten
Kulon Progo, (3) Apakah kontribusi pajak sektor pariwisata sudah sesuai dengan
sistem pengelolaan keuangan daerah. Objek penelitian dan fokus pembahasannya
berbeda dengan yang dilakukan penulis, penulis akan mengambil penelitian di
Kabupaten Badung, fokus pembahasannya lebih kepada peran Pajak Daerah
terhadap Keamanan Wisatawan serta tinjauan terhadap Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang penerapan earmarking pajak. Berdasarkan uraian diatas,
maka dengan demikian penelitian ini adalah asli.
6. Sistematika Penelitian
Penulisan laporan penelitian ini akan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu Bab 1,
Bab 2, Bab 3, Bab 4, Bab 5. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi
menjadi sub bab-sub bab yang diperlukan. Sistematika penulisan selengkapnya
dapat diuraikan sebagai berikut :
Bab I:
Pendahuluan; Bab ini akan berisikan Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, dan
Sistematika Penelitian.
Bab II:
Tinjauan Pustaka; Bab ini akan berisiakan uraian yang sistematis yang
permasalahan dengan tujuan mendapatkan kesimpulan dan akan memuat sub babsub bab,
Bab V:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Pajak
Menurut Prof.Dr.P.J.A.Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara
yang dapat dipaksakan, terutang yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan3.
Menurut Prof.Dr.H.Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat kontra prestasi
3 Safri Nurmatu, 2003, Penghantar Perpajakan, Granit, Jakrta hlm.12.
10
4 Rochmat soemitro, 1998, Asas dan dasar-dasar perpajakan 3, Eresco, Bandung, hlm.
21.
5 R. Santoso Brotodiharjo, 2003, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,
Jakarta, hlm.5.
6 Safri Nurmatu, loc. cit
7 Kesit Bambang Prakoso, 2006, Hukum pajak, Ekonisa, Yogyakarta, hlm.2.
11
12
Jenis jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua yaitu: Pajak langsung
dan pajak tidak langsung.
1. Pajak Langsung
Pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulangulang pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, Pajak Penghasilan.
yang
dikenakan
dengan
Pajak
pertama-tama
13
14
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Pajak Reklame;
Pajak Penerangan Jalan;
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Pajak Parkir;
Pajak Air Tanah;
Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
15
ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan.
2. Pajak Sektor Pariwisata
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan, Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Jadi yang termasuk dalam pajak
sektor pariwisata adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Pajak Hiburan.
2.1. Pajak Hotel
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel disini
termasuk juga rumah penginapan yang memungut bayaran. Dalam
pemungutan Pajak Hotel terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui,
yaitu 12:
1. Hotel adalah bangunan khusus yang disediakan bagi orang untuk
dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas
lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang
menyatu, dikelola, dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali oleh
pertokoan dan perkantoran;
2. Rumah penginapan adalah penginapan dalam bentuk dan klasifikasi
apapun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk menginap dan
disewakan untuk umum;
12 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2008, hlm. 245.
16
17
c. Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu
hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olah raga dan hiburan antara lain :
1.) Pusat kebugaran; 2.) Kolam renang; 3.) Tenis; 4.) Golf; 5.) Karoke;
6.) Pub; 7.) Diskotik.
d. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara dan pertemuan.
Pada Pajak Hotel, tidak semua pelayanan yang diberikan oleh penginapan
dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek
pajak, yaitu14:
a) Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau fasilitas tempat
tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel.
b) Pelayanan tinggal di asrama dan pondok pesantren.
c) Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang
digunakan oleh bukan tamu hotel.
d) Pertokoan, perkantoran, perbankan, dan salon yang digunakan oleh
umum di hotel.
e) Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan
dapat dimanfaatkan oleh umum.
2.1.2. Subjek Pajak Hotel
Pada Pajak Hotel, yang menjadi subjek pajak adalah Orang Pribadi atau
Badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana
yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar
pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara itu yang menjadi
Wajib Pajak adalah Pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam
14 Ibid. Hlm 248.
18
19
Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)
dan ditetapkan dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan pada pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan
kondisi masing-masing daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, setiap
daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif
pajak yang mungkin berada dengan Kabupaten/Kota lainnya, asalkan tidak
lebih dari 10% (sepuluh persen)17.
2.2.
Pajak Restoran
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah
tempat menyantap makanan dan/atau minuman, yang disediakan dengan
dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering18.
2.2.1. Objek Pajak Restoran
Objek pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan
pembayaran. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah19:
1. Pelayanan usaha jasa boga atau katering;
2. Pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang
peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah
2.2.2. Subjek Pajak Restoran
Subjek Pajak Restoran adalah Orang Pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran kepada restoran. Sedangkan yang dimaksud Wajib Pajak untuk
17 Ibid, hlm. 250.
18 Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, hlm. 122.
19 Ibid.
20
pajak restoran adalah orang atau badan yang membayar atas pelayanan
restoran dan pengusaha restoran20. Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah
jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Pembayaran adalah
jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas
penyerahan barang/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik restoran21.
2.2.3. Tarif Pajak Restoran
Tarif Pajak Restoran paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Pajak Restoran yang terhutang dipungut di wilayah
Daerah tempat restoran berlokasi. Besarnya pokok Pajak Restoran yang
terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak restoran paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen) dengan dasar pengenaan pajak, yaitu jumlah
yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan
barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pemilik restoran22.
2.3.
Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan
20 Ibid.
21 Ibid, hlm. 123.
22 Ibid.
21
Pagelaran Busana
Kontes Kecantikan
Klub Malam/Diskotik
Karoke
Panti Pijat
Mandi Uap/Spa
Permainan ketangkasan
Kesenian Rakyat/Tradisional
Tarif
pajak
hiburan
Tarif
pajak
hiburan
22
mengurus
23
1. Wisata
Adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara;
2. Wisatawan
Adalah orang yang melakukan wisata;
3. Pariwisata
Adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah;
4. Kepariwisataan
Adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan
bersifat multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap
orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan
Pengusaha;
5. Daya tarik wisata
Adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran/tujuan kunjungan wisata;
6. Daerah tujuan pariwisata
Yang selanjutnya disebut Distinasi Pariwisata, adalah kawasan
geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang
di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas
pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan;
7. Usaha pariwisata
Adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dan penyelengaraan pariwisata;
24
8. Pengusaha pariwisata
Adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha
pariwisata;
9. Industri pariwisata
Adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka
menghasilkan barang dan/ atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata;
10. Kawasan strategis pariwisata
Adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki
potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh
penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosisal dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung
lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan;
11. Kompetensi
Adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus
dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk
mengembangkan profesionalitas kerja;
12. Sertifikasi
Adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata
untuk mendukung peningkatan mutu produk wisata, pelayanan dan
pengelolaan kepariwisataan;
13. Pemerintah Pusat
Selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan Pemeritah Negara Republik Indonesia
sebagai mana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
14. Pemerintah Daerah
Adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah;
15. Menteri
25
atau mencari
26
uang.
Daerah
yang
menjadi
tujuan
27
28
29
3) Wisata olahraga
Adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan dan dalam rangka
olahraga (misalnya : Olimpiyade dan Sea Games);
4) Wisata industri
Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung ke suatu tempat
industri yang besar yang bertujuan untuk mempelajari dan meneliti
industri tersebut;
5) Wisata komersial
Adalah wisata yang dilakukan dengan dan untuk tujuan komersial
atau mencari suatu keuntungan (misalnya : berkunjung ke pameran
industri, pekan raya dan hasil kerajinan rakyat);
6) Wisata politik
Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung ke suatu tempat
dalam suatu rangka kegiatan dan tujuan politik;
7) Wisata konvensi
Adalah wisata yang dilakukan dengan berkunjung untuk tujuan
aktif dan mengikuti konvensi atau konferensi (misalnya : KTT Non
Blok, konferensi Asia-Afrika)
8) Wisata sosial
Adalah wisata yang kegiatannya dilakukan dengan tujuan sosial
dan non komersial atau dengan tujuan tidak mencari suatu
keuntungan (misalnya : berkunjung ke panti jompo);
9) Wisata maritim atau bahari
Adalah wisata yang yang dilakukan dengan berkunjung ke tempattempat wisata kelautan (misalnya : untuk berselancar air);
10) Wisata pertanian
Adalah wisata yang kegiatan dan pengorganisasiannya dilakukan
dengan mengunjungi daerah pertanian;
11) Wisata cagar alam
30
31
32
6. Earmarking
Earmarking merupakan salah satu pendekatan dalam bidang pengelolaan
keuangan publik, khususnya bidang penganggaran atau pengalokasian belanja.
Istilah earmarking dalam konteks pengelolaan keuangan publik diartikan sebagai
suatu kondisi di mana sumber pendapatan negara tertentu dialokasikan kepada
kegiatan atau pelayanan publik tertentu. Earmarking sendiri sering dikaitkan
dalam konteks perpajakan, sehingga muncul istilah yang sering dikenal dengan
earmarking tax35.
Earmarking tax
merupakan
untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran tertentu yang sudah spesifik. Praktik seperti ini telah ada
sejak dahulu dan cukup popular di dunia, menurut Ranjit Teja yang menyatakan
bahwa earmarking mengacu pada desain pendanaan baik dari satu sumber
maupun banyak sumber penerimaan untuk penggunaan akhir yang spesifik36.
Selain itu menurut Mc Cleary earmarking merupakan praktik umum yang
menetapkan pendapatan (melalui Undang-Undang atau Konstitusi) dari pajak
tertentu atau kelompok pajak untuk digunakan membiayai kegiatan khusus
Pemerintah. Konsep earmarking pada dasarnya bukan hanya pada pajak tetapi
bisa diaplikasikan dalam bentuk penerimaan Pemerintah lainnya37.
35 http:/www.pnpb.net/?p=64, diakses pada tanggal 28 Desember
2011
36 Rajit Teja S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary
Fund, Vol. 35 No. 3 (september, 1988), hlm 523. Diunduh dari
www.jstor.org pada tanggal 23 Maret 2012.
37 Wiliam McCleary. The Earmarking Of Government Revenue. A
Review of some World Bank Experience. The World Bank Research
Observer, Vol. 6 No. 1 hlm. 82 (January 1991).
33
BAB III
METODE PENELITIAN
38 Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 31
34
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini ialah jenis penelitian yang berupa kombinasi penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif-empiris
mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif atau
Perundang-Undangan secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang
terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan39.
Penelitan yang bertipe normatif ialah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dimana bahan pustaka merupakan
data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder40.
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah Suatu
proses menemukan satu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian
hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi41.
Penelitian hukum normatif dapat dikatakan sebagai penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai asas, norma, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin-doktrin.
Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian hukum empiris adalah penelitian
yang menggunakan studi kasus sosiologis atau yang disebut dengan socio-legal
35
case study, dimana objek yang diteliti adalah perilaku hukum masyarakat
tertentu.42
Istilah yang digunakan dalam penelitian hukum empiris yang lain adalah
penelitian sosiologis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan. Jika
penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang didasarkan atas data
sekunder, maka penelitian hukum sosiologis ini bertitik tolak dari data primer.
2. Bahan Penelitian
Bahan penelitian terdiri dari atas data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui penelitian lapanagan, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui penelitian pustaka. Data sekunder terdiri atas bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
2.1.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer meliputi :
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah .
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan.
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
e. Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Uang Negara / Daerah
f. Keputusan Kapolri Nomor pol : Kep / 58 / X / 2002 Tanggal 17
Oktober
2002
Tentang
Pembentukan
Direktorat
Pengamanan
36
h.
Kabupaten Badung.
i. Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan di
Kabupaten Badung.
j. Kesepakatan Bersama Nomor: 075/01/KB/B.Pem/2009 Tentang
Relokasi Hasil Penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten
2.2.
37
Pariwisata Kabupaten Badung, Narasumber yang terkait dengan peran dan fungsi
Pecalang adalah Kepala Desa Adat Mengwi.
Dalam penelitian normatif-empiris, kegiatan observasi termasuk kegiatan
pengumpulan data primer. Observasi berupa kegiatan pengumpulan data di lokasi
penelitian dengan berpedoman pada alat pengumpulan data yang sudah diarsipkan
yaitu berupa proposal penelitian. Wawancara ialah salah satu dari kegiatan
observasi.
Wawancara yang mendalam dengan para narasumber yang berkompeten dan
terkait langsung dengan Peran Pajak Daerah Sektor Pariwisata dalam
meningkatkan Keamanan Wisatawan di Kabupaten Badung. Kegiatan wawancara
tersebut dilakukan untuk mendapatkan data primer.
4. Analisis Bahan Penelitian
Semua bahan yang terkumpul, baik yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dianalisis dengan metode kualitatif
yaitu suatu tata cara penelitian yang mencari data yang berhubungan dengan data
yang diperlukan. Data primer diperoleh melalui wawancara dan studi pustaka.
Data yang didapat baik melalui wawancara maupun studi pustaka diteliti dan
dipelajari secara utuh dengan dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing,
kemudian diteliti dan dipelajari dalam usaha untuk menjawab permasalah.
Penyajian data dilakukan dengan menggunakan logika deduktif indukatif (umumkhusus) dan kemudian dicari hubungan logis diantara aspek-aspek yang
berhubungan.
38
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
39
masyarakat,
penegakan
Peraturan
Perundang-undangan
serta
Selain Polisi
Pariwisata di Bali dikenal dengan Desa Adat yang juga mempunyai peran yang
cukup penting dalam menjaga, memelihara keamanan tempat-tempat wisata serta
wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata, aparatur pengamanan Desa Adat
dikenal dengan sebutan Pecalang (Polisi Adat).
1. Peran Pajak Sektor Pariwisata Dalam Meningkatkan Keamanan Di
Kabupaten Badung.
Pajak sektor pariwisata termasuk jenis pemasukan daerah yang sangat berperan
untuk meningkatkan PAD di Kabupaten Badung yang merupakan salah satu pusat
tujuan wisata di Bali. Keamanan merupakan unsur penting dalam mempengaruhi
mobilitas wisata. Kebijakan yang dikeluarkan dalam kegiatan Pariwisata dapat
memberi dampak bagi kegiatan pariwisata, begitupun sebaliknya.
Pada Sub bab satu ini akan dibahas mengenai Peran pajak sektor pariwisata
terhadap PAD di Kabupaten Badung dan peran pajak sektor pariwisata terhadap
keamanan wisatawan di Kabupaten Badung.
1.1. Peran Pajak Sektor Pariwisata Terhadap PAD Di Kabupaten Badung
Pajak Sektor Pariwisata yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan
merupakan jenis pajak Kabupaten/Kota yang sangat berperan untuk meningkatkan
PAD di Kabupaten Badung yang merupakan salah satu tujuan utama wisata di
43 Materi sosialisasi kesepakatan bersama Mendagri dan Kapolri No.
119/1527/SJ/Tahun2002, No Pol: B/2300/VII/2002 tentang kerjasama
pembinaan penyelenggaraan Trantibum serta pemeliharaan
Kamtibmas)
40
dampak
peningkatan
di
bidang
perekonomian
khususnya
41
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah45. Kontribusi yang
disumbangkan Sektor Pariwisata ke PAD Kabupaten Badung sangat besar.
Kontribusi Sektor Pariwisata tersebut meliputi (1) Pajak Hotel (2) Pajak Restoran
(3) Pajak Hiburan (4) Retribusi Pariwisata.
Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa sumber penerimaan daerah
sebagai sumber daerah, segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah. Kekayaan daerah Kabupaten Badung dikelola secara tertib,
efisien, efektif, akuntabel, keadilan dan kepatutan. Kekayaan daerah Kabupaten
Badung salah satunya dari Sektor Pariwisata yang masuk ke kas daerah yang
meliputi Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan.
Hasil pemungutan Pajak Hotel Kabupaten Badung terhadap PAD Kabupaten
Badung Tahun 2008 sampai tahun 2011 yang terdiri dari Hotel Bintang, Hotel
Melati, Pondok Wisata, Rumah Sewa dapat dilihat di tabel 1 di bawah ini46:
42
Tabel 1
Target Dan Realisasi Pajak Hotel Di Kabupaten Badung
TAHUN
2008
2009
2010
2011
TARGET (Rp)
REALISASI (Rp)
%
506.900.000.000,00
579.748.984.665,13
87,43
575.500.000.000,00
592.761.049.412,29
97,08
693.000.000.000,00
713.206.180.445,45
97,16
733.675.500.000,00
829.378.097.437,72
88,46
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung
TARGET (Rp)
REALISASI (Rp)
%
43.000.000.000,00
55.934.645.897,19
76,87
56.675.000.000,00
63.642.551.096,25
89,05
79.750.000.000,00
85.621.105.444,41
93,14
91.000.000.000,00
111.384.356.271,65
81,69
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung
TARGET (Rp)
REALISASI (Rp)
%
6.940.000.000,00
9.490.786.720,00
73,12
9.329.000.000,00
10.715.446.650,40
87,06
12.650.000.000,00
13.828.188.934,26
91,47
12.400.000.000,00
16.031.385.275,49
77,34
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung
43
Dari paparan diatas, dapat diketahui bahwa Peran Pajak Sektor Pariwisata
terhadap PAD Kabupaten Badung sangat besar. Pajak sektor pariwisata
menyumbang pemasukan paling besar terhadap PAD yaitu pada tahun 2008
sebesar
Rp.
645.174.417.282,32.
Pada
tahun
2009
sebesar
Rp.
Realisasi
PAD
2008
2009
2010
2011
1.2.
Prosentase
(%)
759.720.015.450,53
645.174.417.282,32
84,93%
796.879.516.014,72
677.834.493.810,00
85,07%
979.241.565.350,13
812.655.474.823,26
82,99%
1.281.695.594.848,77
956.793.838.984,10
74,65%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung
Kabupaten Badung
PAD dikatagorikan dalam pendapatan rutin APBD, PAD merupakan suatu
pendapatan yang menunjukan suatu kemampuan daerah menghimpun sumbersumber dana untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Sumbersumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari PAD, dana
perimbangan, Pinjaman Daerah dan lain-lain penerimaan yang sah, salah satu dari
44
sumber keuangan daerah berasal dari pajak daerah. Pajak sektor pariwisata
sebagai salah satu penyumbang pendapatan daerah sangat potensi untuk
ditingkatkan mengingat peran pajak sektor pariwisata ini dalam peningkatan PAD.
Pajak sektor pariwisata bisa terus diupayakan dan dimaksimalkan pemungutannya
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pajak sektor pariwisata sebagai salah satu jenis Pajak Daerah di Kabupaten
Badung telah berperan besar dalam menyumbang pemasukan tetap dan rutin
terhadap PAD dan APBD. Dapat dikatakan demikian karena pajak sektor
pariwisata di Kabupaten Badung sebagai fungsi budgetair yaitu sebagai salah satu
sumber
pendanaan
bagi
Pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran-
45
Tabel 5
Jumlah Wisatawan Yang Berkunjung Ke Kabupaten Badung
TAHUN
2008
2009
2010
JUMLAH (Orang) 1.966.318
2.229.945
2.493.058
Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Badung
2011
2.756.579
Dari tabel 5 tersebut menunjukan bahwa minat kunjungan wisatawan asing untuk
berkunjung ke Badung sangat besar serta dapat dilihat bahwa setiap tahun jumlah
wisatawan asing yang berkunjung terus meningkat. Jumlah tersebut sangatlah
berbeda jika dilihat pada saat pasca Bom Bali tahun 2002 dan 2005 yang
mengalami penurunan, jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Kabupaten
Badung di tahun 2003 terus mengalami penurunan dari 1.412.839 orang menjadi
988.202 orang yang diakibatkan oleh peristiwa Bom Bali I dan penurunan jumlah
wisatawan asing kembali terjadi pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing
1.386.448 orang dan 1.260.270 orang, penurunan ini diakibatkan oleh peristiwa
Bom Bali II49.
Pajak Sektor Pariwisata di Kabupaten Badung yang meliputi Pajak Hotel,
Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan,
karena faktor keamanan merupakan salah satu daya tarik pengunjung untuk
datang ke Hotel, Restoran, dan tempat Hiburan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah
49 Hasil Observasi di Bagian Promosi dan Pemasaran Dinas Pariwisata
Kabupaten Badung.
46
pengunjung yang datang ke Hotel, Restoran, dan tempat Hiburan terjamin maka
pengunjung yang datang akan meningkat tetapi apabila terjadi sebaliknya maka
jumlah pengunjung akan menurun50. Pada saat ini keamanan di Bali khususnya
Kabupaten Badung dapat dikatakan aman dan kodusif karena dapat dilihat dari
jumlah kunjungan wisatawan dan penghasilan dari Pajak sektor pariwisata terus
meningkat setiap tahun. Tetapi dalam hal pengamanan Pemerintah Daerah dan
Polri tidak boleh merasa puas, karena setiap tindak kejahatan dapat terjadi apabila
pada saat sistem keamanan itu lengah dan longgar51. Apalagi Bali selalu di jadikan
isu tempat target operasi Terorisme seperti yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005
yang dapat mengurangi minat untuk berkunjung ke Bali, jadi intinya keamanan
terhadap wilayah Badung dan wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata harus
di tingkatkan.
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa faktor keamanan wisatawan di
lokasi wisata sangatlah penting, karena dengan keamanan yang terjamin maka
akan menarik wisatawan untuk berkunjung dan mengubah opini Negara asing
bahwa Bali pada umumnya dan Badung pada khususnya sudah sangat aman dan
nyaman, sehingga visi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Badung yaitu untuk terus
meningkatkan jumlah wisatawan, lama tinggal nya wisatawan, dan wisatawan
yang berkualitas dapat terwujud.
47
Adat
(Pecalang)
hal
ini
di
pertegas
dengan
Skep
Kapolri
faktor-faktor korelatif
48
49
Bertitik tolak dari hal tersebut maka secara terperinci peran dan fungsi Desa
Adat yaitu, Membina dan mengembangkan nilai-nilai agama Hindu dan kaidah
hukum adat dresta55 di tengah-tengah masyarakat adat, Menyelenggarakan
sengketa adat, Mengusahakan perdamaian dan memberikan kekuatan atau hukum
terhadap status, hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan menurut hukum adat yang belaku, Mengembangkan kebudayaan
masyarakat Desa Adat, dalam usaha melestarikan kebudayaan daerah dalam
rangka memperkaya khasanah kebudayaan bangsa, Memelihara dan melestarikan
adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat untuk pembangunan bangsa, Menjaga
ketertiban, ketentraman dan keamanan masyarakat baik dalam hubungan antara
masyarakat sendiri, hubungan masyarakat dengan alam lingkungan maupun
anggota masyarakat dengan maha pencipta yang kita kenal dengan konsep Tri
Hita Karana. 56
Dari paparan diatas, peran Desa Adat lebih diarahkan kepada upaya untuk
menjaga, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat dan budaya di lingkungan
Desa Adat yang bersangkutan dan secara tidak langsung akan dapat pula ikut
menjaga dan melestarikan budaya bangsa.
Pecalang adalah perangkat desa adat yang mengemban misi fungsi kepolisian
yakni pengamanan adat di lingkungan wilayah adatnya, harus tunduk dengan
hukum adat dan bersinergi dengan kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan
55 Pengertian Dresta : kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat dan
ritual yang diyakini dan berlaku di suatu wilayah tertentu.
56 Hasil Wawancara dengan Bapak I.B. Karina P selaku Kepala Desa
Adat Mengwi. Pada hari Selasa, 7 Februari 2012.
50
57
http://humaspropemkabkarangasem.blogspot.com/2011/06/pecalangpolisi-adat-pengemban-misi.html. Diakses pada hari senin, tanggal 1203-2012.
58 Ibid.
51
Bom Bali I di tahun 2002 yang memicu kesadaran bahwa keamanan bali belum
begitu baik, mungkin sangat longgar atau penuh toleransi. Masyarakat Bali sadar
persoalan keamanan dan pengamanan Bali tidak bisa diserahkan sepenuhnya
kepada aparat, khususnya Kepolisian. Pecalang pun menjadi organ alternatif untuk
lebih di fungsikan untuk menjaga keamanan dan pengamanan. Dalam
menjalankan fungsi dan perannya Desa Adat di wilayah Kabupaten Badung
mendapat bantuan anggaran dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sebesar
Rp. 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) setiap tahun yang di
ambilkan dari APBD59.
Dari paparan-paparan diatas dapat diketahui bahwa adanya bantuan angaran
untuk Desa Adat sebesar Rp. 150.000.000,00 ( seratus lima puluh juta ) yang
diambilkan dari APBD untuk keamanan, ada keterkaitan antara pajak sektor
pariwista terhadap keamanan, yang mana sebagian besar PAD Kabupaten Badung
berasal dari Pajak Sektor Pariwisata sesungguhnya aparat pengamanan wisatawan
di Bali khususnya Kabupaten Badung tidak hanya mengandalkan Polisi Pariwisata
saja, melainkan bahwa Polisi Pariwisata dalam mengerjakan tugasnya dibantu
oleh masyarakat desa adat yaitu Pecalang. Pecalang adalah perangkat desa adat
yang mengemban misi fungsi kepolisian yakni pengamanan adat di lingkungan
wilayah adatnya, harus tunduk dengan hukum adat dan bersinergi dengan
kepolisian dalam mewujudkan pola keamanan swakarsa. Secara hakekat Pecalang
dan Kepolisian sesungguhnya sama-sama pengemban fungsi Kepolisian,
perbedaannya Pecalang pengemban fungsi Kepolisian dalam konteks Desa Adat,
59 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 57 Tahun 2010 tentang
Pembagian dan pengelolaan Ayahan Desa Adat. Pasal 5.
52
53
merupakan
untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran tertentu yang sudah spesifik. Praktik seperti ini telah ada
sejak dahulu dan cukup popular di dunia, menurut Ranjit Teja yang menyatakan
bahwa earmarking mengacu pada desain pendanaan baik dari satu sumber
maupun banyak sumber penerimaan untuk penggunaan akhir yang spesifik61.
Selain itu menurut Mc Cleary earmarking merupakan praktik umum yang
menetapkan pendapatan (melalui Undang-Undang atau Konstitusi) dari pajak
tertentu atau kelompok pajak untuk digunakan membiayai kegiatan khusus
Pemerintah. Konsep earmarking pada dasarnya bukan hanya pada pajak tetapi
bisa diaplikasikan dalam bentuk penerimaan Pemerintah lainnya62.
Karakteristik earmarking terletak pada penggunaan dana penerimaan pajak
tersebut, Newbery dan Santos menyatakan bahwa Earmarked Tax memiliki
karekteristik penting yaitu pada alokasi hasil pajaknya yang hanya digunakan
60 http:/www.pnpb.net/?p=64, diakses pada tanggal 28 Desember
2011
61 Rajit Teja S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary
Fund, Vol. 35 No. 3 (september, 1988), hlm 523. Diunduh dari
www.jstor.org pada tanggal 23 Maret 2012.
62 Wiliam McCleary. The Earmarking Of Government Revenue. A
Review of some World Bank Experience. The World Bank Research
Observer, Vol. 6 No. 1 hlm. 82 (January 1991).
54
55
Tabel 6
Tipe-Tipe Earmarking
Tip
Expenditur
Linkag
Rational
Example
e
A
e
Specific
e
Tight
e
Benefit
Public enterprise
Specific
Loose
Benefit
Broad
Tight
Benefit
Social security
Broad
Loose
Benefit
Specific
Tight
None
Specific
Loose
None
programs
Payrool tax and health finance
Tip
Expenditur
Linkag
Rational
Example
e
G
e
Broad
e
Tight
e
None
Broad
Loose
None
Dalam melakukan klasifikasi Bird dan Jun menitikberatkan pada tiga aspek
yang dilihat dari hubungan pajak dengan pengeluaran yang dialokasikan. Pertama
adalah derajat kekhususan (spesifik) pengeluaran; kedua, kekuatan dan sifat
hubungan antara pendapatan dan pengeluaran; ketiga, ada atau tidaknya alasan
manfaat yang dapat di identifikasi untuk hubungannya66. Tipe A adalah yang baik
66 Bird Richad M dan Joosung Joon, Earmarking in Theory and Korean
Practice, ITP Peper 0513,2005,
http://www.rotman.utoronto.ca/riib/details.aspx?Content ID=267,
56
dan paling rasional dari tipe earmarking, pendapatan yang dialokasikan datang
langsung dari orang-orang yang memperoleh manfaat tersebut. Tipe B pendapatan
mana yang diperuntukan bagi tujuan tertentu sudah ditentukan secara spesifik,
tetapi hubungan antara pendapatan dan pengeluaran sangat longgar dalam arti
bahwa jumlah pengeluaran tidak harus meningkat, jika pendapatan dari sumber ini
meningkat, dan sebaliknya. Tipe ini dicontohkan oleh penerimaan dari bahan
bakar dan pembiayaan jalan.
Tipe C mirip dengan tipe A kecuali bahwa pengeluaran yang ditunjuk tidak
secara sempit di definisikan. Tipe ini memiliki contoh sistem jaminan sosial, pajak
atas gaji jelas membiayai berbagai tunjangan sosial seperti pensiun, dan
sebagainya. Walaupun jumlah total yang dihabiskan sangat terbatas pada jumlah
pajak yang diajukan oleh earmarked. Tipe D analog dengan Tipe B namun
pengeluarannya belum memiliki tujuan yang spesifik. Contoh bagi tipe ini adalah
antara dalam hal ada kelompok di bayangkan manfaat sambungan, tetapi
hubungan antara pajak dikumpulkan dan pengeluaran yang dibuat dalam bidang
yang luas dimana pendapatan yang dikhususkan alokasinya cukup longgar. Tipe
ini dicontohkan seperti pajak tembakau dan pembiayaan kesehatan.
Tipe E terkait erat dengan Tipe A dalam hal spesifikasi pengeluaran yang
dibiayai oleh penerimaan tersebut, namun tidak ada alasan manfaatnya. Sebagai
contoh, pajak lingkungan dan program pembersihan lingkungan. Tipe F juga tidak
memiliki alasan manfaat, tipe ini bersifat longgar dan arti bahwa jumlah yang
57
dibelanjakan daerah tidak dipengaruhi oleh jumlah diperoleh dari pajak. contoh
dari tipe ini adalah pajak gaji dan pembiayaan kesehatan.
Tipe G bahkan tidak memiliki alasan manfaat apapun meskipun dalam kasus
ini hasil dari pajak yang disisihkan untuk daerah menentukan jumlah pengeluaran
daerah yang ditunjuk. Contoh dari tipe ini adalah pendapatan pajak digunakan
sebagi satu-satunya sumber keuangan untuk transfer lokal. Terakhir Tipe H tidak
memiliki alasan ekonomi dan umumnya tidak ada efek ekonomi rill, sebuah
contoh umumnya adalah mengalokasikan pajak minuman keras atau undian untuk
pendidikan dan kesehatan.
Sebagai suatu kebijakan baru, penerapan earmarking tax memiliki beberapa
alasan-alasan justifikasi untuk penerapannya, selain itu juga memiliki alasanalasan agar tidak diterapkan. Berikut ini adalah justifikasi untuk penerapan
earmarking yang diungkapkan Derran dalam McCleary, yaitu67 :
of funding.
Greater stabilitiy and continuity of funding may lead to lower cost because
58
Budgeting arguments
The distributional argument
Earmarking may not work
59
untuk kegiatan atau pelayanan publik yang berkaitan dengan pajak tersebut. Hal
ini sangat berbeda dengan pengertian pajak secara umum, yaitu pungutan dari
masyarakat oleh negara ( Pemerintah ) berdasarkan Undang-Undang yang bersifat
dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayar dengan tidak mendapat
prestasi kembali ( kontra prestasi/balas jasa ) secara langsung, yang hasilnya
digunakan untuk membiayai pengeluaran68.
2.2.
60
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah
Pusat. Cukai rokok di Indonesia dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 tentang Cukai sebagaiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007. Yang dimaksud dengan cukai adalah pungutan negara yang
dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang Cukai, yaitu:
a. Konsumsinya perlu dikendalikan;
b. Peredarannya perlu diawasi;
c. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau
lingkungan hidup;
d. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan
Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik sebagaimana di atas yang dikenai cukai
bersarkan Undang-Undang Cukai dinyatakan sebagai barang kena cukai. Salah
satu jenis barang yang merupakan barang kena cukai adalah hasil tembakau.
Cukai atas hasil tembakau dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
dinyatakan sebagai cukai rokok.
Penerapan earmarking pajak terhadap Pajak Rokok secara nyata telah diatur
oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mewajibkan penerimaan Pajak
Rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling
sedikit 50% ( lima puluh persen ) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang70.
61
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa penerapan sistem earmarking sudah
secara nyata diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak
Rokok. Hasil pengalokasiannya juga sudah diatur secara jelas dan diperuntukan
untuk hal yang terkait dengan penariakan Pajak Rokok itu sendiri seperti
Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain pembangunan atau pengadaan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana
umum yang memadai bagi perokok ( smoking area ), kegiatan kemasyarakatan
tentang bahaya rokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat
bekerjasama dengan pihak atau instansi lain, antara lain pemberantasan peredaran
rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan
peraturan Perundang-Undangan.
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta
gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor
yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 ( lima Gross Tonnage )
sampai dengan GT 7 ( tujuh Gross Tonnage ).
Penerapan earmarking pajak terhadap Pajak Kendaraan Bermotor secara nyata
telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mewajibkan
penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen )
termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk
pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
70 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pasal 31 ayat 5.
62
63
64
65
Hiburan rakyat/tradisional
sebesar 5% (lima persen)
Jenis-Jenis Hiburan
Mandi Uap/Spa
Diskotik/Klab Malam
Karoke
Panti Pijat
persen)
Sumber : Perda Kabupaten Badung Nomor 17 Tahun 2011
66
67
tetapi berdasarkan uraian dan paparan pada sub bab 3.1 penulis menggunakan
teori-teori mengenai earmarking tax yang telah di jelaskan diatas, termasuk juga
pembagian tipe yang diungkapkan oleh Joel Michael dan Bird untuk melakukan
analisis earmarking tax atas pajak sektor pariwisata, selain itu juga menggunakan
alasan-alasan justifikasi dan penghalang earmarking tax. Dari analisis berdasarkan
teori-teori diatas bahwa dapat dimungkinkan Pemerintah Daerah melalui
Peraturan Daerahnya memberlakukan sistem earmarking Pajak Sektor Pariwisata.
Karena klasifikasi Bird dan Jun menitikberatkan pada tiga aspek yang dilihat dari
hubungan pajak dengan pengeluaran yang dialokasikan. Pertama adalah derajat
kekhususan (spesifik) pengeluaran; kedua, kekuatan dan sifat hubungan antara
pendapatan dan pengeluaran; ketiga, ada atau tidaknya alasan manfaat yang dapat
di identifikasi untuk hubungannya. Serta maksud dari earmarking itu sendiri
bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus
menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government.
2.2. Wacana Earmarking Terhadap Pajak Sektor Pariwisata.
Pada sub bab 2.2 diatas telah dijelaskan bahwa jenis Pajak yang dapat diearmarking menurut Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yaitu Pajak Rokok, Pajak Kendaraan Bermotor, dan Pajak
Penerangan Jalan. Karakteristik dimungkinkannya pajak tersebut untuk di
earmarking adalah :
Pajak Rokok79
a) Konsumsinya perlu dikendalikan;
b) Peredarannya perlu diawasi;
c) Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat
atau lingkungan hidup;
79 Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai sebagaimna
diubah dengan undang-undang Nomor 39 Tahun 2007.
68
terhadap
jumlah
kendaraan
bermotor
yang
terus
69
Bali. Dasar pengalokasikan pajak hotel dan pajak restoran tersebut adalah
Kesepakatan Bersama Antara Gubernur Bali Dengan Bupati Badung dan Walikota
Denpasar Nomor 075/01/KB/B.Pem/2009 yang disepakati pada hari Senin tanggal
12 januari 2009. Tujuan dari kesepakatan bersama ini untuk mewujudkan
keseimbangan pembangunan pariwisata Bali secara menyeluruh, terintegrasi dan
utuh yang berwawasan budaya dan lingkungan serta pembangunan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
Atas dasar kesepakatan bersama Gubernur dan Bupati Badung tersebut
Kabupaten Badung harus mengalokasikan Pajak Hotel dan Pajak Restoran kepada
Provinsi Bali berkisar antara 15% ( lima belas persen ) sampai dengan 22% (dua
puluh dua persen ) dari hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak Restoran setelah
dikurangi biaya pemungutan dengan jumlah yang cenderung meningkat dari
jumlah sebelumnya. Berdasarkan kesepakatan tersebut hasil pembagian Pajak
Hotel dan Pajak Restoran di pergunakan untuk81:
a. 20% ( dua puluh persen ) dimanfaatkan oleh Provinsi Bali sebagai dana untuk
membiayai promosi pariwisata terintegrasi dan menyeluruh dengan
melibatkan Kabupaten/Kota, biaya peningkatan keamanan, pelestraian
budaya dan lingkungan.
b. 80% ( delapan puluh persen ) lainnya dimanfaatkan oleh 6 ( enam )
Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Buleleng, Karangasem, Tabanan, Bangli,
Jembrana, Klungkung. Pembagian hasil penerimaan Pajak Hotel dan Pajak
Restoran
kepada
enam
Kabupaten
tersebut
di
prioritaskan
untuk
70
71
Jika meliahat dari paparan diatas dapat kita ketahui bahwa Kesepakatan
Bersama Antara Gubernur dengan Bupati Badung dan Walikota Denpasar dapat
dikatakan sebagai earmarking pajak yang di maksud oleh Undang-Undang Nomor
28 tahun 2009. Berdasarkan Kesepakatan Bersama tersebut di jelaskan maksud
dan tujuan dari alokasi Pajak Hotel dan Pajak Restoran Kabupaten Badung yang
salah satunya diperuntukan untuk Peningkatan Keamanan yang tertuang dalam
Pasal 3 ayat 3a, tetapi Polres dan Polisi Pariwisata Badung tidak pernah
mendapatkan bantuan apapun yang deberikan oleh Pemerintah Provinsi terkait
upaya peningkatan keamanan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat 3a. Sebaiknya
pengalokasian Pajak Hotel dan Pajak Restoran tersebut di tuangkan ke dalam
Peraturan Nasional tentang pajak sektor pariwisata, agar menjadi lebih konsisten
serta dapat diatur juga mengenai pengawasan alokasi pajak sektor pariwisata
tersebut sehingga dapat ikut diterapkan oleh daerah lain yang mempunyai potensi
pada sektor pariwisata.
Dari semua paparan sub bab 2.1, 2.2 dan 2.3 dapat diketahui bahwa bahwa
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah telah mengatur secara jelas aturan tentang sistem earmarking pajak, lebih
nyatanya Undang-Undang tersebut yang mengatur tentang adanya earmarking
terdapat pada: (1) Pajak Kendaraan Bermotor yang menjelaskan bahwa hasil
penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% ( sepuluh persen )
termasuk yang dibagihasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk
pembangunan dan atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana
transportasi umum. (2) Pajak Rokok, mewajibkan penerimaan Pajak Rokok, baik
bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 50%
72
73
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian dan pembahasan sebelumnya, maka dalam bab ini
penulis sajikan kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis susun yaitu
mengenai Peran Pajak Sektor Pariwisata Dalam Meningkatkan Keamanan
Wisatawan Di Kabupaten Badung . Dari penulisan tersebut dapat diambil
Kesimpulan dan Saran sebagai berikut :
1.1. Peran Pajak Sektor Pariwisata terhadap PAD Kabupaten Badung sangat
besar. Pajak sektor pariwisata menyumbang pemasukan paling besar terhadap
PAD yaitu pada tahun 2008 sebesar Rp. 645.174.417.282,32. Pada tahun 2009
sebesar
Rp.
677.834.493.810,00.
Pada
tahun
2010
sebesar
Rp.
74
pengemban
fungsi
Kepolisian,
perbedaannya
Pecalang
75
76
DAFTAR PUSTAKA
Brotodihardjo, R.S, 1981, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, cetakan ke IX, PT.
Eresco, Bandung.
77
78
Skep Kapolri No. Pol : SKEP/737/X/2005 tentang kebijakan dan strategi polmas
dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Skep Kapolri No. Pol : SKEP/ 248/IV/2004 Tanggal 21 april 2004 tentang Buku
Petunjuk Kegiatan Pengamanan Objek Wisata.
Juklak Kapolda Bali Nomor Pol. : JUKLAK/899/II/2004 tentang TUPOKS Polisi
Pariwisata.
Jurnal Internasional
Richard M. Bird dan Joosung Joon, Earmarking in Theory and Korean Practice,
ITP Peper 0513, 2005, http://www.rotman.utoronto.ca/riib/details.aspx?P=64,
diunduh pada 25 Maret 2012.
Teja, Rajit S. The Case For Earmarked Taxes, International Monetary Fund, Vol.
35 No. 3 (September, 1988), hlm 532 di unduh dari www.jstor.org pada 23
Maret 2012.
McCleary, Wiliam. The Earmarking of Government Revenve. A Review of Some
World Bank Experince. The World Bank Research Observer, Vol. 6 No. 1
(January 1991).
Internet
http//pariwisata.jogja.go.id.,diakses tanggal 10 Desember 2011
http:/www.pnpb.net/?P=64, diakses pada tanggal 28 Desember 2011.
79
diunduh
Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Daerah.
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor
PM./106/PW.006/MPEK/2011.
Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan
Kebudayaan dan Pariwisata.
80
81
82