Anda di halaman 1dari 12

TES/UJI KEAMANAN DAN ANALISA PRODUK KOSMETIK

I.

PENDAHULAN
Ditinjau dari kenyataan bahwa dewasa ini kosmetik dipakai oleh
ratusan juta pemakai, maka demi kepentingan kedua belah pihak, yaitu
pemakai dan produsen, produsen hendaknya menghilangkan kemungkinan
terjadinya efek merusak kosmetik terhadap kulit, baik berupa iritasi
maupun alergi.
Di Amerika misalnya, pada tahun 1938, Food, Drug and Cosmetic
Act diberlakukan untuk kemaslahatan para pasien, konsumen, maupun
produsen

obat-obat

farmasi

dan

kosmetik.

Undang-undang

itu

diberlakukan setelah terjadi peristiwa menyedihkan berupa meninggalnya


banyak orang setelah memakai dasar kosmetik ethylene glycol sebagai
dasar disperse derivate sulfanilamide.
Sebelum suatu produk farmasi atau kosmetik dapat dijual ke
masyarakat umum, produsen harus menyerahkan kepada pemerintah cara
pemakaian produk itu disertai laporan tentang hasil-hasil pengujian
keamanannya pada hewan, manusia, dan praktik klinis. Berdasarkan
keterangan tersebut, obat atau kosmetik yang oleh pemerintah dianggap
berbahaya bagi umum dapat dilarang untuk diedarkan.
Selain itu, masyarakat perlu dilindungi dari peredaran kosmetika
yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu.
Untuk

menjamin

kosmetika

perlu

terpenuhinya
dilakukan

persyaratan keamanan

dan

mutu

pengujian denganmenggunakan metode

analisis yang sesuai. beberapa metode analisis kosmetika sudah diakui


dan disepakati untuk digunakan di kawasan ASEAN sesuai dengan
kesepakatan terakhir di Malaysia pada tahun 2006. Berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan tentang Metode Analisis Kosmetika.
II.

RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana tes/uji keamanan pada kosmetik?
B. Bagaimana analisa produk kosmetik?

III.

PEMBAHASAN
A. Tes/Uji Keamanan Kosmetik
Terkait tes keamanan kosmetik, pengujian dimulai
dari in vitro, in vivo, lalu pengujian secara klinis dengan
manusia. Yang termasuk pengujian keamanan kosmetik
secara in vitro antara lain tes pembentukkan kolagen,
tes kenaikan pH, dan tes Zein. Yang termasuk pengujian
secara in vivo pada hewan antara lain tes potensi iritasi
pada kulit, tes iritasi pada mata, phototoxicity, toleransi
tes terhadap detergen dalam sampo, dan tes untuk
potensi menimbulkan komedo/jerawat. Sementara yang
termasuk pengujian pada manusia yaitu patch test dan
open test.
Secara In Vitro
1. Pembentukan Kolagen
Menggunakan lembaran

kolagen

seluas

cm yang diinkubasi selama 24 jam pada suhu


50C

dengan larutan

diuji.

Kolagen ditimbang

sesudah

pemaparan

dari

kosmetik

beratnya

untuk

yang

sebelum

menentukan

akan
dan
nilai

pembengkakan.
2. Tes Kenaikan pH
Nilai pH dari larutan diukur dengan indikasi
bahwa kenaikan nilai pH menandakan peningkatan
tingkat iritasi produk. Kenaikan Ph sediaan karena
keratin didenaturasi, keratin sistein.
3. Tes Zein
Menggunakan protein yang tidak larut dalam
larutan berair hingga terdenaturasi oleh surfaktan
dalam produk yang mengiritasi. Lebih banyak protein

yang terlarutkan maka tingkat iritasi produk juga


besar .
Pengujian Pada Manusia
1. Patch Test
a. Digunakan untuk memeriksa kepekaan kulit terhadap suatu
bahan dan untuk mendiagnosis penyakit kulit: allergic contact
dermatitis.
b. Teknik patch test ini telah distandarisasi dengan memfiksasikan
dan melekatkan bahan-bahan pada kulit dengan sepotong kertas
filter WHATMAN yang melekat di kertas aluminium foil yang
satu sisinya telah dilapisi polyethylene film.
c. Bahan allergen yang akan diperiksa lebih baik dalam bentuk
cair, diletakkan pada filter paper disc, lalu kertas patch tester ini
diaplikasikan ke kulit dengan plester adhesive.
d. Patch test dapat dilakukan dimana saja di kulit, tetapi umumnya
dilakukan di kulit belakang tubuh. Tester ditinggalkan di tempat
tersebut selama 48 jam. Setelah itu, diangkat, dan tempat yang
dites diberi tanda.
e. Hasil dinilai 15 dan 30 menit setelah pengangkatan, diulangi
setelah 24 jam, dan hasil terakhir adalah kesimpulan dari tes.
f. Jika tes ini dilakukan pada pasien yang sedang menderita acute
dermatitis yang luas, tes ini akan menimbulkan reaksi false
positive dan akan memperberat erupsi. Jadi, prosedur dilakukan
jika erupsi telah terkendalikan, dan kulit yang dipilih harus
bebas dari dermatitis paling sedikit 4 minggu.
g. Bahan yang akan dites harus dicairkan ke tingkat yang terlalu
tinggi akan reaksi pada orang yang tidak sensitif. Konsentrasi
yang terlalu tinggi akan menyebabkan iritasi hebat, sedangkan
konsentrasi yang terlalu rendah akan tidak menimbulkan
respons.
h. Bahan pelarut yang dipakai harus tidak bersifat mengiritasi kulit,
seperti air, ethyl alcohol,amyl alcohol, phenethyl alcohol, dan
lain-lain. Pada umumnya yang bersifat stabil dan tidaak mudah
menguap adalah yang terbaik.

2. Open Test
Bahan langsung diaplikasikan 2-3 kali sehari ke area yang
sama pada lengan bawah selama 2 hari, dan reaksi yang terjadi
langsung dinilai. Reaksi yang positif menandakan bahwa reaksi
Patch Test tersebut adalah karena alergi, sedangkan jika hasil
negatif, tidak menghilangkan kemungkinan karena alergi.1
Secara In Vivo Pada Hewan
1. Test Potensi Iritasi Pada Kulit
a. Draize Test
a) Mengevaluasi potensi iritasi bahan kimia pada binatang
dengan memakai kelinci albino. Kulit yang digunakan
adalah kulit kelinci albino karena kulit kelinci lebih terlihat
iritasinya dibandingkan dengan hewan lainnya sehingga
lebih mudah untuk mengidentifikasi dan mengetahui
efeknya terhadap manusia.
b) Tes dilakukan dengan teknik Patch Test pada kulit kelinci
yang dilukai dan pada kulit yang utuh.
c) Bahan yang akan dites diletakkan pada bahan berbentuk
segi empat lalu seluruh badan kelinci dibungkus dengan
bahan selama 24 jam lalu bahan diangkat hasil reaksi
dievaluasi, diulang setelah 72 jam.
b. Freunds Complete Adjuvant Test (FCAT)
a) Untuk memilih bahan kimia berdasarkan reaksi imun
(kekebalan).
b) Tes ini untuk menentukan kapasitas sensitisasi bahan.
c) Bahan yang akan dites di dalam FCA disuntikkan
intradermal ke binatang dalam kelompok ekperimen setiap
hari ke-2, dengan total 5 kali. Binatang kontrol disuntik
dengan 0,1 ml FCA saja. Empat dari binatang diuji untuk
efek toksik setelah satu kali pemakaian topical. Tempat
1 Retno Tranggono dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm:
166-167

aplikasi dibiarkan terbuka, iritasi terkecil adalah warna


kemerahan.
d) Tes yang dinyatakan allergik bila 1 dari 8 binatang dari
kelompok eksperimen menunjukan reaksi positif terhadap
konsentrasi noniritan yang dipakai untuk percobaan.
c. Guinea Pig Maximization Test (GPMT)
a) Untuk mendeteksi kapasitas suatu bahan

yang

menyebabkan sensitisasi langsung pada marmut.


b) Tes ini sangat baik untuk mengenal bahan-bahan yang
menyebabkan kontak alergi.
c) Dua kelompok marmut yang terdiri dari 20-25 sebagai
kelompok ekperimen dan kelompok control.
d) Bahan yang akan dites disuntikkan intradermal atau topical.
e) Topical test dilakukan dengan occlusive patch.
f) Pada hari ke-7, bahan dilebarkan dengan kertas filter,
ditutupi adhesive yang tak tembus cairan, lalu badan
marmot dibalut dengan adhesive bandage yang elastis.
g) Hari ke -21 kelompok eksperimen dan kelompok control
memakai occlusive patch selama 24 jam.
h) Dinilai pada hari ke 23-28.
d. Buhler Test
a) Tes ini banyak keuntungannya, kurang menimbulkan iritasi,
hanya menimbulkan sedikit kesan positif yang palsu.
b) Digunakan sebagai penyaringan pertama untuk produk jadi.
c) Tiga kelompok marmut terdiri dari 10-20 ekor.
d) Kelompok eksperimen diuji dengan bahan yang akan dites
plus pelarut.
e) Kelompok kontrol hanya dengan pelarut.
f) Kelompok negatif kontrol hanya dengan bahan yang akan
dites.
g) Bahan dilarutkan dan dioleskan pada kulit binatang selama

e.

6 jam.
h) Aplikasi dengan jarak 1 minggu selama 3 minggu.
Open Epicutaneous Test (OET)
a) Tes ini digunakan untuk contoh bahan-bahan kimia,
campuran-campuran
sensitisasi, dan iritasi.

dan

produk-produk

jadi,

efek

b) Satu sampai enam kelompok eksperimen dan satu kelompok


control, yang masing-masing terdiri dari 6-8 marmut.
c) Reaksi dinilai 24 jam setelah aplikasi.
d) Aplikasi diulang setiap hari selama 3 minggu atau 5 kali
seminggu selama 4 minggu di tempat yang sama.2
2. Tes Iritasi Pada Mata
Tanda iritasi pada mata : merah, bengkak, sakit,
panas. Ada beberapa tes iritasi mata pada kosmetik,
yaitu :
a. Preclinical Test
Iritasi karena bahan kimia adalah satu-satunya
penyebab peradangan pada mata yang dapat
dites pre-clinically. Tes yang dilakukan adalah
Draize Eye Irritation Test pada kelinci albino,
karena mata kelinci lebih sensitif daripada mata
manusia. Iritasi pada mata karena bahan kimia
dapat dites pada bagian mata conjunctiva, iris,
dan cornea.
b. Clinical Test
Tes langsung berupa pemberian bahan yang
akan dites ke mata dan menentukan responnya:
sakit, panas, gatal, air mata.
c. Human Use Test
Tes ini dilakukan dengan memakai produk jadi
untuk meneliti potensi iritasi pada mata. Dilakukan
setiap hari selama 1 bulan dan pemeriksaan
setiap

minggu

oleh

dermatologist

atau

ophthalmologist.
3. Phototoxicity
Tes ini dilakukan untuk melihat sistem imun
dimana bila terjadi alergi maka menandakan kulit
sensitif serta melihat ketoksisitas suatu produk, bila
2 Sri Rahmawati, Resume_Kosmetologi.pdf, (Makassar: UIN Alauddin,
2013).

terkena cahaya matahari maka dapat menyebabkan


hiperpigmentasi.
Iritasi non-immunologis

yang

berhubungan

dengan cahaya dan terjadi setelah kulit dikenai


cukup cahaya. Tikus dan kelinci yng sudah tidak
berbulu
menit

diekspos

ke

sebelum

bahan

dikenai

kimia

selam

cahaya.dan

5-10

diamati

perubahan setelah dikenai cahaya.


4. Toleransi Tes Terhadap Detergen dalam Sampo
Ada 3 macam tes, yaitu:
a. Guinea Pig Skin Irritation Test (non occlusive)
Digunakan 5 ekor marmut, produk diaplikasikan
setiap

hari

selama

hari

pada

sisi

badan

binatang. Satu gram dari bahan yang akan dites


diaplikasikan ke area 4 x 4 cm tanpa dibilas.
Ketebalan kulit diukur dengan micrometer dan
evaluasinya dilakukan pada hari ke 1, 2, 3, dan 4.
b. Rabbit Skin Irritation Test (occlusive)
Digunakan 6 ekor kelinci (satu sisi badan
dilukai, sisi yang lain utuh). Satu aplikasi dilakukan
occlusive bandage. Satu gram bahan diaplikasikan
tanpa dibilas pada area seluas 4 x 4 cm dan
kemerahan dievaluasi pada jam ke 24 dan 48.
c. Rabbit Eye Irritation Test
Digunakan 6 ekor kelinci. Bahan langsung
diberikan

ke

mata

binatang

tanpa

dibilas.

Kerusakan pada cornea, iris dan conjunctiva dinilai


setelah 2 jam dan hari ke 1, 2, 3, 4, dan 7 setelah
aplikasi.
5. Tes Untuk Potensi Menimbulkan Komedo/Jerawat
Ada 2 macam tes yang digunakan, yaitu:
a. Animal Testing
Bahan yang diujikan diaplikasikan ke satu
telingan kelinci dan telinga yang satu sebagai
kontrol. Tes dilakukan 5 hari dalam seminggu
7

selama

minggu

timbulnya

berturut-turut.

pembesaran

hiperkeratosis
dibandingkan

dari

pori-pori

folikel

dengan

Observasi

kontrol.

dan

minyak

dan

Hasilnya

dinilai

dengan angka 0 = negatif s/d 5 = hebat.


b. Human Testing
Tes ini dilakukan langsung pada wajah dan
dipilih remaja yang telah menderita jerawat atau
yang mudah mengidap jerawat. Sebelum tes
dilakukan,

jerawat

diaplikasikan selama

yag

ada

4-8

dihitug,

minggu,

bahan

lalu dinilai

kembali.
B. Analisa Produk Kosmetik
Ruang lingkup metode yang

ditetapkan

dalam

Peraturan

peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik


indonesia nomor hk.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011

berupa

beberapa Metode Analisis untuk: pengujian cemaran mikroba,


pengujian logam berat, pengujian beberapa bahan yang dilarang
digunakan dalam Kosmetika, pengujian beberapa bahan pengawet
yang digunakan dalam Kosmetika, Metode Analisis untuk pengujian
cemaran mikroba.
1. Pengujian cemaran mikroba meliputi:
a. Penetapan Angka Kapang Khamir dan Uji Angka Lempeng
Total dalam Kosmetika
Penetapan angka kapang dan khamir dalam kosmetika
dengan cara menghitung koloni dalam media agar selektif
setelah inkubasi secara aerobik. sedangkan penentuan angka
lempeng menggunakan 2 cara:
a) Cara tuang atau sebar
Penghitungan angka lempeng dilakukan dengan
menginokulasikan secara langsung sejumlah tertentu dari
suspensi awal atau yang telah diencerkan secara desimal
ke dalam

media spesifik dengan cara tuang atau sebar,

dan diinkubasi secara aerob pada suhu yang sesuai


dalam

waktu

tertentu.

Jumlah

mikroba

dinyatakan

dalam koloni atau cfu(colony forming units) per mL atau


per g produk.
b) Penyaringan membran
Penyaringan membran dilakukan dengan cara
memindahkan sejumlah
filtrasi

yang

telah

pengencer

yang

Membran

penyaring

contoh

ke

dalam

dibasahi dengan

steril,

segera

sejumlah

disaring

kemudian

peralatan
kecil

dan dibilas.

diletakkan

di

atas

permukaan media agar spesifik serta diinkubasi pada


suhu yang sesuai dalam waktu tertentu. Jumlah koloni
dinyatakan dalam cfu kapang dan khamir per mL atau
b.

per g produk.
Uji efektifitas pengawet dalam kosmetik
Pedoman ini digunakan untuk menetapkan efektivitas
antimikroba meliputi penentuan kesesuaian dan kinerja
minimal pengawet dalam kosmetika. prinsipnya adalah Uji
tantang

terhadap

produk

menggunakan mikroba

bebas

baku

yang

cemaran
telah

dengan

ditetapkan,

kemudian produk yang telah diinokulasi tersebut disimpan


pada suhu yang telah ditetapkan.
2. Pengujian Logam berat
Metode Analisis untuk pengujian logam berat berupa
Metode

Analisis

Penetapan

Kadar

Logam

Berat

(Arsen,

Kadmium, Timbal, dan Merkuri) dalam Kosmetika. Prinsipnya


adalah dengan cara digesti basah atau digesti kering atau
digesti gelombang mikro bertekanan tinggi (High Pressure
Microwave Digestion) dan ditetapkan kadar logam berat
seperti arsen (As), cadmium (Cd), timbal (Pb) dan merkuri
(Hg)

menggunakan

Graphite

Furnace

Atomic

Absorption

Spectrophotometer (GF-AAS) dan Flow Injection Analysis


System - Atomic Absorption Spectrophotometer (FIAS-AAS).
3. Pengujian beberapa bahan yang dilarang digunakan dalam
Kosmetika
Metode Analisis untuk pengujian beberapa bahan yang
dilarang digunakan dalam Kosmetika berupa Metode Analisis
untuk:
a. Identifikasi Asam Retinoat dalam Kosmetika ada dua cara:
a) Kromatografi Lapis Tipis (KLT), metode ini bertujuan
untuk identifikasi asam retinoat dalam kosmetika.
b) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode ini
bertujuan

untuk

identifikasi

asam

retinoat

dalam

kosmetika secara kromatografi cair fase balik dengan


deteksi ultra violet.
b. Identifikasi Bahan Pewarna yang dilarang dalam Kosmetika
ada dua cara:
a) Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Bahan pewarna yang
dilarang dalam kosmetika diekstraksi dan diidentifikasi
secara

KLT. Bahan

pewarna

yang

dilarang

dalam

kosmetika, yaitu:
Nomor CI
12075
13065
45170

Nama lain
Jingga K1 (Pigment Orange 5)
Kuning Metanil
Merah K10 (Rhodamine B)

b) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode ini


bertujuan untuk identifikasi bahan pewarna yang dilarang
dalam kosmetika secara kromatografi cair fase balik dengan
deteksi cahaya tampak.
c. Identifikasi dan Penetapan

Kadar

Hidrokinon

dalam

Kosmetika ada dua cara:


a) Kromatografi Lapis Tipis (KLT), metode ini bertujuan
untuk identifikasi dan penetapan kadar hidrokinon dalam
kosmetika.

10

b) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode ini


bertujuan untuk identifikasi dan penetapan kadar hidrokinon
dalam kosmetika secara kromatografi cair fase balik dengan
deteksi ultra violet.
d. Identifikasi Senyawa Kortikosteroid dalam Kosmetika ada dua
cara:
a) Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Senyawa kortikosteroid
diekstraksi dan diidentifikasi secara KLT. Metode ini
bertujuan

untuk

hidrokortison

identifikasi

asetat,

senyawa

kortikosteroid:

deksametason,

betametason,

betametason 17-valerat dan triamsinolon asetonida dalam


kosmetika.
b) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode ini
menjelaskan prosedur lebih lanjut untuk identifikasi
senyawa kortikosteroid: hidrokortison asetat, deksametason,
betametason, betametason 17-valerat dan triamsinolon
asetonida

dalam

kosmetika.

Senyawa

kortikosteroid

diekstraksi dan diidentifikasi secara KCKT fase balik


dengan deteksi ultra violet.
4. Pengujian beberapa bahan pengawet yang digunakan dalam
Kosmetika.
Metode Analisis yang digunakan untuk identifikasi dan
penetapan kadar pengawet dalam Kosmetika ada dua cara yaitu:
a) Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pengawet dalam contoh
diekstraksi dan diidentifikasi secara KLT. Metode ini
menjelaskan

prosedur

untuk

identifikasi

pengawet:

2-

fenoksietanol, metil 4-hidroksibenzoat, etil 4-hidroksibenzoat,


propel 4-hidroksibenzoat dan butil 4-hidroksibenzoat dalam
kosmetika.
b) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), metode ini
menjelaskan prosedur untuk identifikasi dan penetapan kadar
pengawet: 2-fenoksietanol, metil 4-hidroksibenzoat, etil 4hidroksibenzoat,

propil

11

4-hidroksibenzoat

dan

butil

4-

hidroksibenzoat dalam kosmetika. Pengawet dalam contoh


diekstraksi dan diidentifikasi serta ditetapkan kadarnya secara
KCKT fase balik menggunakan isopropil 4-hidroksibenzoat
atau benzofenon sebagai baku internal.
IV.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :
Tes keamanan kosmetik, pengujian dimulai dari in
vitro, in vivo, lalu pengujian secara klinis dengan manusia.
Yang termasuk pengujian keamanan kosmetik secara in
vitro antara lain tes pembentukkan kolagen, tes kenaikan
pH, dan tes Zein. Yang termasuk pengujian secara in vivo
pada hewan antara lain tes potensi iritasi pada kulit, tes
iritasi pada mata, phototoxicity, toleransi tes terhadap
detergen

dalam

sampo,

dan

tes

untuk

potensi

menimbulkan komedo/jerawat. Sementara yang termasuk


pengujian pada manusia yaitu patch test dan open test.
Ruang lingkup metode yang ditetapkan dalam Peraturan
peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik indonesia
nomor hk.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011

berupa beberapa Metode

Analisis untuk: pengujian cemaran mikroba, pengujian logam berat,


pengujian beberapa bahan yang dilarang digunakan dalam Kosmetika,
pengujian beberapa bahan pengawet yang digunakan dalam Kosmetika,
Metode Analisis untuk pengujian cemaran mikroba.

12

Anda mungkin juga menyukai