SEORANG
FASILITATOR?
Oleh:
Tua Hasiholan Hutabarat
Mataram, 12 Juni 2010
*******************************************************
Apapun makna yang dilekatkan semua orang tentang fasilitasi, yang pasti
tugas-tugas fasilitasi yang dijalankan seorang fasilitator sangatlah penting bagi
masyarakat, khususnya dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi
masyarakat. Begitu pentingnya tugas-tugas seorang fasilitator, maka kini keahlian
fasilitasi menjadi salah satu kriteria utama dari seorang organiser atau pekerja sosial
yang menjalankan fungsi community organizing di tengah-tengah masyarakat.
Dalam sebuah tulisan singkat oleh Gerry Gaffney di sebuah situs informasi,
fasilitasi adalah; “Process of enabling groups to work cooperatively and
effectively”. Sebuah definisi yang cukup sederhana dan mengena, dimana
penekanan fasilitasi pada beberapa konsep, yakni; proses, enabling (memampukan);
kelompok, kerjasama dan efektivitas. Definisi tersebut memandang fasilitasi melulu
dari sisi teknis dan kurang memuat basis teoritis yang memadai. Kemudian,
Gaffney juga memberi catatan penting, dimana fasilitasi merupakan bagian penting
dari sebuah aktivitas, dan sangat bermanfaat pada suatu keadaan dimana masyarakat
memiliki latarbelakang, kepentingan dan kapabilitas yang berbeda. Tujuannya
adalah seperti yang disebutkan sebelumnya, yakni memampukan kelompok untuk
dapat bekerjasama secara efektif.
Pandangan lainnya juga tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Fasilitasi
adalah membuat lebih mudah atau untuk mempermudah sebuah proses (to make
easy or ease a process). Dalam proses fasilitasi, fasilitator bertugas untuk membuat
perencanaan, memandu dan mengatur kelompok sehingga tujuan yang diharapkan
oleh kelompok tersebut dapat tercapai secara efektif, dengan cara berfikir yang
jernih, melibatkan partisipasi yang penuh dari semua orang yang terlibat
(http://www/mindtools.com). Selanjutnya disebutkan pula, agar dapat berjalan
secara efektif, maka fasilitasi harus dilakukan secara objektif dalam mengelola
proses di dalam kelompok, sehingga dengan kata lain, seorang fasilitator harus
bersikap netral (neutral stance).
Fasilitasi merupakan instrumen atau tool yang sangat penting dalam project
manajemen, karena bertujuan menemukan konsensus antar pihak, membangun
pemahaman, maupun dalam memperjelas kebutuhan dan harapan setiap orang
tentang sebuah kegiatan atau project. Untuk mencapai tujuannya, fasilitasi harus
dilakukan oleh seorang fasilitator, yakni seseorang yang menjauhkan diri dari opini
personal dan dapat menghindari bias tertentu yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan bagi sebuah kelompok. Fasilitator harus harus meleburkan
diri pada nilai dan kebijakan kolektif (collective wisdom) yang dimiliki oleh
kelompok. Tugasnya adalah mendorong dan membantu kelompok untuk dapat
membangun kontribusi setiap anggota kelompok, sehingga seorang fasilitator harus
menghindari diri dari pandangan atau opini personal dan tetap men-support hak
kelompok untuk menemukan dan menentukan pilihan-pilihannya (Pieper,
http://eleonorepieper.com, 2009).
Sisi Positif
Atas dasar itulah, maka proses perubahan yang dibangun dalam komunitas
harus dilaksanakan dalam rangka membongkar hegemoni dan membangun
kesadaran identitas kolektif masyarakat. Dalam konteks itu, fasilitasi memegang
peranan penting, dimana fasilitasi harus diarahkan pada proses menemukan akar
permasalahan berdasarkan kesadaran atas kesadaran masyarakat. Sehingga, boleh
dikatakan, seorang fasilitator tidak mungkin untuk bersikap netral, karena tujuan
fasilitasi bukan pada tataran HOW atau bagaimana menjalankan proses diskusi,
namun ditujukan menyelesaikan WHAT yang menjadi persoalan substansi di
masyarakat. Untuk itu, terbuka peluang bagi fasilitator untuk masuk ke dalam inti
atau substansi persoalan yang terjadi dan sedang diselesaikan oleh masyarakat.
Selain alasan yang diungkapkan di atas, ada juga aspek lain yang sebenarnya
menyulitkan seorang fasilitator untuk bersikap netral, yakni pendekatan project
manajemen dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ada banyak
project community development yang berbasis output. Prinsip seperti ini jelas akan
sangat mempengaruhi proses dan mekanisme pemberdayaan, khususnya dalam
kegiatan-kegiatan fasilitasi.
Pada satu sisi, di atas kertas memang klaim netralitas seorang fasilitator dalam
mengelola proses diskusi diakui sangat efektif dalam rangka membangun partisipasi
warga untuk mencapai kesepakatan tertentu. Di sisi lain, realitas proses fasilitasi
sangat sulit untuk menerapkan prinsip netralitas, karena terdapat unsur output atau
hasil yang sebenarnya memandu arah diskusi berlangsung. Usaha untuk
mempertahankan netralitas seorang fasilitator sangat berat dilakukan, karena ada
tuntutan kerangka kerja logis yang harus dicapai oleh seorang fasilitator. Fasilitator
hanya satu unsur dalam sistem pelaksanaan project, dimana ia dituntut untuk
berlaku dan bekerja sesuai dengan capaian-capaian yang sangat terukur.
Pengelolaan sebuah pertemuan, diskusi atau rembuk tak mungkin dilepaskan begitu
saja, mengingat ada parameter output yang harus dicapainya.
Berdasarkan kondisi di atas, adalah sangat penting bagi pelaksana project atau
organisasi pemberdayaan masyarakat yang bersikap jujur dan memahami betul
makna fasilitasi dalam kegiatan-kegiatan di komunitas. Netralitas akan bermakna
positif jika sudah terbangun kesadaran dari masyarakat, dan bisa memahami
maksud dan tujuan fasilitasi. Kesadaran tersebut akan mendorong partisipasi warga
untuk menemukan atau menyepakati sesuatu yang benar-benar berakar dari
persoalan mereka. Saat hal tersebut terjadi, maka output dari proses diskusi akan
sangat bermakna bagi perubahan yang diinginkan oleh masyarakat.
Bahan Bacaan:
Clmyers, 2007. Facilitation: Neutrality and Why it Matters?,
http://restorativepractice.org