Anda di halaman 1dari 19

BUKU SAKU

PREEKLAMPSIA

Oleh :
M. Sultan Tantra D

1518012175

Silvi Qiroatul Aini

1518012180

SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD JEND AHMAD YANI KOTA METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

ABSTRAK
Perdarahan, preeklampsia-eklampsia dan infeksi merupakan 3 penyebab utama kematian
ibu. Preeklampsia juga menyebabkan meningkatnya kematian perinatal. Preeklampsia
merupakan penyakit yang timbul karena kehamilan, umumnya timbul setelah minggu ke20 kehamilan. Hipertensi dan proteinuria yang merupakan sindroma preeklampsia ringan
seringkali tidak diperhatikan atau diketahui oleh wanita yang bersangkutan sehingga
tanpa disadari dapat berlanjut menjadi preeklampsia berat bahkan eklampsia yang fatal
bagi ibu dan bayi yang dikandungnya. Karena etiologinya yang tidak diketahui,
pencegahan dan penanganannya masih jauh dari memuaskan, namun dengan pemberian
penerangan secukupnya, pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil serta
pemeriksaan antenatal yang teratur, dapat mengurangi insidensi. Tujuan dibuatnya karya
tulis ilmiah ini menerangkan preeklampsia secara umum yaitu apa dan bagaimana terj
adinya preeklampsia, penggolongan, pencegahan serta pengobatannya.
Kata Kunci : Preeklampsia, Preeklampsia berat, Diagnosis, Pencegahan, Tatalaksana.

PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah sindrom spesifik pada kehamilan yang menyebabkan disfungsi
organ serta ditandai dengan terjadinya peningkatan tekanan darah dan ditemukannya
proteinuria. Preeklampsia biasanya terjadi pada kehamilan diatas 20 minggu. Menurut
klasifikasi National High Blood Pressure Education Working Group, preeklampsia
merupakan salah satu kategori hipertensi dalam kehamilan yang memiliki kriteria
peningkatan tekanan darah > 140/90 dengan proteinuria >300 mg pada urin 24 jam.
Sebanyak 70% penderita hipertensi dalam kehamilan didiagnosis sebagai preeclampsia.
Menurut WHO preeklampsia memengaruhi tujuh sampai sepuluh persen dari seluruh
kehamilan di Amerika Serikat. Di Inggris kurang dari 10 wanita meninggal akibat
preeklampsia setiap tahunnya, dan mempengaruhi maternal yang mengakibatkan
kematian, di negara yang kurang berkembang terdapat 50.000 kematian maternal yang
disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia.
Angka kematian ibu di Singapura berbanding 14/100.000 kelahiran hidup, Malaysia
62/100.000 kelahiran hidup, Thailand 110/100.000 kelahiran hidup, Vietnam 150/100.000
kelahiran hidup, Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000
kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negaranegara ASEAN lainnya. Kematian ibu akibat komplikasi dari kehamilan dan persalinan
tersebut terjadi pada wanita usia 15-49 tahun diseluruh dunia. Indonesia merupakan
negara yang mempunyai AKI tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2010, AKI menjadi 228
per-100.000. Berdasarkan distribusi penyebab kematian ibu melahirkan, preeklampsia
menyumbang 24%, 11% Infeksi, 5% abortus, 5% persalinan lama, 3% emboli obat, 8%
komplikasi masa puerperium, 11 % lainlain.
Preeklampsia

berat

merupakan

risiko

yang

membahayakan

ibu

di

samping

membahayakan janin. Ibu hamil yang mengalami preeklampsia berisiko tinggi mengalami
gagal ginjal akut, pendarahan otak, pembekuan darah intravaskular, pembengkakan parparu, kolaps pada sistem pembuluh darah dan eklampsia. Risiko preeklampsia pada janin
antara lain plasenta tidak mendapat asupan darah yang cukup, sehingga janin bisa
kekurangan oksigen dan makanan Hal ini dapat menimbulkan rendahnya bobot tubuh

bayi ketika lahir dan juga menimbulkan masalah lain pada bayi seperti kelahiran prematur
sampai dengan kematian pada saat kelahiran.
Berdasarkan tingginya angka kematian ibu akibat preeklampsia penulis ingin mempelajari
tentang preeklampsia. Selain itu komplikasi yang dihasilkan berdampak multiorgan, dan
juga berdampak kebayi. Sebagai dokter umum makan diperlukan pemenuhan kompetensi
mengenai preeklampsia.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan sampai
6 minggu postpartum disertai dengan proteinuria.
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama.
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24
jam atau tes urin dipstik >+ 1. Konsensus Australian Society for the Study of
Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal
College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa pemeriksaan
proteinuria dipstick hanya dapat digunakan sebagai tes skrining dengan angka
positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
protein urin tamping 24 jam atau rasio protein banding kreatinin.

2. Faktor Risiko
Adapun faktor risiko ternyadinya preeclampsia adalah sebagai berikut:
a. Usia : Usia 40 tahun atau lebih meningkatkan risiko preeklampsia hampir
dua kali lipat baik pada primipara maupun multipara.
b. Nulipara : nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat.
c. Kehamilan pertama oleh pasangan baru
d. Jarak antar kehamilan : wanita multipara dengan jarak kehamilan
sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama
dengan nulipara.
e. Riwayat preeklampsia sebelumnya : merupakan faktor risiko utama yaitu
meningkatkan risiko 7 kali lipat
f. Riwayat keluarga preeklampsia : meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat

g. Kehamilan multiple : kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia


hampir 3 kali lipat
h. Donor oosit, sperma dan embrio
i. Obesitas : Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga
merupakan faktor risiko preeclampsia. Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia
sebanyak 2, 47 kali lipat.
j. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin) : meningkat risiko hampir 4
kali lipat
k. Penyakit ginjal
l. Sindrom

antifosfolipid

adanya

antibodi

antifosfolipid

(antibodi

antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko


preeklampsia hampir 10 kali lipat.
m. Hipertensi kronik

3. Klasifikasi
Kriteria Diagnosis Preeklampsia :
a. Kriteria minimal preeklampsia

TD 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu.

Ekskresi protein dalam urin 300 mg/24 jam atau +1 dipstik, rasio
protein : kreatinin 30 mg/mmol

b. Kriteria preeklampsia berat : (preeklampsia dengan minimal satu gejala


dibawah ini)
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg

diastolic pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit

menggunakan lengan yang sama.


2. Ekskresi protein dalam urin 500 mg/24 jam atau +3 dipstik, rasio
protein : kreatinin 50 mg/mmol
3. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter

4. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan


peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
5. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
6. Edema Paru
7. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
8. Gangguan

pertumbuhan

janin

menjadi

tanda

gangguan

sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau


didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Preeklampsia berat dapat dibagi menjadi beberapa kategori:

Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia


Preeklampsia berat dengan impending eklampsia dengan gejala-gejala
impending:
- Nyeri kepala
- Mata kabur
- Mual-muntah
- Nyeri epigastrium
- Nyeri kuadran kanan atas abdomen

3. Etiologi
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini.. Adapun teori-teori tersebut adalah
Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Peran Faktor Imunologis
Peran Faktor Genetik
Iskemik dari uterus
Defisiensi kalsium
Disfungsi dan aktivasi dari endothelial

4. Patofisiologi

5. Diagnosis
A. Anamnesis
Umur > 40 tahun
Nulipara
Multipara dengan riwayat preeclampsia sebelumnya
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru

Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih


Riwayat preeclampsia pada ibu atau saudara perempuan
Kehamilan multiple
IDDM ( Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Hipertensi kronik
Penyakit ginjal
Sindrom antifosfolipid (APS)

B. Pemeriksaan Fisik
peningkatan tekanan sistolik 30mmHg dan diastolik 15 mmHg atau
tekanan darah meningkat lebih dari140/90mmHg. Tekanan darah pada
preeklampsia berat meningkat lebih dari 160/110 mmHg dan disertai

kerusakan beberapa organ.


Takikardia
Takipnea
Edema paru
Perubahan kesadaran
Hipertensi ensefalopati
Hiperefleksia
Pendarahan otak.

C. Pemeriksaan Penunjang
CBC dan apusan darah tepi
Tes fungsi liver: kadar enzim transaminase yang meningkat
Kadar serum kreatinin: kadarnya meningkat yang disebabkan

penurunan volume intravaskuler dan penurunan dari GFR.


Faktor Koagulasi yang abnormal: peningkatan PT dan aPTT
Asam urat: Hiperuresemia merupakan gambaran laboratorium awal

pada preeclampsia berat.


CT-Scan kepala: Studi meenggunakan pemeriksaan ini untuk

mendeteksi adanya perdarahan intrakranial.


Ultrasonografi: Permeriksaan ini digunakan untuk memeriksa status

dari fetus.
Kardiotokografi: Ini merupakan tes standar untuk mengetahui stress
fetal dalam rahim dan dapat memonitor fetus secara menetap.

6. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan preeklampsia adalah
Mencegah terjadinya preeklampsia berat, eklampsia atau komplikasi

lainnya.
Optimalisasi ibu dan janin

Melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya


Penatalaksanaan preeklampsia didasarkan derajat, peristiwa kehamilan dan
komplikasi yang terjadi. Pada preekalmpsia ringan hanya dilakukan
pentalaksanaan konservatif.
A. Manajemen Ekspektatif dan Manajemen Aktif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan

tanpa

membahayakan ibu.

Manajemen

ekspektatif

tidak

meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom


HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti
penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan
intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata rata lebih
besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian
sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta
kematian neonatal. Manajemen aktif bertujuan untuk mengakhiri proses
kehamilan untuk mencegah perburukan pada ibu maupun janin.

Indikasi terminasi kehamilan pada PEB :

a. Pemberian MgSO4 untuk mencegah kejang


Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah
untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta
mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja
magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi
dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga
selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke
dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor
yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah,
kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi.
Syarat pemberian MgSO4 :
Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3
menit)
Reflek patella (+) kuat
RR > 16 x/menit
tanda distress nafas (-)
Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya.
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4
gram selama 5 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2
g/jam selama 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali

terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan pemberian magnesium sulfat.


Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi
oksigen penting dilakukan saat

memberikan

magnesium

sulfat.

Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang


berulang.
Pemberian

MgSO4

dihentikan

bila

sudah

mencapai

tanda

Preeklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.


Dianggap gagal jika > 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi.
Jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan SM 20% 2
gr/IV dulu.
b. Pemberian Antihipertensi
Pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah 150/95
mmHg. Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan
adalah

untuk

keselamatan

ibu

dalam

mencegah

penyakit

serebrovaskular. Penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak


lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah
terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter.

Calcium Channel Blocker


Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke
dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium
channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada
sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat
memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi, sakit
kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta
retensi cairan.
Penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah kurang lebih 1 jam
setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator
arteriolar ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan
produksi urin. Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulang tiap 15 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan

berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat menyebabkan


hipoksia janin dan asidosis.

Beta Blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk jangka
waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester
pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian
anti hipertensi lainnya tidak efektif.

Metildopa
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat,
adalah obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita
hamil dengan hipertensi kronis. Walaupun metildopa bekerja terutama
pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang
akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi
nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh.
Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering, mengantuk,
depresi, hipertensi postural, anemia

hemolitik

dan drug-induced

hepatitis."
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg peroral 2 atau
3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 1012 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan
metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum
1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui
plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.
c. Pemberian Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki


kadar trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata rata
dan produksi urin.

Pemberian kortikosteroroid post partum tidak berpengaruh pada kadar


trombosit.

Pemberian kortikosteroid tidak berpengaruh pada morbiditas dan


mortalitas maternal serta perinatal/neonatal.

Deksametason

lebih

cepat

meningkatkan

kadar

trombosit

dibandingkan betametason

Pemberian

kortikosteroid

antenatal

berhubungan

dengan

penurunan mortalitas janin dan neonatal, RDS, kebutuhan ventilasi


mekanik/CPAP, kebutuhan surfaktan dan perdarahan serebrovaskular,
necrotizing enterocolitis serta gangguan pekembangan neurologis.

Pemberian kortikosteroid tidak berhubungan dengan infeksi, sepsis


puerpuralis dan hipertensi pada ibu.

Pemberian

deksametason

maupun

betametason

menurunkan

bermakna kematian janin dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan


perdarahan serebrovaskular. Pemberian betametason memberikan
penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan deksametason.
d. Pemberian Diuretik
Antepartum: manitol
Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (K release).
Indikasi: Edema paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka
e. Pemberian Kardiotonika (Indikasi: gagal jantung)
f. Lain-lain:
Antipiretika, jika suhu>38,5C, Analgetik
Antibiotika jika ada indikasi
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm).

Penatalaksaan preeklampsia berat di Puskesmas


Menyiapkan surat rujukan
Menyiapkan partus set dan tongue spatel

Menyiapkan obat-obatan seperti valium injeksi, antihipertensi, oksigen

dan cairan infus dextrose/ringer laktat


Terpasang infus dengan blood set
Pada pasien eklampsia, diberikan oksigen, terpasang tongue spatel dan
sebelum berangkat diinjeksi valium 20mg/iv kemudian drip valium 10
mg/500cc dextrose sebagai maintenance.

7. Pencegahan Preeklampsia
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan
primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk
menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut atau dengan cara
menghindari faktor risiko preeklampsia.
b. Pencegahan Sekunder
1. Istirahat : istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko
preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas
2. Restriksi garam : restriksi garam (20 50 mmol/hari) dibandingkan
diet normal tidak ada perbedaan dalam mencegah preeklampsia,
kematian perinatal, perawatan unit intensif dan skor apgar < 7 pada menit
kelima.
3. Aspirin dosis rendah : penggunaan aspirin dosis rendah (60-80 mg)
dalam mencegah terjadinya preeclampsia, penurunan risiko relatif
persalinan preterm sebesar 8%, kematian janin atau neonatus sebesar 14%,
dan bayi kecil masa kehamilan sebesar 10%. Aspirin dosis yang lebih
tinggi terbukti lebih efektif, namun risiko yang ditimbulkan lebih tinggi,
sehingga memerlukan evaluasi yang ketat.
4. Suplementasi Kalsium : Suplementasi kalsium berhubungan dengan
penurunan kejadian hipertensi dan preeklampsia, terutama pada populasi
dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang memiliki
diet asupan rendah kalsium. rerata risiko peningkatan tekanan darah
menurun dengan suplementasi kalsium (1,5 2 g kalsium
elemental/hari)
5. Suplementasi antioksidan : Dianjurkan mengonsumsi vitamin C 1000
mg/hari atau vitamin E 400 IU/hari namnun pemberian vitamin C dan
E dosis tinggi tidak menurunkan risiko hipertensi dalam kehamilan,

preeklampsia dan eklampsia, serta berat lahir bayi rendah, bayi kecil
masa kehamilan atau kematian perinatal.
6. Suplementasi minyak ikan : Minyak ikan yang kaya dengan asam
lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PFA
7. Suplementasi eta-carotene, CoQ10, N-Acetylcysteine, asam lipoik.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh
proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tatalaksana.
1. Diuretik : tidak terbukti mencegah terjadinya preeklamsi bahkan
memperberat hipovolemia
2. Anti hipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preeklamsi
3. Kalsium : 1500 2000 mg/ hari, dapat dipakai sebagai suplemen pada
risiko tinggi terjadinya preeklamsi, meskipun belum terbukti
bermanfaat untuk mencegah preeklamsi.
4. Zinc : 200 mg/hari
5. Magnesium : 365 mg/hari
6. Obat anti thrombotik :
- Aspirin dosis rendah
- Dipyridamole
7. Obat-obat lain : vitamin C, vitamin E, eta-carotene, CoQ10, NAcetylcysteine, Asam lipoik.
**pencegahan medical diatas merupakan evidence medicine practice(yang sering
dikerjakan) akan tetapi belum terbukti memberikan manfaat secara EBM.
8. Komplikasi Preeklampsi
A. Ibu:
Sistem saraf pusat seperti perdarahan intrakranial, trombosis vena
sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, makular atau retina

detachment dan kebutaan korteks.


Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma ruptur, ruptur kapsul

hepar
Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut
Hematologik: DIC, trombositopenia, dan hematoma luka operasi
Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik/nonkardiogenik, depresi

pernafasan, cardiac arrest, iskemia miokardium


Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi tak terkendali

B. Janin
IUGR (intrauterine growth restriction)
oligohidroamnion
solusio plasenta
prematurita
sindroma distres pernafasan
sepsis
kematian janin intrauterin
perdarahan intreventrikular
necrotizing enterocolitis
cerebral palsy

DAFTAR PUSTAKA

Eiland E, Nzerue C, dan Faulkner M. 2012. Preeclampsia 2012. Journal of pregnancy:


USA.
Wibowo N, et all. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan
Tatalaksana Pre-Eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Prawirohardjo Sarwono dkk. 2010. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan. PT
Bina Pustaka : Jakarta.
Roberts JM, August, PA, Bakris G, et al. 2013. Hypertension in Pregnancy. American
College of Obstetricians and Gynecologists: America
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2011. Hypertension in pregnancy the
management of hypertensive disorders during pregnancy.

Anda mungkin juga menyukai